Rupanya, bertemu kembali dengan orang-orang terdekatnya dahulu, saat masih menikah dengan Sakha, tidak sesulit dan seberat yang selama ini Tabitha bayangkan. Atau mungkin karena sekarang Tabitha sudah mulai berusaha mengikhlaskan apa yang telah terjadi di masa lalu sehingga bisa mengiyakan ajakan Alex tanpa banyak overthinking.Saat resmi bercerai dari Sakha, Tabitha berjanji hanya akan menjauh dari kawan-kawan lamanya–yang juga teman Sakha–selama satu tahun sebagai proses penyembuhan. Sebab, Tabitha yakin sekali jika ia akan terus merasa sakit jika bersinggungan dengan kawan-kawannya yang satu sirkel dengan Sakha juga. Mau tidak mau, pasti ada akan pembicaraan yang entah sengaja atau tidak terucap yang membuat Tabitha dan Sakha berada di posisi serba salah. Tabitha pun tak yakin tak akan menangis jika berada di sekitar mereka saat emosinya masih sangat labil.Dan hari ini, Tabitha merasa cukup yakin bisa menikmati pertemuan i Meski masih ada rasa sakit hingga sekarang, nyatanya Tabit
“Lo nggak menyedihkan, Tha,” koreksi Albert. Tampak tidak senang melihat Tabitha yang sedikit murung. “Menurut gue sih wajar. Lo pernah punya kenangan manis di sana dan lo mau menyimpan itu buat lo sendiri. Nggak ada yang salah dengan hal itu. Dan itu hak lo juga mau ““Thanks, Al.” Tabitha terkekeh. Menciptakan ekspresi bertanya di wajah Albert. “Dipikir-pikir lagi ternyata gue kangen ngobrol dan curhat sama lo.”Albert tersenyum lebar. “Gue emang ngangenin sih. Berarti kita bisa nongkrong bareng lagi besok-besok, kan?”Tabitha mengangguk ringan. Malah, tadinya Tabitha yang ingin mengajak Albert nongkrong lagi kapan-kapan. Hanya saja Tabitha merasa agak canggung untuk mengajak duluan. Sebab, setelah bercerai dari Sakha, Tabitha paling keras menolak kehadiran Albert hingga laki-laki itu pun akhirnya menyerah dan tidak pernah lagi mengganggu Tabitha. Pertemuan hari ini pun karena inisiatif Alex. Tabitha sempat mengira jika Albert tidak akan mau ikut karena obrolan terakhir mereka sebel
“Kok bisa sih lo perginya dadakan banget?” protes Albert untuk yang ke sekian kalinya, yang hari ini menawarkan diri untuk mengantar Sakha ke bandara Soekarno-Hatta. Sementara Alex tak bisa ikut mengantar karena harus lembur dan berkutat dengan pekerjaan yang menumpuk di kantor. “Salahnya bos gue yang ngasih tahunya juga dadakan,” balas Sakha enteng. “Bos lo kasih tahu dua hari yang lalu. Lo baru kasih tahu gue sama Alex semalem!” Albert kembali menyemburkannya protes. Laki-laki yang duduk di belakang kemudi itu menoleh sekilas ke Sakha yang duduk di sampingnya. “Sorry, my bad. Gue lupa.” Albert mendengkus sebab Sakha tampak tidak benar-benar menyesal saat mengucapkan maaf. “Lo… beneran cuma beberapa bulan doang kan perginya?” “Sampai proyek kelar. Paling lama enam bulan sih.” Albert manggut-manggut. “Gue kira lo mau kabur, terus nggak balik lagi.” “Kenapa gue harus kabur?” Albert sudah membuka mulut untuk membalas, tetapi tak jadi. Laki-laki itu hanya mengendikkan bahu. Mer
“Secepat itu kamu move on dari aku ya, Bee?” gumam Sakha setelah menghabiskan dua batang rokok dan segelas kopi hitam yang rasanya tidak enak.Setibanya di Washington DC dan melakukan check in hotel, meski dalam keadaan lelah dan mengantuk, Sakha tetap memaksakan dirinya turun dari kamar hotelnya untuk mencari toko terdekat dan membeli rokok serta kopi. Ia harus merogoh kocek sebanyak delapan dolar hanya untuk sebungkus rokok. Atau jika dirupiahkan dengan kurs hari itu maka bernilai sekitar 112 ribu rupiah. Lumayan mahal untuk satu bungkus rokok saja. Tetapi Sakha tetap membelinya karena ia membutuhkan itu sebagai distraksi agar kepalanya tidak terus-terusan membayangkan wajah cantik Tabitha. Ya, sejak belasan jam yang lalu setelah obrolan memusingkannya dengan Albert tentang Tabitha, Sakha tidak bisa berhenti memikirkan mantan istrinya itu.Nyatanya, usaha Sakha sia-sia. Rokok dan kopi yang telah menjadi teman setia Sakha itu seolah sedang ingin mendorong Sakha agar semakin sering me
