[Maret 2022]
Tabitha menatap dua tanaman kaktus yang ia beri nama Kha dan Bee dengan tatapan kosong. Meski kaktus-kaktus itu mengingatkannya pada Sakha−mantan suami Tabitha yang menghadiahkan tanaman itu saat anniversary pernikahan mereka yang kedua−dan selalu menyebabkan rasa sakit di dada, Tabitha tak tega membuang dua tanaman yang masih tumbuh dengan subur itu. Sehingga sampai hari ini, kedua tanaman itu masih Tabitha rawat dengan sepenuh hati meski harus menahan rasa sakit setiap kali bayangan tentang Sakha terlintas di kepalanya.
Pernah suatu hari Tabitha menyerahkan dua kaktus itu kepada ibunya untuk dirawat di rumah−beberapa minggu setelah resmi bercerai dari Sakha. Namun, selang dua minggu, mendadak ibunya mengabari jika kaktus-kaktus Tabitha nyaris mati. Tabitha langsung datang ke rumah ibunya untuk mengambil kembali dua kaktus itu−Tabitha bawa ke tempat kerjanya−dan ajaibnya mereka bisa kembali tumbuh dengan baik setelah satu bulan Tabitha mati-matian merawatnya.
Kejadian itu membuat Tabitha mengasihani dirinya sendiri. Padahal, ia bisa saja membiarkan kaktus-kaktus itu mati, seperti pernikahannya dengan Sakha yang sudah karam hampir setahun lamanya, agar ia bisa bangkit lagi. Berkenalan dengan orang baru dan memulai hidup baru tanpa baying-bayang masa lalu yang masih terus mengikutinya ke mana pun ia melangkah.
“Tha, minggu depan ada training khusus karyawan di Bali. Lo ikut ya,” tegur Jona. Salah satu senior di tempat kerjanya yang paling dekat dengan Tabitha.
Bayangan tentang Sakha langsung memudar dari pikiran Tabitha karena interupsi dari Jona.
“Kenapa bukan anak-anak baru aja yang ikut?”
“Ini buat yang udah senior. Lo butuh ikut banyak training sebelum naik jabatan.”
Tabitha langsung mencibir, “Bos kita nggak akan mungkin kasih gue kesempatan naik jabatan kecuali populasi laki-laki di dunia ini udah habis.”
“Kalau populasi laki-laki di dunia punah, berarti Bos juga punah dong? Kan dia laki,” sahut Jona sembari terkekeh.
Candaan Jona tidak membuat Tabitha ikut tertawa. Bertahun-tahun lamanya ia bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang industri kreatif itu, Tabitha stuck di posisi yang sama. Ia masih bertahan menjadi seorang content creator yang levelnya sama seperti karyawan yang baru bekerja di sana selama dua tahun−hanya gajinya saja yang sudah agak lebih tinggi setelah ia mengajukan offer ke HRD. Tabitha bahkan nyaris dipecat karena wanita itu sempat terpuruk gara-gara perceraiannya dengan Sakha yang berimbas ke produktivitasnya dalam bekerja.
Kala itu, Tabitha tidak peduli lagi jika seandainya ia dipecat. Sebab, untuk bangun dari atas tempat tidur setiap pagi saja rasanya sulit sekali. Belum lagi ia harus menghadapi Bos yang paling menyebalkan yang membuat Tabitha naik darah setiap saat. Tabitha tidak mempunyai tenaga untuk itu.
“Gue lagi males ke luar kota, Jo. Mending si Syabda aja tuh. Kan dia yang paling berambisi naik jabatan,” tukas Tabitha.
“Dia pernah beberapa kali diminta Bos buat ikut training, tapi malah sibuk nge-room sama cewek. Bos udah nggak bakal ngirim dia ke mana-mana. Dia satu-satunya makhluk laki-laki yang kayaknya nggak bakal dikasih naik jabatan sama si Bos gara-gara kelakuannya minus,” sahut Jona seraya berpura-pura muntah.
Tabitha tertawa.
“Padahal selama nggak bikin reputasi perusahaan jelek, bebeas aja dia mau ngapain.”
“Bebas sih bebas, Tha. Tapi kalau lo udah dikasih kepercayaan bos buat ikutan training, tapi malah enak-enak sama cewek di kamar hotel yang dibayarin kantor tuh namanya nggak tahu diri,” cibir Jona yang paling semangat jika sudah menggosipkan orang.
