Los Angeles, California, Amerika Serikat.
08.00 p.m waktu setempat.
“Lagi di mana?”
“Pergi sama teman.”
“Siapa?”
“Udah dulu, ya, Ta. Enggak enak nih teleponan kalau lagi kumpul sama teman.” Dengan cepat pula Matheo langsung menutup panggilan telepon dari Jelita. Matheo bahkan tidak memberikan kesempatan Jelita berbicara sebelum sambungan telepon itu terputus.
Wajah Matheo langsung menoleh ke arah wanita yang memiliki darah keturunan Amerika—India itu. Matheo tersenyum manis dan kembali menenggak sebuah minuman beralkohol yang sudah dituangkan oleh Jessie.
“Barusan yang telepon itu kekasihmu?” tanya Jessie menebak.
“Hm.”
Jessie tersenyum miring dan langsung berdiri mengajak Matheo untuk bergabung bersama teman yang sudah turun terlebih dahulu ke lantai dansa.
“Come on,” ajak Jessie dengan suara manja.
“Tidak, Jess. Aku di sini saja minum.”
“Kalau kau tidak ikut berjoged maka aku juga tidak ikut bergabung.” Jessie langsung duduk kembali dengan wajah murungnya.
Dan tak lama justru Matheo yang berdiri dan mengulurkan tangannya kepada Jessie—mengajak untuk berjoged di lantai dansa bersama teman-teman kuliahnya yang lain.
***
Jakarta, Indonesia.
10.00 a.m Waktu Indonesia Barat.
Di waktu yang bersamaan kini Jelita tengah termenung di sebuah taman kampus. Ekspresi wajahnya menunjukkan kesedihan yang mendalam pagi ini. Matheo yang dulu selalu ada kini tengah jauh di negara Amerika sana.
Pikiran-pikiran negatif pun terus menghantui otak Jelita. Namun, sebisa mungkin perempuan ini terus menepisnya dan percaya jika kekasihnya itu tipe laki-laki setia.
“Hai, ngelamun aja lo!” tegur Bagus lantang dan sedikit membuat kaget Jelita.
Bagus yang melihat wajah Jelita pun langsung mengerut bingung dan bertanya keadaan perempuan itu. “Lo baik-baik aja, kan, Ta?” tanya Bagus mulai khawatir sendiri karena melihat Jelita yang selalu murung akhir-akhir ini.
“Gue baik-baik aja, kok, Gus.”
“Tapi lo murung terus kalau gue perhatiin.”
Jelita tersenyum tipis mendengar pernyataan Bagus yang begitu peka dengan kondisinya. Bahkan bisa Jelita rasakan jika Bagus selalu ada di saat masa-masa galaunya seperti sekarang ini.
“Soal Matheo lagi, ya?” tebak Bagus tepat sasaran.
Jelita diam tak merespon apapun. Tatapan matanya pun kosong dan tak lama air matanya tumpah tanpa disengaja yang membuat Bagus terkejut.
Melihat sahabatnya menangis pun membuat Bagus langsung khawatir dan mencoba menggenggam tangan mungil milik Jelita.
“Lo pasti kuat jalani ini semua, Ta. Gue yakin kalau Matheo dan lo bakalan berakhir happy ending nantinya.”
Jelita masih diam membisu mendengar ucapan Bagus yang mendoakan hubungan dirinya dengan Matheo yang tidak jelas ini. Hampir dua bulan menjalani LDR, Matheo tiba-tiba berubah drastis. Suka marah jika ditelepon dan suka menghilang tidak jelas.
“Apalagi Matheo cinta banget sama lo, kan? Shelka aja sampai diputusin demi lo.” Bagus terus mencoba menguatkan Jelita yang pesimis dengan hubungan jarak jauh ini. Gimanapun Bagus juga tak yakin jika Matheo setia. Apalagi mengingat pergaulan di luar negeri yang berbeda dengan Indonesia.
Jelita yang semula diam pun langsung angkat bicara meski tenggorokannya terasa sangat sakit saat ini.
“Gue nggak yakin kalau hubungan ini bakalan berakhir happy ending. Apalagi melihat perubahan Mamat yang drastis seperti ini. Gue pesimis untuk lanjut.”