Sakha teringat Tabitha karena suatu alasan. Mantan istri Sakha itu sangat suka menonton film-film romantis komedi yang sebagian besar berlatar di Amerika seperti Definitely Maybe, Serendipity, P.S. I Love You, Friends With Benefits, No String Attached, dan banyak judul lainnya yang tak bisa seluruhnya Sakha ingat. Saat suatu hari Sakha menemani Tabitha menonton film-film itu, Tabitha menyuarakan keinginannya—atau lebih tepatnya khayalannya. “Aku tuh pengen ngerasain tinggal di New York. Tiap pagi berbaur dengan banyak manusia di jalan saat berangkat kerja. Aku juga pengen diantar pacarku pulang dari kencan. Berdua jalan kaki dan gandengan tangan di sepanjang blok dari ujung ke ujung sambil ngobrol tentang banyak hal....” Dalam beberapa tahun terakhir, Sakha sudah beberapa kali ke Amerika karena urusan pekerjaan, tetapi Tabitha selalu berhalangan untuk ikut karena tidak bisa meninggalkan pekerjaannya dalam waktu yang lama. Sekarang, Sakha menyesal karena tidak pernah berusaha membuj
Tidak hanya Tabitha yang kaget karena pertemuan yang tidak disengaja itu. Ibu juga tampak kaget melihat Tabitha berdiri di hadapannya.Seperti yang masih Tabitha ingat, Ibu masih tampak cantik dalam balutan gamis dan hijab sederhana yang membalut tubuhnya.Butuh lebih dari lima belas detik untuk Tabitha sadar dari pikirannya yang sudah berjalan ke mana-mana.Menggeser troli, Tabitha memangkas jarak untuk lebih dekat dengan mantan ibu mertuanya.“Ibu, apa kabar?”Senyum terpeta di wajah Ibu. Dengan suara lembutnya, wanita berhijab itu membalas, “Alhamdulillah, Ibu sehat, Nduk. Kamu sehat?”Tak dipungkiri, ada momen-momen di mana Tabitha tidak hanay merindukan Sakha, tetapi juga merindukan Ibu. Ibu yang baik. Ibu yang perhatian dan pengertian. Ibu yang sangat menyayangi Tabitha seperti anak sendiri. Ibu yang Tabitha yakini, satu-satunya sosok mertua baik hati yang Tabitha kenal dan tidak akan pernah Tabitha dapatkan lagi jika suatu saat nanti ia menikah dengan orang lain. Membayangkan s
Sampai di kamar kosnya, Tabitha langsung mengempaskan tubuhnya di atas tempat tidur. Air matanya tak bisa lagi dibendung. Tabitha menangis terisak-isak.Ia membenci perasaan rindu yang berdesakan di dada. Padahal, sudah lama Tabitha tidak merasakan ini lagi. Tabitha yang mengira sudah imun dengan rasa sakit dan bisa terbiasa hidup bersama rasa sakit itu ternyata salah besar. Satu tahun tidak cukup untuk membiasakan diri hidup dengan rasa sakit.Tabitha sadar. Selama setahun bersusah payah untuk melupakan Sakha, melupakan Ibu, dan melupakan kenangan-kenangan yang pernah ia bagi dengan Sakha dan Ibu, ternyata Tabitha gagal. Tabitha masih ingin memiliki Ibu di dalam hidupnya. Tabitha masih belum rela jika suatu hari nanti posisinya tergantikan. Ibu mempunyai menantu baru, yang bukan lagi dirinya, yang akan lebih disayang oleh Ibu karena tidak pernah membuat Ibu kecewa. Dan lambat laun, Tabitha akan terlupakan.Belum puas menangis, Tabitha menyalakan ponsel dan membuka Instagram. Sialnya,
Yang Sakha sukai setiap bangun dari tidur adalah melihat Tabitha masih bergelung nyenyak dibungkus oleh selimut yang menutupi tubuhnya dari kaki hingga sebatas leher. Yang itu artinya hari ini adalah akhir pekan. Sebab, setiap hari Senin hingga Jumat Tabitha selalu bangun lebih dulu sebelum Sakha. Akhir pekan adalah waktu bagi Tabitha untuk berleha-leha dan bangun siang. Terkadang, Sakha yang bertugas membersihkan rumah selama Tabitha masih tidur. Tetapi seringkali Sakha juga malah ikut tidur sampai siang dan mereka akan membersihkan rumah bersama-sama saat sudah siang. Tidak tahan hanya memandangi wajah damai Tabitha, Sakha memajukan wajah untuk mengecupi wajah istrinya itu. Tabitha menggeliat protes dengan mendorong wajah Sakha menjauh. Sakha terkekeh geli. Bukannya berhenti, Sakha malah semakin intens menciumi wajah Tabitha hingga wanita itu perlahan membuka mata dengan malas-malasan. “Good morning, Sayang,” bisik Sakha dengan tanpa dosanya. Sudah mengganggu orang yang sedang tid