Tabitha tersenyum miris. Bukannya memakan bekal yang ia bawa dari rumah, Tabitha malah meraih ponselnya yang sejak tadi tergeletak di meja kerjanya dan membuka salah satu akun sosial medianya. Selama ini, Tabitha hanya memanfaatkan sosial media untuk mengikuti trend terkini yang berhubungan dengan pekerjaannya di bidang kreatif itu. Namun, dalam beberapa minggu terakhir ini Tabitha mendadak semakin sering membuka second account yang sengaja ia buat untuk kepentingan pribadi.
Hal itu bermula sejak Tabitha tak sengaja melihat mantan suaminya mengunggah sebuah foto di suatu tempat yang ingin wanita itu datangi tetapi belum kesampaian. Sakha mengunggah foto pemandangan kota Yunani ketika senja. Saat matahari sudah nyaris tenggelam sepenuhnya di peraduan. Foto yang diunggah Sakha itu tidak bisa Tabitha abaikan begitu saja. Sebab, caption di unggahan itu langsung menarik perhatian Tabitha. Sakha menuliskan sepenggal lirik lagu milik Secondhand Serenade yang berjudul Your Call.
.
🎵And I’m tired of being all alone
And this solitary moment
Makes me want to comeback home🎵
.
Tiga baris lirik itu seolah menggambarkan apa yang sedang Sakha rasakan kala mengabadikan foto itu. Dan seketika itu juga aa yang kembali patah saat Tabitha membaca sepenggal lirik itu. Tabitha seolah kembali dilemparkan ke masa-masa saat ia dan Sakha masih bersama. Saat mereka belum mengenal luka. Saat keduanya belum kehilangan satu sama lain. Saat keduanya masih bisa saling memeluk dan menguatkan ketika dunia sedang tidak berpihak kepada mereka. Saat mereka masih bisa saling menemukan ketika tersesat dalam labirin kehidupan.
Dulu, meski mereka punya segudang masalah, mereka bisa mengatasinya berdua. Meski tidak selamanya mendapatkan hasil akhir yang baik, setidaknya mereka tidak sendirian. Mereka memilik satu sama lain untuk bersandar. Mereka tidak akan merasa kesepian, karena tahu bahwa dalam keadaan paling buruk pun mereka masih punya tempat untuk pulang.
Namum, sekarang tidak lagi. Tabitha sudah kehilangan teman hidup yang ia kira akan bertahan selamanya di sisinya.
Deg.
Jantung Tabitha seolah terhenti saat melihat unggahan baru di akun pribadi milik Sakha yang sebagian besar berisi foto-foto pemandangan alam yang laki-laki itu abadikan menggunakan kameranya.
Dulu, di antara foto-foto pemandangan itu, ada Tabitha yang memenuhi setengah dari jumlah unggahan di akun milik Sakha itu. Namun, setelah pengadilan mengetukkan palu sebanyak tiga kali, meresmikan perceraian Sakha dan Tabitha, foto-foto Tabitha dihapus oleh Sakha. Semuanya. Jejaknya dalam hidup Sakha seolah dihapus hingga tak bersisa lagi.
Yang membuat Tabitha sejenak terpaku adalah lokasi di mana foto yang diunggah Sakha itu itu diambil. Tidak seperti biasanya, Sakha mengunggah sebuah foto saat laki-laki itu sedang berada di sebuah coffee shop−dulu Sakha dan Tabitha hampir setiap dua minggu sekali datang ke tempat itu−bersama beberapa orang yang sangat tidak asing untuk Tabitha. Mereka adalah teman-teman Sakha yang juga menjadi teman sepermainan Tabitha. Dulu. Tabitha tidak lagi bergaul dengan mereka semenjak perceraiannya dengan Sakha. Beberapa bulan setelah bercerai, Tabitha beberapa kali ia dikontak oleh salah satu dari mereka, mengajak Tabitha untuk nongkrong bareng seperti yang sering mereka lakukan. Ajakan itu langsung Tabitha tolak dengan halus.
Tabitha masih belum bisa bertemu dengan Sakha saat luka hatinya masih menganga. Ia belum siap jika harus bertatap langsung dengan mantan suaminya tanpa merasakan patah hati untuk kedua kali. Tabitha butuh waktu. Dan rupanya, setahun masih belum cukup untuk pulih dari rasa sakit yang menghancurkannya.