Bagus menelan ludahnya sendiri. Ia mulai bingung harus mengatakan apa kepada Jelita agar tetap berpikiran positif kepada Matheo.
“Sepertinya gue nyerah. Gue mau putus saja sama Mamat!” ucap Jelita tegas dan penuh penekanan.
Bagus yang mendengar hanya bisa diam dan menatap Jelita lembut. Bagus tahu ini merupakan perasaan Jelita yang sedang emosi karena hubungan jarak jauh dengan Matheo.
“Gue dukung apa yang membuat lo bahagia, Ta.”
“Makasih banyak, ya, Gus. Lo meski teman dekat Mamat tapi nggak memihak dia ataupun gue. Lo tetap sportif sama kita berdua.”
Bagus tersenyum dan menepuk bahu Jelita pelan penuh kelembutan. “Ini gunanya teman bukan?”
Jelita tersenyum saat mendengar ucapan Bagus. Jelita langsung berdiri karena harus buru-buru pergi dari kampus menuju ke salah satu kafe di mana tempat ia bekerja part time.
“Lo mau kemana?” tanya Bagus yang ikut berdiri dari posisinya duduk.
“Kafe.”
Bagus langsung melihat arjoli yang melingkar di pergelangan tangannya. “Ini kan masih pagi. Kafe belum buka, 'kan?”
“Iya, tapi gue ada urusan sama Gilang.”
“Mau gue antar?”
Jelita diam dan tak lama tangannya langsung ditarik Bagus menuju ke area parkir untuk mengambil motornya.
Bagus langsung memberikan helm kepada Jelita, dan ia pun segera menstarter motornya untuk menuju ke kawasan Dharmawangsa—di mana tempat kafe itu berada.
Bahkan selama perjalanan menuju ke arah kafe, baik Bagus dan Jelita sama-sama mengobrol soal masa lalu mereka saat masih SMA dulu. Mereka bahkan terkadang tertawa bersama sampai membuat pengguna jalan lain kadang menatap ke arahnya heran.
“Lo sih ketawa kencang banget. Jadi dilihatin Bapak-bapak ojol itu deh,” kata Jelita sambil menabok bahu Bagus sedikit kencang.
Bagus masih terkekeh dan sesekali menatap pantulan wajah Jelita di kaca spion. “Kan emang dulu lo paling cantik satu sekolah Nusa Bangsa, Ta.”
“Ih bohong banget. Setahuku yang paling cantik Shelka deh,” sahut Jelita.
“Shelka cantik karena dia pinter dandan aja. Kalau lo apa adanya dan nggak make-up juga cantik.”
Dipuji seperti itu membuat pipi Jelita mendadak blusing bahkan terasa sangat panas. Apalagi sikap Bagus sejak dulu sampai sekarang masih saja sama. Tetap baik dan perhatian meski dulu ia pernah menolak cintanya.
“Kenapa lo tetap baik sama gue, sih?” ceplos Jelita tiba-tiba yang membuat Bagus langsung mendadak diam.
Jelita kini menanti jawaban dari Bagus. Entah kenapa Jelita penasaran dengan jawaban cowok di depannya ini. Biasanya kalau cowok ditolak pasti akan menjauh atau menganggap musuh, tapi Bagus berbeda. Dia tetap baik seperti tidak terjadi apa-apa.
“Karena lo cewek baik, dan lo sekarang sendirian juga di Jakarta semenjak nyokap lo pindah ke luar kota, kan?”
Jelita langsung lesu dan sedih jika mengingat mamanya yang memilih tinggal di Yogyakarta sana. Apalagi sekarang ia sudah tidak memiliki rumah lagi di Jakarta. Rumah yang dulu ditempati kini sudah dijual untuk modal usaha mamanya, dan sisanya untuk biaya masuk kuliah.
“Makasih, ya, Gus.”
“Sama-sama, Ta. Pokoknya kalau lo butuh sesuatu jangan sungkan buat hubungi gue. Pasti berat banget tinggal sendirian di Jakarta dan ngekos sendirian begini.”
Jelita tersenyum tipis karena Bagus benar-benar mengerti kondisinya. Bahkan, Jelita rela kuliah di Jakarta karena ingin dekat dengan keluarga Matheo, namun entah kenapa hubungannya justru semakin menjauh seperti saat ini.