Tabitha lagi-lagi tertawa. “Emang udah nggak tertolong lagi tuh orang.”
“Pokoknya lo yang berangkat ya, Tha. Gue bisa jamin kalau nggak lama lo bakal dipromosiin sama si Bos buat naik jabatan. Semenjak dia rujuk sama istrinya kan udah mulai lebih bersahabat sama kita.”
“Sama lo doang kali, Jon! Sama gue enggak! Hobinya nyiksa gue, kayak majikan-majikan yang dzolim ke pembokatnya,” sembur Tabitha yang mendadak kesal karena tadi pagi ia kena semprot si Bos di depan para juniornya hanya karena kesalahan kecil saat ia presentasi.
Jona tertawa.
“Lo nggak dipecat dari sini setelah nyaris kena SP juga karena Bos yang backing lo. Kurang baik apa dia sama lo?”
“Nggak usah dibahas deh, itu udah kewajiban Bos buat pertahanin karyawan yang udah lama kerja di sini. Lagian itu pertama kalinya gue kerja nggak bener−”
“Kerjaan nggak bener lo itu bikin perusahaan nyaris rugi ratusan juga gara-gara klien mau batalin kontrak.”
Tabitha memutar bola matanya dengan jengah.
“Tapi akhirnya nggak jadi karena gue juga yang ngelobi mereka sampe mereka mau balik lagi ke kita.”
Jona mengangkat kedua tangan ke atas. Sebagai tanda ia menyerah melanjutkan perdebatan dengan Tabitha. Sebab, Jona tahu jika ia akan kalah berdebat dengan wanita itu. Lebih baik ia simpan tenaganya untuk meyakinkan Tabitha lagi soal training.
“Kalau lo mau ikut training, abis balik dari Bali gue traktir deh.”
“Kalau cuma traktir soto Mbok Darmi di belakang kantor sih gue ogah. Gue masih mampu beli sendiri,” jawab Tabitha, masih bersikukuh menolak.
“Ini si Bos yang minta gue ngomong sama lo, Tha. atau lo mau si Bos langsung yang ngomong sama lo biar mau ikut training.”
“Dih, pake ngancem segala,” gerutu Tabitha. “Gue beneran lagi males pergi-pergi, Jon. Kalau training-nya cuma di Bogor gue disuruh berangkat sekarang juga gue jabanin deh.”
“Lo bentar lagi ulang tahun, kan? Gue beliin barang yang lo mau deh. Sepatu atau tas? Gue kasih!”
“Ini kenapa lo yang ngebet banget pengen gue ikut training? Si Bos ngomong apa sama lo?” tuntut Tabitha yang langsung memasang ekspresi curiga.
“Gue cuma lagi baik aja. Waktu ulang tahun gue kemarin kan lo kasih gue jam tangan mahal. Gue juga mau sekali-kali jadi orang baik.”
“Lo mau jadi orang baik tapi pamrih gitu. Sama aja boong.”
“Udha ah, capek banget ngomong sama lo. Ayo makan siang sekarang aja. Seret nih tenggorokan gue gara-gara ngomong sama lo.”
“Gue bawa bekal. Lo turun aja sendiri, gue nitip jus mangga.”
“Astaga, pantes di Bos dzolim ke lo. Lo juga dzolim banget ke gue,” erang Jona, tetapi pada akhirnya tetap setuju dimintai tolong untuk membelikan Tabitha jus mangga seperti yang wanita itu minta.
Setelah Jona pergi, Tabitha kembali menatap dua kaktus yang berada di meja kerjanya. Sebenarnya, alasan Tabitha menolak ikut training bukan hanya karena ia malas bepergian, tetapi karena minggu depan adalah hari anniversary pernikahannya dengan Sakha yang kelima, jika saja mereka tidak bercerai. Tabitha tidak akan bisa fokus mengikuti training karena pikirannya selama beberapa hari terakhir ini saja sudah ruwet.
Bukan. Tabitha bukan ingin mengorek masa lalu dan menaburkan garam di atas lukanya yang belum kering dengan terus-menerus mengingat tentang apa pun yang berhubungan dengan Sakha. Tetapi ia tidak bisa. Sulit untuk tidak mengingat-ingat lagi tentang apa yang dulu ia miliki dengan Sakha selama empat tahun pernikahan−tujuh tahun jika masa-masa pacaran juga dihitung. Terlalu banyak kenangan indah−yang sekarang hanya membuat Tabitha sakit jika mengingatnya−yang tidak mudah dilupakan. Terlalu banyak momen membahagiakan yang bagi dengan Sakha dulu.
