Tujuh jam perjalanan itu bukanlah waktu yang singkat. Mia sudah terlalu lelah untuk berpikir hingga ia mengikuti saja pria yang baru ia kenali di dalam bus tadi.
Namanya Sim dan dia menawarkan diri untuk mengantarkan Mia ke tempat kerja Saka yang ia dapatkan melalui rekan-rekan Saka yang sudah kembali ke desa. Awalnya Mia ragu. Tapi begitu mengobrol banyak dengan Sim di perjalanan tadi, Mia sedikit demi sedikit mulai mempercayai pria itu. Mereka akhirnya kembali masuk ke dalam bus yang sedikit lebih lengang. Mia menghela napas panjang setelah kembali mendaratkan pantatnya ke salah satu kursi di dalamnya. Melihat Mia yang begitu kelelahan, Sim menawarkan sebuah minuman pada gadis itu. Mia menerimanya dengan senang hati, tapi dibalik semua itu Mia masih ingat dengan pesan sang nenek kepadanya bahwa jangan makan dan minum lewat pemberian orang lain yang baru ia kenal. Mia memegang pesan itu tapi tidak pesan sebelumnya. Mia langsung menyimpannya meski Sim memperhatikan gelagat penolakan Mia tersebut. "Apa bus ini akan menurunkan kita ke lokasi?" "Iya. Tapi melihat ini sudah lewat dari jam kerja, sepertinya kita harus menunggu sampai besok pagi." Mia terlihat ragu. Kalau menunggu sampai besok, di mana dia akan menginap? pikirnya. "Lalu kau? Apa tidak pulang ke rumahmu?" Sim tersenyum sambil menunjukkan lokasi khusus pabrik yang mulai terlihat dari kejauhan. Mia teralihkan dari pertanyaannya sendiri. "Di sana ada penginapan yang murah. Kau bisa tinggal sementara di sana sampai besok," ujar Sim memberikan ide seolah ia bisa membaca pikiran Mia tadi. Meski Mia belum bisa yakin seratus persen tapi ia merasa itu bukan pilihan yang buruk. Mia mengingat-ingat sisa uangnya dan memastikan harga penginapan tidak lebih dari uang sakunya. Mereka akhirnya sampai ke tempat pemberhentian bus. Mia menyeret kopernya sambil mengikuti Sim yang berjalan terlebih dahulu di depannya. Tempat tersebut masih cukup ramai dengan orang-orang yang beraktivitas. Kelegaan muncul di hati Mia. Paling tidak ia punya tempat aman jika terjadi sesuatu padanya. "Oh ya Mia. Berapa umurmu sekarang?" tanya Sim tiba-tiba. Dengan polosnya Mia menjawab pertanyaan tersebut, "Delapan belas." Sim terlihat terperanjat, "Wow..aku pikir kamu di bawah itu lagi." Mia tak menanggapinya. Hal itu sudah biasa ia dengar. Bagaimana tidak? Mia bertubuh mungil. Biasanya ras sepertinya memiliki postur tubuh yang lebih tinggi. Tapi tidak untuk Mia Kalahari. Ia memiliki tinggi badan orang Asia, sekitar seratus enam puluh centimeter. Ia sering diceritakan oleh warga di desanya bak boneka Barbie. Warna kulitnya cokelat eksotis. Rambutnya keriting halus dan indah. Mia cantik dengan mata yang besar, tubuh yang ramping serta sikap yang manis seperti permen. Meski begitu Mia terpaksa hidup dengan sangat mandiri. Sepeninggal orang tuanya, ia hanya memiliki nenek Leika dan cucu-cucunya. Mereka berlima hidup rukun bersama meski hidup di bawah garis kehidupan yang layak. Saat usianya enam belas tahun, Mia bekerja sampingan untuk menghidupi dirinya dan keluarga sambungnya. Meski sudah dilarang oleh nenek Leika dan Saka, tapi Mia tetap melakukannya. Dia tahu bahwa hidup harus tetap berjalan. Tidak bisa hanya memanfaatkan Saka yang bahkan tidak sekolah demi menjadi tulang punggung keluarga. Mia tidak ingin hidup terus menerus dalam perasaan berutang Budi. Maka yang dia lakukan adalah semestinya. Termasuk pilihannya untuk mencari Saka yang sudah menunjukkan gelagat