Amanda menemani Purwa berjalan-jalan sebentar di sekitar rumah. Sepanjang itu Purwa bercerita namun Amanda sedang banyak pikiran hingga sering tidak nyambung saat membalas obrolan.“Ada apa, Amanda?” tanya Purwa setelah duduk santai.Amanda tahu Purwa pasti melihatnya bimbang, karena itu sekalian saja Amanda mengatakannya sekarang.“Om, Amanda senang Om sudah semakin membaik dan sehat, karena itu mungkin ini saatnya Amanda pamit.”Purwa tercenung. Namun kemudian tersenyum penuh arti pada Amanda.“Emangnya kamu mau kemana?”“Pulang Om, Amanda kangen sama Mama dan Papa”“Bagaimana dengan kuliahmu?”“Masih lama, aku bisa pulang dulu”“Kau sudah mengatakannya pada Wisnu?”Amanda hanya mengangguk. Sebenarnya masih tampak sedih jika teringat pria itu dan cintanya yang harus diakhiri di saat lagi sayang-sayangnya. Tapi sudahlah, dia tidak ingin memikirkannya lagi. Tekadnya sudah bulat dan papanya sudah senang sekali mendengar keputusannya untuk pulang dan bertemu dengan calon suaminya.“Apa
Wisnu menghampiri Bella yang sedang dugem dan mabuk di sebuah bar. “Oh, kau disini?” tukas Bella sempoyongan. “Aku kasih tahu ya, gadis itu sudah kurang ajar padaku. Aku pastikan dia akan menyesal sudah menamparku! Dasar pelacur murahan!”Wisnu menggelengkan kepalanya atas sikap buruk wanita itu. Jika dia seorang pria maka Wisnu sudah pasti mengajaknya berantem.“Kau masih belum berubah juga, Bella!” Wisnu tahu Bella belum begitu mabuk dan masih bisa mendengarnya dengan baik. “Aku sudah tahu semua rencanamu, jadi dengarkan aku! Jika aku masih melihatmu belum berangkat ke Amerika besok, aku akan mencabut surat rekomendasiku!”“Hah! Jangan sok ngatur hidupku, aku belum membalas dendam pada gadis itu. Aku tidak mau pergi dulu!”Wisnu meletakan tangannya pada pipi Bella dan mengelusnya dengan lembut. Untuk sesaat Bella merasa terbuai. Dia menatap Wisnu dengan berharap.“Kau dulu tidak begini, aku heran apa yang membuat sikapmu menjadi sangat buruk seperti ini?”“Aku hanya merasa semua or
Amanda mengemasi barang-barangnya dan tidak berdaya teringat tentang liontin yang harus ditinggalnya. Dia bekerja dan melakukan banyak hal untuk mendapatkan liontin itu kembali. Dia rela direndahkan dan diremehkan karena liontin itu. Tapi kenyataannya dia tidak mendapatkan apapun. Hanya luka dan pengalaman pahit cintanya.“Ambil tiket kereta jam berapa?” tanya Lesti membantu Amanda beres-beres.“Pagi,” jawab Amanda singkat karena dadanya masih terasa sesak. Tak sanggup berkata-kata panjang.“Kalau begitu aku akan minta ganti shift biar bisa antar kamu”“Tidak perlu juga, Les.”“Aku khawatir saja sama kamu”“Aku bisa berangkat sendiri. Kamu kan baru di tempatmu kerja. Nanti malah dapat masalah”Lesti terdiam, sebenarnya dia memang sulit meminta ijin atau paling tidak ganti shift kerja. “Ya lihat besok sajalah, mudah-mudahn sih boleh!”Keduanya terlihat minum teh bareng di ruang tamu tapi hanyut dalam pikiran masing-masing. Lesti jadi cemas karena Amanda lebih banyak diam dan melamun