Dan, tak terasa perjalanan Jelita dan Bagus telah sampai di depan kafe. Jelita langsung turun dan menyerahkan helm kepada Bagus. “Btw, makasih banyak, ya.”
“Sama-sama, Ta.”
“Yaudah gue mau masuk dulu. Lo hati-hati baliknya,” ujar Jelita yang sangat berterima kasih sekali dengan Bagus.
Bagus hanya mengangguk dan langsung pergi meninggalkan Jelita. Dan di saat sudah sepi, Jelita langsung mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi Matheo kembali.
Tut … tut … tut.
Jelita memejamkan matanya karena menunggu panggilan telepon yang tak kunjung diangkat-angkat. Dan di saat deringan ke empat Jelita mendengar suara berisik musik yang berdentum sangat kencang, tak lama suara perempuan menyambut panggilannya.
“Hello, who are you?”
Jelita pun sudah membulatkan tekadnya jika harus mengakhiri hubungan dengan Matheo. Apalagi sejak resmi berpacaran, baik Jelita dan Matheo belum pernah merasakan namanya kencan. Jelita menerima cinta Matheo di saat laki-laki itu sudah berada di Los Angeles. Dan mereka berdua sepakat untuk berkomitmen dan saling setia.Namun, suara perempuan yang menyambut panggilannya saat ini membuat hatinya langsung merasa terluka.“Jessie … ouh no, shit!” Jelita bahkan mendengar suara Matheo di seberang sana. Sepertinya Matheo tengah mabuk dan ditemani perempuan bernama Jessie itu.Sebisa mungkin Jelita menguatkan hatinya yang terasa sangat sakit saat ini. Suara dentuman musik menambah keyakinan jika Matheo memang aktif pergi ke kelab malam.“Honey, don’t do it here. I think we should go to a hotel.”Mendengar kata-kata itu membuat Jelita meremas ponselnya dan segera mematikan dengan kasar. Tak terasa tetesan air matanya pun
Kini Jelita merasa lega. Plong. Satu kalimat yang sudah ia pendam selama semingguan ini kini berhasil lolos dari bibir tipisnya.Namun entah kenapa saat ucapan itu lolos, justru Jelita kini merasa takut sendiri. Degdegan. Gemetar.“Are you kidding me?” sebuah pertanyaan di seberang telepon membuat hati Jelita semakin deg-degan. Apakah hal yang dilakukannya kini sudah benar atau tidak. Tapi, Jelita yakin yang dilakukan ini sudah tepat.“Apa lo selingkuh? Emang cowok mana yang bisa membuat lo tega berpaling, Ta?”Mendengar tuduhan yang dilontarkan Matheo barusan membuat hatinya sakit. Hancur. Dan sebelum menjawab pertanyaan dari Matheo, kini lelaki itu sudah melontarkan berbagai carut-marut kepadanya.“Gue nggak nyangka seorang Lita bisa selingkuh. Gue tahu lo lagi dekat sama Bagus, dan lo tentunya tahu juga kalau Bagus dulu suka sama lo. Tapi nggak begini caranya dong. Lo kan cewek gue, Ta. Lo harus tahu posisi lo di mana sekarang!”“Mat …,” suara
Jakarta, Indonesia.Setelah waktu malamnya dibuat untuk menangis, kini Jelita tampak lebih tenang saat duduk bersama Prita yang kini sedang galau karena akan dijodohkan oleh kedua orangtuanya. Ternyata yang mengalami masalah hidup yang terasa berat ini ternyata bukan dirinya saja melainkan semua orang—termasuk Prita.“Sumpah, ya, nggak habis pikir sama Bokap yang jodohin gue sama sugar Daddy,” adu Prita, mengesah.Jelita yang mendengar cerita Prita pun langsung merasa kasihan sendiri. Tak lupa tangannya menepuk pundak Prita pelan sebagai wujud kalau ia akan selalu ada di saat Prita membutuhkan.“Gue nggak mau kawin, Ta. Tolongin gue …,” rengek Prita.Mereka berdua pun langsung berpelukan. Lebih tepatnya Jelita memeluk Prita yang sedang bimbang dengan masa depannya.Sapuan lembut tangan Jelita mampu membuat perasaan Prita mulai tenang. “Emang udah ketemu sama calon suami lo?”Prita langs
