Los Angeles, California, Amerika Serikat.
Satu minggu kemudian.
Matheo kini merasa frustasi sendiri dan menyesal sudah melakukan itu bersama Jessie. Terlebih banyak sindirian di kolom komentar akun instagramnya—termasuk Shasa—sang adik.
Tak usah dijelaskan pun pasti Shasa sudah melihat itu dan mengadu kepada kedua orangtuanya, meski Matheo tahu jika kedua orangtuanya tipe yang tidak suka ikut campur dengan urusan asmara anak-anaknya.
Matheo mendecih kala panggilan teleponnya diabaikan oleh Jelita. Sudah berulang kali menghubungi namun jawabannya tetap sama saja. Diabaikan.
“Lo kalau marah bilang dong, Ta. Jangan diam aja begini.” Matheo lama-lama merasa frustasi sendiri karena kesusahan untuk menghubungi Jelita.
Tak tinggal diam, Matheo segera beralih ke nomor kontak Rendi—ia segera menghubungi untuk meminta bantuan.
“Halo.”
“Ren.”
“Ada apa, Mat? Tumben sering telepon.”
“Gue lagi ada masalah sama Lita,” adu Matheo. Pikirannya sudah entah kemana tak karuan—yang diingat hanya Jelitanya—gadisnya.
“Kenapa lagi lo? Lita bikin ulah, ya? Dia minta putus?”
Matheo diam. Ia sengaja tak langsung menjawab semua pertanyaan Rendi. Matheo lebih memilih mengembuskan napas panjang sebelum menceritakan semuanya.
“Jadi kemarin tuh gue habis main TOD, lo tahu, ‘kan?”
“Ya, gue tahu.”
“Nah pas gue kena tuh dapat tantangan buat ciuman sama teman kampus. Ya, gue sebagai laki-laki sejati enggak mungkin nolak atau alasan, kan?”
“Iya jelas dong. Laki-laki sejati itu akan menerima apapun tantangan yang diberikan. Apalagi yang kasih tantangan cewek, beuuuh … tengsin lah gue.”
“Nah iya gitu, Ren. Jadi gue itu enggak salah dong melakukan ciuman.”
“Enggak lah, Mat. Lo bener. Lita otaknya aja yang kurang dewasa!” Rendi terus membela apa yang Matheo lakukan hingga Matheo merasa apa yang dilakukan itu benar. “Putus aja, lah. Cari bule yang pikirannya terbuka gitu. Kalau sama Lita entar galau mulu,” imbuhnya.
Matheo diam.
Entah kenapa terkadang hati kecilnya ingin memutuskan hubungan ini karena seringnya perbedaan pendapat antara dirinya dengan Jelita.
Namun, di satu sisi ia tidak rela jika Jelita bahagia bersama laki-laki lain. Matheo ingin hidup bersama Jelita selama-lamanya.
“Enggak bisa, gue sayang banget sama dia,” balas Matheo.
Rendi langsung berdecih. “Bukan enggak bisa, tapi lo belum menemukan cewek yang pas dan lebih dari Lita. Kalau gue boleh jujur nih, ya, lo sama Lita itu enggak cocok. Lo begini karena sejak SMP udah sama dia makanya susah pisah. Nah ini kesempatan buat mencoba melupakan.”
Matheo diam, berpikir usulan Rendi.
“Lagian Lita kayaknya suka sama Bagus deh,” celetuk Rendi, menduga-duga.
Mendengar nama ‘Bagus’ disebut membuat hati Matheo merasa terbakar api cemburu. Apalagi hubungan dengan Bagus sudah sedikit menjauh dan renggang semenjak kelulusan.
“Lo serius? Jangan bohong sama gue.”
“Ya elah sumpah, Mat. Gue sebenarnya kasihan sama lo tahu. Gue sering lihat si Bagus antar jemput Lita ke kafe. Bayangin aja deh. Malam-malam jemput Lita hampir setiap hari. Kalau gue sih ogah banget, ya, apalagi enggak ada bayarannya. Feeling gue Lita bayar si Bagus yang enak-enak deh.”
“Maksudnya?”
“Ah masa lo enggak tahu, sih.” Terdengar suara kekehan Rendi di seberang telepon sana. “Cium atau bisa lebih lah. Mana mungkin laki-laki rela antar jemput kalau enggak dikasih yang enak-enak.”