~*Kota Batu, sebulan kemudian*~Uap panas mengepul di atas mangkuk yang berisi sup buatan Amanda. Moana mengambil sendok dan mencicipi sup itu. Bibirnya terkembang dan tangannya mengacungkan jempol pada putrinya itu.“Mantap!” ujarnya lalu duduk di meja berhadapan dengan Amanda. “Sejak kapan kamu jadi suka masak? Sedap-sedap lagi!”“Jurusanku kan gizi, Ma. Jadi harus bisa olah makanan juga kan?” tukas Amanda menyendok sup itu ke mulutnya. Sebenarnya dia intens belajar masak sejak bekerja di rumah Wisnu. Setiap malam dia searching tentang menu-menu makanan sehat dan mempraktikannya. Kalau begini jadi teringat Purwa, apa kabar orang tua itu? apa sudah lebih sehat sekarang? Dan apa kabar pria itu? sudah menikah dia?“Kok nglamun?” Moana melihat Amanda bengong.“Eh, enggaaaak!”“Papamu tadinya mau datang hari ini, tapi karena tantemu besok juga datang dari Paris aku minta sekalian datang besok saja biar bisa jemput dan bareng Marina”“Oh, tante datang juga?” Amanda antusias.“Nanti tolo
Moana dan Amanda berbelanja bersama. Mereka memilih buah dan sayuran segar untuk dimasukan ke keranjang. Moana masih menawar harga saat penjual itu memberikan harga.“Ma, itu udah murah. Jangan ditawar lagi!” bisik Amanda menyenggol bahu mamanya.“Mahal itu, kamu mana pernah sih belanja beginian!”“Ya pernah lah, Ma! Di Jakarta harga segitu murah banget”“Ish! Ini di Kota Batu, sayur dan buah dari kebun sekitar saja. Jangan samakan harga Jakarta dengan harga di sini!”“Ya tapi jangan apa-apa di tawar dong, Ma! Dasar emak-emak!”“Orang seperti Mama harus pake nawar biar bisa irit belanjanya, emang kamu yang tiap bulan masih dapat jatah dari papa kamu!” ujar Moana sambil berlalu memilih belanjaan lainnya.Amanda tercenung dan sedih dengan ucapan mamanya. Dia seperti tersindir atas ucapan itu. Mamanya memang harus bekerja untuk kebutuhan hidupnya sendiri karena sudah bercerai dari papanya. Di usianya ini harusnya dia sudah bekerja dan bisa meringankan beban mamanya, bukannya malah bikin
Seseorang mempersilahkan Dirja memasuki sebuah suite room hotel. Di sana sudah ada pria tegap yang menyambutnya, menundukan kepala dan memberi hormat pada Dirja.“Silahkan duduk, Pak! Mohon maaf jika harus menunggu sebentar,” ujar pria itu.“Oh baiklah” tukas Dirja tidak mempermasalahkannya dan mengambil duduk di kursi. Diraihnya majalah bisnis dan property yang ada di sofa sampingnya.Tidak berapa lama akhirnya yang ditunggu pun muncul. Dirja berdiri menghormati kedatangannya. Setelah saling berjabat tangan keduanya duduk kembali.“Menunggunya lama, Om?” tukas pria itu pada Dirja. Dirja terkejut dipanggil dengan sebutan OM. Bukan karena tidak suka, tapi karena merasa tidak sedekat itu dengan presiden direktur di perusahaannya.“Ah, Pak Wisnu. saya jadi tersanjung dipanggil Om,” tukas Dirja sungkan.“Oh, maaf! Astaga, saya kepikiran Om saya jadi sampai memanggil OM ke Pak Dirja.” “Ahaha, apa kabarnya Pak Purwa? Beliau sehat?” Dirja jadi menyinggung tentang Purwa.“Sehat, Alhamdulill
Hari ini Amanda berencana menanyakan tentang kesehatan Moana langsung pada dokter yang memeriksanya . Sekalian menanyakan apa saja yang harus dilakukannya untuk proses penyembuhan mamanya.Saat ini dia sedang mencari-cari kartu berobat yang biasanya dipakai Moana periksa. Setelah ketemu dia langsung pamit keluar menggunakan matic-nya. Tidak sampai setengah jam dia sudah sampai di rumah sakit umum tempat mamanya periksa.Sekarang dia sudah ada di ruang dokter yang biasanya memeriksa mamanya.“Tidak perlu terlalu dicemaskan, asalkan Bu Moana rutin mengkonsumsi obatnya, makan-makanan yang sehat, tidak stress dan tidak capek, dia akan baik-baik saja” ujar Dokter Ramon spesialis penyakit dalam yang biasanya memeriksa Moana.“Bagaimana agar mamaku bisa sembuh, Dok?”Dokter itu menggeleng. “Tidak bisa sembuh tapi hanya bisa diobati untuk menghentikan kerusakan jaringan”Amanda melangkah gontai dan membutuhkan kursi untuk duduk menenangkan dirinya. Perasaannya ini sudah tidak bisa di gambar