Jakarta, Indonesia.Jelita merasa syok saat banyak akun yang men-tag namanya di kolom komentar instagram Matheo. Merasa penasaran pun membuat Jelita membuka itu. Hatinya langsung berdenyut nyeri melihat postingan yang diunggah oleh Matheo. Dia—ciuman dengan seorang perempuan di sana. Jelita langsung menangis dan menutup akun instagramnya.“Ta, meja nomor 14 cappucinno late 1,” teriak teman kerja Jelita.Tak ingin diketahui oleh orang lain membuat Jelita buru-buru memasukan ponselnya di kantong celemek. Ia pun segera membuat pesanan untuk meja nomor 14 itu.“Lita! Astaga!” pekik salah satu rekannya. “Lo lagi kenapa, sih? Itu meluber airnya,” serunya dengan kesal dan segera mengambil alih pekerjaan Jelita."Maaf, maaf," lirih Jelita tak enak.Merasa tidak konsen bekerja membuat Jelita langsung berjalan mundur. Ia pun segera pergi menuju ke belakang bangunan kafe yang sepi. Jelita merogoh sakunya dan me
Los Angeles, California, Amerika Serikat.Satu minggu kemudian.Matheo kini merasa frustasi sendiri dan menyesal sudah melakukan itu bersama Jessie. Terlebih banyak sindirian di kolom komentar akun instagramnya—termasuk Shasa—sang adik.Tak usah dijelaskan pun pasti Shasa sudah melihat itu dan mengadu kepada kedua orangtuanya, meski Matheo tahu jika kedua orangtuanya tipe yang tidak suka ikut campur dengan urusan asmara anak-anaknya.Matheo mendecih kala panggilan teleponnya diabaikan oleh Jelita. Sudah berulang kali menghubungi namun jawabannya tetap sama saja. Diabaikan.“Lo kalau marah bilang dong, Ta. Jangan diam aja begini.” Matheo lama-lama merasa frustasi sendiri karena kesusahan untuk menghubungi Jelita.Tak tinggal diam, Matheo segera beralih ke nomor kontak Rendi—ia segera menghubungi untuk meminta bantuan.“Halo.”“Ren.”“Ada apa, Mat? Tumben sering t
Jelita langsung mencegah Shasa yang ingin menghubungi Matheo. “Jangan Sha, aku baik-baik aja kok.”“Gapapa, Kak. Biar Kak Mamat makin kelimpungan pengin pulang ke Indonesia.”“Kasihan, Sha. Biarkan dia fokus kuliah dulu. Nanti Daddy-mu marah gimana kalau Mamat gagal kuliah?” Jelita langsung membawa-bawa nama Melviano yang mampu membuat Shasa diam tak berkutik. Lagipula kalau Jelita rasa Om Melviano juga kurang menyukainya atau emang dasar sikapnya yang dingin. Entahlah.Sudah berteman lama dengan Matheo tapi Jelita suka risih sendiri dengan Melviano. Terasa segan untuk berbincang-bincang.“Sabar ya, Kak. Kak Mamat emang gitu nyebelin. Tapi dia baik kok.”Jelita tersenyum tipis. “Iya, dia baik.”Lagi asik berbincang pun akhirnya terdengar suara ketukan pintu yang membuat kedua gadis remaja itu langsung menoleh secara bersamaan.“Biar aku yang buka,” ujar Shasa yang
Jelita langsung menangis tergugu saat ini. Entah terkena angin apa tiba-tiba Matheo meminta putus. Padahal sewaktu dia meminta putus kemarin, mati-matian Matheo justru menolaknya. Dan kini? Matheo sendiri yang menyerah di saat Jelita mulai menerima pergaulan kekasihnya itu.Hal yang lebih membuat Jelita merasa sakit adalah kata-kata kasar Matheo yang mengatakan jika dirinya ‘jalang’.Bahkan selama mengenal Matheo, baru kali ini dia bisa semarah itu dan berani membentaknya seperti tadi.Tak ingin salah paham pun membuat Jelita segera menelepon balik Matheo untuk menanyakan ucapan dia yang sangat ngaco itu. Entah apa maksudnya menuduh selingkuh seperti tadi.Tut … tut … tut.Merasa tidak diangkat pun membuat Jelita merasa frustasi sendiri. Jelita terus mencoba berkali-kali menelepon Matheo sampai rasanya lelah. Ingin menyerah.Entah kenapa ada rasa enggan dan tidak rela jika hubungannya berakhir dengan tidak baik sepe