Sakha menuliskan caption “support system” pada unggahan yang mendapatkan puluhan komentar itu. Didorong oleh rasa penasaran, Tabitha membuka kolom komentar dan langsung menyesal saat itu juga. Ada satu akun yang sangat Tabitha kenali, yang juga menuliskan komentar pada unggahan itu. Pemilik akun @ranismandira menuliskan, “Kangen kalian semua. See you soon”.
‘See you soon?’ batin Tabitha. Memangnya di mana Ranis sekarang? Tabitha bertanya-tanya.
Saat masih berkutat dengan pikirannya, ada balasan dari Sakha yang menuliskan, “Balik ke Indonesia dong, Nis. We miss you too”.
Kalimat kedua yang dituliskan Sakha sontak membuat Tabitha tersenyum kecut.
Sebelum semakin sakit melihat interaksi Sakha dan Ranis dulu pernah menjadi orang yang paling dekat dengan Tabitha, wanita itu langsung keluar dari aplikasi yang membuat dirinya sakit hati dan ia pun memaki dalam hati.
“Lo bodoh banget, Tabitha. Mereka mau ngapain aja bukan urusan lo. Mereka cuma orang asing di hidup lo sekarang. Jadi, berhenti ngerasa sakit hati cuma karena orang-orang nggak penting itu!”
Tabitha setengah melemparkan ponselnya ke meja kerjanya karena emosinya mendadak menjadi campur aduk. Padahal, salahnya sendiri yang sengaja mencari penyakit dengan memantau sosial media mantan suaminya. Seharusnya ia tahu jika ia tidak akan pernah bisa terbiasa saat harus melihat interaksi Sakha dengan teman-temannya. Terutama Ranis.
Perut Tabitha terasa melilit karena lapar, tetapi nafsu makannya sudah menurun drastis. Tabitha sudah tidak berminat memakan bekalnya. Hanya saja ia butuh tenaga yang cukup banyak untuk bisa bekerja sampai sore. Dengan lesu, Tabitha mengeluarkan kotak bekal yang ia bawa dari rumah lalu memakan irisan buah pepaya dan melon tanpa memakan nasi dan lauk yang ia siapkan sejak subuh tadi.
Pukul satu kurang sepuluh menit Jona sudah kembali muncul di kantor. Laki-laki itu tak lupa membelikan pesanan Tabitha.
“Makasih, Jon. Cinta banget gue sama lo,” ucap Tabitha sembari menyeruput jus yang dibawakan Jona.
“Gue sih lebih cinta mantan laki lo,” canda Jona yang nyaris membuat Tabitha tersedak.
Di antara rekan-rekan kerjanya dan juga teman-teman Tabitha di luar kantor, hanya Jona satu-satunya orang yang berani menyinggung soal Sakha dengan candaannya yang sangat menyebalkan.
“Kalau lo cinta, kenapa nggak usaha deketin? Cemen lo!” balas Tabitha ketus.
Jona yang duduk di kubikel yang berada di sisi kanan Tabitha itu tertawa.
“Gue nggak suka makan temen sih.”
“Kalau lo lupa, gue sama dia udah pisah hampir setahun. Kalau lo nggak gerak cepat, keburu ditikung orang lain, Jon,” balas Tabitha yang malah meladeni Jona mengobrol tidak jelas.
Lagi-lagi Jona tertawa.
“Nggak, deh. Ntar gue ngebayanginnya muka lo mulu kalau lagi jalan sama Sakha. Gue nggak mau mimpi buruk kebayang muka setan lo kalau lagi ngamuk.”
“Kurang ajar!” seru Tabitha seraya melemparkan bolpoin hingga mengenai kepala Jona yang telat menghindar.
Jona membungkuk untuk mengambil bolpoin milik Tabitha yang jatuh ke lantai, lalu berkata, “Udah setahun, Tha. Lo nggak ada niat buka hati buat orang lain?”
Ditodong pertanyaan serius dari Jona membuat Tabitha terpaku. Jauh di lubuk hatinya yang terdalam, Tabitha juga ingin. Sungguh, ia telah berusaha membuka hati dan memberi kesempatan laki-laki yang mendekatinya. Namun, mau dipaksa seperti apa pun juga, ia masih belum bisa.
