Aksi kejar-kejaran terjadi di sebuah gang sempit. Pria berkaos putih tampak luntang-lantung mencoba menghindari dua pria berbaju hitam dengan tubuh besar mereka. Beberapa luka lebam juga didapatkan pria malang itu. Wajahnya nyaris tak bisa dikenali tapi ia masih mampu untuk melarikan diri.
Gang-gang kecil yang letaknya di pasar rakyat itu tampak sepi. Tentu saja karena ini tengah malam. Tak akan ada orang yang sudi menolongnya. Sialnya dia tidak terlalu familiar dengan tempat pelariannya itu, hingga dalam sekali sergapan, ia terjebak di gang buntu. Keringatnya semakin mengalir deras. Dan satu-satunya cara yang ia harus lalui adalah memanjat tembok setinggi tiga meter tanpa terjatuh jika ingin selamat. Tapi usahanya itu sia-sia karena salah satu bandit sudah menarik kaki kirinya hingga ia terjatuh ke tanah. Tendangan keras langsung dihadiahkan untuknya tanpa ampun. “Kau pikir bisa lari?!” “Please! Please! Beri aku waktu beberapa hari lagi,” pria malang itu memohon tapi tentu saja tak diendahkan oleh dua pria bertubuh kekar itu. Mereka menyeretnya sampai ke ujung gang. Di sana ternyata sudah menunggu sebuah mobil van putih yang siap membawa ketiganya pergi. Tapi sebelum pria malang itu masuk, jarum suntik terlebih dahulu mereka berikan kepadanya secara paksa di leher. Membuat pria tersebut langsung lemah tak sadarkan diri. Tubuhnya di masukkan ke kursi belakang bersama dengan dua pria lain yang juga dalam keadaan pingsan. Dua bandit tadi menutup pintu lalu salah satu dari mereka menerima panggilan telepon dari seseorang. Dengan sigap ia menyampaikan tugas yang telah selesai ia lakukan itu. “Ketiganya sudah kami amankan,” ucapnya. Tak lama ia kembali menyampaikan pesannya, “Roberto, Alex dan juga –“ Pria itu menyenggol lengan temannya untuk menanyakan nama pria yang baru saja ia masukkan tadi. “Saka.” “Oh ya, Saka. Masih ada dua lagi dan kami akan segera mengabarimu nanti.” Panggilan telepon terputus dan keduanya segera melambaikan tangan pada sang supir yang sudah siap sedia untuk pergi meninggalkan pasar. Mobil van putih itupun menghilang di tengah kegelapan malam menuju suatu tempat yang berdiri puluhan container-container kosong. Masuk ke pertigaan, mobil van putih berhenti di salah satu container yang telah disulap menjadi sebuah tempat tinggal. Ada beberapa mobil juga yang terparkir di sana. Tapi salah satu dari mereka baru saja pergi meninggalkan area tersebut. Seorang pria terlihat berjalan begitu linglung sebelum akhirnya ia terjatuh ke tanah. Pria berjas hitam lainnya menariknya paksa kemudian membawanya ke sebuah van hitam. Pakaian pria malang itu juga terdapat banyak darah. Dan ia terus menerus mengeluh sakit di bagian perutnya sampai suara rintihannya berhenti ketika ia sudah masuk ke dalam vannya. Supir yang membawa Saka dan korban lainnya siap mengantri. Salah satu dari mereka menyiapkan berkas kemudian mendekati seorang wanita yang berjaga di depan container. Wanita itu membaca sekilas kertas yang supir van bawa. Kemudian ia masuk ke dalam container lalu tak lama keluar kembali membawakan kertas yang sama. “Pukul satu,” tukasnya. Tanpa ekspresi. Supir van tersebut tampak mencoba membuat kesepakatan dengan wanita tersebut, “Apa tidak bisa lebih cepat? Kami akan segera membawa dua pasien lagi.” Wanita tersebut terlihat menimbang –nimbang. Ia kemudian masuk lagi menuju ke tirai putih yang di dalamnya tengah ada aktifitas yang terjadi di atas meja operasi. Ada seorang pria mengenakan pakaian kedokteran tengah sibuk mengambil sesuatu dari tubuh pria yang terbaring di atas tempat tidurnya. Dibantu dua rekannya yang lain, mereka berhasil memindahkan sebuah ginjal ke