Dan pada akhirnya kini Jelita memutuskan untuk periksa di sebuah klinik 24 jam. Prita yang memang teman dekat sejak SMA pun tak segan-segan mengantar. Bahkan ia rela keluar rumah di jam 2 pagi seperti ini demi mendatangi kos-an Jelita yang memang berada di kawasan Kebayoran. Untung saja dekat dengan lokasi rumahnya yang terletak di Gandaria. Kalau jauh juga Prita akan pikir-pikir kembali.Saat selesai diperiksa, ternyata Jelita mengalami gejala typus. Sukurnya masih gejala hingga tidak perlu sampai dirawat segala, namun tetap harus istirahat total di rumah agar cepat sembuh.Sambil menunggu obat, kedua perempuan itu duduk termenung dengan isi pikiran masing-masing. Prita memikirkan cara melabrak Shelka besok di sekolah. Lain hal dengan Jelita yang masih tidak percaya jika hubungan dengan Matheo benar-benar sudah berakhir.“Nona Cahaya Jelita Pramana.”Dengan cepat Prita langsung berdiri dan berjalan menuju ke bagian farmasi untuk mengambil oba
Setelah mengalami perdebatan sengit dengan Bagus minggu lalu, hari ini Jelita mendatangi rumah keluarga Azekiel untuk memberikan kabar jika dirinya akan ikut ke Los Angeles. Apalagi setiap hari Shasa selalu menelepon dan membujuknya terus-terusan yang membuat Jelita merasa tidak enak sendiri.Hubungan dengan Bagus pun sedikit renggang akibat laki-laki itu yang melarang Jelita pulang ke kampung. Jika pun pulang, Bagus ingin ikut. Tapi, Jelita memberikan alasan yang begitu logis. Terlebih mereka belum memiliki ikatan tali pernikahan hingga sikap Bagus dianggap berlebihan oleh Jelita.Ting nong! Ting nong! Ting nong!Ceklek!“Eh Non Lita. Ayo masuk, Non,” sapa Bibi begitu ramah. “Ke sini sendirian aja, Non?”“Iya, Bi.”“Lama enggak pernah ketemu sama Non Lita semenjak Tuan Matheo ke Amerika. Gimana kabarnya?”“Baik kok, Bi. Tante Kaila ada?”“Ada dong. Beliau lagi di teras samping duduk sama Shasa lagi ngobrol. Ke sana saja langsung, Non.”Jelita mengangguk pelan dan berjalan menuju ke t
Saat ini Jelita sudah memutuskan apa yang akan dilakukannya nanti. Sepertinya ia akan memilih berbohong kepada Bagus. Entahlah apa yang dilakukan ini sudah benar atau belum. Yang pasti saat ini logikanya lebih kalah dari perasaan hatinya yang selalu teringat akan kondisi Matheo.“Lo yakin, Ta?” tanya Prita, mencoba menyakinkan.“Entah. Tapi hati gue menginginkan begitu, Prit. Maaf kalau sebagai sahabat gue bikin lo kecewa.” Jelita menatap Prita tidak enak hati karena memilih berbohong dan menerima ajakan dari keluarga Azekiel untuk pergi ke Amerika sana.Prita yang tidak tega melihat Jelita langsung memeluk sahabatnya itu. Bahkan Prita yang anti dipegang-pegang kini mengelus kepala Jelita lembut penuh kasih sayang.“Gapapa kok. Gue sebagai sahabat akan dukung lo apa adanya. Semisal memang ini keputusan yang membuat lo bahagia pasti akan gue dukung.”“Makasih banget.” Jelita kini semakin mengeratkan pelukannya dan menangis di bahu sahabatnya. “Pokoknya lo benar-benar sahabat terbaik gu
Setelah kepergian Melviano dari kos-an miliknya, Jelita merasa bimbang sendiri. Ia bergelut dengan pikirannya yang ruwet dan kusut.Pikirannya teringat akan janji-nya kepada Bagus untuk tidak berinteraksi dengan Bagus. Hingga Jelita merasa stress sendiri saat ini.“Harus gimana?” tanya Jelita kepada dirinya sendiri. “Om Melviano meminta secara langsung dan gue bingung cara menolaknya,” lanjutnya bergumam.Sampai akhirnya Jelita bergegas segera menuju ke dalam kamar kos-an miliknya. Jelita mencari ponsel untuk menghubungi Prita. Mencoba meminta pendapat dari sahabatnya itu.Untungnya sambungan telepon dari Jelita langsung diangkat oleh Prita hingga tidak membutuhkan waktu lama.“Hm, ada apa?”“Gue galau. Gue bingung. Gue keder!” cerocos Jelita to the point.“Galau kenapa, sih?!”“Tadi Om Melviano datang ke kos-an gue, Prit. Dia ngajakin ke Los Angeles liburan semester ini. Gue kudu gimana?” Jelita menggigit bibir bawahnya sendiri karena merasa resah juga stress.“Lah gitu aja lo keder.