Satu tahun menurutnya masih terlalu dini untuk bisa kembali menjalin hubungan serius. Tetapi untuk menjalin hubungan kasual juga bukan pilihan yang benar. Tabitha pernah menikah. Itu menjadi salah satu alasan Tabitha sulit kembali dekat dengan lawan jenis. Wanita yang pernah menikah−terutama yang menjadi janda karena cerai−seringkali dipandang sebelah mata.
Contoh sederhananya, banyak tuduhan miring yang sering tertuju kepadanya ketika ia pulang ke rumah diantar oleh Jona. Bahkan, pernah sekali Tabitha pulang naik ojek online yang kebetulan ia mendapat driver seorang mahasiswa yang masih cukup muda dan tinggal di komplek yang sama. Entah orang-orang tahu dari mana, esok harinya Tabitha menjadi topik perbincangan panas di kalangan ibu-ibu komplek yang suka bergosip saat sedang berbelanja di tukang sayur yang lewat setiap pagi. Di antara mereka ada yang dengan terang-terangan mengatai Tabitha saat tak sengaja berpapasan di depan rumah Tabitha ketika wanita itu akan berangkat kerja.
“Dasar janda gatel! Pantas saja kamu diceraikan. Kelakuannya aja nggak bener. Kamu ini udah janda jangan kebanyakan gaya. Janda kayak kamu itu levelnya sama duda. Jangan malah godain anak saya yang bisa dapat perempuan yang jauh lebih baik dari kamu. Anak saya nggak level sama janda kayak kamu.”
Tabitha tidak tahu harus berkata apa kala itu. Ia bahkan tidak tahu letak kesalahannya di mana. Ia hanya memesan ojek online dan kebetulan mendapat driver yang merupakan anak dari salah satu tetangganya. Tetapi ternyata hal itu menjadi bumerang dan malah membuat Tabitha semakin dipandang jelek oleh tetangga-tetangganya yang menyebutnya kegatelan. Kelakuannya yang mana yang tidak benar? Sejak kapan ia bertingkah banyak gaya?
Rasanya sangat menyakitkan. Padahal, semenjak bercerai, Tabitha sebisa mungkin menjaga diri karena tahu bahwa pandangan sebagian besar masyarakat kepada orang-orang sepertinya−yang pernah gagal menjaga pernikahannya−selalu mengarah ke hal-hal negatif. Tabitha semakin jarang berdandan karena pernah disebut-sebut sebagai wanita murahan. Tabitha dituduh menggoda laki-laki yang sudah beristri di komplek perumahan yang ia tinggali hanya karena Tabitha sedikit memulas wajahnya dengan make up.
Sejak hari itu, Tabitha akhirnya memilih untuk menyewa satu kamar kos yang dekat dengan kantornya dan jarang pulang ke rumah yang dulu ia tinggali dengan Sakha selama menikah. Tabitha juga selalu membawa mobil ke tempat kerja dan tidak pernah lagi naik ojek online untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Tabitha juga tidak pernah mau lagi diantar pulang oleh laki-laki mana pun meski kini ia bisa lebih bebas tanpa harus mendengar omongan-omongan kejam para tetangganya.
“WOY!” tegur Jona seraya memukul pundak Tabitha pelan. “Sorry, gue bikin lo kepikiran, ya?”
Tabitha memaksakan senyum.
“Gue masih nyaman sendiri. Tapi kalau nanti ada yang cocok, gue juga nggak akan nutup hati kok. It’s all just about time.”
Jona tersenyum maklum. “Right. Mending lo pikirin aja soal training minggu depan.”
Tabitha langsung mencibir, “Masih usaha aja lo.”
Jona berdiri dari duduknya sembari membalas, “Just go. Siapa tahu di Bali lo bisa ketemu soulmate lo. Udah ah, ayo meeting. Si Bos bisa ngambek kalau kita belum ada di ruang meeting sebelum dia datang.”
“Gue bukan Syabda yang hobi berburu,” ujar Tabitha dengan malas lalu ikut beranjak dari kursinya sembari meraih Macbook dan blocknote dari meja kerjanya.
Namun, dalam hatinya, Tabitha membatin. Dulu, ia sangat yakin jika Sakha adalah soulmate-nya. Namun, hubungan mereka gagal. Apakah mungkin suatu hari nanti ia bisa bertemu dengan soulmate-nya dan tidak akan gagal lagi?