aneh ketika ia mulai bekerja di Ghanzi dua tahun yang lalu. Sim membawa Mia ke sebuah gedung dengan tiga lantai. Dari pamflet tertulis tempat itu adalah sebuah motel. Mia di ajak ke sebuah konter untuk melakukan check in kamar. Dan setelah perbincangan yang alot tentang harga kamar, Mia akhirnya mendapatkan kamar murahnya. "Pagi-pagi sekali aku akan datang membawamu ke tempat kerjanya. Sekarang istirahat lah dulu di sini." Mia mengangguk paham dan ia mulai menyeret tasnya ke lantai dua di antar oleh pemilik motel tersebut. Tangganya kecil dan Mia cukup kesulitan untuk naik. Meski begitu ia akhirnya sampai ke kamarnya. Ada banyak kamar di setiap lantai. Dan ada banyak bau serta suara yang terdengar dari setiap pintu yang Mia lewati. Ngeri. Tentu saja perasaan itu yang menggelayut di pikiran gadis itu. Tapi Mia mencoba menghalaunya dengan berpikir positif. Ini tidak akan lama. Dia hanya menginap di tempat tersebut untuk semalam, batinnya. "Ini kuncinya," ucap si pemilik yang menyerahkan kunci dengan acuh tak acuh. Mia pun masuk sambil memperhatikan kamarnya untuk bermalam. Cukup rapi dan bersih meskipun tidak di beberapa bagian. Mia langsung menuju jendela yang sayangnya disekat oleh besi-besi meskipun ia bisa membuka jendela tersebut. Pemandangan kota kecil itu langsung terpampang dari kamarnya. Mia bergerak menuju kasur lalu mengeluarkan beberapa barang yang akan ia gunakan malam ini. Tapi sebelum itu, ia ingin beristirahat sejenak untuk meluruskan badan. Rasanya begitu nyaman hingga ia mulai terlelap. "Aku akan mandi setelah ini," gumamnya bersamaan dengan munculnya asap dari depan kamarnya. Asapnya sedikit namun mampu mengelilingi kamar kecil tersebut dengan cepat hingga terhirup oleh Mia yang sudah masuk ke dunia mimpinya. Sekilas tidak ada yang aneh. Hingga kamar yang Mia kunci, gagang pintunya mulai bergerak. Pintu pun terbuka dan beberapa pria sudah berada di depan kamarnya. Mereka mengenakan masker lengkap lalu masuk ke dalam. Salah satu dari mereka memeriksa keadaan Mia yang kini bukan lagi tertidur namun tak sadarkan diri ketika ia menyentuh wajah gadis tersebut. "Umurnya delapan belas tahun," ucap salah satu pria bermasker yang ternyata adalah Sim. "Nice. Dia bisa bernilai mahal." Pria yang lain menanggapi. Ia kemudian menyerahkan dua tumpukan dollar pada Sim lalu menyerahkan tugas lainnya pada pria satunya. Malam itu, Mia bukan lagi berpindah ke dunia mimpi, melainkan juga berpindah ke tempat yang berbeda. Semua terjadi begitu cepat. Ketika Mia terbangun ia sudah merasakan keganjilan. Tangannya terikat ke belakang dan ia merasa tubuhnya bergoyang mengikuti tempatnya terbaring. Pemandangan berbeda langsung menyergap Mia. Ia tak lagi berada di kasur empuknya ataupun di kamar sewanya, melainkan sebuah truk besar yang tertutupi banyak jerami sebagai alas tidurnya. Mia ingin berteriak namun mulutnya terikat kain. Ia semakin panik ketika melihat ada beberapa wanita lain yang juga bernasib sama sepertinya. Mia histeris hanya saja suaranya tak bisa keluar dengan mudah. Air matanya mulai mengalir deras. Ketakutan semakin mendera. Ia harap ini hanya mimpi, tapi rasa sakit dari ikatan yang ada di belakang tubuhnya menyadarkan dirinya bahwa ini bukanlah sebuah mimpi. Truk yang membawa Mia menembus ladang gandum yang telah kosong. Dua pria yang bertugas menyekap Mia tadi bertugas sebagai supir. Mereka tampak tenang menguasai jalanan sepi menuju tempat yang dituju. Membawa Mia dan lima