Selesai menikmati keintiman itu, seperti biasa mereka mandi bersama lalu memesan makanan karena merasa sangat lapar. Sambil menunggu pesanan makanan mereka, Amanda menceritakan progres pengerjaan skripsinya. Dia membanggakan dirinya karena tidak terlalu ada kesulitan yang berarti. Dosen pembimbingnya sangat ramah dan langsung memberinya arahan langsung dalam merevisi kesalahannya.“Baguslah kalau tidak ada kendala,” ucap Wisnu membelai rambut kepala istrinya yang sedang rebahan di pangkuannya. Dia senang melihatnya bangga akan pencapaiannya. Meski sejujurnya Wisnu ada dibelakang semua itu.“Besok aku masih butuh beberapa data tambahan dari rumah sakit.”“Ke rumah sakit kita saja, besok aku antar.”“Tidak perlu, Mas. Aku sama Nola saja, Mas Wisnu belakangan ini kan sibuk!”Wisnu jadi teringat tentang Nola. Sampai saat ini Tito belum melaporkan sesuatu padanya. Dia jadi merasa cemas lagi dan geram pada pelaku penganiaayaan Nola. Jika sampai dia tahu sang pelaku dan motifnya ternyata ing
Purwa mengajak Moana berjalan-jalan sejenak di rumah sakit keluarga Dinata sebelum memulai pemeriksaan rutinnya. Dia juga memperkenalkan istrinya itu kepada beberapa jajaran pejabat di rumah sakit. Semua orang yang mengenal Purwa sangat kagum dengan kesetiaan pria itu pada mantan istrinya dulu hingga memutuskan tidak menikah lagi. Setelah mendengar Purwa akhirnya melepas kesendirian selama puluhan tahun dengan menikah lagi, mereka semua ikut bahagia. Mereka tidak tahu saja, bahwa Purwa menikahi wanita yang sama. “Kau ingat? Dulunya ini adalah balai pengobatan biasa yang sering kau datangi bersama Ibu untuk memberikan santunan pada para pasien tidak mampu.” Purwa mengingatkan. “Iya, aku ingat. Kami sering datang ke tempat ini karena Ibu prihatin dengan kondisi masyarakat sekitar kala itu yang tidak menjaga kesehatan dengan baik di tengah wabah muntaber” Kenang Moana. Mertuanya dulu adalah seorang dokter, tapi karena dinikahi Ayah mertuanya yang merupakan seorang pengusaha kaya raya
Gadis itu terisak mencoba melepaskan tali yang mengikat kuat di kaki dan tangannya. Gerakannya terlihat begitu frustasi karena sejak semalaman dia tidak bisa melepaskan diri. Berharap para penculik itu sedikit lengah hingga dia bisa diam-diam berusaha melepaskan diri. Dia mencoba menggeser duduknya menghampiri meja kaca di sampingnya. Menggesek-gesekan tali itu, meski sangat lama tapi dengan penuh kesabaran akhirnya simpul tali di tangannya pun terlepas. Sekarang tinggal kakinya. Dengan penuh hati-hati dia mencoba menguraikan tali yang terlilit kuat. Sembari melakukan itu, pandangannya tetap awas ke arah pintu. Jangan-jangan penculik itu tiba-tiba masuk dan justru mengikatnya lebih kencang lagi jika mengetahuinya mencoba melarikan diri. Prang! Bunyi sesuatu terjatuh. Membuat jantungnya berdegup kencang dan berharap tidak ada pergerakan dari luar pintu itu. Namun salah! Pintu itu langsung terbuka dan seorang pria tinggi besar menatapnya dengan penuh murka. “Kau masih mencoba melari
‘Pria ini terkadang sangat menyebalkan dan tidak punya perasaan!’Begitu yang dikatakan Amanda tapi hanya cukup dalam hatinya saja sambil sesaat melirik Wisnu sebal ketika sudah di dalam mobil.“Kau pasti menggerutu dalam hatimu!” ujar Wisnu tanpa melirik Amanda.“Ya!” tukas Amanda dingin.“Aku memang tidak bisa menemukan temanmu itu, apa aku salah mengatakannya?”“Mas Wisnu kan bisa minta Tito atau orang lain membantu mencari tahu keberadaan Naira!”“Oh, ide yang bagus! Aku akan minta tolong mereka mencari tahu keberadaan temanmu itu.”Amanda mendengus lemah dan memutar bola matanya. Pria ini suka sekali membuatnya kesal dengan sok-sokan pura-pura bodoh.“Sekarang kemarikan ponselmu!” Wisnu mengulurkan tangan meminta ponsel Amanda.“Kenapa?”“Semakin kau memperlambat semakin lama aku meminta tolong Tito”“Oh, i-ini!” Amanda segera merogoh tasnya dan menunjukan ponsel itu pada Wisnu.“Bagus! Ponselmu tidak aktif dan kau bahkan tidak menyadarinya” Wisnu melihat ponsel Amanda yang mati.