Memangnya, apa yang ingin Tabitha lakukan di hari anniversary pernikahannya yang sudah kandas itu?
Sejujurnya, Tabitha sendiri pun tidak tahu. Biasanya ia dan Sakha akan makan malam di restoran dengan suasana romantis−atau cukup di rumah saja, mendekor ruang makan dengan tema candle light dinner−lalu menonton film-film romantis di ruang santai di rumah mereka sembari cuddling dan kemudian ditutup dengan bercinta hingga lelah.
Tabitha dan Sakha resmi bercerai satu bulan sebelum tanggal anniversary pernikahan. Dan tahun lalu, Tabitha masih dalam keadaan sangat kacau setelah bercerai. Luka di hati Tabitha masih basah dan wanita itu harus diingatkan oleh tanggal pernikahannya yang seolah mengejek Tabitha karena yang tersisa hanyalah kenangan. Tidak ada yang bisa lagi dirayakan, kecuali kenyataan bahwa ia telah kehilangan Sakha dan kebahagiannya.
Hingga hari ini, luka itu masih ada. Dan untuk tahun-tahun yang akan datang, Tabitha cukup yakin bahwa luka itu akan tetap ada. Membersamai dirinya ke mana pun ia melangkah.
.
.
to be continued
Tabitha tersenyum miris. Bukannya memakan bekal yang ia bawa dari rumah, Tabitha malah meraih ponselnya yang sejak tadi tergeletak di meja kerjanya dan membuka salah satu akun sosial medianya. Selama ini, Tabitha hanya memanfaatkan sosial media untuk mengikuti trend terkini yang berhubungan dengan pekerjaannya di bidang kreatif itu. Namun, dalam beberapa minggu terakhir ini Tabitha mendadak semakin sering membuka second account yang sengaja ia buat untuk kepentingan pribadi. Hal itu bermula sejak Tabitha tak sengaja melihat mantan suaminya mengunggah sebuah foto di suatu tempat yang ingin wanita itu datangi tetapi belum kesampaian. Sakha mengunggah foto pemandangan kota Yunani ketika senja. Saat matahari sudah nyaris tenggelam sepenuhnya di peraduan. Foto yang diunggah Sakha itu tidak bisa Tabitha abaikan begitu saja. Sebab, caption di unggahan itu langsung menarik perhatian Tabitha. Sakha menuliskan sepenggal lirik lagu milik Secondhand Serenade yang berjudul Your Call. . 🎵And I’
[April 2022]Sakha menatap nanar cincin kawinnya dengan Tabitha yang masih ia simpan meski sudah bercerai dari wanita itu selama setahun. Cincin itu yang dulunya menghuni jari manis Sakha. Tidak pernah laki-laki itu lepaskan, karena itu adalah salah satu bukti−selain buku nikah−bahwa ia telah mengikatkan diri pada sebuah ikatan sakral bernama pernikahan dengan wanita yang ia cintai.Setelah bercerai, Sakha masih mengenakan cincin itu selama lebih dari satu bulan. Sakha baru melepaskan cincin itu saat beberapa kali Ibu menegurnya. Bahkan Ibu menyuruh Sakha agar menjual cincin itu saja, tetapi Sakha tidak melakukannya. Sakha menyimpan cincin kawin itu di sudut lemari yang paling jauh agar tidak tergelitik untuk mengenakannya lagi.Hari ini adalah hari spesial.Sangat spesial bagi Sakha jika saja pernikahannya dengan Tabitha tidak kandas di tengah jalan. Tepat di hari ini, Sakha resmi menjadikan Tabitha sebagai kekasihnya, delapan tahun yang lalu. Dan juga lima tahun lalu, Sakha meminang
“Ini udah setahun, kan?” tanya Albert yang menyandarkan tubuh di sofa dengan tubuh sedikit melorot.Kaki Albert terjulur lurus di lantai yang berlapis karpet. Laki-laki itu terlalu kekenyangan setelah menyantap berbagai menu makanan cepat saja yang tadi ia dan Alex bawa saat Sakha meminta mereka untuk datang.Meski Alex tadi bercanda soal ajakannya untuk merayakan kegalauan Sakha, Albert menganggapnya serius. Laki-laki itu mengajak Alex membeli banyak makanan dan berkaleng-kaleng soda. Saat tiba di rumah Sakha, Albert bahkan begitu saja mengatakan bahwa laki-laki itu tahu kalau hari ini adalah hari anniversary pernikahan Sakha dan Tabitha.Kata Albert, daripada hanya bersedih sendirian dan mengurung diri di kamar, akan lebih baik jika merayakan kemuramannya bersama sahabat-sahabatnya yang selalu bersabar menghadapi bagaimana merananya Sakha pada tanggal-tanggal pentingnya bersama Tabitha. Sakha sempat mengumpati Albert karena tak berhenti mengejeknya, tetapi tak urung laki-laki itu be
