Annisa banyak salah dan dosa pada Amanda. Anak itu sejak pertama sudah dibuat tidak menyukainya. Sekarang apa dia bisa begitu saja memaafkannya dan membiarkan papanya menyetujui hubungan mereka? Pundaknya mulai turun dan dia merasa tidak mungkin Amanda rela membiarkan Dirja menikah dengannya. Dia kembali melihat sosok Dirja yang masih dengan sabar mendengarkan kata-kata putrinya. Jikapun pria itu diminta memilih dia atau putrinya, sudah bisa dipastikan Dirja akan memilih putrinya daripada Annisa. Karma itu memang ada. Dulu dia sangat membenci Amanda dan selalu berusaha membuatnya terluka. Sekarang, di saat dirinya sudah sangat yakin bahwa hanya pria yang baik dan penuh perhatian itulah yang bisa menerima semua kekurangannya dan sanggup menjadi imamnya dalam mengarungi kehidupan barunya, dia harus juga dibenci oleh Amanda. “Ya sudahlah, mungkin ini hukmuna dari tuhan untukmu, Annisa!” gumam Annisa pada dirinya sendiri sambil mengusap air mata di sudut matanya. “Kalau Papa memang men
“Ada apa, Amanda?” Teriakan dari dalam kamar membuat temannya yang sedang sikat gigi panik. Terlebih, Amanda sekarang sudah tertunduk lemas di lantai dan menangis seperti anak kecil."Liontin mamaku hilang," ucap Amanda sambil menatap laci mejanya nanar. Tadi, laci itu terbuka begitu saja--bersamaan dengan kotak perhiasaan yang lenyap."Diingat-ingat lagi, barangkali saja kamu lupa naruh,” ujar Lesti belepotan. “Mana ada? Aku selalu simpan di laci. Kuncinya pun masih…” Amanda bahkan tidak melihat kunci lacinya di meja. “Ceroboh sih kamu!” gerutu Lesti meninggalkan teman kontrakannya itu kembali ke kamar mandi. Amanda mencoba membongkar-bongkar benda yang ada di mejanya. Menggeledah tas kuliahnya sampai kolong meja. Benda itu benar-benar tidak terlihat. Dia lemas dan meruntuki kecerobohannya karena sudah menghilangkan kalung liontin milik mamanya. Itu bukan kalung sembarangan. Itu kalung warisan keluarganya dulu. Mamanya pasti akan marah besar karena Amanda menghilangkannya. “Tad
"Aku bercanda. Sebenarnya, aku memberimu waktu sampai besok untuk revisi. Jika kau belum merampungkannya, mohon maaf nona Amanda yang cantik, Anda harus di-diskualifikasi.""Ck!" decak Amanda malas terbayang kata-kata dosennya yang sempat melontarkan lelucon tidak lucu tadi siang.Karena ancaman dosen itu juga, semalaman Amanda mengutak-atik laptop untuk merevisi proposal penelitiannya. Besok dosen killer itu pasti akan marah marah lagi kalau sampai proposal Amanda belum selesai juga. Menyesal dia memilih jurusan gizi.Belum lagi, masalah liontin ibunya ...."Sudah istirahat sana, nanti malah kesiangan lho bangunnya," nasehat Lesty karena sudah hampir jam 12 malam Amanda belum selesai juga sibuk di depan laptopnya."Iya, dikiiit lagi," ujar Amanda tersenyum lega karena tinggal daftar pustaka yang harus diketik.Drrstt!Tiba-tiba Listrik rumah padam.Amanda belum menyimpan dokumennya. Buru-buru, dia ingin menyimpannya. Sayang, kakinya tak sengaja tersandung kabel charge hingga laptop