gadis lainnya berada dalam ketakutan. BersambungMia terbangun dari tidurnya. Kepala yang begitu berat langsung menyergapnya. Ia ingin sekali menyentuh bagian yang sakit di atas kepalanya tersebut akan tetapi tangannya sulit sekali untuk digerakkan. Mia tersadar bahwa tangannya tengah terikat ke belakang. Bukan hanya di bagian tangan namun di bagian kakinya juga.Mulut tertutupi lakban. Posisinya berada tepat di depan tumpukan jerami bersama lima orang gadis lainnya yang kini tengah menatapnya sendu. Diantara mereka ada yang bahkan menangis. Sebagiannya lagi hanya bisa duduk pasrah seperti yang Mia tengah lakukan. Mia tak bisa bertanya, apalagi melepaskan talinya. Mereka benar-benar tak berdaya di dalam truk yang berguncang setelah melewati undakan di jalanan yang mulai sepi. Kurang lebih satu jam perjalanan, mereka akhirnya sampai di sebuah dermaga. Mia yang memang tak mengetahui pasti kemana mereka akan dibawa, setidaknya bisa mendengar sesuatu dari balik truk. Mia mendengar seseorang berbicara di dinding truk
Mia memang kesal dan marah dengan apa yang dikatakan pria menyebalkan di hadapannya itu. Tapi di saat seperti ini, cuma pria inilah yang ia pikir bisa dimintai pertolongan.Mia takut berdiri terlalu lama di tempat seperti ini. Demi Leika yang harus segera ditolong dan Saka yang harus segera ditemukan, Mia menjatuhkan harga dirinya untuk pria asing yang baru pertama kali ia temui itu.Lucifer berbalik meninggalkan Mia yang resah sendirian. Gadis itu menutup rapat-rapat matanya demi mengumpulkan keberanian untuk bicara dengan Lucifer. Si mata elang yang begitu menghanyutkan dan berbahaya."Kita ke atas, Mike.""Tunggu tuan!" panggil Mia sambil meremat erat gaun merah yang ia kenakan itu.Lucifer berbalik dengan smirknya yang menjengkelkan. Meski begitu Mia tak mungkin mengatakan itu pada pria yang ingin ia mintai tolong."Ada apa lagi, nona?" tukas Mike dengan nada dingin.Mike terlihat maju mendekati Mia dan hendak mengus
“Leika! Apa yang kau lakukan di sini?”Gadis berambut ikal panjang datang entah darimana. Mengambil gunting dari tangan seorang anak perempuan yang usianya mungkin sekitar sepuluh tahunan itu. Kelereng mata cokelatnya melebar ketika melihat sang adik melakukan sesuatu yang sudah berulang kali ia larang. Dengan tergesa-gesa gadis itu menarik tangan adiknya keluar dari gubuk kumuh yang di dalamnya juga masih ada anak lain yang melakukan pekerjaan yang sama seperti yang adiknya lakukan.“Jawab aku! kenapa keluar dari rumah?”“Aku bosan Mia –“ jawab Leika terdengar mulai ingin menangis.Mia tertegun. Tapi ia tetap menarik lengan adiknya itu di tengah terik matahari yang begitu menyengat hari ini, “Kalau kau bosan, kau bisa baca buku di rumah. Bukan pergi ke sini lalu membersihkan usus ayam!” ujar Mia sedikit keras. Leika melepaskan tangannya dari sang kakak, kemudian berjalan mendahuluinya. Panasnya matahari di dekat gurun Kalahari memang tak tertandingi. Belum
Aksi kejar-kejaran terjadi di sebuah gang sempit. Pria berkaos putih tampak luntang-lantung mencoba menghindari dua pria berbaju hitam dengan tubuh besar mereka. Beberapa luka lebam juga didapatkan pria malang itu. Wajahnya nyaris tak bisa dikenali tapi ia masih mampu untuk melarikan diri. Gang-gang kecil yang letaknya di pasar rakyat itu tampak sepi. Tentu saja karena ini tengah malam. Tak akan ada orang yang sudi menolongnya. Sialnya dia tidak terlalu familiar dengan tempat pelariannya itu, hingga dalam sekali sergapan, ia terjebak di gang buntu. Keringatnya semakin mengalir deras. Dan satu-satunya cara yang ia harus lalui adalah memanjat tembok setinggi tiga meter tanpa terjatuh jika ingin selamat. Tapi usahanya itu sia-sia karena salah satu bandit sudah menarik kaki kirinya hingga ia terjatuh ke tanah. Tendangan keras langsung dihadiahkan untuknya tanpa ampun. “Kau pikir bisa lari?!” “Pl