Rasanya seperti sudah setahun lamanya Sakha tidak menginjakkan kaki di kantor pusat NatGeo. Tetapi, nyatanya Sakha memang jarang ke kantor bahkan nyaris tidak pernah, kecuali saat diminta untuk datang menghadiri meeting penting atau dipanggil oleh Bos Besar. Sebab, pekerjaannya menuntut laki-laki itu untuk lebih sering berada di luar ruangan. Sehari-harinya bersinggungan dengan sinar matahari.Hari ini, Sakha datang ke kantor karena pagi-pagi sekali tadi sudah dihubungi sekretaris bosnya untuk membahas sesuatu yang penting. Sakha mau tidak mau menyeret kakinya ke kantor dengan malas-malasan. Masih dengan mata mengantuk, Sakha masuk ke dalam lift yang akan mengantarkan laki-laki itu menuju lantai 5.Ada beberapa wajah familiar yang Sakha kenali saat keluar dari lift dan melewati bilik-bilik ruang kerja yang sebagian besar kosong. Sakha juga punya satu bilik di sana, tetapi nyaris tidak pernah Sakha singgahi karena terlalu sibuk bekerja di lapangan. Sakha menyapa mereka singkat dan lang
Sakha butuh waktu untuk memproses informasi yang diserapnya pagi ini, saat matanya bahkan masih terasa berat karena kurang tidur. Saat selesai mengedit foto subuh tadi, Sakha hanya berencana untuk hunting foto sebentar, lalu menghabiskan waktunya untuk tidur. Menghimpun energi yang telah terkuras karena beberapa hari terakhir ia sibuk ke sana kemari untuk memotret. Berangkat pagi buta dan pulang tengah malam. Bahkan sempat tidak pulang selama dua hari hanya untuk mendapatkan satu dua lembar foto yang sempurna dari angle yang berbeda. “Kira-kira berapa lama proyek ini berlangsung?” Sakha memecah keheningan. Pramudya yang sudah sibuk dengan tablet di tangannya itu mendongak. “Bisa sebulan atau dua bulan. Tergantung kalian bisa kerja cepat atau tidak. Targetnya maksimal enam bulan harus sudah selesai.” Kerja cepat yang dimaksud Pramudya bukan hanya menyelesaikan tugas yang diberikan dengan hasil seadanya. Tetapi harus SEMPURNA. Setidaknya itu yang menjadi pegangan Sakha dalam menggel
Karena masih belum tahu seberapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan proyek barunya bersama gabungan tim dari berbagai cabang NatGeo di dunia, Sakha bingung harus mengepak apa saja. Sakha juga belum tahu negara mana saja yang harus didatangi. Sehingga ia tidak punya referensi pakaian yang cocok untuk dibawa. Yang membuat Sakha sejak tadi hanya berdiri di depan lemari dengan dua pintu yang terbuka lebar adalah kenangan sialan yang dengan lancang mampir ke otaknya.Sakha sudah lama sekali tak bepergian jauh. Setiap kali harus ke luar kota atau ke luar negeri, ada Tabitha yang membantu mengepak pakaian dan barang-barang yang ia perlukan. Tabitha selalu tahu apa yang Sakha butuhkan. Sakha nyaris tidak pernah protes karena Tabitha mengepak dengan rapi dan ajaibnya, kopernya muat menampung banyak. Sekarang, Tabitha sudah tidak ada dalam hidupnya. Itu artinya Sakha harus mengepak keperluannya seorang sendiri.Sakha pun menurunkan beberapa pakaian yang sudah terlipat rapi di lemari
