Sakha teringat Tabitha karena suatu alasan. Mantan istri Sakha itu sangat suka menonton film-film romantis komedi yang sebagian besar berlatar di Amerika seperti Definitely Maybe, Serendipity, P.S. I Love You, Friends With Benefits, No String Attached, dan banyak judul lainnya yang tak bisa seluruhnya Sakha ingat. Saat suatu hari Sakha menemani Tabitha menonton film-film itu, Tabitha menyuarakan keinginannya—atau lebih tepatnya khayalannya. “Aku tuh pengen ngerasain tinggal di New York. Tiap pagi berbaur dengan banyak manusia di jalan saat berangkat kerja. Aku juga pengen diantar pacarku pulang dari kencan. Berdua jalan kaki dan gandengan tangan di sepanjang blok dari ujung ke ujung sambil ngobrol tentang banyak hal....” Dalam beberapa tahun terakhir, Sakha sudah beberapa kali ke Amerika karena urusan pekerjaan, tetapi Tabitha selalu berhalangan untuk ikut karena tidak bisa meninggalkan pekerjaannya dalam waktu yang lama. Sekarang, Sakha menyesal karena tidak pernah berusaha membuj
Tidak hanya Tabitha yang kaget karena pertemuan yang tidak disengaja itu. Ibu juga tampak kaget melihat Tabitha berdiri di hadapannya.Seperti yang masih Tabitha ingat, Ibu masih tampak cantik dalam balutan gamis dan hijab sederhana yang membalut tubuhnya.Butuh lebih dari lima belas detik untuk Tabitha sadar dari pikirannya yang sudah berjalan ke mana-mana.Menggeser troli, Tabitha memangkas jarak untuk lebih dekat dengan mantan ibu mertuanya.“Ibu, apa kabar?”Senyum terpeta di wajah Ibu. Dengan suara lembutnya, wanita berhijab itu membalas, “Alhamdulillah, Ibu sehat, Nduk. Kamu sehat?”Tak dipungkiri, ada momen-momen di mana Tabitha tidak hanay merindukan Sakha, tetapi juga merindukan Ibu. Ibu yang baik. Ibu yang perhatian dan pengertian. Ibu yang sangat menyayangi Tabitha seperti anak sendiri. Ibu yang Tabitha yakini, satu-satunya sosok mertua baik hati yang Tabitha kenal dan tidak akan pernah Tabitha dapatkan lagi jika suatu saat nanti ia menikah dengan orang lain. Membayangkan s
Sampai di kamar kosnya, Tabitha langsung mengempaskan tubuhnya di atas tempat tidur. Air matanya tak bisa lagi dibendung. Tabitha menangis terisak-isak.Ia membenci perasaan rindu yang berdesakan di dada. Padahal, sudah lama Tabitha tidak merasakan ini lagi. Tabitha yang mengira sudah imun dengan rasa sakit dan bisa terbiasa hidup bersama rasa sakit itu ternyata salah besar. Satu tahun tidak cukup untuk membiasakan diri hidup dengan rasa sakit.Tabitha sadar. Selama setahun bersusah payah untuk melupakan Sakha, melupakan Ibu, dan melupakan kenangan-kenangan yang pernah ia bagi dengan Sakha dan Ibu, ternyata Tabitha gagal. Tabitha masih ingin memiliki Ibu di dalam hidupnya. Tabitha masih belum rela jika suatu hari nanti posisinya tergantikan. Ibu mempunyai menantu baru, yang bukan lagi dirinya, yang akan lebih disayang oleh Ibu karena tidak pernah membuat Ibu kecewa. Dan lambat laun, Tabitha akan terlupakan.Belum puas menangis, Tabitha menyalakan ponsel dan membuka Instagram. Sialnya,
