"Aku sangat berterima kasih untuk niat baikmu, hanya saja... ini terlalu cepat. Kita... bisa melakukannya nanti, setelah semua proses pernikahan selesai," jawab Lyra gugup.Dastan menyilangkan tangan di dadanya. Tersenyum bingung. "Ini tidak terlalu cepat. Aku sudah memikirkannya matang-matang. Ini hadiah untuk keberanianmu tadi."Lyra memejamkan mata sesaat. Awalnya dia merasa senang dengan segala bentuk perhatian dan pemberian Dastan. Namun, kini semua itu malah membuat Lyra tertekan. Merasa sangat bersalah. "Aku... tidak ingin menimbulkan lebih banyak rumor, orang-orang mungkin akan membahas ini di pesta pernikahan."Dastan terdiam. Alasan yang diberikan Lyra, meskipun masuk akal tapi entah mengapa dia merasa itu bukan alasan sesungguhnya. Lyra berdiri. Kursinya terdorong mundur sedikit dengan suara seret yang tajam di telinga Dastan. Wajahnya tegang.“Maaf, aku tidak bisa menandatangani ini,” katanya pelan, tapi tegas menyodorkan kembali map itu ke hadapan Dastan. “Ini bukan...
"I—ini privasi," tolak Lyra tergagap. Dia tak mungkin membiarkan Dastan membaca chat teman-temannya. Itu sangat memalukan dan... menyakitkan. “Lyra.” Nada itu berubah. Lebih berat. Lebih tak terbantahkan.Alis Lyra bertaut rapat menatap tangan Dastan yang terulur. Setelah jeda yang terasa terlalu panjang, akhirnya Lyra menyerahkan ponselnya dengan tangan gemetar. Dastan menerima benda itu, perlahan membuka layar yang memperlihatkan obrolan dari grup alumni.Matanya menyapu setiap baris kata. Rahangnya mengeras, membentuk garis tajam yang menandakan kemarahannya telah mencapai batas. Komentar-komentar itu... sindiran, lelucon busuk, dan tuduhan tak berperasaan yang mencemooh Lyra seolah dia tak lebih dari wanita tak tahu malu yang mengincar status.Dastan diam. Tapi jari-jarinya mengepal. Ia bahkan sempat menahan napasnya sendiri. Setelah berhasil menyusun ulang emosinya dalam diam. Ia menatap Lyra yang tertunduk pasrah. Dengan lembut, Dastan mengembalikan ponsel itu ke tangannya. M
Sekilas, Lyra bisa melihat kemarahan yang masih tertinggal dalam mata pria itu. Tapi yang membuat hatinya benar-benar tersentuh bukanlah amarah Dastan, melainkan caranya melindungi. Tanpa menyudutkan, tanpa membuatnya merasa kecil. “Maaf jika masalahku membuatmu harus bertindak sejauh itu,” ucap Lyra hati-hati. Dastan menggeleng sekali. “Kau tidak perlu minta maaf untuk kesalahan orang lain.” Sebuah kalimat sederhana—tapi langsung menghujam. Lyra termangu. Ya, dia terlalu banyak minta maaf dalam hidupnya. Bahkan untuk hal yang bukan kesalahannya. ** Alba sedang merapikan tatanan rambut Lyra saat ponsel di atas meja rias bergetar. Nama sang ibu tertera jelas di layar. Lyra sempat menimbang untuk membiarkannya saja, tapi getaran itu terus muncul. Akhirnya ia menghela napas pelan dan menjawab. “Halo, Ma…” Suara Talia langsung terdengar, tajam dan tanpa basa-basi. “Undangan sudah siap, kan? Kirimkan sebagian padaku. Kolega-kolega keluarga Sasmita di luar kota juga harus dapat. Da