Rupanya, bertemu kembali dengan orang-orang terdekatnya dahulu, saat masih menikah dengan Sakha, tidak sesulit dan seberat yang selama ini Tabitha bayangkan. Atau mungkin karena sekarang Tabitha sudah mulai berusaha mengikhlaskan apa yang telah terjadi di masa lalu sehingga bisa mengiyakan ajakan Alex tanpa banyak overthinking.Saat resmi bercerai dari Sakha, Tabitha berjanji hanya akan menjauh dari kawan-kawan lamanya–yang juga teman Sakha–selama satu tahun sebagai proses penyembuhan. Sebab, Tabitha yakin sekali jika ia akan terus merasa sakit jika bersinggungan dengan kawan-kawannya yang satu sirkel dengan Sakha juga. Mau tidak mau, pasti ada akan pembicaraan yang entah sengaja atau tidak terucap yang membuat Tabitha dan Sakha berada di posisi serba salah. Tabitha pun tak yakin tak akan menangis jika berada di sekitar mereka saat emosinya masih sangat labil.Dan hari ini, Tabitha merasa cukup yakin bisa menikmati pertemuan i Meski masih ada rasa sakit hingga sekarang, nyatanya Tabit
“Lo nggak menyedihkan, Tha,” koreksi Albert. Tampak tidak senang melihat Tabitha yang sedikit murung. “Menurut gue sih wajar. Lo pernah punya kenangan manis di sana dan lo mau menyimpan itu buat lo sendiri. Nggak ada yang salah dengan hal itu. Dan itu hak lo juga mau ““Thanks, Al.” Tabitha terkekeh. Menciptakan ekspresi bertanya di wajah Albert. “Dipikir-pikir lagi ternyata gue kangen ngobrol dan curhat sama lo.”Albert tersenyum lebar. “Gue emang ngangenin sih. Berarti kita bisa nongkrong bareng lagi besok-besok, kan?”Tabitha mengangguk ringan. Malah, tadinya Tabitha yang ingin mengajak Albert nongkrong lagi kapan-kapan. Hanya saja Tabitha merasa agak canggung untuk mengajak duluan. Sebab, setelah bercerai dari Sakha, Tabitha paling keras menolak kehadiran Albert hingga laki-laki itu pun akhirnya menyerah dan tidak pernah lagi mengganggu Tabitha. Pertemuan hari ini pun karena inisiatif Alex. Tabitha sempat mengira jika Albert tidak akan mau ikut karena obrolan terakhir mereka sebel
[Yunani 2026] Tabitha terbangun dari tidurnya karena mendengar suara debur ombak yang menyapa telinga. Ketika kedua matanya telah sepenuhnya terbuka, wanita itu langsung dihadapkan pada pemandangan indah yang membuat senyum manisnya terukir. Yaitu punggung liat suaminya yang tak terbalut sehelai kain menjadi yang pertama Tabitha lihat. Laki-laki itu berdiri membelakanginya, dengan kedua tangan bersandar di pagar balkon kamar. Senyumnya melebar kala sang suami menyadari kalau ia telah bangun dan sosok itu berbalik untuk menatapnya. "Selamat pagi, Istriku." Sapaan itu membuat wajah Tabitha memerah. Gara-gara panggilan yang terdengar manis itu juga kemarin Tabitha berakhir telanjang di atas tempat tidur sesaat setelah mereka tiba di kamar dengan pemandangan menakjubkan itu. Mereka bergumul di atas ranjang hingga tengah malam, sama-sama banjir peluh dan kelelahan, tetapi banjir kenikmatan. Tanpa sempat menikmati pemandangan yang disuguhkan salah satu pulau di Yunani yang menjadi dest
Pada pernikahan pertamanya dengan Sakha, banyak tangis yang diam-diam Tabitha pendam setiap kali wanita itu kembali mendapatkan tamu bulanan. Pada saat memasuki tahun kedua pernikahan, Tabitha masih belum terlalu mempermasalahkannya. Ia masih bisa berpikir positif dan menganggap bahwa ia belum siap menjadi ibu. Bahwa ia masih diberi waktu oleh Tuhan untuk menyiapkan mental. Tabitha memilih menikmati hari demi harinya bersama Sakha. Merajut cinta yang terus bertumbuh seiring berjalannya waktu.Tabitha baru mulai khawatir saat tahun ketiga, sudah mulai ikut promil, tetapi malam-malam penuh cintanya bersama Sakha tak juga menghadirkan bayi di dalam perutnya. Terlebih mengetahui Sakha yang sudah sangat mengharapkan kehadiran anak, Tabitha jadi gundah gulana.Hati Tabitha remuk setiap kali Sakha mengecup perutnya dan membisikkan doa agar usahanya membuahkan hasil, tetapi esok harinya Tabitha mendapati bercak merah di celana dalamnya. Dan yang lebih menyakitkan adalah ketika Tabitha sudah t
