Tresha diam-diam memperhatikan Afura yang sedang menyuapi Abizar, membuat dadanya sesak. Walaupun terlihat Abizar mengabaikan Afura, tapi dari sorot mata di mana dia diam-diam mencuri pandang. Memperlihatkan pria itu masih memcintai gadis itu.
Tok!
“Tresha!”
“Boleh aku bicara dengan Afura.”
“Iya, silahkan. “
Mereka keluar dari kamar Abizar menuju taman yang berada di
Jam dinding berputar sedikit demi sedikit. Memunculkan bunyi sangat keras di tengah kesunyian. Gagang pintu berputar, seorang gadis melangkah sambil menenteng handuk. Matanya mengedar di penjuru arah, mencari sosok pria berambut hitam legam. “Mas Abizar di mana?” Dia khawatir karena pria itu baru keluar dari rumah sakit. “Atau jangan-jangan dia chetingan lagi sama Tresha.” Rasanya sesak membayangkan semua itu terjadi.Afura membuka lemari pakaian dengan wajah lesu. Menghembuskan nafas berat. Memilih baju tidur paling atas. Bajunya yang lumayan terbuka dari biasanya. Setelah selesai berganti pakain, gadis itu berdiri di depan pantulan cermin. Merasa rendah diri akan dirinya sendiri. “Apa aku kurang canti?” Jelas saja kurang cantik melawan gadis blesteran itu.Pintu terbuka, membuat Afura meringsut ke belakang. “Mas!”
Kaki Afura lemah melangkah keluar dari rumah mertuanya. Matanya kabur, rasanya hatinya seperti tercabik-cabik puluhan kali. Rasa sakit itu terasa sangat nyata dan tidak mampu di ungkapkan dengan kata-kata. Dia langsung berlari menuju rumah. Mengemasi beberapa barangnya. Untuk menenangkan diri dari Abizar. Saat tanganya menarik baju, dia tidak sengaja menjatuhkan buku Abizar. Tanganya hendak mengembalikan buku itu ketempatnya. Sebuah foto jatuh, foto Tresha dan Abizar di depan Masjid Yordania. “Hiks…hiks…Ya Allah, apa sesakit ini?” Air matanya seketika luluh sekian kali. Dia lekas memasukkan bajunya ke koper. Dan menariknya keluar di depan pintu ternyata ada Hanina. “Loh, Mau ke mana?”Afura membalikkan badan, menghapus air matanya. “Mau ke rumah Ibu?” 
Hembusan angin malam membuat pria yang duduk di kursi rumah sakit itu kedinginan. Ruangan itu adalah bangunan tanpa tembok yang biasa di lalu pasien menuju Apotik. “Ini!” Gadis blesteran itu menyerahkan segelas kopi. “Biar nggak membeku.” “Makasih!” Abizar menjauh sedikit saat gadis itu hendak duduk di sampingnya. “Semoga Umi nggak papa.” “Makasih doanya Tresha. Tapi kenapa kamu ada disini? Bukannya ada kamu ada jadwal pembelajaran hari ini?”&
Dua anak kecil itu memberi es krim. Betapa senangnya keduanya. Senyum Afura tertarik saat melihat keponakannya loncat-loncat nggak jelas. Senang bercampur gembira. Tiba-tiba terlintas di benaknya jika anaknya dulu masih hidup. Mungkin segemoy keduanya. “Udah, jangan lari-lari nanti jatuh.” “Ayo lari!” ajak Abizar sambil menarik ke dua keponakannya untuk lari. “Eh, kok bisa sih! Jangan lari-lari kok,” teriak Afura sambil mengejar keduanya. Dan tiba-tiba saja Uqik terjatuh. “Kan, jatuh!” Afura duduk. Mensejajarkan tubuhnya dengan keponakannya. Kemudian menepuk-nepuk dengkul Uqik. “Sakit?” “Hiks…hiks.. ecimnya jatuh!” “Yaudah kita beli lagi.” “Adek Lebay, gitu aja nangis.” ucap si paling besar. “Kakak jahat! Hiks…hiks…” “Udah, nggak papa. Kamu beli es krim juga.” “Iya.” “Ayo kita pergi!” ajak Afura. “Makanya, jangan ajak mereka la
“Om! Anty kok di luar!” teriak Akbar di ambang pintu. Sedangkan adiknya sibuk lompat-lompat di atas sofa.Afura langsung menyikut perut Abizar, agar pelukannya terlepas. “Makanya, lepasin!” Membuat pria yang ada di sampingnya meringis kesakitan. “Maafin Anty ya, yuk masuk gosok gigi.” “Akbar mau punding anty!” “Uqi mau es cim.” “Ini udah malam. Sekarang kita tidur dulu! Puding sama es krimnya besok.” “Ih, Anty nggak seru. Biasanya sama Amma boleh.” “Yaudah kalau gitu, sana pergi ke rumah sakit lagi!” “Anty jahat!” Akbar berlari ke dalam kamar bersembunyi di bawah selimut. “Tata nangis?” “Yuk, Uqik gosok gigi dulu ya. Biarin kakak.” “Kenapa Akbar?” “Ngambek!” cetusnya, kemudian menuntun Uqik ke kamar mandi. Menggosok gigi dan mencuci kaki. “Acain ongeng!” “Iya, Ant