Alis Lyra terangkat tinggi. Dari mana Nyonya ini mengenalnya? Ini pertemuan perdana mereka. “Kau yakin, sayang? Usianya masih sangat muda,” ucap Tuan Raymond ikut berpikir. “Ah, dia sangat mirip salah satu siswiku di kelas piano.” Nyonya Alida bergumam pada suaminya. “Tapi…” “Mungkin hanya mirip,” sela tuan Raymond lalu beralih pada Dastan. “Apa dia calon istrimu?" Dastan mengangguk mantap dan menuntun Lyra maju untuk berkenalan. "Wah, cantik sekali. Kalian pasangan yang sangat serasi.” Lyra membungkuk sedikit, malu-malu. “Terima kasih, Tuan dan Nyonya.” Nyonya Alida mengangguk ragu, meski kemudian tersenyum. “Duduklah sebentar. Kami tak keberatan berbagi tempat,” ucapnya menepuk kursi kosong di sebelahnya. Mereka kemudian duduk melingkar dengan suasana yang cepat mencair. Tuan Raymond menyempatkan berbisik pada Dastan, “Nak, kau memang pintar, bahkan soal memilih istri. Ayahmu pasti senang kau akhirnya mau menikah.” Dastan hanya tersenyum tipis, menjadi pendengar yang bai
Beberapa menit berlalu. Darah Lyra mulai naik ke kepala. Tangannya mengepal di balik gaun yang ia kenakan. Bukan karena cemburu—setidaknya dia tidak mau mengakuinya. Tapi karena semuanya terasa tidak pantas. Ini venue pernikahan mereka, bukan tempat Dastan memamerkan pesona seolah dia masih bujang idaman kota!“Kalau saya boleh usul,” celetuk salah satu asisten WO, “Daripada warna peach, kenapa tidak pilih warna yang lebih bold, biar matching dengan aura Tuan Dastan yang strong dan elegan?”Beberapa orang tertawa setuju. Lyra menggertakkan giginya pelan. Matanya menatap Dastan tajam. Pria itu tidak mengatakan apa-apa. Tidak membela. Tidak meliriknya sekali pun."Ini sebenarnya acara siapa? Kenapa aku merasa seperti figuran di pesta milik Dastan Adiwangsa?" sungut Lyra sambil berlalu kesal. Sepuluh menit kemudian. Dastan yang mulai lelah menanggapi para pencari perhatian itu, menghela napas berat. Matanya melirik ke sisi kanan. Ke kiri. Kemudian berputar."Lyra?" gumamnya rendah.Gad
Mobil hitam mewah itu meluncur mulus di jalanan sore kota Torin, dikawal oleh sebuah mobil ajudan. Terlihat santai, tapi di dalamnya, atmosfer begitu tegang, nyaris mencekik.Tak ada musik.Tak ada sapaan.Hanya suara mesin dan napas yang berat-berat.Satu… dua… lima menit.Charlie melirik sekilas ke kaca spion, mengamati dua sosok di kursi belakang yang sejak awal perjalanan hanya… saling membuang muka. Udara di dalam mobil terasa tebal dan kaku, seperti diselimuti kabut ego dan emosi tak tersampaikan.Dastan duduk dengan postur sempurna, mata menatap ke luar jendela seperti pangeran yang sedang merencanakan perang. Sementara di sampingnya, Lyra duduk dengan tangan terlipat di dada, mengarahkan kepala ke arah berlawanan, bibirnya mengerucut menahan jengkel.Charlie menghela napas pelan, lalu memberanikan diri membuka suara.“Ehem… Apa Tuan dan Nona ingin makan malam dulu? Aku tahu restoran baru di pusat kota. Katanya—”“Tidak!” seru Dastan dan Lyra nyaris bersamaan.Keduanya langsung
Lyra bersungut pelan, duduk di tepi ranjang dengan ekspresi muram. Matanya menatap kosong ke arah jendela yang tertutup tirai tipis, seolah berharap angin malam bisa membawa serta kekesalan yang masih mengendap di dadanya.Sikap Dastan benar-benar membuatnya kehilangan kata. Baru saja ia mencoba mempercayai bahwa pria itu memiliki sisi manusiawi di balik wajah dinginnya, tapi semua harapan itu hancur dalam hitungan jam. Hari ini, Dastan seperti sosok asing. Dingin. Sinis. Dan menyakitkan.“Dia benar-benar menyebalkan,” gumam Lyra, menggenggam bantal dan memeluknya erat. Tak peduli seberapa banyak kebaikan yang ia tunjukkan sebelumnya, pada akhirnya dia tetap pria arogan yang menganggap dirinya penguasa segala hal. Lyra menghela napas panjang. Masih segar dalam ingatan cara pria itu mempermalukannya di depan orang asing. Seolah ia hanya boneka yang bisa diperlakukan sesuka hati.Entah kenapa, setelah pembicaraan soal saham kemarin, Dastan berubah. Semakin menyebalkan. Semakin dingin.