Amanda melihat dirinya yang menyedihkan karena tumpahan minuman itu. Kemudian berpikir setidaknya seragam ini bisa menggantikan bajunya yang basah.Ahirnya dia membuatkan juga dua cangkir kopi, lalu mengantarkan kopi itu ke ruang meeting. Dengan sedikit bertanya, ketemu juga ruang yang dimaksud. "Permisi?" Amanda masuk setelah mengetuk pintu.Ada dua pria disana. Amanda bingung harus bagaimana? Diletakan di mana kopinya? Tentu dia juga tidak berani bertanya mengusik keseriusan kedua pria itu. Melihat tampang dingin mereka saja Amanda sudah takut."Maaf Pak, kopinya."Amanda memberanikan diri menyuguhkan kopi itu di depan mereka.Saat tangan lentik dan berkutek indah itu terulur menyuguhkan kopi, kedua pria itu tampak teralihkan dan spontan menatap secara bersamaan pada pemilik tangan itu. Amanda tegang tak bergerak mendapat tatapan kedua pria yang tampan itu.Oh! bukankah salah satu dari pria itu pernah berpapasan dengannya di rumah sakit Dinata waktu itu?!“Permisi Pak," cepat-cepa
Amanda menatap Lesti seolah memikirkan sesuatu. Setelah menimbang-nimbang, ia pun memutuskan untuk ikut bekerja saja bersama Lesti."Tolong bantu aku biar jadi OG beneran di sini. Aku lagi miskin karena tabuganku kupakai DP dan sekarang sedang tidak punya kerjaan, kuliahku di skorsing dan--papa sepertinya berhenti kerja."Amanda menjabarkan semua penderitaannya yang bertubi-tubi itu agar Lesti tak menolak permintaannya.Lesti jadi terperangah dengan masalah masalah Amanda dan tak bisa berkomentar apapun."Baiklah, aku coba minta tolong Dion. Tapi kamu yakin mau kerja begini? Berat lho, kamu kan gak pernah kerja berat. Belum lagi kalau Tante Moana atau Om Dirja tahu, mereka pasti marah!""Jangan sembarangan kamu Les. Kamu pikir aku ini putri raja yang gak pernah kerjain hal begini doang? Masalah mama dan papa yang penting kamu gak laporan mereka gak bakal tahu kok!""Jadi model saja lah kamu, enak kan sekali potret bisa puluhan juta," saran Lesti karena tidak yakin temannya itu bisa ke
Amanda bernapas lega sambil meregangkan jemarinya setelah menyelesaikan pekerjaan. Dia buru- buru mengambil sweternya dan bersiap hendak pulang. Lesti ada tugas antar barang tadi dan dipastikan tidak balik karena sudah jam pulang. Jadinya Amanda pulang sendirian."Amanda, kau bisa bantu ambil alih kerjaan Pak Mail?" Adoria kepala OB itu menghampiri Amanda."Aduh Bu, ini sudah mau pulang. Memangnya Pak Mail kenapa?""Dia dibawa ke UGD tadi karena tiba-tiba pingsan. Pekerjaannya belum selesai, kamu tolong selesaikan sebentar ya?""Oh, baik Bu!" tukas Amanda meletakkan kembali tas dan sweternya lalu bergegas menyelesaikan pekerjaan Pak Mail, OB senior yang masih gigih bekerja karena memang masih banyak yang harus ditanggungnya.Amanda mengambil alat vacuum cleaner yang masih tergeletak di lantai itu. Pegawai kantor sudah mulai satu persatu pulang. Dan Amanda bingung dengan alat sedot debu yang jelas berbeda dengan yang biasa dia pakai. Bilang saja tidak pernah. Karena memang Amanda jaran
Adoria memanggil Amanda karena Purwa ingin mengobrol dengannya. Sebagai Kepala OB tentu saja Adoria melaksanakan perintah bosnya, membebaskan sementara Amanda tidak melakukan pekerjaan.“Lihat tuh, si OG baru. Wajahnya saja terlihat polos, tapi ganjen juga sama pria tua!” terdengar bisik-bisik rekannya saat Amanda berjalan keluar hendak menemui Purwa.“Gak penting tua atau muda, yang penting kan cuan,” sahut yang lainnya.Miris Amanda mendengarnya. Tapi dia berusaha tidak memperdulikannya. Yang paling penting adalah, dia bukan seperti itu.Amanda tahu dari Lesti bahwa pria yang ditolognya beberapa hari yang lalu itu adalah Apurwa Dinata, pemilik perusahaan Dinata Group yang sudah diambil alih jabatannya oleh Wisnu semenjak dia sakit. Purwa sangat suka mengobrol dengan Amanda karena gadis itu selalu apa adanya tidak seperti yang lain terkesan berhati-hati dan takut salah. "Ini sudah masuk jam istirahat, apa kau sudah makan?" tanya Purwa pada Amanda disela ngobrol mereka.Purwa kemudia