dalam toples yang telah di sterilkan. Setelah menahan napas melihat bagaimana dokter tersebut beraksi, barulah sang wanita menyampaikan niatnya yang datang untuk menginterupsi sang dokter yang dikenal bernama Keylord itu. “Dokter. Anak buah Lucifer membawa tiga orang. Mereka ingin cepat.” Dokter Key terlihat tengah membersihkan kedua tangannya di atas wastafel. Dua rekannya siap memindahkan pria yang tak sadarkan diri itu keluar dari meja operasi. “Bagaimana kondisinya?” “Di sini tertulis mereka semua sehat.” Key menuliskan sesuatu di atas kertas, tak lama kemudian ia mendapatkan sebuah panggilan dari seseorang yang tak asing baginya. Lewat anggukannya, wanita tersebut tahu apa yang harus ia lakukan. Ia kembali ke depan sambil memperhatikan supir van tengah bosan menunggu. “Ok. Tiga dulu.” Dengan semringahnya, sang supir segera kembali ke mobil vannya lalu meminta rekannya untuk membawa pria-pria tersebut. Bayangan tiga milyar dollar langsung saja terlintas dipikiran mereka. Tanpa belas kasihan, mereka tertawa riang mendengar suara rintihan kesakitan yang terdengar dari dalam. Sama seperti pria asing yang tertatih diawal, salah satu pria yang mereka bawa juga bergelagat sama. Salah satunya Saka, yang terkulai lemas setelah satu jam lamanya ia berada di dalam container tersebut. Dari mulutnya terus mengeluarkan darah meski tak berlangsung lama. Ia lantas terjatuh ke tanah dan langsung tak sadarkan diri. Di tempat lain, Mia terlihat sudah menyiapkan segala keperluannya untuk berangkat ke Ghanzi. Membawa barang seadanya, Mia berjanji ia akan segera kembali. Nenek Leika yang berusia nyaris tujuh puluh tahun itu juga bereaksi sama dengan Leika. Mereka berat hati melihat Mia pergi. Nameera yang masih lima tahun tentu saja tak mengerti apa yang terjadi. Tapi dia juga ikut bertanya-tanya dengan Mia yang tengah mengemas pakaian tersebut. Berulang kali gadis kecil itu meminta Mia untuk bermain dengannya, namun karena keterbatasan waktu Mia secara halus dan berulang kali harus menyakinkan Nameera untuk tidak mengajaknya bermain kali ini. Gadis kecil itu jelas saja kecewa. Tapi perhatiannya langsung teralihkan ketika Mia memberikannya uang dan juga permen di tangannya. “Pergi lah bermain. Jangan lupa pulang sebelum makan siang,” pesan Mia yang langsung mendapatkan anggukan dari Nameera. Setelah sang adik bontot itu pergi, giliran Leika yang menempel. Leika masih saja belum menerima kepergian Mia hari ini. Suasana haru tentu saja langsung mendera keluarga kecil itu. “Kau tidak perlu pergi Mia –“ “Aku harus pergi. Ini juga demi mencari tahu apa yang terjadi pada Saka. Nenek berfirasat buruk tentangnya,” tukas Mia sambil melirik ke arah neneknya yang hanya bisa bergerak di atas kursi roda. “Jangan pikirkan nenek. Dia hanya rindu dengan cucu jahatnya itu!” gumam Leika kesal. Mia sekali lagi menasehati Leika untuk tidak berkata kasar seperti itu. Leika menurut saja meski di dalam hatinya tidak akan pernah. Matahari mulai tinggi. Sebentar lagi bus yang akan membawa Mia akan segera datang di depan gang. Mia segera menyelesaikan persiapannya lalu kemudian pamit kepada dua wanita yang begitu ia cintai setelah ibu dan ayahnya. Mia memeluk erat Leika seperti tak akan pernah kembali. Tapi Mia mencoba untuk tetap ceria agar tak membuat Leika terpukul dengan kepergiannya. “Jangan lupa minum obatnya. Jangan pergi bekerja! Kau paham?” Leika mengangguk lirih. Leika terus menghindari diri untuk tidak bersitatap dengan Mia. Tapi rasanya begitu sulit untuk melakukan itu. “Kau pun sama. Kalau tak menemukan Saka, segeralah pulang.” Mia mengangguk mantap disaksikan oleh nenek Leika juga. Mia kemudian menghampiri