Sudah pukul lima sore. Dastan pasti akan pulang malam. Itu tebakan Lyra. Jadi dia tidak akan sempat untuk bertatap muka langsung dengan pria itu.Pagi tadi, dia menerima telepon dari salah satu teman alumni yang meminta maaf dan mengundangnya makan malam. Pesan serupa juga dia terima dari teman lainnya. Sejujurnya, Lyra belum sepenuhnya bisa memaafkan perbuatan mereka. Tapi saat ini, dengan situasi menyesakkan di rumah itu, dia butuh sedikit suasana baru."Haruskah aku menghubunginya?" tanya Lyra bermonolog. Meskipun sedang perang dingin. Tidak sepatutnya dia pergi tanpa izin. Itu tidak sopan. Setelah beberapa menit termenung dalam diam, Lyra akhirnya memberanikan diri meraih ponselnya kembali. Jari-jarinya sempat ragu, namun kemudian menekan ikon panggilan yang belum terlalu akrab di layar.Nada tunggu berdering pelan, menggetarkan dadanya yang masih dipenuhi rasa bersalah. Ia tidak tahu apakah Dastan akan mengangkat. Mungkin tidak. Mungkin dia masih marah. Atau... mungkin pria it
Sudah pukul lima sore. Dastan pasti akan pulang malam. Itu tebakan Lyra. Jadi dia tidak akan sempat untuk bertatap muka langsung dengan pria itu.Pagi tadi, dia menerima telepon dari salah satu teman alumni yang meminta maaf dan mengundangnya makan malam. Pesan serupa juga dia terima dari teman lainnya. Sejujurnya, Lyra belum sepenuhnya bisa memaafkan perbuatan mereka. Tapi saat ini, dengan situasi menyesakkan di rumah itu, dia butuh sedikit suasana baru."Haruskah aku menghubunginya?" tanya Lyra bermonolog. Meskipun sedang perang dingin. Tidak sepatutnya dia pergi tanpa izin. Itu tidak sopan. Setelah beberapa menit termenung dalam diam, Lyra akhirnya memberanikan diri meraih ponselnya kembali. Jari-jarinya sempat ragu, namun kemudian menekan ikon panggilan yang belum terlalu akrab di layar.Nada tunggu berdering pelan, menggetarkan dadanya yang masih dipenuhi rasa bersalah. Ia tidak tahu apakah Dastan akan mengangkat. Mungkin tidak. Mungkin dia masih marah. Atau... mungkin pria it
Lyra bersungut pelan, duduk di tepi ranjang dengan ekspresi muram. Matanya menatap kosong ke arah jendela yang tertutup tirai tipis, seolah berharap angin malam bisa membawa serta kekesalan yang masih mengendap di dadanya.Sikap Dastan benar-benar membuatnya kehilangan kata. Baru saja ia mencoba mempercayai bahwa pria itu memiliki sisi manusiawi di balik wajah dinginnya, tapi semua harapan itu hancur dalam hitungan jam. Hari ini, Dastan seperti sosok asing. Dingin. Sinis. Dan menyakitkan.“Dia benar-benar menyebalkan,” gumam Lyra, menggenggam bantal dan memeluknya erat. Tak peduli seberapa banyak kebaikan yang ia tunjukkan sebelumnya, pada akhirnya dia tetap pria arogan yang menganggap dirinya penguasa segala hal. Lyra menghela napas panjang. Masih segar dalam ingatan cara pria itu mempermalukannya di depan orang asing. Seolah ia hanya boneka yang bisa diperlakukan sesuka hati.Entah kenapa, setelah pembicaraan soal saham kemarin, Dastan berubah. Semakin menyebalkan. Semakin dingin.