“Gimana?” “Udah tidur lagi dia!” “Beneran bikin jantungan,” ujar Afura sambil memakai bajunya kembali. “Kita lanjutin lagi ronde ke dua!” “Mas Abizar ni, mesti deh! Aneh-aneh aja. Gara-gara Mas Abizar ngajak di sofakan jadi kayak tadi.” “Mas lupa, kalau ada yang inep di rumah. Kan, biasanya Cuma berdua.” “Dasar!” “Yok lagi!” Abizar mengedipkan matanya. “Hiks…hiks….” Tangis Uqik terdengar dari samping kamar. “Kan, dia kebangun. Mending kita nemenin dulu deh Mas. Dan gentian mandi besar.” Afura melangkah meninggalkan suaminya yang terlihat kecewa. Senyum di bibir Afura terangkat, gemas melihat sikap suaminya yang merajuk. Dia kembali ke kamar, memeluk Uqik yang tidak mau lepas. Sedangkan Abizar terlihat lesu muncul. “Mas Abizar nggak langsung mandi?” “Kan…” “Kan, apa? Nggak ada. Ud
Hubungan rumah tangga Afura dan Abizar seperti pasangan yang saling mencintai satu sama lain. Abizar nggak bisa jauh-jauh dari Afura dan sebaliknya. Hingga suatu sore, terdengar kabar tidak mengenakan dari Tresha. Suaminya datang ke pondok, mengobrak-ngabrik pondok bersama anak buahnya. “Mana istriku!” teriak Leon, pria keturunan china dengan kepala plontos dan perut sedikit buncit. “Leon!” “Kau di sini rupanya! “ Menghampiri Tresha dan menariknya kasar.Afura yang melihatnya panik, langsung menahan tubuh Tresha. “Jangan bawa dia!”
Keluar dari kelas sembilan wajah Afura di tekuk sepanjanh hari. Zahra yang melihatnga dari jauh terheran-heran."Kenapa sih, adek iparku di tekuk wajahnya. Nggak di kasih jatah mbak.""Apaan sih mbak.""Terus kenapa?""Nggak kenapa-kenapa. Mbak Tresha aja yang perasaan." Alasanya. "Oh iya, Akbar sam Uqik di mana?""Paling main sama Mbak-Mbak pondok.""Oalah, jadi ibunya bisa santai ya.""Ya iya dong.""Waduh."Mereka kembali ke rumah Umi Ima, karena beberapa hari kedepan Abizar ijin keluar kota. Jadinya, Afura tinggal di rumah Umi."Cerita dong!" Mbak Zahra lagi- lagi memaksa."Nggak papa Mbak.""Bohong!""Mbak, janji nggak bakal bilang siapa-siapa."Afura terdiam sejenak, sambil menatap mata Mbak Zahra yabg tampak menunggu jawaban dari adik iparnya."Kok, aku ngerasa akhir-akh
“Tresha!” panggil Abizar keras dan menarik istrinya menjauh dari para santri. “Mas Abi!” “Kalian nggak papa?” “Nggak papa Ustadz,” jawabnya judes. “Maafin Istri saya.” Lalu kemudian Abizar membawa istrinya pergi dengan wajah masam. “Mas, aku bisa jelasin. Dia yang bikin aku kayak gini. Masak aku di katain pelakor.” “Aku paham, tapi tolong jaga sikapmu di pondok. Ini pondok loh!” “Iya-iya Mas.”Berita tentang pertengkaran santri dan istri ustadz menjadi heboh. Membuat semua santri menjadikan topic hangat. Karena ada scandal itu, membuat para santri membenci Abizar dan juga Tresha. Dan mereka menyayangkan Afura pergi.**** Hari itu Abizar bersiap-siap berangkat ke Madura karena ada saudara di sana yang menikah. Dan keluarga besar Abah di undang. Abizar menghelai nafas panjang saat membuka tudung saji. Hanya ada roti dan selai c
Pagi itu Afura pergi periksa kandungan bersama ibunya. Di pertengahan jalan, becak yang di tumpanginya bocor. Membuatnya menunggu lebih dari 20 menit di pinggir jalan. Cuaca hari itu sungguh panas menyengat. “Kamu nggak Papa Nduk, atau mau ibu telefonkan kakakmu.” “Udah Bu, nggak papa. Kalau nelefon kakak kasihan ganggu dia kerja.” “Tapi kamu…” “Udah Bu, aku nggak papa.”Tiba-tiba sebuah mobil menepi di dekat Afura. Membuat dahi ibu dan Afura menyeringat karena heran.Seorang pria keluar dari mobil. “Assalamualaikum Ibu!” Salman menyalimi Ibu Delisa.&n