sang nenek lalu memeluknya erat. Tak banyak kata yang diucapkan oleh wanita tua tersebut, membuat hati Mia setidaknya cukup tenang dan rela untuk berangkat. Tak lama, Mia pun mengambil tas ranselnya lalu berjalan keluar rumah. Melambaikan tangannya sekali ke arah dua wanita beda generasi itu sebelum akhirnya ia menghilang dibalik cahaya matahari yang menerpa teras rumah mereka. Dengan mantap Mia terus berjalan tanpa sedikitpun menoleh ke belakang. Angin pagi ini saja sudah membuat Mia merinding. Entah apa yang akan terjadi nanti. Mia hanya bisa berdoa ia selekasnya menemukan Saka. BersambungMia menaiki bus dengan perasaan yang carut marut. Gadis itu sudah berusaha keras untuk tak berbalik tapi nyatanya ketika ia mulai duduk, netranya tak bisa untuk tak meneteskan airmata saat ia melihat Leika dan neneknya melambaikan tangan kepadanya. Mia membuka paksa jendela bus untuk membalas lambaian tangan mereka. Baru saja bus bergerak pergi, tapi rasa rindu sudah membuncah. Mungkin itu juga yang dirasakan oleh Leika. Gadis kecil itu tak kuasa untuk tak berlari mengejar bus kuning yang akan membawa kakak sepupunya itu pergi paling tidak tujuh jam ke depan untuk sampai ke tempat tujuan. Leika terus mengejar walau Mia sudah mengusirnya untuk berhenti. Hingga bus melewati rel kereta api, sampai disitulah Leika menghentikan langkahnya hingga ia terjongkok sambil menangis pilu. Begitupun dengan Mia yang kini menjadi bahan bisikan penumpang lain karena tangisannya yang mampu mengalihkan perh
Tujuh jam perjalanan itu bukanlah waktu yang singkat. Mia sudah terlalu lelah untuk berpikir hingga ia mengikuti saja pria yang baru ia kenali di dalam bus tadi. Namanya Sim dan dia menawarkan diri untuk mengantarkan Mia ke tempat kerja Saka yang ia dapatkan melalui rekan-rekan Saka yang sudah kembali ke desa. Awalnya Mia ragu. Tapi begitu mengobrol banyak dengan Sim di perjalanan tadi, Mia sedikit demi sedikit mulai mempercayai pria itu. Mereka akhirnya kembali masuk ke dalam bus yang sedikit lebih lengang. Mia menghela napas panjang setelah kembali mendaratkan pantatnya ke salah satu kursi di dalamnya. Melihat Mia yang begitu kelelahan, Sim menawarkan sebuah minuman pada gadis itu. Mia menerimanya dengan senang hati, tapi dibalik semua itu Mia masih ingat dengan pesan sang nenek kepadanya bahwa jangan makan dan minum lewat pemberian orang lain yang baru ia kenal. Mia memegang pesan itu tapi tidak pesan sebelumnya. Mia
Mia terbangun dari tidurnya. Kepala yang begitu berat langsung menyergapnya. Ia ingin sekali menyentuh bagian yang sakit di atas kepalanya tersebut akan tetapi tangannya sulit sekali untuk digerakkan. Mia tersadar bahwa tangannya tengah terikat ke belakang. Bukan hanya di bagian tangan namun di bagian kakinya juga.Mulut tertutupi lakban. Posisinya berada tepat di depan tumpukan jerami bersama lima orang gadis lainnya yang kini tengah menatapnya sendu. Diantara mereka ada yang bahkan menangis. Sebagiannya lagi hanya bisa duduk pasrah seperti yang Mia tengah lakukan. Mia tak bisa bertanya, apalagi melepaskan talinya. Mereka benar-benar tak berdaya di dalam truk yang berguncang setelah melewati undakan di jalanan yang mulai sepi. Kurang lebih satu jam perjalanan, mereka akhirnya sampai di sebuah dermaga. Mia yang memang tak mengetahui pasti kemana mereka akan dibawa, setidaknya bisa mendengar sesuatu dari balik truk. Mia mendengar seseorang berbicara di dinding truk