Amanda mencari-cari kartu nama yang diberikan Dirja kemarin padanya. Dia lupa menaruhnya di mana. Padahal rencananya dia mau menghubungi pria itu untuk membahas pertemuan mereka malam ini. Mana dia juga belum membaca nama pria itu lagi!Papanya lebih sering menyebutnya dengan bahasa lebih formal. Beliau, pria pilihan papa itu, bos saya itu, dan sebutan lain yang bukan nama. Sehingga Amanda belum tahu siapa sebenarnya nama pria itu.Ting!Bunyi notifikasi di HP Amanda. Dia kemudian melihat ada nomor asing yang mengirimkan pesan.[Kata Pak Dirja besok kita harus ketemu, di mana?]Amanda membaca pesan dan menduga pasti dari pria itu. Amanda bingung bagaimana membalasnya. Ahirnya dia cari aman dengan membalas kata-kata pendek saja.[Ya, terserah anda][Hotel Esther, jam 19.00, apa butuh dijemput?][Tidak terima kasih][Oke, selamat malam!]Amanda berpikir lagi, Bagaimana nanti dia harus mencari pria itu jika dia sendiri tidak tahu namanya. Akhirnya dia pun mengetikan pesan lagi.[Maaf, a
Annisa banyak salah dan dosa pada Amanda. Anak itu sejak pertama sudah dibuat tidak menyukainya. Sekarang apa dia bisa begitu saja memaafkannya dan membiarkan papanya menyetujui hubungan mereka? Pundaknya mulai turun dan dia merasa tidak mungkin Amanda rela membiarkan Dirja menikah dengannya. Dia kembali melihat sosok Dirja yang masih dengan sabar mendengarkan kata-kata putrinya. Jikapun pria itu diminta memilih dia atau putrinya, sudah bisa dipastikan Dirja akan memilih putrinya daripada Annisa. Karma itu memang ada. Dulu dia sangat membenci Amanda dan selalu berusaha membuatnya terluka. Sekarang, di saat dirinya sudah sangat yakin bahwa hanya pria yang baik dan penuh perhatian itulah yang bisa menerima semua kekurangannya dan sanggup menjadi imamnya dalam mengarungi kehidupan barunya, dia harus juga dibenci oleh Amanda. “Ya sudahlah, mungkin ini hukmuna dari tuhan untukmu, Annisa!” gumam Annisa pada dirinya sendiri sambil mengusap air mata di sudut matanya. “Kalau Papa memang men
Amanda tidak bisa memejamkan matanya mengingat apa yang sudah di sampaikan Wisnu padanya tadi sore. Dia ingin menelpon mamanya, namun sudah larut malam waktu Milan. Artinya di Jakarta saat ini menjelang subuh. Tentu dia harus bersabar menunggu pagi agar bisa menghubungi mamanya.Keresahan Amanda tentu bisa dirasakan Wisnu karena beberapa kali harus mengganti posisi tidurnya. “Kau tidak bisa tidur?” tanyanya.“Oh, Maaf! Aku pasti mengganggu tidur, Mas Wisnu” ucap Amanda sedih.“Mana yang tidak nyaman, biar aku usap.” Wisnu memeriksa Amanda. Lalu dengan lembut dia mengusap punggung Amanda agar membuatnya lebih nyaman. “Katanya besok mau belanja di Galerria, tapi selarut ini kau belum tidur juga?”“Aku terus kepikiran papa, Mas!”“Kenapa?”Amanda tidak menyahut, Wisnu pasti juga tahu apa yang sedang dipikirkannya. Kemudian Wisnu mendekatkan tubuhnya dan memeluk Amanda. “Ya sudah jangan dipikirkan dulu, nanti malah bikin kamu stress. Gak bagus kan buat perkembangan baby kita!”“Papa itu s