Pagi-pagi sekali keluarga Azekiel semuanya sedang kumpul di ruang makan untuk melakukan sarapan bersama. Shasa seperti biasanya. Heboh dengan masalah kehidupan remajanya yang begitu penuh warna.Sedangkan untuk pasangan suami istri itu lebih banyak saling diam. Mendengarkan semua celotehan anak gadisnya.“Kenapa nomor Shasa centang satu doang kirim pesan sama Kak Lita, ya?” celetuk Shasa tiba-tiba membahas Jelita.Baik Melviano dan Kaila sama-sama saling menoleh dan bertatapan. Akan tetapi kedua orang itu memilih tetap diam karena sudah pasti Jelita menghindari keluarga Azekiel karena status hubungan yang dijalani dengan putranya tidak sebaik dulu.Namun melihat putranya yang tampak galau dan selalu membuat masalah di Los Angeles sana membuat sisi hati Melviano tergerak untuk mencoba menuruti keinginan dari putranya. Apalagi Matheo mengancam tidak akan meneruskan kuliah jika keinginannya tidak ditururi.“Kamu kapan mulai ujian semester, Sha?” tanya Melviano, mencoba membuka obrolan so
Mendapat kabar jika putranya di Amerika sana membuat masalah, tentu saja sebagai orangtua membuat Melviano bersikap cepat tanggap. Melviano meminta kepada Mikaila untuk mengurusi semua permasalahan soal putranya itu dengan pihak kampus.“Makanya kamu jangan terlalu kaku jadi orangtua, Mel!” omel Kaila kepada Melviano yang begitu otoriter.“Aku melakukan itu supaya anak kita bisa menjadi mandiri sekaligus memimpin perusahaan sayang.”“Halah! Tapi justru membuat Mamat depresi, ‘kan?” Kaila tidak mau kalah berdebat dengan sang suami. “Lagian nanti juga dia mikir kalau sudah dewasa. Maklumi saja jika dia memang lagi kasmaran. Kayak kamu enggak bucin aja dulu sama aku,” lanjut Kaila, menyindir Melviano dulu-nya.Tentu saja pria paruh baya itu hanya berdeham kecil saja. Lagipula sikap gengsi dari dulu sampai sekarang tidak pernah pudar. Justru semakin tinggi.Sampai akhirnya Melviano mengalah ketika dua perempuan yang sangat disayangi-nya ini bersatu. Kaila dan Mikaila. Kedua-nya sama-sama
Mikaila merasa jika aksi membolos Matheo selama satu minggu ini benar-benar akan berdampak buruk. Pasalnya anak itu sudah mendapat surat peringatan. Jika besok masih dilakukan sudah pasti Matheo akan di D.O dari kampusnya.Merasa pusing dengan masalah yang dilakukan sang keponakan membuat Mikaila memutuskan untuk kembali mengomeli sang kakak melalui email. Bahkan surat panggilan dari kampus pun tidak lupa ikut dikirimkan ke alamat email Melviano.Lagipula salah siapa terlalu keras kepada anak. Alhasil begini jadinya. Bukannya semakin semangat belajar justru semakin amburadul.Drrt! Drrt! Drrt!Mikaila yang mendengar ponsel milik Matheo bergetar langsung mencari benda pipih itu. Tanpa sengaja Mikaila membaca isi pesan chat yang dikirimkan oleh Jessie.Jessie: Bagaimana kalau aku hamil, Matheo? Kau mau bertanggung jawab menikahiku, ‘kan?Satu masalah saja belum selesai. Ini bertambah satu masalah lagi yang membuat kepala Mikaila terasa ingin pecah. Padahal ia bukan orangtua kandungnya m