Mia menaiki bus dengan perasaan yang carut marut. Gadis itu sudah berusaha keras untuk tak berbalik tapi nyatanya ketika ia mulai duduk, netranya tak bisa untuk tak meneteskan airmata saat ia melihat Leika dan neneknya melambaikan tangan kepadanya. Mia membuka paksa jendela bus untuk membalas lambaian tangan mereka. Baru saja bus bergerak pergi, tapi rasa rindu sudah membuncah. Mungkin itu juga yang dirasakan oleh Leika. Gadis kecil itu tak kuasa untuk tak berlari mengejar bus kuning yang akan membawa kakak sepupunya itu pergi paling tidak tujuh jam ke depan untuk sampai ke tempat tujuan. Leika terus mengejar walau Mia sudah mengusirnya untuk berhenti. Hingga bus melewati rel kereta api, sampai disitulah Leika menghentikan langkahnya hingga ia terjongkok sambil menangis pilu. Begitupun dengan Mia yang kini menjadi bahan bisikan penumpang lain karena tangisannya yang mampu mengalihkan perh
Mia terbangun dari tidurnya. Kepala yang begitu berat langsung menyergapnya. Ia ingin sekali menyentuh bagian yang sakit di atas kepalanya tersebut akan tetapi tangannya sulit sekali untuk digerakkan. Mia tersadar bahwa tangannya tengah terikat ke belakang. Bukan hanya di bagian tangan namun di bagian kakinya juga.Mulut tertutupi lakban. Posisinya berada tepat di depan tumpukan jerami bersama lima orang gadis lainnya yang kini tengah menatapnya sendu. Diantara mereka ada yang bahkan menangis. Sebagiannya lagi hanya bisa duduk pasrah seperti yang Mia tengah lakukan. Mia tak bisa bertanya, apalagi melepaskan talinya. Mereka benar-benar tak berdaya di dalam truk yang berguncang setelah melewati undakan di jalanan yang mulai sepi. Kurang lebih satu jam perjalanan, mereka akhirnya sampai di sebuah dermaga. Mia yang memang tak mengetahui pasti kemana mereka akan dibawa, setidaknya bisa mendengar sesuatu dari balik truk. Mia mendengar seseorang berbicara di dinding truk
Tujuh jam perjalanan itu bukanlah waktu yang singkat. Mia sudah terlalu lelah untuk berpikir hingga ia mengikuti saja pria yang baru ia kenali di dalam bus tadi. Namanya Sim dan dia menawarkan diri untuk mengantarkan Mia ke tempat kerja Saka yang ia dapatkan melalui rekan-rekan Saka yang sudah kembali ke desa. Awalnya Mia ragu. Tapi begitu mengobrol banyak dengan Sim di perjalanan tadi, Mia sedikit demi sedikit mulai mempercayai pria itu. Mereka akhirnya kembali masuk ke dalam bus yang sedikit lebih lengang. Mia menghela napas panjang setelah kembali mendaratkan pantatnya ke salah satu kursi di dalamnya. Melihat Mia yang begitu kelelahan, Sim menawarkan sebuah minuman pada gadis itu. Mia menerimanya dengan senang hati, tapi dibalik semua itu Mia masih ingat dengan pesan sang nenek kepadanya bahwa jangan makan dan minum lewat pemberian orang lain yang baru ia kenal. Mia memegang pesan itu tapi tidak pesan sebelumnya. Mia