Yang Sakha sukai setiap bangun dari tidur adalah melihat Tabitha masih bergelung nyenyak dibungkus oleh selimut yang menutupi tubuhnya dari kaki hingga sebatas leher. Yang itu artinya hari ini adalah akhir pekan. Sebab, setiap hari Senin hingga Jumat Tabitha selalu bangun lebih dulu sebelum Sakha. Akhir pekan adalah waktu bagi Tabitha untuk berleha-leha dan bangun siang. Terkadang, Sakha yang bertugas membersihkan rumah selama Tabitha masih tidur. Tetapi seringkali Sakha juga malah ikut tidur sampai siang dan mereka akan membersihkan rumah bersama-sama saat sudah siang. Tidak tahan hanya memandangi wajah damai Tabitha, Sakha memajukan wajah untuk mengecupi wajah istrinya itu. Tabitha menggeliat protes dengan mendorong wajah Sakha menjauh. Sakha terkekeh geli. Bukannya berhenti, Sakha malah semakin intens menciumi wajah Tabitha hingga wanita itu perlahan membuka mata dengan malas-malasan. “Good morning, Sayang,” bisik Sakha dengan tanpa dosanya. Sudah mengganggu orang yang sedang tid
“Sakha, kamu nggak cuci muka sama gosok gigi?" Suara Tabitha yang cukup keras mengembalikan fokus Sakha yang malah teringat kejadian lama yang benar-benar membuat dirinya trauma. Dengan menyeret kaki malas-malasan, Sakha menyusul ke kamar mandi dan melihat istrinya baru saja berkumur. “Kamu udah?” Tabitha mengangguk. Sementara Sakha mencuci muka, Tabitha mengambilkan sikat gigi milik Sakha setelah membasahinya dengan air yang mengalir dari wastafel lalu mengoleskan pasta gigi dan baru menyerahkannya kepada Sakha. “Thank you.” Tabitha tidak langsung keluar dari kamar mandi, tetapi menunggu Sakha menggosok gigi dengan cepat. “Kalau kamu gosok giginya nggak hati-hati nanti bisa berdarah. Bisa sariawan juga,” ucap Tabitha mengingatkan. Peringatan itu seperti sudah tersetting otomatis di kepala Tabitha, sehingga hampir setiap pagi Sakha akan mendengar Tabitha mengucapkan itu. “Done.” Sakha selesai menggosok gigi dan meletakkan sikat giginya kembali ke dalam cangkir, bergabung deng
Setelah pertemuan dengan Ibu kala itu yang membuat Tabitha uring-uringan, Tabitha berusaha keras untuk tidak terlalu memikirkan kemungkinan-kemungkinan di masa depan yang hanya membuatnya semakin sedih. Untungnya, kesibukan demi kesibukan membuat Tabitha tidak punya waktu banyak untuk bersedih. Tabitha juga tidak punya cukup banyak waktu untuk sekadar nongkrong dengan teman-teman satu kosnya maupun dengan Albert yang belakangan telah kembali menjadi teman mengobrol Tabitha lewat chat. Sejak pertemuan dengan Albert dan Alex beberapa waktu lalu, yang kini tak terasa sudah lewat lebih dari dua bulan, Tabitha belum punya waktu lagi untuk bertemu mereka meski Albert sudah beberapa kali mengajaknya keluar. Bukan karena Tabitha mendadak takut bertemu mereka lagi setelah pertemuan dengan Ibu membuat Tabitha galau berkepanjangan. Kebetulan saja Tabitha memang sedang tidak punya banyak waktu untuk main. Ada proyek besar yang sedang dipegang kantornya dan Tabitha mendapat pekerjaan yang cukup b
"Mbak Tabitha," panggil seseorang yang ternyata office boy kantor yang cukup akrab dengan Tabitha. Langkah Tabitha yang baru akan masuk ke dalam lift untuk turun makan siang pun terhenti. "Siang, Pak Bejo. Mau turun makan siang juga?" Laki-laki paruh baya yang dipanggil Pak Bejo itu menggeleng. "Saya baru ingat kemarin ada tukang pos yang nitip surat buat Mbak." Tabitha mengernyit. "Surat? Dari siapa?" Pak Bejo menggeleng. "Wah, kalau soal itu saya nggak baca, Mbak. Saya langsung simpan karena kemarin Mbak Tabitha nggak di kantor seharian waktu Pak Posnya kasih suratnya ke saya." "Saya kayaknya nggak lihat ada surat di meja waktu datang ke kantor pagi tadi." "Masih saya simpan, Mbak. Takut hilang kalau langsung saya taruh di meja Mbak Tabitha kemarin. Ini mau saya ambilkan dulu suratnya atau gimana, Mbak? Buru-buru turun atau nggak?" "Bukan surat buat kantor ya?" "Sepertinya bukan, Mbak. Kalau buat kantor kan biasanya ada cap perusahaan atau apa itu." Tabitha mengangguk-anggu