Dirja sebenarnya juga akan memberikan kejutan pada putri dan menantunya itu tentang rencana mengakhiri masa sendirinya. Tapi dia juga dibuat kecewa lantaran Wisnu dan Amanda tidak di rumah.Dia sudah memikirkan betul keputusannya. Beberapa bulan dekat dengan Annisa dan merasa wanita itu sepertinya memiliki hati untuknya, Dirja kemudian memikirkan pendapat Marina dan Moana agar dirinya menikah lagi. Jika dulu dia masih betah sendiri karena menghargai perasaan Moana dan Amanda, sekarang semuanya sudah berjalan baik. Moana sudah menikah lagi, dan putrinya bahkan sebentar lagi akan memberinya cucu. Tidak ada alasan baginya untuk sendiri terus.Mirzha tentu sudah mengenal Dirja sebagai ayah Amanda karena datang dan berbincang langsung dengan Dirja saat pernikahan Wisnu. Mirzha mengakui Dirja memang sosok yang matang dan juga mapan. Tentu itu adalah hal yang penting untuk putrinya yang bisa dibilang terkadang labil itu. Annisa memang membutuhkan sosok yang dewasa, matang dan bisa membimbi
Amanda menjadi sedih karena Wisnu menolak keinginanya. Suasana hatinya mulai buruk dan dia bangkit sambil mendorong beberapa map hingga jatuh berserakan ke lantai. Dengan langkah kasar keluar dari ruang kerja Wisnu.Wisnu menghela napas dan menutup laptopnya. Lalu bergegas membuntuti istrinya yang sedang ngambek.Pintu kamar tertutup dengan kasar.“Sayang, kondisimu masih lemah, aku takut malah menyakitimu dan baby kita,” Wisnu mencoba menjelaskan meski pintu tertutup.“Iya, aku udah jelek, gendut, Mas Wisnu udah gak bergairah lagi!” Amanda berteriak sebal.“Ya udah, buka dulu! Gak enak kan di dengar orang ngobrol sambil teriak-teriak.”“Gak mau! Udah sana pergi ke kantor, ketemu sama cewek-cewek cantik, gak usah mikirin wanita yang gendut dan jelek ini!”“Siapa yang gendut dan jelek? Kamu cantik kok!”Sesaat tidak terdengar suara dari dalam. Wisnu berpikir Amanda akan membukakan pintu untuknya. Pintu memang terbuka, tapi karena Amanda ingin melepar bantal dan selimut.“Tidur saja di
Wisnu sudah datang dan sangat tergesa langsung menuju kamar untuk bisa melihat kondisi istrinya. Saat masuk kamar, Marina mengingatkan Wisnu untuk membersihkan diri dulu. Banyak virus di tempat umum, tidak baik untuk ibu hamil.Amanda sebenarnya menolak pergi ke rumah sakit. Bau disinfektan sangat membuatnya pusing. Bisa-bisa dia malah muntah-muntah hebat lagi. Tapi melihat kondisi istrinya yang lemas, Wisnu tidak mau ambil resiko. Dia langsung menggendongnya ke mobil dan meminta Abduh menyupir ke rumah sakit.Setelah dipasang infus, Amanda mulai terlihat segar lagi. Dia mungkin saja mengalami dehidrasi karena banyak cairan yang keluar tapi tidak bisa memasukan makanan atau minuman ke dalam tubuhnya. Wisnu nampak sangat cemas.“Masih istirahat, Bu Amanda?” tanya dokter Ririn, spesialis obgyn, yang diminta Wisnu menjadi dokter pribadi istrinya.“Apa ada masalah dengan kehamilannya, dokter? Kenapa dia mengalami mual dan muntah yang hebat?” Wisnu tak sabar menanyakan tentang kesehatan is
Abim menemani Wisnu mengunjungi kantor perusahaan di Surabaya. Dia bertemu Annisa yang sedang mengerjakan sesuatu di ruangannya. Lalu Abim memberanikan diri menghampirinya.“Eh, Abim! Kok tiba-tiba Ke Surabaya?” Annisa sedikit terkejut melihat Abim.“Ada sedikit urusan, kau betah pindah kerja di sini?” Abim senang melihat Annisa yang terlihat ramah itu. Sama seperti dulu saat pertama dia kerja di kantor Jakarta.Mereka sudah duduk dan menikmati minuman sambil berbincang-bincang.“Apa kabar Naira?” tanya Annisa.“Baik,” jawab Abim.“Kau tampak lebih bahagia di sini?”“Ya iyalah, kerjaan di sini tidak seruwet di Jakarta. Lagi pula Pak Dirja baik sekali. Aku jadi betah kerja di Surabaya”“Baguslah! Aku senang melihatmu lebih baik!” ucap Abim menatap Annisa dengan tatapan yang sulit dimengerti.“Terima kasih, Abim! Aku minta maaf ya, kalau sering buat kamu sakit hati!”Abim sedikit terkejut mendengar permintaan maaf Annisa. Artinya dia memang serius ingin berubah. Seperti yang dikatakanny