“Sayang!” panggil Abizar yang langsung melepaskan tangan Tresha yang merangkulnya. “Akhirnya kamu pulang.” Dengan kaki agak pincang Abizar hendak memeluk kembali istri tercintanya itu.Afura langsung menepis tangan sang suami. Terlihat gerut kekecewaan tergambar di wajar pria itu. “Maaf Mas, ke sini aku hanya ingin mengambil barang-barangku.” “Apa kamu mau meninggalkanku lagi?” “Seperti, kamu sudah nggak butuh aku lagi.” Afura melirik Tresha, menandakan bahwa tugasnya sebagai seorang istri sudah di gantikannya. “Tapi Sayang…” “Secepatnya kita urus surat perceraiannya Mas.” Satu ucapan menyakitkan meluncur di mulut mungilnya. “Sampai kapanpun aku tidak akan menceraikanmu.”Afura mendekat menarik sedikit kerah baju suaminya. “Jangan egois Mas, kamu harus memilih di antara aku atau dia. Jika kamu nggak mau milih, lebih baik aku ngalah saja Mas.”Bruk!Afura menutup pintu keras, air mata tiba-
Bu Delisa duduk di pinggir ranjang dengan tangan bergetar. Sambil memegang benda pipih itu. Benda yang membuatnya takut. “Ibu kenapa?” tanya Afura yang langsung bersimpuh ke ibunya.Tanpa kata, Bu Delisa menodongkan test bergaris dua. “Apa ini?” Afura hanya menunduk tanpa bisa berkata apa-apa. Mulutnya benar-benar kelu. “Bagaimana kamu bisa menceraikan lelaki itu. Jika kamu masih hamil?” “Bu, sebenarnya aku masih bingung apa yang harus kupilih.” &l
“Assalamualaikum! Aku Cuma pulang bentar ngambil dompet.” Bondan masuk ke dalam rumah bergegas kekamar, mengambil dompet. Samar-samar dia mendengar suara isak tangis di kamar adiknya. Dia melangkah kearah sumber suara. “Ada apa?” Mata Bondan terbelalak melihat adik dan ibunya menangis sambil berpelukan. “Jawab Bu, ada apa ini?” tanya Bondan sekian kali sambil menggoyangkan tubuh ibunya. Dia khawatir dengan ibu dan adiknya. “Gu..z ma..” “Yang jelas Bu.”&nbs
Flash back 5 bulan laluMelihat kedekatan Afura dan Abizar yang semakin lengkat membuatnya kesal. Dia berusaha untuk memanipulasi Afura tapi gagal. Beberapa cara dia kerahkan seperti membuat makanan untuk Abizar tapi semuanya gagal. “Semua ini karena ada Zahra di rumah itu. Tapi lihat saja, Zahra bahkan tidak akan bisa melawanku,” batinnya. Dia mencoba sabar di perlakukan Zahra semena-mena. Melihat kemesraan Abizar dan Afura yang semakin menjadi-jadi. “Sial, kenapa mereka sulit banget di pisahin sih!” Hingga suatu hari saat dia pulang
“Sudah aku bilang, jangan keluar-keluar kalau nggak sama Mbak Zahra atau anak pondok.” Abizar meletakkan istri di pinggir ranjang. Pelan-pelan mengangkat kaki istrinya di atas kasur dan mensejajarkan kakinya dengan lurus di atas kasur. “Kan, aku ada urusan mendadak. “ “Kamu bisa telefon Mas, kalau ada urusan mendadak. Insya’Allah, kalau bisa Mas langsung pulang.” “Aku nggak mau ngerepotin Mas Abi kalau sibuk.” “Aku suamimu, dan rela di re
Keluar dari kelas sembilan wajah Afura di tekuk sepanjanh hari. Zahra yang melihatnga dari jauh terheran-heran."Kenapa sih, adek iparku di tekuk wajahnya. Nggak di kasih jatah mbak.""Apaan sih mbak.""Terus kenapa?""Nggak kenapa-kenapa. Mbak Tresha aja yang perasaan." Alasanya. "Oh iya, Akbar sam Uqik di mana?""Paling main sama Mbak-Mbak pondok.""Oalah, jadi ibunya bisa santai ya.""Ya iya dong.""Waduh."Mereka kembali ke rumah Umi Ima, karena beberapa hari kedepan Abizar ijin keluar kota. Jadinya, Afura tinggal di rumah Umi."Cerita dong!" Mbak Zahra lagi- lagi memaksa."Nggak papa Mbak.""Bohong!""Mbak, janji nggak bakal bilang siapa-siapa."Afura terdiam sejenak, sambil menatap mata Mbak Zahra yabg tampak menunggu jawaban dari adik iparnya."Kok, aku ngerasa akhir-akh
Hubungan rumah tangga Afura dan Abizar seperti pasangan yang saling mencintai satu sama lain. Abizar nggak bisa jauh-jauh dari Afura dan sebaliknya. Hingga suatu sore, terdengar kabar tidak mengenakan dari Tresha. Suaminya datang ke pondok, mengobrak-ngabrik pondok bersama anak buahnya. “Mana istriku!” teriak Leon, pria keturunan china dengan kepala plontos dan perut sedikit buncit. “Leon!” “Kau di sini rupanya! “ Menghampiri Tresha dan menariknya kasar.Afura yang melihatnya panik, langsung menahan tubuh Tresha. “Jangan bawa dia!”