Afura POV
“Kamu bisa pulang sendiri?” Perkataan suamiku di depan gapura makam anakku itu membuatku sedih. Aku paham dia sangat kecewa padaku, mungkin ini adalah hukuman yang harus aku dapatkan. Kakiku melangkah dengan lemah. Hingga aku bertemu tukang ojek. Memintaknya mengantar ke pondok.
Rintik-rintik hujan turun, membasahi bajuku. “Mbak, kita menepi dulu?”
“Iya Pak.” Aku menepi memakai mantel dan kemudian melanjutkan perjalan. Sampai di depan gerbang, aku melihat mobil suamiku. Saat aku ingin menghampiri suamiku, ingin menjelaskan semua kejadian tadi. Namun, langkahku terhenti saat mataku menangkap seorang wanita cantik berkerudung putih dan bermata biru keluar dari dalam mobil.
-Kejadian setelah di kuburan- Umi Ima yang hendak menemui Abizar dan Afura langsung terdiam saat melihat pria itu menurunkan seorang gadis di sepanjang gerbang. Namun, gadis itu bukan Afura menantunya. Melainkan wanita asing yang mereka tolong kemarin. Dan terlihat Afura turun dari ojek dan mendapati suaminya bersama dengan wanita lain membuat air matanya berkaca-kaca. Bukannya menghampiri suaminya tapi dia malahan membalikkan badan dan pergi. “Apa-apaan ini?” Rasanya dia ingin menampar anaknya tapi niat itu terurungkan karena melihat situasi pondok. Sepanjang malam, Umi Ima benar-benar tidak bisa tidur melihat kejadian berusan. Sampai-sampai Abah R
“Pasti Umi mau bela Afura kan? Atau jangan-jangan dia ngadu ke Umi lagi.” “Cukup Abizar, nggak ada yang ngadu. Tapi Umi yang nggak bisa melihat kalian seperti ini.” “Kalau itu yang Umi omongin, lebih aku pergi.” “Berhenti Abizar, kamu mau menghindari masalah lagi?” “Siapa umi yang menghindari masalah. Afuralah yang membuat masalah ini menjadi seperti ini.”&nbs
Tresha diam-diam memperhatikan Afura yang sedang menyuapi Abizar, membuat dadanya sesak. Walaupun terlihat Abizar mengabaikan Afura, tapi dari sorot mata di mana dia diam-diam mencuri pandang. Memperlihatkan pria itu masih memcintai gadis itu. Tok! “Tresha!” “Boleh aku bicara dengan Afura.” “Iya, silahkan. “Mereka keluar dari kamar Abizar menuju taman yang berada di
Jam dinding berputar sedikit demi sedikit. Memunculkan bunyi sangat keras di tengah kesunyian. Gagang pintu berputar, seorang gadis melangkah sambil menenteng handuk. Matanya mengedar di penjuru arah, mencari sosok pria berambut hitam legam. “Mas Abizar di mana?” Dia khawatir karena pria itu baru keluar dari rumah sakit. “Atau jangan-jangan dia chetingan lagi sama Tresha.” Rasanya sesak membayangkan semua itu terjadi.Afura membuka lemari pakaian dengan wajah lesu. Menghembuskan nafas berat. Memilih baju tidur paling atas. Bajunya yang lumayan terbuka dari biasanya. Setelah selesai berganti pakain, gadis itu berdiri di depan pantulan cermin. Merasa rendah diri akan dirinya sendiri. “Apa aku kurang canti?” Jelas saja kurang cantik melawan gadis blesteran itu.Pintu terbuka, membuat Afura meringsut ke belakang. “Mas!”
Kaki Afura lemah melangkah keluar dari rumah mertuanya. Matanya kabur, rasanya hatinya seperti tercabik-cabik puluhan kali. Rasa sakit itu terasa sangat nyata dan tidak mampu di ungkapkan dengan kata-kata. Dia langsung berlari menuju rumah. Mengemasi beberapa barangnya. Untuk menenangkan diri dari Abizar. Saat tanganya menarik baju, dia tidak sengaja menjatuhkan buku Abizar. Tanganya hendak mengembalikan buku itu ketempatnya. Sebuah foto jatuh, foto Tresha dan Abizar di depan Masjid Yordania. “Hiks…hiks…Ya Allah, apa sesakit ini?” Air matanya seketika luluh sekian kali. Dia lekas memasukkan bajunya ke koper. Dan menariknya keluar di depan pintu ternyata ada Hanina. “Loh, Mau ke mana?”Afura membalikkan badan, menghapus air matanya. “Mau ke rumah Ibu?” 
Hembusan angin malam membuat pria yang duduk di kursi rumah sakit itu kedinginan. Ruangan itu adalah bangunan tanpa tembok yang biasa di lalu pasien menuju Apotik. “Ini!” Gadis blesteran itu menyerahkan segelas kopi. “Biar nggak membeku.” “Makasih!” Abizar menjauh sedikit saat gadis itu hendak duduk di sampingnya. “Semoga Umi nggak papa.” “Makasih doanya Tresha. Tapi kenapa kamu ada disini? Bukannya ada kamu ada jadwal pembelajaran hari ini?”&
Dua anak kecil itu memberi es krim. Betapa senangnya keduanya. Senyum Afura tertarik saat melihat keponakannya loncat-loncat nggak jelas. Senang bercampur gembira. Tiba-tiba terlintas di benaknya jika anaknya dulu masih hidup. Mungkin segemoy keduanya. “Udah, jangan lari-lari nanti jatuh.” “Ayo lari!” ajak Abizar sambil menarik ke dua keponakannya untuk lari. “Eh, kok bisa sih! Jangan lari-lari kok,” teriak Afura sambil mengejar keduanya. Dan tiba-tiba saja Uqik terjatuh. “Kan, jatuh!” Afura duduk. Mensejajarkan tubuhnya dengan keponakannya. Kemudian menepuk-nepuk dengkul Uqik. “Sakit?” “Hiks…hiks.. ecimnya jatuh!” “Yaudah kita beli lagi.” “Adek Lebay, gitu aja nangis.” ucap si paling besar. “Kakak jahat! Hiks…hiks…” “Udah, nggak papa. Kamu beli es krim juga.” “Iya.” “Ayo kita pergi!” ajak Afura. “Makanya, jangan ajak mereka la
“Om! Anty kok di luar!” teriak Akbar di ambang pintu. Sedangkan adiknya sibuk lompat-lompat di atas sofa.Afura langsung menyikut perut Abizar, agar pelukannya terlepas. “Makanya, lepasin!” Membuat pria yang ada di sampingnya meringis kesakitan. “Maafin Anty ya, yuk masuk gosok gigi.” “Akbar mau punding anty!” “Uqi mau es cim.” “Ini udah malam. Sekarang kita tidur dulu! Puding sama es krimnya besok.” “Ih, Anty nggak seru. Biasanya sama Amma boleh.” “Yaudah kalau gitu, sana pergi ke rumah sakit lagi!” “Anty jahat!” Akbar berlari ke dalam kamar bersembunyi di bawah selimut. “Tata nangis?” “Yuk, Uqik gosok gigi dulu ya. Biarin kakak.” “Kenapa Akbar?” “Ngambek!” cetusnya, kemudian menuntun Uqik ke kamar mandi. Menggosok gigi dan mencuci kaki. “Acain ongeng!” “Iya, Ant