Mia memang kesal dan marah dengan apa yang dikatakan pria menyebalkan di hadapannya itu. Tapi di saat seperti ini, cuma pria inilah yang ia pikir bisa dimintai pertolongan.Mia takut berdiri terlalu lama di tempat seperti ini. Demi Leika yang harus segera ditolong dan Saka yang harus segera ditemukan, Mia menjatuhkan harga dirinya untuk pria asing yang baru pertama kali ia temui itu.Lucifer berbalik meninggalkan Mia yang resah sendirian. Gadis itu menutup rapat-rapat matanya demi mengumpulkan keberanian untuk bicara dengan Lucifer. Si mata elang yang begitu menghanyutkan dan berbahaya."Kita ke atas, Mike.""Tunggu tuan!" panggil Mia sambil meremat erat gaun merah yang ia kenakan itu.Lucifer berbalik dengan smirknya yang menjengkelkan. Meski begitu Mia tak mungkin mengatakan itu pada pria yang ingin ia mintai tolong."Ada apa lagi, nona?" tukas Mike dengan nada dingin.Mike terlihat maju mendekati Mia dan hendak mengus
“Leika! Apa yang kau lakukan di sini?”Gadis berambut ikal panjang datang entah darimana. Mengambil gunting dari tangan seorang anak perempuan yang usianya mungkin sekitar sepuluh tahunan itu. Kelereng mata cokelatnya melebar ketika melihat sang adik melakukan sesuatu yang sudah berulang kali ia larang. Dengan tergesa-gesa gadis itu menarik tangan adiknya keluar dari gubuk kumuh yang di dalamnya juga masih ada anak lain yang melakukan pekerjaan yang sama seperti yang adiknya lakukan.“Jawab aku! kenapa keluar dari rumah?”“Aku bosan Mia –“ jawab Leika terdengar mulai ingin menangis.Mia tertegun. Tapi ia tetap menarik lengan adiknya itu di tengah terik matahari yang begitu menyengat hari ini, “Kalau kau bosan, kau bisa baca buku di rumah. Bukan pergi ke sini lalu membersihkan usus ayam!” ujar Mia sedikit keras. Leika melepaskan tangannya dari sang kakak, kemudian berjalan mendahuluinya. Panasnya matahari di dekat gurun Kalahari memang tak tertandingi. Belum
Mia terbangun dari tidurnya. Kepala yang begitu berat langsung menyergapnya. Ia ingin sekali menyentuh bagian yang sakit di atas kepalanya tersebut akan tetapi tangannya sulit sekali untuk digerakkan. Mia tersadar bahwa tangannya tengah terikat ke belakang. Bukan hanya di bagian tangan namun di bagian kakinya juga.Mulut tertutupi lakban. Posisinya berada tepat di depan tumpukan jerami bersama lima orang gadis lainnya yang kini tengah menatapnya sendu. Diantara mereka ada yang bahkan menangis. Sebagiannya lagi hanya bisa duduk pasrah seperti yang Mia tengah lakukan. Mia tak bisa bertanya, apalagi melepaskan talinya. Mereka benar-benar tak berdaya di dalam truk yang berguncang setelah melewati undakan di jalanan yang mulai sepi. Kurang lebih satu jam perjalanan, mereka akhirnya sampai di sebuah dermaga. Mia yang memang tak mengetahui pasti kemana mereka akan dibawa, setidaknya bisa mendengar sesuatu dari balik truk. Mia mendengar seseorang berbicara di dinding truk
Tujuh jam perjalanan itu bukanlah waktu yang singkat. Mia sudah terlalu lelah untuk berpikir hingga ia mengikuti saja pria yang baru ia kenali di dalam bus tadi. Namanya Sim dan dia menawarkan diri untuk mengantarkan Mia ke tempat kerja Saka yang ia dapatkan melalui rekan-rekan Saka yang sudah kembali ke desa. Awalnya Mia ragu. Tapi begitu mengobrol banyak dengan Sim di perjalanan tadi, Mia sedikit demi sedikit mulai mempercayai pria itu. Mereka akhirnya kembali masuk ke dalam bus yang sedikit lebih lengang. Mia menghela napas panjang setelah kembali mendaratkan pantatnya ke salah satu kursi di dalamnya. Melihat Mia yang begitu kelelahan, Sim menawarkan sebuah minuman pada gadis itu. Mia menerimanya dengan senang hati, tapi dibalik semua itu Mia masih ingat dengan pesan sang nenek kepadanya bahwa jangan makan dan minum lewat pemberian orang lain yang baru ia kenal. Mia memegang pesan itu tapi tidak pesan sebelumnya. Mia