Matheo diam dan merasa ucapan yang dikatakan oleh Rendi memang ada benarnya. Jelita pasti sudah main belakang dengan Bagus. Apalagi udah satu minggu nomornya susah dihubungi.
“Ren, gue minta tolong dong. Awasin Jelita. Gue telepon dia tapi enggak pernah diangkat sudah semingguan lebih.”
“Nah, udah fix Lita ada main sama Bagus.”
“Yaudah gue minta tolong awasin dan kabarin gue kalau mereka ada apa-apa.”
“Sip! Pasti gue kirimin buktinya ke lo.”
“Oke, thanks, ya, Ren.”
“Santai aja kali, Mat. Inikan gunanya sahabat.”
Dan akhirnya panggilan telepon mereka berdua berakhir. Matheo langsung menggenggam erat ponselnya kuat-kuat. Rahangnya mulai mengeras dan tatapan bola matanya sangat berkilat tajam.
“Dasar cewek murahan!” gumam Matheo mengesah dalam.
***
Jakarta, Indonesia.
“Ta, ke dokter aja, yuk.”
“Enggak mau, Prit.”
“Lo udah seminggu sakit begini. Lagian lo tahan-tahan hubungan toxic ini, sih. Lo juga kan yang kena imbasnya. Sayang hati lo. Sayang tubuh lo.”
Jelita masih enggan untuk memeriksakan diri saat ini. Sehabis makan pecel ayam seminggu lalu bersama Bagus, keesokan harinya ia langsung demam tinggi. Pikirannya terasa sakit memikirkan sesuatu yang membuat hatinya terluka.
“Tapi kalau sampai besok masih sakit pokoknya kita ke dokter!” tegas Prita.
Jelita tersenyum tipis melihat sikap sahabatnya yang memang pemaksa dan keras kepala itu.
“Iya, lagian nanti sore juga udah sembuh. Ini gue terlalu capek aja kayaknya.”
“Iya lo tuh capek hati dan pikiran.”
Jelita lagi-lagi hanya membalas ucapan Prita dengan senyuman saja. Pikirannya kembali berpusat kepada Matheo.
Sudah seminggu ini ia sengaja mengabaikan telepon, dan pesan chat dari kekasihnya itu. Jelita enggak mau kalau Matheo tahu dirinya sedang sakit. Jelita takut membuat Matheo khawatir.
“Yaudah gue balik duluan. Gue tadi chat Bagus buat ke sini bawain makanan sama jus buat lo. Dimakan.”
“Iya, bawel.”
Jelita terkekeh kecil melihat Prita berdecih di depannya. Apalagi gaya tomboy Prita yang sering membuat orang takut. Padahal perempuan itu sama saja seperti dirinya yang gampang menangis jika sedang ada masalah.
Merasa sudah sendirian, kini Jelita kembali termenung. Menatap langit-langit kamar kos-nya sendirian. Buliran Kristal pun mulai mengaliri ke pipi mulusnya. Pikirannya kini terbagi menjadi dua. Teringat dengan mama-nya yang di Yogyakarta dan Matheo yang berada di Los Angeles. Semuanya jauh. Jelita suka sedih jika sakit seperti ini tidak ada orang-orang yang disayanginya.
Sambil menunggu Bagus datang ke kos-nya untuk mengantar makanan pun membuat Jelita memilih untuk memejamkan mata sejenak.
Belum lama terpejam perutnya terasa mual yang membuatnya segera bangun dan lari ke toilet. Jelita merasa perutnya sakit luar biasa, dan tubuhnya terasa semakin meriyang.
“Ya Tuhan, ternyata begini rasanya sakit pas jauh dari orangtua,” lirih Jelita, sedih.
Tok. Tok. Tok.
Mendengar pintu kamar kos ada yang mengetuk membuat Jelita mencoba untuk menguatkan diri untuk berdiri. Jelita merasa tatapan matanya mendadak kunang-kunang. Namun, sebisa mungkin Jelita paksa karena yakin sekali yang mengetuk pintu itu Bagus.
Ceklek.
“Kak Lita!”
“Shasa.”
“Kak Lita, kenapa?”
“Kakak gapapa. Lagi enggak enak badan aja.”