Selama beberapa minggu terakhir, sangat jarang sekali Tabitha bisa sampai di kos sebelum matahari sepenuhnya tenggelam. Waktunya habis di kantor untuk menyelesaikan pekerjaan yang sedang banyak-banyaknya. Hari ini, adalah kejadian langka. Tabitha sudah sampai kos sebelum jam lima sore.Setelah mandi dan memesan makan malam lewat layanan pesan antar, Tabitha membuka tas kerjanya dan mengeluarkan ponsel, laptop, serta postcard dari Sakha.Gara-gara memegang kembali postcard itu, Tabitha seketika lupa jika ia harus segera memeriksa email dari klien yang baru dikirim bertepatan dengan Tabitha masuk ke dalam lift untuk pulang sore tadi.Tabitha mendesah.Bingung dengan perasaannya terhadap Sakua yang timbul tenggelam. Ada rasa senang yang sempat muncul di dada saat menyadari bahwa Sakha masih melakukan rutinitasnya yang dulu. Sakha belum lupa. Setiap kali Sakha pergi ke luar negeri, laki-laki itu selalu mengirimkan postcard kepada Tabitha dari negara yang dikunjungi.Namun, dengan cepat ra
[Yunani 2026] Tabitha terbangun dari tidurnya karena mendengar suara debur ombak yang menyapa telinga. Ketika kedua matanya telah sepenuhnya terbuka, wanita itu langsung dihadapkan pada pemandangan indah yang membuat senyum manisnya terukir. Yaitu punggung liat suaminya yang tak terbalut sehelai kain menjadi yang pertama Tabitha lihat. Laki-laki itu berdiri membelakanginya, dengan kedua tangan bersandar di pagar balkon kamar. Senyumnya melebar kala sang suami menyadari kalau ia telah bangun dan sosok itu berbalik untuk menatapnya. "Selamat pagi, Istriku." Sapaan itu membuat wajah Tabitha memerah. Gara-gara panggilan yang terdengar manis itu juga kemarin Tabitha berakhir telanjang di atas tempat tidur sesaat setelah mereka tiba di kamar dengan pemandangan menakjubkan itu. Mereka bergumul di atas ranjang hingga tengah malam, sama-sama banjir peluh dan kelelahan, tetapi banjir kenikmatan. Tanpa sempat menikmati pemandangan yang disuguhkan salah satu pulau di Yunani yang menjadi dest
Pada pernikahan pertamanya dengan Sakha, banyak tangis yang diam-diam Tabitha pendam setiap kali wanita itu kembali mendapatkan tamu bulanan. Pada saat memasuki tahun kedua pernikahan, Tabitha masih belum terlalu mempermasalahkannya. Ia masih bisa berpikir positif dan menganggap bahwa ia belum siap menjadi ibu. Bahwa ia masih diberi waktu oleh Tuhan untuk menyiapkan mental. Tabitha memilih menikmati hari demi harinya bersama Sakha. Merajut cinta yang terus bertumbuh seiring berjalannya waktu.Tabitha baru mulai khawatir saat tahun ketiga, sudah mulai ikut promil, tetapi malam-malam penuh cintanya bersama Sakha tak juga menghadirkan bayi di dalam perutnya. Terlebih mengetahui Sakha yang sudah sangat mengharapkan kehadiran anak, Tabitha jadi gundah gulana.Hati Tabitha remuk setiap kali Sakha mengecup perutnya dan membisikkan doa agar usahanya membuahkan hasil, tetapi esok harinya Tabitha mendapati bercak merah di celana dalamnya. Dan yang lebih menyakitkan adalah ketika Tabitha sudah t