.
.
to be continued
[April 2022]Sakha menatap nanar cincin kawinnya dengan Tabitha yang masih ia simpan meski sudah bercerai dari wanita itu selama setahun. Cincin itu yang dulunya menghuni jari manis Sakha. Tidak pernah laki-laki itu lepaskan, karena itu adalah salah satu bukti−selain buku nikah−bahwa ia telah mengikatkan diri pada sebuah ikatan sakral bernama pernikahan dengan wanita yang ia cintai.Setelah bercerai, Sakha masih mengenakan cincin itu selama lebih dari satu bulan. Sakha baru melepaskan cincin itu saat beberapa kali Ibu menegurnya. Bahkan Ibu menyuruh Sakha agar menjual cincin itu saja, tetapi Sakha tidak melakukannya. Sakha menyimpan cincin kawin itu di sudut lemari yang paling jauh agar tidak tergelitik untuk mengenakannya lagi.Hari ini adalah hari spesial.Sangat spesial bagi Sakha jika saja pernikahannya dengan Tabitha tidak kandas di tengah jalan. Tepat di hari ini, Sakha resmi menjadikan Tabitha sebagai kekasihnya, delapan tahun yang lalu. Dan juga lima tahun lalu, Sakha meminang
“Ini udah setahun, kan?” tanya Albert yang menyandarkan tubuh di sofa dengan tubuh sedikit melorot.Kaki Albert terjulur lurus di lantai yang berlapis karpet. Laki-laki itu terlalu kekenyangan setelah menyantap berbagai menu makanan cepat saja yang tadi ia dan Alex bawa saat Sakha meminta mereka untuk datang.Meski Alex tadi bercanda soal ajakannya untuk merayakan kegalauan Sakha, Albert menganggapnya serius. Laki-laki itu mengajak Alex membeli banyak makanan dan berkaleng-kaleng soda. Saat tiba di rumah Sakha, Albert bahkan begitu saja mengatakan bahwa laki-laki itu tahu kalau hari ini adalah hari anniversary pernikahan Sakha dan Tabitha.Kata Albert, daripada hanya bersedih sendirian dan mengurung diri di kamar, akan lebih baik jika merayakan kemuramannya bersama sahabat-sahabatnya yang selalu bersabar menghadapi bagaimana merananya Sakha pada tanggal-tanggal pentingnya bersama Tabitha. Sakha sempat mengumpati Albert karena tak berhenti mengejeknya, tetapi tak urung laki-laki itu be
Rasanya seperti sudah setahun lamanya Sakha tidak menginjakkan kaki di kantor pusat NatGeo. Tetapi, nyatanya Sakha memang jarang ke kantor bahkan nyaris tidak pernah, kecuali saat diminta untuk datang menghadiri meeting penting atau dipanggil oleh Bos Besar. Sebab, pekerjaannya menuntut laki-laki itu untuk lebih sering berada di luar ruangan. Sehari-harinya bersinggungan dengan sinar matahari.Hari ini, Sakha datang ke kantor karena pagi-pagi sekali tadi sudah dihubungi sekretaris bosnya untuk membahas sesuatu yang penting. Sakha mau tidak mau menyeret kakinya ke kantor dengan malas-malasan. Masih dengan mata mengantuk, Sakha masuk ke dalam lift yang akan mengantarkan laki-laki itu menuju lantai 5.Ada beberapa wajah familiar yang Sakha kenali saat keluar dari lift dan melewati bilik-bilik ruang kerja yang sebagian besar kosong. Sakha juga punya satu bilik di sana, tetapi nyaris tidak pernah Sakha singgahi karena terlalu sibuk bekerja di lapangan. Sakha menyapa mereka singkat dan lang
Sakha butuh waktu untuk memproses informasi yang diserapnya pagi ini, saat matanya bahkan masih terasa berat karena kurang tidur. Saat selesai mengedit foto subuh tadi, Sakha hanya berencana untuk hunting foto sebentar, lalu menghabiskan waktunya untuk tidur. Menghimpun energi yang telah terkuras karena beberapa hari terakhir ia sibuk ke sana kemari untuk memotret. Berangkat pagi buta dan pulang tengah malam. Bahkan sempat tidak pulang selama dua hari hanya untuk mendapatkan satu dua lembar foto yang sempurna dari angle yang berbeda. “Kira-kira berapa lama proyek ini berlangsung?” Sakha memecah keheningan. Pramudya yang sudah sibuk dengan tablet di tangannya itu mendongak. “Bisa sebulan atau dua bulan. Tergantung kalian bisa kerja cepat atau tidak. Targetnya maksimal enam bulan harus sudah selesai.” Kerja cepat yang dimaksud Pramudya bukan hanya menyelesaikan tugas yang diberikan dengan hasil seadanya. Tetapi harus SEMPURNA. Setidaknya itu yang menjadi pegangan Sakha dalam menggel