Rachel Kalila Ramadhani."Halo, anak Ayah."Sakha memandangi bayi mungil yang masih merah dari balik kaca dengan mata yang berkaca-kaca. Sudah sejak berpuluh-puluh menit ia berdiri di sana. Ia sangat bahagia karena akhirnya bisa menyambut buah cintanya bersama Tabitha, tetapi juga teramat patah hati karena tidak bisa langsung merengkuh anak gadisnya yang masih harus mendapatkan beberapa penanganan medis khusus.Karena sudah harus lahir beberapa minggu sebelum HPL, berat badannya saat ini hanya 2,4 kilogram. Laju pernapasannya masih belum teratur sehingga harus dibantu alat pernapasan yang terpasang di hidungnya. Istrinya saat ini sedang beristirahat di kamar inap setelah operasi caesar yang harus dilaluinya karena kondisi medis darurat.Tadi, saat harus mendengar berita itu disampaikan oleh dokter dan istrinya menangis karena mengkhawatirkan kondisi bayinya, Sakha nyaris ikut meneteskan air mata. Ia benar-benar tidak tega melihat sang istri yang menahan sakit di perut sekaligus terte
"Lho, Bee? Kok belum ganti baju?" Sakha mengernyit bingung melihat istrinya belum selesai bersiap-siap. Istrinya masih mengenakan jubah mandi seperti satu jam yang lalu. Bedanya, wajahnya sekarang sudah full make-up. Menambah kesan cantik yang memikat Sakha meski hanya melihat wajah istrinya dari samping. "Aku bingung mau pakai baju apa," gumam Tabitha. Masih betah memandangi deretan gaun di dalam lemari yang pintunya telah terbuka lebar-lebar. "Semalam bukannya udah kamu siapin sama baju aku sekalian, Bee?" Tidak hanya itu. Sebenarnya sudah sejak jauh-jauh hari Tabitha membeli gaun--yang serasi dengan batik yang dikenakan Sakha sekarang--untuk dipakai saat resepsi pernikahan Haga dan Meg. Sakha mendekat kepada istrinya dan ikut melongok ke dalam lemari lalu meraih gaun berwarna salem yang langsung terlihat di matanya. "Pakai ini, kan?" Tabitha merengut saat melihat ke arah suaminya. "Aku kelihatan makin gendut kalau pakai ini. Mau pakai yang lain tapi bingung. Semua baju yang
Mata Tabitha mulai berkaca-kaca karena tidak bisa menahan rasa haru yang mengisi dadanya karena dua nama yang sarat makna indah yang sudah disiapkan oleh suaminya itu. Saat menyinggung soal nama anak tadi dan mendengar fakta kalau suaminya telah menyiapkan dua nama untuk calon anak mereka, Tabitha sama sekali tidak berekspektasi tinggi. Tetapi begitu mendengar Sakha mengucapkan dua nama itu dengan tatapan penuh cinta, bahkan sampai menjelaskan arti namanya masing-masing, Tabitha langsung tahu bahwa Sakha telah mempersiapkannya dengan sungguh-sungguh. Tidak asal mencomot nama dari internet karena tampak bagus dipadu-padankan. Dan hal itu membuat Tabitha semakin tak bisa menahan air matanya. "Bee, kok nangis? Kamu nggak suka, ya?" Sakha mendadak panik. Tampak rasa khawatir yang pekat membayangi wajahnya. Ia langsung mencerocos panjang lebar. "Aku nggak akan maksa kamu pakai nama itu kalau nama yang aku siapin nggak sesuai harapan kamu kok. Maaf, Bee. Udah ya? Jangan nangis lagi. Kala