“Pasti gara-gara Kak Mamat, ya,” tebak Shasa, tepat sasaran. Shasa langsung masuk ke kamar kos Jelita sambil membawa beberapa kantung plastik berisi makanan. “Mommy nitip makanan ini buat Kak Lita,” tuturnya.
Jelita yang merasa tak bertenaga pun hanya tersenyum tipis dan memilih langsung duduk di pinggiran ranjang.
“Tante Kaila repot-repot banget, sih.”
“Mommy khawatir sama Kak Lita katanya.”
Jelita tersenyum kembali. “Bilangin makasih sama Tante Kaila kalau gitu.”
“Hm, Kak Lita udah ke dokter?”
“Udah kok,” jawab Jelita bohong.
“Sukur deh, Kak Mamat tahu kalau Kak Lita sakit?”
Jelita diam. Ia bingung harus menjawab jujur atau berbohong kepada Shasa. Jelita tidak mau kalau Matheo dan Shasa nanti berantem soal dirinya. Jelita tahu betul kalau Shasa akan mengomeli Matheo jika tahu.
“Jangan bilang Kak Lita enggak kasih tahu sama Kak Mamat!” tebak Shasa dengan mata yang terus menelisik untuk mencari kebenaran. “Ck! Benar kan kalau Kak Mamat enggak tahu? Biar aku kasih tahu kalau gitu,” ujarnya sambil merogoh ponsel di tas kecil yang dibawa.
Jelita langsung mencegah Shasa yang ingin menghubungi Matheo. “Jangan Sha, aku baik-baik aja kok.”“Gapapa, Kak. Biar Kak Mamat makin kelimpungan pengin pulang ke Indonesia.”“Kasihan, Sha. Biarkan dia fokus kuliah dulu. Nanti Daddy-mu marah gimana kalau Mamat gagal kuliah?” Jelita langsung membawa-bawa nama Melviano yang mampu membuat Shasa diam tak berkutik. Lagipula kalau Jelita rasa Om Melviano juga kurang menyukainya atau emang dasar sikapnya yang dingin. Entahlah.Sudah berteman lama dengan Matheo tapi Jelita suka risih sendiri dengan Melviano. Terasa segan untuk berbincang-bincang.“Sabar ya, Kak. Kak Mamat emang gitu nyebelin. Tapi dia baik kok.”Jelita tersenyum tipis. “Iya, dia baik.”Lagi asik berbincang pun akhirnya terdengar suara ketukan pintu yang membuat kedua gadis remaja itu langsung menoleh secara bersamaan.“Biar aku yang buka,” ujar Shasa yang
Jelita langsung menangis tergugu saat ini. Entah terkena angin apa tiba-tiba Matheo meminta putus. Padahal sewaktu dia meminta putus kemarin, mati-matian Matheo justru menolaknya. Dan kini? Matheo sendiri yang menyerah di saat Jelita mulai menerima pergaulan kekasihnya itu.Hal yang lebih membuat Jelita merasa sakit adalah kata-kata kasar Matheo yang mengatakan jika dirinya ‘jalang’.Bahkan selama mengenal Matheo, baru kali ini dia bisa semarah itu dan berani membentaknya seperti tadi.Tak ingin salah paham pun membuat Jelita segera menelepon balik Matheo untuk menanyakan ucapan dia yang sangat ngaco itu. Entah apa maksudnya menuduh selingkuh seperti tadi.Tut … tut … tut.Merasa tidak diangkat pun membuat Jelita merasa frustasi sendiri. Jelita terus mencoba berkali-kali menelepon Matheo sampai rasanya lelah. Ingin menyerah.Entah kenapa ada rasa enggan dan tidak rela jika hubungannya berakhir dengan tidak baik sepe
Dan pada akhirnya kini Jelita memutuskan untuk periksa di sebuah klinik 24 jam. Prita yang memang teman dekat sejak SMA pun tak segan-segan mengantar. Bahkan ia rela keluar rumah di jam 2 pagi seperti ini demi mendatangi kos-an Jelita yang memang berada di kawasan Kebayoran. Untung saja dekat dengan lokasi rumahnya yang terletak di Gandaria. Kalau jauh juga Prita akan pikir-pikir kembali.Saat selesai diperiksa, ternyata Jelita mengalami gejala typus. Sukurnya masih gejala hingga tidak perlu sampai dirawat segala, namun tetap harus istirahat total di rumah agar cepat sembuh.Sambil menunggu obat, kedua perempuan itu duduk termenung dengan isi pikiran masing-masing. Prita memikirkan cara melabrak Shelka besok di sekolah. Lain hal dengan Jelita yang masih tidak percaya jika hubungan dengan Matheo benar-benar sudah berakhir.“Nona Cahaya Jelita Pramana.”Dengan cepat Prita langsung berdiri dan berjalan menuju ke bagian farmasi untuk mengambil oba