Karena masih belum tahu seberapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan proyek barunya bersama gabungan tim dari berbagai cabang NatGeo di dunia, Sakha bingung harus mengepak apa saja. Sakha juga belum tahu negara mana saja yang harus didatangi. Sehingga ia tidak punya referensi pakaian yang cocok untuk dibawa. Yang membuat Sakha sejak tadi hanya berdiri di depan lemari dengan dua pintu yang terbuka lebar adalah kenangan sialan yang dengan lancang mampir ke otaknya.Sakha sudah lama sekali tak bepergian jauh. Setiap kali harus ke luar kota atau ke luar negeri, ada Tabitha yang membantu mengepak pakaian dan barang-barang yang ia perlukan. Tabitha selalu tahu apa yang Sakha butuhkan. Sakha nyaris tidak pernah protes karena Tabitha mengepak dengan rapi dan ajaibnya, kopernya muat menampung banyak. Sekarang, Tabitha sudah tidak ada dalam hidupnya. Itu artinya Sakha harus mengepak keperluannya seorang sendiri.Sakha pun menurunkan beberapa pakaian yang sudah terlipat rapi di lemari
Rupanya, bertemu kembali dengan orang-orang terdekatnya dahulu, saat masih menikah dengan Sakha, tidak sesulit dan seberat yang selama ini Tabitha bayangkan. Atau mungkin karena sekarang Tabitha sudah mulai berusaha mengikhlaskan apa yang telah terjadi di masa lalu sehingga bisa mengiyakan ajakan Alex tanpa banyak overthinking.Saat resmi bercerai dari Sakha, Tabitha berjanji hanya akan menjauh dari kawan-kawan lamanya–yang juga teman Sakha–selama satu tahun sebagai proses penyembuhan. Sebab, Tabitha yakin sekali jika ia akan terus merasa sakit jika bersinggungan dengan kawan-kawannya yang satu sirkel dengan Sakha juga. Mau tidak mau, pasti ada akan pembicaraan yang entah sengaja atau tidak terucap yang membuat Tabitha dan Sakha berada di posisi serba salah. Tabitha pun tak yakin tak akan menangis jika berada di sekitar mereka saat emosinya masih sangat labil.Dan hari ini, Tabitha merasa cukup yakin bisa menikmati pertemuan i Meski masih ada rasa sakit hingga sekarang, nyatanya Tabit
“Lo nggak menyedihkan, Tha,” koreksi Albert. Tampak tidak senang melihat Tabitha yang sedikit murung. “Menurut gue sih wajar. Lo pernah punya kenangan manis di sana dan lo mau menyimpan itu buat lo sendiri. Nggak ada yang salah dengan hal itu. Dan itu hak lo juga mau ““Thanks, Al.” Tabitha terkekeh. Menciptakan ekspresi bertanya di wajah Albert. “Dipikir-pikir lagi ternyata gue kangen ngobrol dan curhat sama lo.”Albert tersenyum lebar. “Gue emang ngangenin sih. Berarti kita bisa nongkrong bareng lagi besok-besok, kan?”Tabitha mengangguk ringan. Malah, tadinya Tabitha yang ingin mengajak Albert nongkrong lagi kapan-kapan. Hanya saja Tabitha merasa agak canggung untuk mengajak duluan. Sebab, setelah bercerai dari Sakha, Tabitha paling keras menolak kehadiran Albert hingga laki-laki itu pun akhirnya menyerah dan tidak pernah lagi mengganggu Tabitha. Pertemuan hari ini pun karena inisiatif Alex. Tabitha sempat mengira jika Albert tidak akan mau ikut karena obrolan terakhir mereka sebel