"Kalian kenapa lebay banget, sih? Gue nggak papa kali!" keluh Albert yang sama sekali tidak terlihat baik-baik saja, seperti yang diucapkannya barusan.Laki-laki itu masih telungkup di atas tempat tidur, hanya mengenakan celana pendek dan singlet. Aroma tidak sedap karena sisa-sisa alkohol memenuhi kamarnya yang terang benderang karena cahaya dari lampu."Lo nggak inget semalem nelepon gue sampai nyaris dua jam? Kuping gue sampai panas denger lo ngomong sambil kumur-kumur!" cibir Ranis seraya membuka gorden dan jendela.Sementara Tabitha menyingkirkan pakaian-pakaian kotor milik Albert yang bertebaran di lantai. Memasukkannya ke dalam keranjang kotor yang ada di dekat pintu kamar mandi.Bukannya merasa bersalah, Albert malah cengengesan. "Masa, sih?""Lo bikin gue kurang tidur gara-gara nungguin Sakha nggak balik-balik tau nggak!" omel Tabitha menimpali keluhan Ranis yang diganggu malam-malam oleh curhatan Albert di telepon. "Kenapa jadi gue yang salah? Sakha yang inisiatif nemenin g
Tabitha sudah berniat memanjangkan durasi marahnya kepada Sakha, tetapi kemarahannya dengan ajaib menguap saat ia bangun pagi. Menatap wajah sang suami yang masih lelap dalam tidur damainya membuat senyum wanita itu terkembang lebar. Tidak adanya bau alkohol atau bau rokok yang tersisa seperti saat semalam laki-laki itu pulang semakin melebarkan senyum di wajahnya. "Ganteng banget sih laki gue," gumam wanita itu setelah mengecup pipi Sakha yang agak kasar karena jambang ttipisnya yang sudah mulai tumbuh. Sakha tidak terganggu sama sekali dengan tindakan Tabitha barusan, membuat Tabitha gemas lalu mencubit hidung mancung suaminya pelan. Dan detik kemudian wanita hamil itu tertawa kecil karena tingkah lakunya sendiri. Belakangan ini, Tabitha punya lebih banyak alasan untuk bersyukur setiap menemukan sosok Sakha ada di sampingnya ketika membuka mata. Dari mulai hal-hal sederhana seperti bisa menyantap sarapan bersama, berangkat ke kantor diantar sang suami sembari mengobrolkan agenda h
Wajah merah padam Tabitha menjadi pemandangan pertama saat Sakha muncul di rumah pada pukul sebelas malam. "Sayang, kok belum tidur?" Sakha tetap memangkas jarak meski sang istri menunjukkan gelagat tidak ingin berdekatan dengannya, yang telat pulang ke rumah itu. Sebenarnya, ekspresi Tabitha tidak tampak menakutkan. Pipi gembil yang semakin menonjol karena rambut pendeknya dan perut buncitnya yang terbalut daster selutut itu membuat wanita itu malah tampak manis dan memesona. Namun, tentu saja Sakha tidak akan mengucapkannya terang-terangan di saat sang istri sedang marah. Itu cari mati namanya. "Bee—" "Nggak usah pegang-pegang!" Tabitha berkacak pinggang. Dasternya terangkat naik dan kedua sisi daster di pinggangnya sedikit tertarik oleh kedua tangan, semakin menunjukkan perut bulatnya yang berisi calon bayi mereka. Sakha batal merengkuh sang istri dalam pelukan. "Aku beliin kamu sate Padang. Tadi kamu katanya pengen—" "Kamu pikir aku bakal nggak marah lagi cuma dengan sogokan
"Kenapa, Sayang?" Sakha menolehkan kepala, menatap sang istri yang baru saja menyuarakan pertanyaan setelah lima belas menit perjalanan pulang dari restoran. "Kenapa?" Dan ia malah mengulang pertanyaan itu. Tabitha mengendikkan bahu. "Kamu kelihatan nggak fokus gitu. Ada yang mengganggu kamu soal hubungan Haga sama Meggie?" "It's not like that," balas Sakha. Ia mendesah kecil. "Rasanya aneh aja memikirkan bagaimana takdir bekerja." Tawa ringan Tabitha memenuhi mobil. "It's kinda surprising, right?" Sakha mengangguk setuju. Menilik pada kisah cintanya dengan Tabitha, yang sempat runtuh dan terpisah. Lalu, suatu waktu, mereka dipertemukan oleh takdir di saat keduanya sudah berusaha keras untuk bangkit di jalan masing-masing. Hingga di satu titik mereka dipersatukan kembali dalam keadaan yang utuh dan saling melengkapi. Sakha tidak akan pernah bisa berhenti takjub pada bagaimana semesta mengejutkannya. "More than that, aku beneran syok lihat Haga ternyata bisa sebucin itu," gumam T