Matheo yang mabuk berat terpaksa diantar pulang oleh Jessie ke apartemen laki-laki itu. Jessie bahkan dibantu security apartemen untuk membawa Matheo ke unitnya. Saat sudah di dalam unit apartemen, Jessie dengan susah payah memapah Matheo menuju ke dalam kamar hingga akhirnya mereka berdua jatuh bersama di atas ranjang.Tubuh Matheo yang berat membuat Jessie kesusahan bernapas karena benar-benar merasa terhimpit di bawah.Bau alkohol di mulut Matheo pun sangat menyengat kuat hingga membuat Jessie terbatuk-batuk kecil. “Matheo, wake up!”Merasa akan mati mendadak membuat Jessie terus berusaha menyingkirkan tubuh Matheo agar terguling ke samping.Setelah berusaha dengan susah payah dan sekuat tenaga akhirnya tubuh Matheo terguling dan laki-laki itu terus memanggil nama Jelita yang membuat Jessie mendengkus sebal.“Dasar brengsek! Sudah putus masih saja mengingatnya!” dumel Jessie, kesal.Merasa seluruh tubuhnya sakit, J
Flasback on.Prita sengaja mendatangi sekolah Nusa Bangsa hari ini untuk bertemu dengan Shelka. Saat sudah jam sekolah berakhir, Prita melihat Shelka yang sedang berjalan bersama dengan teman-temannya menuju ke gerbang dan itu membuat Prita tersenyum miring.“Hei, Shelka!”Perempuan itu menoleh dan terkejut melihat kakak alumni yang sedang berdiri di dekat pos satpam. “Iya, Kak. Ada apa?”“Gue mau ngomong sama lo. Bisa ikut gue ke mobil?”Tergambar jelas keraguan di wajah Shelka. Bahkan perempuan itu menoleh kepada teman-temannya untuk meminta pendapat meski hanya dengan tatapan wajah dan semua temannya mengangguk secara serentak.“Gue enggak bakalan apa-apain lo. Jadi tenang aja.” Prita yang tahu isi kepala Shelka langsung menyemburkan ucapannya langsung.“Iya, Kak. Mau kok.”Dan pada akhirnya Shelka ikut Prita menuju ke mobil honda jazz yang terparkir di luar gedung
Merasa ucapan yang akan disampaikan ini penting membuat Rendi mengajak Prita untuk keluar kampus dan mencari tempat lain.“Enggak di sini ngomongnya,” ujar Rendi.Prita mengerut bingung, namun ia pun mengangguk dan mengikuti ke mana arah Rendi pergi. Prita akhirnya mengikuti motor yang dikendarai Rendi keluar area kampus.“Mau kemana, sih, tuh anak!” dumel Prita.Tak lama Rendi berhenti di sebuah kedai kopi starbucks yang tidak jauh dari area kampus. Prita sendiri langsung mencari tempat parkir untuk mobilnya, dan segera menghampiri Rendi yang memang menunggu di depan pintu starbucks.“Lo tinggal ngomong alasan aja pakai bawa gue ke starbucks.” Prita terus menerocos kesal, tapi tidak ditanggapi oleh Rendi. Laki-laki itu justru langsung berbalik badan dan masuk ke kedai kopi.Setelah memesan dua kopi, Rendi dan Prita segera duduk saling berhadapan. Prita masih menunggu penjelasan dan alasan Rendi melakukan
Akhirnya mereka berdua sampai di sebuah mall Grand Indonesia. Bagus dan Jelita pun memilih untuk berjalan-jalan terlebih dulu di area mall sambil menunggu jadwal film yang akan mereka tonton dimulai nantinya. Mereka memanfaatkan waktu tiga puluh menit ke depan untuk melihat-lihat buku di toko buku.Saat sedang memilih beberapa buku novel, tiba-tiba Jelita dikejutkan oleh seseorang yang menepuk bahunya.“Apaan, sih, Gus.”Tidak ada respon membuat Jelita merasa curiga, dan membuatnya berbalik badan. Jelita terkejut saat melihat orang yang berdiri di depannya ini. Ternyata yang menepuk-nepuk bahunya itu Sasha.“Sasha.”“Hehe, Kak Lita sama siapa?” tanya Sasha, langsung tengok kanan kiri mencari orang yang dikenalnya.“Sama—““—Buku ini cocok deh buat lo, Ta.”Sasha langsung menoleh ke belakang dan terkejut dengan kehadiran sosok Bagus. Sasha tersenyum tipis me