“Kok bisa sih lo perginya dadakan banget?” protes Albert untuk yang ke sekian kalinya, yang hari ini menawarkan diri untuk mengantar Sakha ke bandara Soekarno-Hatta. Sementara Alex tak bisa ikut mengantar karena harus lembur dan berkutat dengan pekerjaan yang menumpuk di kantor. “Salahnya bos gue yang ngasih tahunya juga dadakan,” balas Sakha enteng. “Bos lo kasih tahu dua hari yang lalu. Lo baru kasih tahu gue sama Alex semalem!” Albert kembali menyemburkannya protes. Laki-laki yang duduk di belakang kemudi itu menoleh sekilas ke Sakha yang duduk di sampingnya. “Sorry, my bad. Gue lupa.” Albert mendengkus sebab Sakha tampak tidak benar-benar menyesal saat mengucapkan maaf. “Lo… beneran cuma beberapa bulan doang kan perginya?” “Sampai proyek kelar. Paling lama enam bulan sih.” Albert manggut-manggut. “Gue kira lo mau kabur, terus nggak balik lagi.” “Kenapa gue harus kabur?” Albert sudah membuka mulut untuk membalas, tetapi tak jadi. Laki-laki itu hanya mengendikkan bahu. Mer
[Yunani 2026] Tabitha terbangun dari tidurnya karena mendengar suara debur ombak yang menyapa telinga. Ketika kedua matanya telah sepenuhnya terbuka, wanita itu langsung dihadapkan pada pemandangan indah yang membuat senyum manisnya terukir. Yaitu punggung liat suaminya yang tak terbalut sehelai kain menjadi yang pertama Tabitha lihat. Laki-laki itu berdiri membelakanginya, dengan kedua tangan bersandar di pagar balkon kamar. Senyumnya melebar kala sang suami menyadari kalau ia telah bangun dan sosok itu berbalik untuk menatapnya. "Selamat pagi, Istriku." Sapaan itu membuat wajah Tabitha memerah. Gara-gara panggilan yang terdengar manis itu juga kemarin Tabitha berakhir telanjang di atas tempat tidur sesaat setelah mereka tiba di kamar dengan pemandangan menakjubkan itu. Mereka bergumul di atas ranjang hingga tengah malam, sama-sama banjir peluh dan kelelahan, tetapi banjir kenikmatan. Tanpa sempat menikmati pemandangan yang disuguhkan salah satu pulau di Yunani yang menjadi dest
Pada pernikahan pertamanya dengan Sakha, banyak tangis yang diam-diam Tabitha pendam setiap kali wanita itu kembali mendapatkan tamu bulanan. Pada saat memasuki tahun kedua pernikahan, Tabitha masih belum terlalu mempermasalahkannya. Ia masih bisa berpikir positif dan menganggap bahwa ia belum siap menjadi ibu. Bahwa ia masih diberi waktu oleh Tuhan untuk menyiapkan mental. Tabitha memilih menikmati hari demi harinya bersama Sakha. Merajut cinta yang terus bertumbuh seiring berjalannya waktu.Tabitha baru mulai khawatir saat tahun ketiga, sudah mulai ikut promil, tetapi malam-malam penuh cintanya bersama Sakha tak juga menghadirkan bayi di dalam perutnya. Terlebih mengetahui Sakha yang sudah sangat mengharapkan kehadiran anak, Tabitha jadi gundah gulana.Hati Tabitha remuk setiap kali Sakha mengecup perutnya dan membisikkan doa agar usahanya membuahkan hasil, tetapi esok harinya Tabitha mendapati bercak merah di celana dalamnya. Dan yang lebih menyakitkan adalah ketika Tabitha sudah t
Rachel Kalila Ramadhani."Halo, anak Ayah."Sakha memandangi bayi mungil yang masih merah dari balik kaca dengan mata yang berkaca-kaca. Sudah sejak berpuluh-puluh menit ia berdiri di sana. Ia sangat bahagia karena akhirnya bisa menyambut buah cintanya bersama Tabitha, tetapi juga teramat patah hati karena tidak bisa langsung merengkuh anak gadisnya yang masih harus mendapatkan beberapa penanganan medis khusus.Karena sudah harus lahir beberapa minggu sebelum HPL, berat badannya saat ini hanya 2,4 kilogram. Laju pernapasannya masih belum teratur sehingga harus dibantu alat pernapasan yang terpasang di hidungnya. Istrinya saat ini sedang beristirahat di kamar inap setelah operasi caesar yang harus dilaluinya karena kondisi medis darurat.Tadi, saat harus mendengar berita itu disampaikan oleh dokter dan istrinya menangis karena mengkhawatirkan kondisi bayinya, Sakha nyaris ikut meneteskan air mata. Ia benar-benar tidak tega melihat sang istri yang menahan sakit di perut sekaligus terte