Rachel Kalila Ramadhani."Halo, anak Ayah."Sakha memandangi bayi mungil yang masih merah dari balik kaca dengan mata yang berkaca-kaca. Sudah sejak berpuluh-puluh menit ia berdiri di sana. Ia sangat bahagia karena akhirnya bisa menyambut buah cintanya bersama Tabitha, tetapi juga teramat patah hati karena tidak bisa langsung merengkuh anak gadisnya yang masih harus mendapatkan beberapa penanganan medis khusus.Karena sudah harus lahir beberapa minggu sebelum HPL, berat badannya saat ini hanya 2,4 kilogram. Laju pernapasannya masih belum teratur sehingga harus dibantu alat pernapasan yang terpasang di hidungnya. Istrinya saat ini sedang beristirahat di kamar inap setelah operasi caesar yang harus dilaluinya karena kondisi medis darurat.Tadi, saat harus mendengar berita itu disampaikan oleh dokter dan istrinya menangis karena mengkhawatirkan kondisi bayinya, Sakha nyaris ikut meneteskan air mata. Ia benar-benar tidak tega melihat sang istri yang menahan sakit di perut sekaligus terte
"Lho, Bee? Kok belum ganti baju?" Sakha mengernyit bingung melihat istrinya belum selesai bersiap-siap. Istrinya masih mengenakan jubah mandi seperti satu jam yang lalu. Bedanya, wajahnya sekarang sudah full make-up. Menambah kesan cantik yang memikat Sakha meski hanya melihat wajah istrinya dari samping. "Aku bingung mau pakai baju apa," gumam Tabitha. Masih betah memandangi deretan gaun di dalam lemari yang pintunya telah terbuka lebar-lebar. "Semalam bukannya udah kamu siapin sama baju aku sekalian, Bee?" Tidak hanya itu. Sebenarnya sudah sejak jauh-jauh hari Tabitha membeli gaun--yang serasi dengan batik yang dikenakan Sakha sekarang--untuk dipakai saat resepsi pernikahan Haga dan Meg. Sakha mendekat kepada istrinya dan ikut melongok ke dalam lemari lalu meraih gaun berwarna salem yang langsung terlihat di matanya. "Pakai ini, kan?" Tabitha merengut saat melihat ke arah suaminya. "Aku kelihatan makin gendut kalau pakai ini. Mau pakai yang lain tapi bingung. Semua baju yang
Mata Tabitha mulai berkaca-kaca karena tidak bisa menahan rasa haru yang mengisi dadanya karena dua nama yang sarat makna indah yang sudah disiapkan oleh suaminya itu. Saat menyinggung soal nama anak tadi dan mendengar fakta kalau suaminya telah menyiapkan dua nama untuk calon anak mereka, Tabitha sama sekali tidak berekspektasi tinggi. Tetapi begitu mendengar Sakha mengucapkan dua nama itu dengan tatapan penuh cinta, bahkan sampai menjelaskan arti namanya masing-masing, Tabitha langsung tahu bahwa Sakha telah mempersiapkannya dengan sungguh-sungguh. Tidak asal mencomot nama dari internet karena tampak bagus dipadu-padankan. Dan hal itu membuat Tabitha semakin tak bisa menahan air matanya. "Bee, kok nangis? Kamu nggak suka, ya?" Sakha mendadak panik. Tampak rasa khawatir yang pekat membayangi wajahnya. Ia langsung mencerocos panjang lebar. "Aku nggak akan maksa kamu pakai nama itu kalau nama yang aku siapin nggak sesuai harapan kamu kok. Maaf, Bee. Udah ya? Jangan nangis lagi. Kala
"Kalian kenapa lebay banget, sih? Gue nggak papa kali!" keluh Albert yang sama sekali tidak terlihat baik-baik saja, seperti yang diucapkannya barusan.Laki-laki itu masih telungkup di atas tempat tidur, hanya mengenakan celana pendek dan singlet. Aroma tidak sedap karena sisa-sisa alkohol memenuhi kamarnya yang terang benderang karena cahaya dari lampu."Lo nggak inget semalem nelepon gue sampai nyaris dua jam? Kuping gue sampai panas denger lo ngomong sambil kumur-kumur!" cibir Ranis seraya membuka gorden dan jendela.Sementara Tabitha menyingkirkan pakaian-pakaian kotor milik Albert yang bertebaran di lantai. Memasukkannya ke dalam keranjang kotor yang ada di dekat pintu kamar mandi.Bukannya merasa bersalah, Albert malah cengengesan. "Masa, sih?""Lo bikin gue kurang tidur gara-gara nungguin Sakha nggak balik-balik tau nggak!" omel Tabitha menimpali keluhan Ranis yang diganggu malam-malam oleh curhatan Albert di telepon. "Kenapa jadi gue yang salah? Sakha yang inisiatif nemenin g