Melihat nama sang adik yang menelepon membuat Matheo mengesah dalam. Matheo berpikir kalau sang adik sudah tahu berita putus dirinya dengan Jelita. Sebab, tidak biasanya Sasha akan menelepon dirinya seperti ini. Membombardir terus menerus tiada henti.Sambil membuang napas panjang, Matheo meraih ponselnya yang tergeletak, dan segera menggeser icon tombol hijau ke samping.“Ha—““—Dodol banget, sih!” omel Shasa cepat ketika mengetahui panggilan dirinya diangkat. “Sumpah deh aku enggak ngerti sama pola pikir Kak Mamat saat ini,” cerocosnya lagi tanpa memberikan kesempatan Matheo berbicara.Matheo memejamkan mata kuat, dan mengambil napas dalam-dalam jika dugaannya ternyata benar. Kalau adiknya menelepon pasti akan mengomeli tentang hal ini. Terlebih adiknya yang memang sangat celopar itu membuatnya bisa menebak.“Aku kecewa banget sama Kakak. Emang ada masalah apa, sih? Lagian aneh-aneh banget jad
Setelah mengalami perdebatan sengit dengan Bagus minggu lalu, hari ini Jelita mendatangi rumah keluarga Azekiel untuk memberikan kabar jika dirinya akan ikut ke Los Angeles. Apalagi setiap hari Shasa selalu menelepon dan membujuknya terus-terusan yang membuat Jelita merasa tidak enak sendiri.Hubungan dengan Bagus pun sedikit renggang akibat laki-laki itu yang melarang Jelita pulang ke kampung. Jika pun pulang, Bagus ingin ikut. Tapi, Jelita memberikan alasan yang begitu logis. Terlebih mereka belum memiliki ikatan tali pernikahan hingga sikap Bagus dianggap berlebihan oleh Jelita.Ting nong! Ting nong! Ting nong!Ceklek!“Eh Non Lita. Ayo masuk, Non,” sapa Bibi begitu ramah. “Ke sini sendirian aja, Non?”“Iya, Bi.”“Lama enggak pernah ketemu sama Non Lita semenjak Tuan Matheo ke Amerika. Gimana kabarnya?”“Baik kok, Bi. Tante Kaila ada?”“Ada dong. Beliau lagi di teras samping duduk sama Shasa lagi ngobrol. Ke sana saja langsung, Non.”Jelita mengangguk pelan dan berjalan menuju ke t
Saat ini Jelita sudah memutuskan apa yang akan dilakukannya nanti. Sepertinya ia akan memilih berbohong kepada Bagus. Entahlah apa yang dilakukan ini sudah benar atau belum. Yang pasti saat ini logikanya lebih kalah dari perasaan hatinya yang selalu teringat akan kondisi Matheo.“Lo yakin, Ta?” tanya Prita, mencoba menyakinkan.“Entah. Tapi hati gue menginginkan begitu, Prit. Maaf kalau sebagai sahabat gue bikin lo kecewa.” Jelita menatap Prita tidak enak hati karena memilih berbohong dan menerima ajakan dari keluarga Azekiel untuk pergi ke Amerika sana.Prita yang tidak tega melihat Jelita langsung memeluk sahabatnya itu. Bahkan Prita yang anti dipegang-pegang kini mengelus kepala Jelita lembut penuh kasih sayang.“Gapapa kok. Gue sebagai sahabat akan dukung lo apa adanya. Semisal memang ini keputusan yang membuat lo bahagia pasti akan gue dukung.”“Makasih banget.” Jelita kini semakin mengeratkan pelukannya dan menangis di bahu sahabatnya. “Pokoknya lo benar-benar sahabat terbaik gu
Setelah kepergian Melviano dari kos-an miliknya, Jelita merasa bimbang sendiri. Ia bergelut dengan pikirannya yang ruwet dan kusut.Pikirannya teringat akan janji-nya kepada Bagus untuk tidak berinteraksi dengan Bagus. Hingga Jelita merasa stress sendiri saat ini.“Harus gimana?” tanya Jelita kepada dirinya sendiri. “Om Melviano meminta secara langsung dan gue bingung cara menolaknya,” lanjutnya bergumam.Sampai akhirnya Jelita bergegas segera menuju ke dalam kamar kos-an miliknya. Jelita mencari ponsel untuk menghubungi Prita. Mencoba meminta pendapat dari sahabatnya itu.Untungnya sambungan telepon dari Jelita langsung diangkat oleh Prita hingga tidak membutuhkan waktu lama.“Hm, ada apa?”“Gue galau. Gue bingung. Gue keder!” cerocos Jelita to the point.“Galau kenapa, sih?!”“Tadi Om Melviano datang ke kos-an gue, Prit. Dia ngajakin ke Los Angeles liburan semester ini. Gue kudu gimana?” Jelita menggigit bibir bawahnya sendiri karena merasa resah juga stress.“Lah gitu aja lo keder.
