Semilir angin menerbangkan gamis dan kerudung Afura pelan. Diiringi langkahnya yang pelan menuju rumah Umi Ima.
“Assalamualaikum Umi!” berulang kali gadis itu mengetuk pintu tapi tidak ada jawaban. Samar-samar dia mendengar suara tawa dari dalam. Segera, Afura melangkahkan kaki menuju samping rumah. Mengintip kaca berwarna hitam itu. Terlihat Umi Ima sedang membuat sesuatu dengan Tresha.
“Umi nggak jawab karena berdua dengan Tresha.” Dia pun lekas masuk ke dalam. “Umi! Aku panggil-panggil nggak jawab.”
“Umi lagi sibuk bikin pizza sama Tresha,” cetus Um
Buk! Dahi Afura menyium ujung ranjang, membuatnya terbangun dalam mimpi. Dia lagsung memegang dadanya. “Ternyata Cuma mimpi.” “Assalamualaikum!” Mendengar suara salam Abizar dari luar. Membuatnya langsung loncat dari kasu. Pria itu sudah berdiri di depan pintu melepas kopyahnya. “Walaikumsallam.” Afura menadahkan tangan, hendak mencium punggung tangan suaminya. Namun, sebelum bibir Afura menyentuh punggung tangan suaminya. Pria itu langsung menariknya. “Aku tau Mas marah sama aku. Tapi kenapa harus berdua dengan Tresha.” 
Afura POV “Kamu bisa pulang sendiri?” Perkataan suamiku di depan gapura makam anakku itu membuatku sedih. Aku paham dia sangat kecewa padaku, mungkin ini adalah hukuman yang harus aku dapatkan. Kakiku melangkah dengan lemah. Hingga aku bertemu tukang ojek. Memintaknya mengantar ke pondok. Rintik-rintik hujan turun, membasahi bajuku. “Mbak, kita menepi dulu?” “Iya Pak.” Aku menepi memakai mantel dan kemudian melanjutkan perjalan. Sampai di depan gerbang, aku melihat mobil suamiku. Saat aku ingin menghampiri suamiku, ingin menjelaskan semua kejadian tadi. Namun, langkahku terhenti saat mataku menangkap seorang wanita cantik berkerudung putih dan bermata biru keluar dari dalam mobil.
-Kejadian setelah di kuburan- Umi Ima yang hendak menemui Abizar dan Afura langsung terdiam saat melihat pria itu menurunkan seorang gadis di sepanjang gerbang. Namun, gadis itu bukan Afura menantunya. Melainkan wanita asing yang mereka tolong kemarin. Dan terlihat Afura turun dari ojek dan mendapati suaminya bersama dengan wanita lain membuat air matanya berkaca-kaca. Bukannya menghampiri suaminya tapi dia malahan membalikkan badan dan pergi. “Apa-apaan ini?” Rasanya dia ingin menampar anaknya tapi niat itu terurungkan karena melihat situasi pondok. Sepanjang malam, Umi Ima benar-benar tidak bisa tidur melihat kejadian berusan. Sampai-sampai Abah R
“Pasti Umi mau bela Afura kan? Atau jangan-jangan dia ngadu ke Umi lagi.” “Cukup Abizar, nggak ada yang ngadu. Tapi Umi yang nggak bisa melihat kalian seperti ini.” “Kalau itu yang Umi omongin, lebih aku pergi.” “Berhenti Abizar, kamu mau menghindari masalah lagi?” “Siapa umi yang menghindari masalah. Afuralah yang membuat masalah ini menjadi seperti ini.”&nbs
Tresha diam-diam memperhatikan Afura yang sedang menyuapi Abizar, membuat dadanya sesak. Walaupun terlihat Abizar mengabaikan Afura, tapi dari sorot mata di mana dia diam-diam mencuri pandang. Memperlihatkan pria itu masih memcintai gadis itu. Tok! “Tresha!” “Boleh aku bicara dengan Afura.” “Iya, silahkan. “Mereka keluar dari kamar Abizar menuju taman yang berada di
Jam dinding berputar sedikit demi sedikit. Memunculkan bunyi sangat keras di tengah kesunyian. Gagang pintu berputar, seorang gadis melangkah sambil menenteng handuk. Matanya mengedar di penjuru arah, mencari sosok pria berambut hitam legam. “Mas Abizar di mana?” Dia khawatir karena pria itu baru keluar dari rumah sakit. “Atau jangan-jangan dia chetingan lagi sama Tresha.” Rasanya sesak membayangkan semua itu terjadi.Afura membuka lemari pakaian dengan wajah lesu. Menghembuskan nafas berat. Memilih baju tidur paling atas. Bajunya yang lumayan terbuka dari biasanya. Setelah selesai berganti pakain, gadis itu berdiri di depan pantulan cermin. Merasa rendah diri akan dirinya sendiri. “Apa aku kurang canti?” Jelas saja kurang cantik melawan gadis blesteran itu.Pintu terbuka, membuat Afura meringsut ke belakang. “Mas!”
Kaki Afura lemah melangkah keluar dari rumah mertuanya. Matanya kabur, rasanya hatinya seperti tercabik-cabik puluhan kali. Rasa sakit itu terasa sangat nyata dan tidak mampu di ungkapkan dengan kata-kata. Dia langsung berlari menuju rumah. Mengemasi beberapa barangnya. Untuk menenangkan diri dari Abizar. Saat tanganya menarik baju, dia tidak sengaja menjatuhkan buku Abizar. Tanganya hendak mengembalikan buku itu ketempatnya. Sebuah foto jatuh, foto Tresha dan Abizar di depan Masjid Yordania. “Hiks…hiks…Ya Allah, apa sesakit ini?” Air matanya seketika luluh sekian kali. Dia lekas memasukkan bajunya ke koper. Dan menariknya keluar di depan pintu ternyata ada Hanina. “Loh, Mau ke mana?”Afura membalikkan badan, menghapus air matanya. “Mau ke rumah Ibu?” 
Hembusan angin malam membuat pria yang duduk di kursi rumah sakit itu kedinginan. Ruangan itu adalah bangunan tanpa tembok yang biasa di lalu pasien menuju Apotik. “Ini!” Gadis blesteran itu menyerahkan segelas kopi. “Biar nggak membeku.” “Makasih!” Abizar menjauh sedikit saat gadis itu hendak duduk di sampingnya. “Semoga Umi nggak papa.” “Makasih doanya Tresha. Tapi kenapa kamu ada disini? Bukannya ada kamu ada jadwal pembelajaran hari ini?”&