Terpaksa Jelita semalam berjanji kepada Bagus untuk tidak berkomunikasi lagi dengan keluarga Matheo. Meski sejujurnya di dalam lubuk hati Jelita merasa tidak nyaman dengan permintaan Bagus yang satu ini.Meski bagaimanapun ia ingin menjalin tali silaturahmi dengan Matheo meski sudah tidak menjadi sepasang kekasih lagi. Tapi, nampaknya Bagus mulai merasakan cemburu dan itu hal yang lumrah juga wajar.“Lo kenapa ngelamun aja dari tadi? Kurang jatah semalam, uh?” ledek Prita, menyenggol lengan Jelita yang tampak melamun saja sejak datang ke kampus.“Cih! Apaan, sih.”“Ta, lihat deh itu ayang beb datang ke sini.” Prita kembali menyenggol lengan Jelita—memberitahukan kepada sahabatnya jika Bagus tengah berjalan menuju ke arahnya mereka duduk.Jelita menoleh sekilas dan kembali fokus menatap ke depan sana. Hal ini justru membuat Prita merasa heran juga jengah sendiri.“Lo lagi berantem?” tebak Prita, menduga-duga.“Enggak.”“Terus?”“Gapapa kok.”“Gapapa tapi muka lo galau gitu anjir!”“Gu
Melihat Jelita tampak penasaran membuat Bagus justru terkekeh kecil. Apalagi ekspresinya begitu lucu dan menggemaskan.“Aku cuma mau minta kalau mulai detik ini panggilan kita jangan pakai lo-gue, tapi jadi aku-kamu aja, gimana? Kayaknya lebih enak didengar buat orang yang pacaran seperti kita.”Merasa sudah berpikir kotor membuat Jelita malu sendiri. Padahal ia berpikir jika Bagus akan meminta ciuman atau tidur bersama. Tapi ternyata hanya ingin meminta perubahan panggilan saja.Jelita pun dengan malu-malu menjawab permintaan Bagus sambil mengangguk kecil. Bagus yang melihat respon Jelita seperti itu tentu saja membuat hatinya senang.“Makasih banyak sayang,” ucap Bagus, ingin memeluk Jelita. Sedangkan Jelita yang diingin dipeluk merasa kaget sendiri. “Hehehe, maaf, kelepasan.”Merasa tidak enak karena saking senangnya membuat Bagus tidak bisa mengontrol diri. Laki-laki itu pun menggaruk-garuk kepala bagian belakangnya karena menahan rasa malu.Namun, hal yang tidak pernah diduga sam
Sudah beberapa hari ini Matheo memilih mengurungkan diri di dalam kamarnya. Bahkan laki-laki itu sudah tidak masuk kuliah karena merasa galau melihat serta mendengar sendiri dari mulut Jelita jika perempuan itu sudah berpacaran dengan Bagus.“Apa kau tidak bosan terus-terusan seperti itu?” tanya Mikaila, menatap jengah Matheo yang masih saja terbaring di atas kasur. “Tadi Daddy-mu telepon,” lanjutnya memberitahukan.Matheo sendiri masih tetap diam melamun. Kedua bola matanya tidak bosan-bosan menatap ke atas langit-langit sana.“Katanya dia sudah bertemu dengan Lita-mu itu,” tambah Mikaila, lagi.Sontak hal ini membuat Matheo langsung bereaksi keras. Matheo yang sejak tadi terlentang mendadak bangun duduk menatap ke arah daun pintu kamar.“Daddy menemui Lita?” Matheo mengerutkan kening bingung karena tumben-tumbenan sekali daddy-nya sampai ikut campur urusan kisah asmaranya ini. Apa semua ini bentuk dari rasa peduli daddy karena ia galau terus-terusan seperti ini? Semoga saja daddy me