Amanda tampak melamun dan tidak bernapsu makan, sejak tadi hanya mempermainkan sumpit di atas mangkuk yang berisi cah kangkung yang sudah disiapkan atas keinginanya. Sejak Amanda masih bekerja di rumah ini dulu, dia yang menyusun menu makan selama seminggu dan Titik yang bagian mengeksekusinya bersama Amanda. Di minggu berikutnya Amanda akan membuat daftar menu baru lagi. Semua itu dilakukan untuk mendukung program diet sehat Purwa yang waktu itu sedang sakit. Agar Purwa tidak merasa sedang diet dan tidak tergoda makanan kurang sehat, maka semua orang di rumah pun memakan menu yang sama.“Kenapa melamun?” Wisnu yang sedang makan terganggu dengan wajah melamun istrinya.Amanda hanya bergeming sedikit lalu mengambil cah kangkung untuk dipindah ke dalam piringnya. “Apa bimbinganmu bermasalah?”“Tidak” jawab Amanda tak bersemangat.“Lalu apa?”“Gak ada apa-apa”“Jangan bohong!”“Ya udahlah, gak usah dibahas juga!” Amanda mencoba memasukan makanan ke mulutnya.“Kalau kau tidak bilang, ak
Saat itu Wisnu baru selesai mengadakan pertemuan dengan beberapa pejabat penting grup Bramastya terkait kerjasama keduanya. Dia berbesar hati untuk melonggarkan persaingan di antara mereka. Tentu saja setelah Purwa yang menelpon sendiri dan menasehati Wisnu agar tidak terlalu keras dalam berbisnis. Purwa waktu itu ditemui langsung Bramastya di Jerman demi mengembalikan hubungan baik kedua perusahaan yang sebelumnya juga saling bekerja sama itu. Bram tahu, Wisnu hanya bisa mendengar ucapan pamannya. Peristiwa penculikan itu sama sekali tidak tersinggung di permukaan. Hanya mereka yang terlibatlah yang tahu. Seperti sebuah kode etik satu sama lain untuk saling merahasiakan agar tidak ada pihak hukum yang ikut campur urusan sesama mereka sendiri. Keduanya sudah menyepakati banyak hal setelah penculikan itu. “Anda yakin untuk melakukan semua ini?” Tio asisten yang lebih fokus urusan ke dalam perusahaan memastikan sekali lagi. karena dalam pemikirannya, yang sangat diuntungkan adalah pih
Tadinya Annisa mencoba mengejar Abim setelah sedikit perdebatannya di kantor mengenai beberapa data perusahaan yang dicurigai bocor. Abim benar-benar marah pada Annisa dan dengan terang-terangan menuduhnya sengaja membocorkan. Annisa tidak terima dan malah menuduh Abim tidak objektif dengan menuduhnya.“Kau hanya sedang sakit hati padaku! Karena itu kau mencari-cari kesalahanku untuk melampiaskan kekesalanmu,” ujar Annisa pada Abim waktu masih di kantor.“HHG, KAMU SAKIT ANNISA!” tukas Abim tersenyum miring pada Annisa. “Aku sarankan padamu, buatlah janji dengan psikiater, kau perlu mengisi ulang otakmu yang tinggal separuh itu!”“Kau hanya iri denganku, Abim!”“Teruslah dengan delusimu. Tapi jangan menghalangi kewajibanku!”“Pak Wisnu tidak akan percaya padamu, dia akan percaya padaku?”“Bagaimana kau bisa seyakin itu? Apa kau pikir Pak Wisnu mencintaimu?”“Kau tidak perlu ikut campur urusan kami, perasaanku dan dia hanya kami yang tahu.”“GILA!” “Kamu yang gila! Kamu gila karena ak