Mobil hitam mewah itu meluncur mulus di jalanan sore kota Torin, dikawal oleh sebuah mobil ajudan. Terlihat santai, tapi di dalamnya, atmosfer begitu tegang, nyaris mencekik.Tak ada musik.Tak ada sapaan.Hanya suara mesin dan napas yang berat-berat.Satu… dua… lima menit.Charlie melirik sekilas ke kaca spion, mengamati dua sosok di kursi belakang yang sejak awal perjalanan hanya… saling membuang muka. Udara di dalam mobil terasa tebal dan kaku, seperti diselimuti kabut ego dan emosi tak tersampaikan.Dastan duduk dengan postur sempurna, mata menatap ke luar jendela seperti pangeran yang sedang merencanakan perang. Sementara di sampingnya, Lyra duduk dengan tangan terlipat di dada, mengarahkan kepala ke arah berlawanan, bibirnya mengerucut menahan jengkel.Charlie menghela napas pelan, lalu memberanikan diri membuka suara.“Ehem… Apa Tuan dan Nona ingin makan malam dulu? Aku tahu restoran baru di pusat kota. Katanya—”“Tidak!” seru Dastan dan Lyra nyaris bersamaan.Keduanya langsung
Beberapa menit berlalu. Darah Lyra mulai naik ke kepala. Tangannya mengepal di balik gaun yang ia kenakan. Bukan karena cemburu—setidaknya dia tidak mau mengakuinya. Tapi karena semuanya terasa tidak pantas. Ini venue pernikahan mereka, bukan tempat Dastan memamerkan pesona seolah dia masih bujang idaman kota!“Kalau saya boleh usul,” celetuk salah satu asisten WO, “Daripada warna peach, kenapa tidak pilih warna yang lebih bold, biar matching dengan aura Tuan Dastan yang strong dan elegan?”Beberapa orang tertawa setuju. Lyra menggertakkan giginya pelan. Matanya menatap Dastan tajam. Pria itu tidak mengatakan apa-apa. Tidak membela. Tidak meliriknya sekali pun."Ini sebenarnya acara siapa? Kenapa aku merasa seperti figuran di pesta milik Dastan Adiwangsa?" sungut Lyra sambil berlalu kesal. Sepuluh menit kemudian. Dastan yang mulai lelah menanggapi para pencari perhatian itu, menghela napas berat. Matanya melirik ke sisi kanan. Ke kiri. Kemudian berputar."Lyra?" gumamnya rendah.Gad
Alis Lyra terangkat tinggi. Dari mana Nyonya ini mengenalnya? Ini pertemuan perdana mereka. “Kau yakin, sayang? Usianya masih sangat muda,” ucap Tuan Raymond ikut berpikir. “Ah, dia sangat mirip salah satu siswiku di kelas piano.” Nyonya Alida bergumam pada suaminya. “Tapi…” “Mungkin hanya mirip,” sela tuan Raymond lalu beralih pada Dastan. “Apa dia calon istrimu?" Dastan mengangguk mantap dan menuntun Lyra maju untuk berkenalan. "Wah, cantik sekali. Kalian pasangan yang sangat serasi.” Lyra membungkuk sedikit, malu-malu. “Terima kasih, Tuan dan Nyonya.” Nyonya Alida mengangguk ragu, meski kemudian tersenyum. “Duduklah sebentar. Kami tak keberatan berbagi tempat,” ucapnya menepuk kursi kosong di sebelahnya. Mereka kemudian duduk melingkar dengan suasana yang cepat mencair. Tuan Raymond menyempatkan berbisik pada Dastan, “Nak, kau memang pintar, bahkan soal memilih istri. Ayahmu pasti senang kau akhirnya mau menikah.” Dastan hanya tersenyum tipis, menjadi pendengar yang bai
Sekilas, Lyra bisa melihat kemarahan yang masih tertinggal dalam mata pria itu. Tapi yang membuat hatinya benar-benar tersentuh bukanlah amarah Dastan, melainkan caranya melindungi. Tanpa menyudutkan, tanpa membuatnya merasa kecil. “Maaf jika masalahku membuatmu harus bertindak sejauh itu,” ucap Lyra hati-hati. Dastan menggeleng sekali. “Kau tidak perlu minta maaf untuk kesalahan orang lain.” Sebuah kalimat sederhana—tapi langsung menghujam. Lyra termangu. Ya, dia terlalu banyak minta maaf dalam hidupnya. Bahkan untuk hal yang bukan kesalahannya. ** Alba sedang merapikan tatanan rambut Lyra saat ponsel di atas meja rias bergetar. Nama sang ibu tertera jelas di layar. Lyra sempat menimbang untuk membiarkannya saja, tapi getaran itu terus muncul. Akhirnya ia menghela napas pelan dan menjawab. “Halo, Ma…” Suara Talia langsung terdengar, tajam dan tanpa basa-basi. “Undangan sudah siap, kan? Kirimkan sebagian padaku. Kolega-kolega keluarga Sasmita di luar kota juga harus dapat. Da