Amanda keluar dari kantin dan menghempaskan napasnya dengan lega setelah tadi dia hanya bernapas setengah-setengah. Dia meruntuki dirinya sendiri kenapa juga harus jadi grogi pada Wisnu. Tidak bisa dibiarkan, dia harus memformat ulang perasaannya. Lagipula yang semalam itu Wisnu membantunya karena merasa kasihan padanya, bukan karena hal lain. Kok dianya malah jadi baper begini?Mungkin ini karmanya karena suka menganggap perempuan-perempuan yang ke-GR-an pada Wisnu itu konyol semua."Tidak Amanda, fokus untuk liontin itu. Lagian kamu cuma OG, gak selevel dengan dirinya," gumam Amanda sambil kembali ke pantry."Wow, hebat ya kamu. Anak baru tapi sudah bisa dekat sama Pak Purwa dan Pak Wisnu!" sindir seorang pegawai HRD yang berpapasan dengannya dengan tatapan sinis.Amanda maunya tidak pedulikan ucapan itu, tapi hatinya tak terima dengan sikap mereka. Sementara beberapa rekan OG nya yang lain tampak menghindarinya dan berisik-bisik dibelakangnya."Udah biarin saja, gak perlu pikirin m
Annisa banyak salah dan dosa pada Amanda. Anak itu sejak pertama sudah dibuat tidak menyukainya. Sekarang apa dia bisa begitu saja memaafkannya dan membiarkan papanya menyetujui hubungan mereka? Pundaknya mulai turun dan dia merasa tidak mungkin Amanda rela membiarkan Dirja menikah dengannya. Dia kembali melihat sosok Dirja yang masih dengan sabar mendengarkan kata-kata putrinya. Jikapun pria itu diminta memilih dia atau putrinya, sudah bisa dipastikan Dirja akan memilih putrinya daripada Annisa. Karma itu memang ada. Dulu dia sangat membenci Amanda dan selalu berusaha membuatnya terluka. Sekarang, di saat dirinya sudah sangat yakin bahwa hanya pria yang baik dan penuh perhatian itulah yang bisa menerima semua kekurangannya dan sanggup menjadi imamnya dalam mengarungi kehidupan barunya, dia harus juga dibenci oleh Amanda. “Ya sudahlah, mungkin ini hukmuna dari tuhan untukmu, Annisa!” gumam Annisa pada dirinya sendiri sambil mengusap air mata di sudut matanya. “Kalau Papa memang men
Amanda tidak bisa memejamkan matanya mengingat apa yang sudah di sampaikan Wisnu padanya tadi sore. Dia ingin menelpon mamanya, namun sudah larut malam waktu Milan. Artinya di Jakarta saat ini menjelang subuh. Tentu dia harus bersabar menunggu pagi agar bisa menghubungi mamanya.Keresahan Amanda tentu bisa dirasakan Wisnu karena beberapa kali harus mengganti posisi tidurnya. “Kau tidak bisa tidur?” tanyanya.“Oh, Maaf! Aku pasti mengganggu tidur, Mas Wisnu” ucap Amanda sedih.“Mana yang tidak nyaman, biar aku usap.” Wisnu memeriksa Amanda. Lalu dengan lembut dia mengusap punggung Amanda agar membuatnya lebih nyaman. “Katanya besok mau belanja di Galerria, tapi selarut ini kau belum tidur juga?”“Aku terus kepikiran papa, Mas!”“Kenapa?”Amanda tidak menyahut, Wisnu pasti juga tahu apa yang sedang dipikirkannya. Kemudian Wisnu mendekatkan tubuhnya dan memeluk Amanda. “Ya sudah jangan dipikirkan dulu, nanti malah bikin kamu stress. Gak bagus kan buat perkembangan baby kita!”“Papa itu s