Pagi-pagi sekali keluarga Azekiel semuanya sedang kumpul di ruang makan untuk melakukan sarapan bersama. Shasa seperti biasanya. Heboh dengan masalah kehidupan remajanya yang begitu penuh warna.Sedangkan untuk pasangan suami istri itu lebih banyak saling diam. Mendengarkan semua celotehan anak gadisnya.“Kenapa nomor Shasa centang satu doang kirim pesan sama Kak Lita, ya?” celetuk Shasa tiba-tiba membahas Jelita.Baik Melviano dan Kaila sama-sama saling menoleh dan bertatapan. Akan tetapi kedua orang itu memilih tetap diam karena sudah pasti Jelita menghindari keluarga Azekiel karena status hubungan yang dijalani dengan putranya tidak sebaik dulu.Namun melihat putranya yang tampak galau dan selalu membuat masalah di Los Angeles sana membuat sisi hati Melviano tergerak untuk mencoba menuruti keinginan dari putranya. Apalagi Matheo mengancam tidak akan meneruskan kuliah jika keinginannya tidak ditururi.“Kamu kapan mulai ujian semester, Sha?” tanya Melviano, mencoba membuka obrolan so
Mendapat kabar jika putranya di Amerika sana membuat masalah, tentu saja sebagai orangtua membuat Melviano bersikap cepat tanggap. Melviano meminta kepada Mikaila untuk mengurusi semua permasalahan soal putranya itu dengan pihak kampus.“Makanya kamu jangan terlalu kaku jadi orangtua, Mel!” omel Kaila kepada Melviano yang begitu otoriter.“Aku melakukan itu supaya anak kita bisa menjadi mandiri sekaligus memimpin perusahaan sayang.”“Halah! Tapi justru membuat Mamat depresi, ‘kan?” Kaila tidak mau kalah berdebat dengan sang suami. “Lagian nanti juga dia mikir kalau sudah dewasa. Maklumi saja jika dia memang lagi kasmaran. Kayak kamu enggak bucin aja dulu sama aku,” lanjut Kaila, menyindir Melviano dulu-nya.Tentu saja pria paruh baya itu hanya berdeham kecil saja. Lagipula sikap gengsi dari dulu sampai sekarang tidak pernah pudar. Justru semakin tinggi.Sampai akhirnya Melviano mengalah ketika dua perempuan yang sangat disayangi-nya ini bersatu. Kaila dan Mikaila. Kedua-nya sama-sama
Mikaila merasa jika aksi membolos Matheo selama satu minggu ini benar-benar akan berdampak buruk. Pasalnya anak itu sudah mendapat surat peringatan. Jika besok masih dilakukan sudah pasti Matheo akan di D.O dari kampusnya.Merasa pusing dengan masalah yang dilakukan sang keponakan membuat Mikaila memutuskan untuk kembali mengomeli sang kakak melalui email. Bahkan surat panggilan dari kampus pun tidak lupa ikut dikirimkan ke alamat email Melviano.Lagipula salah siapa terlalu keras kepada anak. Alhasil begini jadinya. Bukannya semakin semangat belajar justru semakin amburadul.Drrt! Drrt! Drrt!Mikaila yang mendengar ponsel milik Matheo bergetar langsung mencari benda pipih itu. Tanpa sengaja Mikaila membaca isi pesan chat yang dikirimkan oleh Jessie.Jessie: Bagaimana kalau aku hamil, Matheo? Kau mau bertanggung jawab menikahiku, ‘kan?Satu masalah saja belum selesai. Ini bertambah satu masalah lagi yang membuat kepala Mikaila terasa ingin pecah. Padahal ia bukan orangtua kandungnya m