Tabitha sudah berniat memanjangkan durasi marahnya kepada Sakha, tetapi kemarahannya dengan ajaib menguap saat ia bangun pagi. Menatap wajah sang suami yang masih lelap dalam tidur damainya membuat senyum wanita itu terkembang lebar. Tidak adanya bau alkohol atau bau rokok yang tersisa seperti saat semalam laki-laki itu pulang semakin melebarkan senyum di wajahnya. "Ganteng banget sih laki gue," gumam wanita itu setelah mengecup pipi Sakha yang agak kasar karena jambang ttipisnya yang sudah mulai tumbuh. Sakha tidak terganggu sama sekali dengan tindakan Tabitha barusan, membuat Tabitha gemas lalu mencubit hidung mancung suaminya pelan. Dan detik kemudian wanita hamil itu tertawa kecil karena tingkah lakunya sendiri. Belakangan ini, Tabitha punya lebih banyak alasan untuk bersyukur setiap menemukan sosok Sakha ada di sampingnya ketika membuka mata. Dari mulai hal-hal sederhana seperti bisa menyantap sarapan bersama, berangkat ke kantor diantar sang suami sembari mengobrolkan agenda h
Wajah merah padam Tabitha menjadi pemandangan pertama saat Sakha muncul di rumah pada pukul sebelas malam. "Sayang, kok belum tidur?" Sakha tetap memangkas jarak meski sang istri menunjukkan gelagat tidak ingin berdekatan dengannya, yang telat pulang ke rumah itu. Sebenarnya, ekspresi Tabitha tidak tampak menakutkan. Pipi gembil yang semakin menonjol karena rambut pendeknya dan perut buncitnya yang terbalut daster selutut itu membuat wanita itu malah tampak manis dan memesona. Namun, tentu saja Sakha tidak akan mengucapkannya terang-terangan di saat sang istri sedang marah. Itu cari mati namanya. "Bee—" "Nggak usah pegang-pegang!" Tabitha berkacak pinggang. Dasternya terangkat naik dan kedua sisi daster di pinggangnya sedikit tertarik oleh kedua tangan, semakin menunjukkan perut bulatnya yang berisi calon bayi mereka. Sakha batal merengkuh sang istri dalam pelukan. "Aku beliin kamu sate Padang. Tadi kamu katanya pengen—" "Kamu pikir aku bakal nggak marah lagi cuma dengan sogokan
"Kenapa, Sayang?" Sakha menolehkan kepala, menatap sang istri yang baru saja menyuarakan pertanyaan setelah lima belas menit perjalanan pulang dari restoran. "Kenapa?" Dan ia malah mengulang pertanyaan itu. Tabitha mengendikkan bahu. "Kamu kelihatan nggak fokus gitu. Ada yang mengganggu kamu soal hubungan Haga sama Meggie?" "It's not like that," balas Sakha. Ia mendesah kecil. "Rasanya aneh aja memikirkan bagaimana takdir bekerja." Tawa ringan Tabitha memenuhi mobil. "It's kinda surprising, right?" Sakha mengangguk setuju. Menilik pada kisah cintanya dengan Tabitha, yang sempat runtuh dan terpisah. Lalu, suatu waktu, mereka dipertemukan oleh takdir di saat keduanya sudah berusaha keras untuk bangkit di jalan masing-masing. Hingga di satu titik mereka dipersatukan kembali dalam keadaan yang utuh dan saling melengkapi. Sakha tidak akan pernah bisa berhenti takjub pada bagaimana semesta mengejutkannya. "More than that, aku beneran syok lihat Haga ternyata bisa sebucin itu," gumam T