Dirja sebenarnya juga akan memberikan kejutan pada putri dan menantunya itu tentang rencana mengakhiri masa sendirinya. Tapi dia juga dibuat kecewa lantaran Wisnu dan Amanda tidak di rumah.Dia sudah memikirkan betul keputusannya. Beberapa bulan dekat dengan Annisa dan merasa wanita itu sepertinya memiliki hati untuknya, Dirja kemudian memikirkan pendapat Marina dan Moana agar dirinya menikah lagi. Jika dulu dia masih betah sendiri karena menghargai perasaan Moana dan Amanda, sekarang semuanya sudah berjalan baik. Moana sudah menikah lagi, dan putrinya bahkan sebentar lagi akan memberinya cucu. Tidak ada alasan baginya untuk sendiri terus.Mirzha tentu sudah mengenal Dirja sebagai ayah Amanda karena datang dan berbincang langsung dengan Dirja saat pernikahan Wisnu. Mirzha mengakui Dirja memang sosok yang matang dan juga mapan. Tentu itu adalah hal yang penting untuk putrinya yang bisa dibilang terkadang labil itu. Annisa memang membutuhkan sosok yang dewasa, matang dan bisa membimbi
Amanda menjadi sedih karena Wisnu menolak keinginanya. Suasana hatinya mulai buruk dan dia bangkit sambil mendorong beberapa map hingga jatuh berserakan ke lantai. Dengan langkah kasar keluar dari ruang kerja Wisnu.Wisnu menghela napas dan menutup laptopnya. Lalu bergegas membuntuti istrinya yang sedang ngambek.Pintu kamar tertutup dengan kasar.“Sayang, kondisimu masih lemah, aku takut malah menyakitimu dan baby kita,” Wisnu mencoba menjelaskan meski pintu tertutup.“Iya, aku udah jelek, gendut, Mas Wisnu udah gak bergairah lagi!” Amanda berteriak sebal.“Ya udah, buka dulu! Gak enak kan di dengar orang ngobrol sambil teriak-teriak.”“Gak mau! Udah sana pergi ke kantor, ketemu sama cewek-cewek cantik, gak usah mikirin wanita yang gendut dan jelek ini!”“Siapa yang gendut dan jelek? Kamu cantik kok!”Sesaat tidak terdengar suara dari dalam. Wisnu berpikir Amanda akan membukakan pintu untuknya. Pintu memang terbuka, tapi karena Amanda ingin melepar bantal dan selimut.“Tidur saja di
Wisnu sudah datang dan sangat tergesa langsung menuju kamar untuk bisa melihat kondisi istrinya. Saat masuk kamar, Marina mengingatkan Wisnu untuk membersihkan diri dulu. Banyak virus di tempat umum, tidak baik untuk ibu hamil.Amanda sebenarnya menolak pergi ke rumah sakit. Bau disinfektan sangat membuatnya pusing. Bisa-bisa dia malah muntah-muntah hebat lagi. Tapi melihat kondisi istrinya yang lemas, Wisnu tidak mau ambil resiko. Dia langsung menggendongnya ke mobil dan meminta Abduh menyupir ke rumah sakit.Setelah dipasang infus, Amanda mulai terlihat segar lagi. Dia mungkin saja mengalami dehidrasi karena banyak cairan yang keluar tapi tidak bisa memasukan makanan atau minuman ke dalam tubuhnya. Wisnu nampak sangat cemas.“Masih istirahat, Bu Amanda?” tanya dokter Ririn, spesialis obgyn, yang diminta Wisnu menjadi dokter pribadi istrinya.“Apa ada masalah dengan kehamilannya, dokter? Kenapa dia mengalami mual dan muntah yang hebat?” Wisnu tak sabar menanyakan tentang kesehatan is
Abim menemani Wisnu mengunjungi kantor perusahaan di Surabaya. Dia bertemu Annisa yang sedang mengerjakan sesuatu di ruangannya. Lalu Abim memberanikan diri menghampirinya.“Eh, Abim! Kok tiba-tiba Ke Surabaya?” Annisa sedikit terkejut melihat Abim.“Ada sedikit urusan, kau betah pindah kerja di sini?” Abim senang melihat Annisa yang terlihat ramah itu. Sama seperti dulu saat pertama dia kerja di kantor Jakarta.Mereka sudah duduk dan menikmati minuman sambil berbincang-bincang.“Apa kabar Naira?” tanya Annisa.“Baik,” jawab Abim.“Kau tampak lebih bahagia di sini?”“Ya iyalah, kerjaan di sini tidak seruwet di Jakarta. Lagi pula Pak Dirja baik sekali. Aku jadi betah kerja di Surabaya”“Baguslah! Aku senang melihatmu lebih baik!” ucap Abim menatap Annisa dengan tatapan yang sulit dimengerti.“Terima kasih, Abim! Aku minta maaf ya, kalau sering buat kamu sakit hati!”Abim sedikit terkejut mendengar permintaan maaf Annisa. Artinya dia memang serius ingin berubah. Seperti yang dikatakanny