Terpaksa Jelita semalam berjanji kepada Bagus untuk tidak berkomunikasi lagi dengan keluarga Matheo. Meski sejujurnya di dalam lubuk hati Jelita merasa tidak nyaman dengan permintaan Bagus yang satu ini.Meski bagaimanapun ia ingin menjalin tali silaturahmi dengan Matheo meski sudah tidak menjadi sepasang kekasih lagi. Tapi, nampaknya Bagus mulai merasakan cemburu dan itu hal yang lumrah juga wajar.“Lo kenapa ngelamun aja dari tadi? Kurang jatah semalam, uh?” ledek Prita, menyenggol lengan Jelita yang tampak melamun saja sejak datang ke kampus.“Cih! Apaan, sih.”“Ta, lihat deh itu ayang beb datang ke sini.” Prita kembali menyenggol lengan Jelita—memberitahukan kepada sahabatnya jika Bagus tengah berjalan menuju ke arahnya mereka duduk.Jelita menoleh sekilas dan kembali fokus menatap ke depan sana. Hal ini justru membuat Prita merasa heran juga jengah sendiri.“Lo lagi berantem?” tebak Prita, menduga-duga.“Enggak.”“Terus?”“Gapapa kok.”“Gapapa tapi muka lo galau gitu anjir!”“Gu
Melihat Jelita tampak penasaran membuat Bagus justru terkekeh kecil. Apalagi ekspresinya begitu lucu dan menggemaskan.“Aku cuma mau minta kalau mulai detik ini panggilan kita jangan pakai lo-gue, tapi jadi aku-kamu aja, gimana? Kayaknya lebih enak didengar buat orang yang pacaran seperti kita.”Merasa sudah berpikir kotor membuat Jelita malu sendiri. Padahal ia berpikir jika Bagus akan meminta ciuman atau tidur bersama. Tapi ternyata hanya ingin meminta perubahan panggilan saja.Jelita pun dengan malu-malu menjawab permintaan Bagus sambil mengangguk kecil. Bagus yang melihat respon Jelita seperti itu tentu saja membuat hatinya senang.“Makasih banyak sayang,” ucap Bagus, ingin memeluk Jelita. Sedangkan Jelita yang diingin dipeluk merasa kaget sendiri. “Hehehe, maaf, kelepasan.”Merasa tidak enak karena saking senangnya membuat Bagus tidak bisa mengontrol diri. Laki-laki itu pun menggaruk-garuk kepala bagian belakangnya karena menahan rasa malu.Namun, hal yang tidak pernah diduga sam
Sudah beberapa hari ini Matheo memilih mengurungkan diri di dalam kamarnya. Bahkan laki-laki itu sudah tidak masuk kuliah karena merasa galau melihat serta mendengar sendiri dari mulut Jelita jika perempuan itu sudah berpacaran dengan Bagus.“Apa kau tidak bosan terus-terusan seperti itu?” tanya Mikaila, menatap jengah Matheo yang masih saja terbaring di atas kasur. “Tadi Daddy-mu telepon,” lanjutnya memberitahukan.Matheo sendiri masih tetap diam melamun. Kedua bola matanya tidak bosan-bosan menatap ke atas langit-langit sana.“Katanya dia sudah bertemu dengan Lita-mu itu,” tambah Mikaila, lagi.Sontak hal ini membuat Matheo langsung bereaksi keras. Matheo yang sejak tadi terlentang mendadak bangun duduk menatap ke arah daun pintu kamar.“Daddy menemui Lita?” Matheo mengerutkan kening bingung karena tumben-tumbenan sekali daddy-nya sampai ikut campur urusan kisah asmaranya ini. Apa semua ini bentuk dari rasa peduli daddy karena ia galau terus-terusan seperti ini? Semoga saja daddy me