Mia menaiki bus dengan perasaan yang carut marut. Gadis itu sudah berusaha keras untuk tak berbalik tapi nyatanya ketika ia mulai duduk, netranya tak bisa untuk tak meneteskan airmata saat ia melihat Leika dan neneknya melambaikan tangan kepadanya. Mia membuka paksa jendela bus untuk membalas lambaian tangan mereka. Baru saja bus bergerak pergi, tapi rasa rindu sudah membuncah. Mungkin itu juga yang dirasakan oleh Leika. Gadis kecil itu tak kuasa untuk tak berlari mengejar bus kuning yang akan membawa kakak sepupunya itu pergi paling tidak tujuh jam ke depan untuk sampai ke tempat tujuan. Leika terus mengejar walau Mia sudah mengusirnya untuk berhenti. Hingga bus melewati rel kereta api, sampai disitulah Leika menghentikan langkahnya hingga ia terjongkok sambil menangis pilu. Begitupun dengan Mia yang kini menjadi bahan bisikan penumpang lain karena tangisannya yang mampu mengalihkan perh
Aksi kejar-kejaran terjadi di sebuah gang sempit. Pria berkaos putih tampak luntang-lantung mencoba menghindari dua pria berbaju hitam dengan tubuh besar mereka. Beberapa luka lebam juga didapatkan pria malang itu. Wajahnya nyaris tak bisa dikenali tapi ia masih mampu untuk melarikan diri. Gang-gang kecil yang letaknya di pasar rakyat itu tampak sepi. Tentu saja karena ini tengah malam. Tak akan ada orang yang sudi menolongnya. Sialnya dia tidak terlalu familiar dengan tempat pelariannya itu, hingga dalam sekali sergapan, ia terjebak di gang buntu. Keringatnya semakin mengalir deras. Dan satu-satunya cara yang ia harus lalui adalah memanjat tembok setinggi tiga meter tanpa terjatuh jika ingin selamat. Tapi usahanya itu sia-sia karena salah satu bandit sudah menarik kaki kirinya hingga ia terjatuh ke tanah. Tendangan keras langsung dihadiahkan untuknya tanpa ampun. “Kau pikir bisa lari?!” “Pl
“Leika! Apa yang kau lakukan di sini?”Gadis berambut ikal panjang datang entah darimana. Mengambil gunting dari tangan seorang anak perempuan yang usianya mungkin sekitar sepuluh tahunan itu. Kelereng mata cokelatnya melebar ketika melihat sang adik melakukan sesuatu yang sudah berulang kali ia larang. Dengan tergesa-gesa gadis itu menarik tangan adiknya keluar dari gubuk kumuh yang di dalamnya juga masih ada anak lain yang melakukan pekerjaan yang sama seperti yang adiknya lakukan.“Jawab aku! kenapa keluar dari rumah?”“Aku bosan Mia –“ jawab Leika terdengar mulai ingin menangis.Mia tertegun. Tapi ia tetap menarik lengan adiknya itu di tengah terik matahari yang begitu menyengat hari ini, “Kalau kau bosan, kau bisa baca buku di rumah. Bukan pergi ke sini lalu membersihkan usus ayam!” ujar Mia sedikit keras. Leika melepaskan tangannya dari sang kakak, kemudian berjalan mendahuluinya. Panasnya matahari di dekat gurun Kalahari memang tak tertandingi. Belum
Mia memang kesal dan marah dengan apa yang dikatakan pria menyebalkan di hadapannya itu. Tapi di saat seperti ini, cuma pria inilah yang ia pikir bisa dimintai pertolongan.Mia takut berdiri terlalu lama di tempat seperti ini. Demi Leika yang harus segera ditolong dan Saka yang harus segera ditemukan, Mia menjatuhkan harga dirinya untuk pria asing yang baru pertama kali ia temui itu.Lucifer berbalik meninggalkan Mia yang resah sendirian. Gadis itu menutup rapat-rapat matanya demi mengumpulkan keberanian untuk bicara dengan Lucifer. Si mata elang yang begitu menghanyutkan dan berbahaya."Kita ke atas, Mike.""Tunggu tuan!" panggil Mia sambil meremat erat gaun merah yang ia kenakan itu.Lucifer berbalik dengan smirknya yang menjengkelkan. Meski begitu Mia tak mungkin mengatakan itu pada pria yang ingin ia mintai tolong."Ada apa lagi, nona?" tukas Mike dengan nada dingin.Mike terlihat maju mendekati Mia dan hendak mengus