Amanda tampak melamun dan tidak bernapsu makan, sejak tadi hanya mempermainkan sumpit di atas mangkuk yang berisi cah kangkung yang sudah disiapkan atas keinginanya. Sejak Amanda masih bekerja di rumah ini dulu, dia yang menyusun menu makan selama seminggu dan Titik yang bagian mengeksekusinya bersama Amanda. Di minggu berikutnya Amanda akan membuat daftar menu baru lagi. Semua itu dilakukan untuk mendukung program diet sehat Purwa yang waktu itu sedang sakit. Agar Purwa tidak merasa sedang diet dan tidak tergoda makanan kurang sehat, maka semua orang di rumah pun memakan menu yang sama.“Kenapa melamun?” Wisnu yang sedang makan terganggu dengan wajah melamun istrinya.Amanda hanya bergeming sedikit lalu mengambil cah kangkung untuk dipindah ke dalam piringnya. “Apa bimbinganmu bermasalah?”“Tidak” jawab Amanda tak bersemangat.“Lalu apa?”“Gak ada apa-apa”“Jangan bohong!”“Ya udahlah, gak usah dibahas juga!” Amanda mencoba memasukan makanan ke mulutnya.“Kalau kau tidak bilang, ak
Saat itu Wisnu baru selesai mengadakan pertemuan dengan beberapa pejabat penting grup Bramastya terkait kerjasama keduanya. Dia berbesar hati untuk melonggarkan persaingan di antara mereka. Tentu saja setelah Purwa yang menelpon sendiri dan menasehati Wisnu agar tidak terlalu keras dalam berbisnis. Purwa waktu itu ditemui langsung Bramastya di Jerman demi mengembalikan hubungan baik kedua perusahaan yang sebelumnya juga saling bekerja sama itu. Bram tahu, Wisnu hanya bisa mendengar ucapan pamannya. Peristiwa penculikan itu sama sekali tidak tersinggung di permukaan. Hanya mereka yang terlibatlah yang tahu. Seperti sebuah kode etik satu sama lain untuk saling merahasiakan agar tidak ada pihak hukum yang ikut campur urusan sesama mereka sendiri. Keduanya sudah menyepakati banyak hal setelah penculikan itu. “Anda yakin untuk melakukan semua ini?” Tio asisten yang lebih fokus urusan ke dalam perusahaan memastikan sekali lagi. karena dalam pemikirannya, yang sangat diuntungkan adalah pih
Tadinya Annisa mencoba mengejar Abim setelah sedikit perdebatannya di kantor mengenai beberapa data perusahaan yang dicurigai bocor. Abim benar-benar marah pada Annisa dan dengan terang-terangan menuduhnya sengaja membocorkan. Annisa tidak terima dan malah menuduh Abim tidak objektif dengan menuduhnya.“Kau hanya sedang sakit hati padaku! Karena itu kau mencari-cari kesalahanku untuk melampiaskan kekesalanmu,” ujar Annisa pada Abim waktu masih di kantor.“HHG, KAMU SAKIT ANNISA!” tukas Abim tersenyum miring pada Annisa. “Aku sarankan padamu, buatlah janji dengan psikiater, kau perlu mengisi ulang otakmu yang tinggal separuh itu!”“Kau hanya iri denganku, Abim!”“Teruslah dengan delusimu. Tapi jangan menghalangi kewajibanku!”“Pak Wisnu tidak akan percaya padamu, dia akan percaya padaku?”“Bagaimana kau bisa seyakin itu? Apa kau pikir Pak Wisnu mencintaimu?”“Kau tidak perlu ikut campur urusan kami, perasaanku dan dia hanya kami yang tahu.”“GILA!” “Kamu yang gila! Kamu gila karena ak