"I—ini privasi," tolak Lyra tergagap. Dia tak mungkin membiarkan Dastan membaca chat teman-temannya. Itu sangat memalukan dan... menyakitkan. “Lyra.” Nada itu berubah. Lebih berat. Lebih tak terbantahkan.Alis Lyra bertaut rapat menatap tangan Dastan yang terulur. Setelah jeda yang terasa terlalu panjang, akhirnya Lyra menyerahkan ponselnya dengan tangan gemetar. Dastan menerima benda itu, perlahan membuka layar yang memperlihatkan obrolan dari grup alumni.Matanya menyapu setiap baris kata. Rahangnya mengeras, membentuk garis tajam yang menandakan kemarahannya telah mencapai batas. Komentar-komentar itu... sindiran, lelucon busuk, dan tuduhan tak berperasaan yang mencemooh Lyra seolah dia tak lebih dari wanita tak tahu malu yang mengincar status.Dastan diam. Tapi jari-jarinya mengepal. Ia bahkan sempat menahan napasnya sendiri. Setelah berhasil menyusun ulang emosinya dalam diam. Ia menatap Lyra yang tertunduk pasrah. Dengan lembut, Dastan mengembalikan ponsel itu ke tangannya. M
"Aku sangat berterima kasih untuk niat baikmu, hanya saja... ini terlalu cepat. Kita... bisa melakukannya nanti, setelah semua proses pernikahan selesai," jawab Lyra gugup.Dastan menyilangkan tangan di dadanya. Tersenyum bingung. "Ini tidak terlalu cepat. Aku sudah memikirkannya matang-matang. Ini hadiah untuk keberanianmu tadi."Lyra memejamkan mata sesaat. Awalnya dia merasa senang dengan segala bentuk perhatian dan pemberian Dastan. Namun, kini semua itu malah membuat Lyra tertekan. Merasa sangat bersalah. "Aku... tidak ingin menimbulkan lebih banyak rumor, orang-orang mungkin akan membahas ini di pesta pernikahan."Dastan terdiam. Alasan yang diberikan Lyra, meskipun masuk akal tapi entah mengapa dia merasa itu bukan alasan sesungguhnya. Lyra berdiri. Kursinya terdorong mundur sedikit dengan suara seret yang tajam di telinga Dastan. Wajahnya tegang.“Maaf, aku tidak bisa menandatangani ini,” katanya pelan, tapi tegas menyodorkan kembali map itu ke hadapan Dastan. “Ini bukan...
Leona tak bisa menyembunyikan keterkejutan saat Lyra menepis tangannya dan membentak. Gadis itu mengangkat dagu. Menantang tatapannya dengan berani."Apapun yang ingin kulakukan, itu urusanku. Aku tidak butuh penilaian kalian," desis Lyra geram. "Dan tentang pertunangan kami yang batal, kau salah besar, Leona. Tanyakan pada putramu kebenarannya."Kedua alis Leona terangkat, nyaris tertawa. "Apa?""Kau pikir Darren tak menyesal melepaskanku? Yang benar saja," Lyra menatap langsung ke matanya. "Justru putramu sekarang bertingkah seperti orang aneh. Dia terus mengejarku. Tidak pernah bisa menerima kenyataan bahwa pertunangan kami telah dibatalkan."Sejenak, suasana jadi hening. Para sosialita di belakang Leona saling menatap bingung."Kau bisa tanyakan sendiri pada bocah itu. Lihat isi pesan-pesannya. Dengarkan sendiri suara memelasnya di telepon," lanjut Lyra membuat Leona tercekat."Astaga, benar... kau pasti tidak tahu." Lyra menyeringai kecil lalu menutup mulutnya. "Ups!"Rombongan s