Di meja makan itu semua makan dengan sangat kaku dan sunyi. Hanya terdengar suara sendok bertalu dengan piring. Mata sang tuan besar menatap tajam ke arah anak bungsunya yang selalu membuat kepalanya tak berhenti pusing. Sementara sang nyonya hanya menatap mereka dengan tegang.Sepertinya tak sabar menanti waktu makan malam berakhir, sang tuan besar langsung mengambil start membuka suara.“Kalau aku tahu semua ini berawal dari sikap bodohmu itu, sudah aku tendang kau ke Makasar. Tinggal sama nenekmu di sana!”“Maksud Papa apa? kenapa menyalahkan Ardi!” Sang Nyonya menyahut.“Tanya sama anakmu, apa yang sudah dia lakukan di apartemen Annete!”“Apa yang kau lakukan pada Annete, Ardi?”“Bukan Annete, Lilian. Tapi wanita lain! Dia membawa wanita itu ke apartemen Annete dan hampir melecehkannya di sana”“Asataga! Kau tidak tahu malu, membawa wanita lain ke apartemen tunanganmu dan hampir melecehkannya? Pria macam apa kamu!” Lilian ikut emosi.Bramastya melihat reaksi putranya itu yang terl
Boy merebut keripik kentang dari tangan Pram. Pria itu hanya menyeringai saat melihat temannya menatap tidak suka karena kripik kentangnya direbut.“Aku ini ketua, kau hanya anak buah!” ucap Boy menyemil kripik kentangnya.“Siapa yang mengangkatmu jadi ketua?”“Kan aku yang mengajakmu, jadi kau adalah anak buahku.”“Alaah, emangnya kita dibayar berapa? Sejak kemarin kripik kentang saja buat rebutan! Pelit amat bos-nya!”“Bos kita itu juga punya bos. Ya sudahlah, kalau kita tidak dibayar besar, setidaknya kita bisa memanfaatkan keadaan.” Boy sedikit mengecilkan suaranya takut ada orang yang mendengar.“Apa rencananmu?”“Wanita itu kan suaminya kaya, kalau bos kita itu pelit, kita minta tebusan saja pada suaminya, setelah itu terserah gimana selanjutnya!”Pram dan Boy saling menatap dan tertawa terbahak-bahak.“Tolong! Lepasin aku! Aku mau pipis… “ teriakan Naira membuat mereka mendengus kesal.“Iya, sebentar! Emang cewek dikit-dikit pipis ya? merepotkan saja!”Naira dilepaskan ikatanny
Amanda tahu pasti pembicaraan mereka terkait dengan misi pencarian Naira. Pasalnya Wisnu sendirilah tadi yang menelpon Mama Naira tentang kabar putrinya. Dia mengatakan sudah menemukan Naira dan akan berusaha membuatnya pulang. Membuat Vina tentu merasa lega dan berharap banyak dari suami teman putrinya itu.Karena itu, saat Wisnu menerima telpon dari Abim, dia diam-diam ingin tahu kabar Naira. Meski suara Abim tentu tidak bisa terdengar di telinganya, setidaknya kata-kata Wisnu bisa membuatnya menerka-nerka apa yang terjadi.“Apa? Kau sudah menghubunginya balik?” terdengar suara Wisnu sedikit terkejut.“…”“Ya sudah, biar Tito lacak lagi, kita tetap ke rencana awal. Kalau mereka salah culik dan mengira wanita itu Amanda, bisa jadi mereka tidak tahu kalau kau sebenarnya bukan aku!”‘APA?! JADI---’ Amanda melihat Wisnu berbalik dan dia cepat-cepat kembali ke tempat tidur sambil berlagak membereskan sesuatu. “Minum dulu, Sayang!” tukas Amanda mengingatkan Wisnu.“Ya, terima kasih.”Ama
“Hallo, Amanda?” sapa Ardi yang terlihat sangat sumringah melihat Amanda di depan matanya. “ARDI?!” tentu Amanda terkejut. Jadi Ardi adalah dalang penculikan Naira? Tapi bagaimana mungkin dia salah tangkap? “Hei, jangan tegang begitu. Aku hanya ingin bertemu dan bicara padamu saja! Aku janji aku tidak akan menyakitimu.” “Mau bicara apa?” “Ada banyak hal, masuklah!” “T-tapi! Bagaimana dengan temanku? Mengapa kau bisa salah culik dia?” Amanda tergesa bertanya tentang Naira. “Anak buahku memang otaknya seperti udang. Ya, pada akhirnya kau datang juga kan?” Ardi mempersilahkan Amanda masuk dan dia melihat Naira dalam keadaan baik-baik saja. Melihat hal itu, Amanda jadi merasa lega. “Naira?!” panggil Amanda lalu menghampiri Naira dan hendak memeluknya. Naira bangkit dan menatap Ardi seolah mengingatkan janjinya. “Baiklah, Nona Naira, supirku segera mengantarmu pulang!” “B-baik, te-terima kasih!” Naira tidak memperdulikan kehadiran Amanda di sana. Dia merasa bahwa Amandalah penye