Mia menaiki bus dengan perasaan yang carut marut. Gadis itu sudah berusaha keras untuk tak berbalik tapi nyatanya ketika ia mulai duduk, netranya tak bisa untuk tak meneteskan airmata saat ia melihat Leika dan neneknya melambaikan tangan kepadanya. Mia membuka paksa jendela bus untuk membalas lambaian tangan mereka. Baru saja bus bergerak pergi, tapi rasa rindu sudah membuncah. Mungkin itu juga yang dirasakan oleh Leika. Gadis kecil itu tak kuasa untuk tak berlari mengejar bus kuning yang akan membawa kakak sepupunya itu pergi paling tidak tujuh jam ke depan untuk sampai ke tempat tujuan. Leika terus mengejar walau Mia sudah mengusirnya untuk berhenti. Hingga bus melewati rel kereta api, sampai disitulah Leika menghentikan langkahnya hingga ia terjongkok sambil menangis pilu. Begitupun dengan Mia yang kini menjadi bahan bisikan penumpang lain karena tangisannya yang mampu mengalihkan perh
Aksi kejar-kejaran terjadi di sebuah gang sempit. Pria berkaos putih tampak luntang-lantung mencoba menghindari dua pria berbaju hitam dengan tubuh besar mereka. Beberapa luka lebam juga didapatkan pria malang itu. Wajahnya nyaris tak bisa dikenali tapi ia masih mampu untuk melarikan diri. Gang-gang kecil yang letaknya di pasar rakyat itu tampak sepi. Tentu saja karena ini tengah malam. Tak akan ada orang yang sudi menolongnya. Sialnya dia tidak terlalu familiar dengan tempat pelariannya itu, hingga dalam sekali sergapan, ia terjebak di gang buntu. Keringatnya semakin mengalir deras. Dan satu-satunya cara yang ia harus lalui adalah memanjat tembok setinggi tiga meter tanpa terjatuh jika ingin selamat. Tapi usahanya itu sia-sia karena salah satu bandit sudah menarik kaki kirinya hingga ia terjatuh ke tanah. Tendangan keras langsung dihadiahkan untuknya tanpa ampun. “Kau pikir bisa lari?!” “Pl
“Leika! Apa yang kau lakukan di sini?”Gadis berambut ikal panjang datang entah darimana. Mengambil gunting dari tangan seorang anak perempuan yang usianya mungkin sekitar sepuluh tahunan itu. Kelereng mata cokelatnya melebar ketika melihat sang adik melakukan sesuatu yang sudah berulang kali ia larang. Dengan tergesa-gesa gadis itu menarik tangan adiknya keluar dari gubuk kumuh yang di dalamnya juga masih ada anak lain yang melakukan pekerjaan yang sama seperti yang adiknya lakukan.“Jawab aku! kenapa keluar dari rumah?”“Aku bosan Mia –“ jawab Leika terdengar mulai ingin menangis.Mia tertegun. Tapi ia tetap menarik lengan adiknya itu di tengah terik matahari yang begitu menyengat hari ini, “Kalau kau bosan, kau bisa baca buku di rumah. Bukan pergi ke sini lalu membersihkan usus ayam!” ujar Mia sedikit keras. Leika melepaskan tangannya dari sang kakak, kemudian berjalan mendahuluinya. Panasnya matahari di dekat gurun Kalahari memang tak tertandingi. Belum
Mia memang kesal dan marah dengan apa yang dikatakan pria menyebalkan di hadapannya itu. Tapi di saat seperti ini, cuma pria inilah yang ia pikir bisa dimintai pertolongan.Mia takut berdiri terlalu lama di tempat seperti ini. Demi Leika yang harus segera ditolong dan Saka yang harus segera ditemukan, Mia menjatuhkan harga dirinya untuk pria asing yang baru pertama kali ia temui itu.Lucifer berbalik meninggalkan Mia yang resah sendirian. Gadis itu menutup rapat-rapat matanya demi mengumpulkan keberanian untuk bicara dengan Lucifer. Si mata elang yang begitu menghanyutkan dan berbahaya."Kita ke atas, Mike.""Tunggu tuan!" panggil Mia sambil meremat erat gaun merah yang ia kenakan itu.Lucifer berbalik dengan smirknya yang menjengkelkan. Meski begitu Mia tak mungkin mengatakan itu pada pria yang ingin ia mintai tolong."Ada apa lagi, nona?" tukas Mike dengan nada dingin.Mike terlihat maju mendekati Mia dan hendak mengus