"Lho, Bee? Kok belum ganti baju?" Sakha mengernyit bingung melihat istrinya belum selesai bersiap-siap. Istrinya masih mengenakan jubah mandi seperti satu jam yang lalu. Bedanya, wajahnya sekarang sudah full make-up. Menambah kesan cantik yang memikat Sakha meski hanya melihat wajah istrinya dari samping. "Aku bingung mau pakai baju apa," gumam Tabitha. Masih betah memandangi deretan gaun di dalam lemari yang pintunya telah terbuka lebar-lebar. "Semalam bukannya udah kamu siapin sama baju aku sekalian, Bee?" Tidak hanya itu. Sebenarnya sudah sejak jauh-jauh hari Tabitha membeli gaun--yang serasi dengan batik yang dikenakan Sakha sekarang--untuk dipakai saat resepsi pernikahan Haga dan Meg. Sakha mendekat kepada istrinya dan ikut melongok ke dalam lemari lalu meraih gaun berwarna salem yang langsung terlihat di matanya. "Pakai ini, kan?" Tabitha merengut saat melihat ke arah suaminya. "Aku kelihatan makin gendut kalau pakai ini. Mau pakai yang lain tapi bingung. Semua baju yang
Mata Tabitha mulai berkaca-kaca karena tidak bisa menahan rasa haru yang mengisi dadanya karena dua nama yang sarat makna indah yang sudah disiapkan oleh suaminya itu. Saat menyinggung soal nama anak tadi dan mendengar fakta kalau suaminya telah menyiapkan dua nama untuk calon anak mereka, Tabitha sama sekali tidak berekspektasi tinggi. Tetapi begitu mendengar Sakha mengucapkan dua nama itu dengan tatapan penuh cinta, bahkan sampai menjelaskan arti namanya masing-masing, Tabitha langsung tahu bahwa Sakha telah mempersiapkannya dengan sungguh-sungguh. Tidak asal mencomot nama dari internet karena tampak bagus dipadu-padankan. Dan hal itu membuat Tabitha semakin tak bisa menahan air matanya. "Bee, kok nangis? Kamu nggak suka, ya?" Sakha mendadak panik. Tampak rasa khawatir yang pekat membayangi wajahnya. Ia langsung mencerocos panjang lebar. "Aku nggak akan maksa kamu pakai nama itu kalau nama yang aku siapin nggak sesuai harapan kamu kok. Maaf, Bee. Udah ya? Jangan nangis lagi. Kala
"Kalian kenapa lebay banget, sih? Gue nggak papa kali!" keluh Albert yang sama sekali tidak terlihat baik-baik saja, seperti yang diucapkannya barusan.Laki-laki itu masih telungkup di atas tempat tidur, hanya mengenakan celana pendek dan singlet. Aroma tidak sedap karena sisa-sisa alkohol memenuhi kamarnya yang terang benderang karena cahaya dari lampu."Lo nggak inget semalem nelepon gue sampai nyaris dua jam? Kuping gue sampai panas denger lo ngomong sambil kumur-kumur!" cibir Ranis seraya membuka gorden dan jendela.Sementara Tabitha menyingkirkan pakaian-pakaian kotor milik Albert yang bertebaran di lantai. Memasukkannya ke dalam keranjang kotor yang ada di dekat pintu kamar mandi.Bukannya merasa bersalah, Albert malah cengengesan. "Masa, sih?""Lo bikin gue kurang tidur gara-gara nungguin Sakha nggak balik-balik tau nggak!" omel Tabitha menimpali keluhan Ranis yang diganggu malam-malam oleh curhatan Albert di telepon. "Kenapa jadi gue yang salah? Sakha yang inisiatif nemenin g
Tabitha sudah berniat memanjangkan durasi marahnya kepada Sakha, tetapi kemarahannya dengan ajaib menguap saat ia bangun pagi. Menatap wajah sang suami yang masih lelap dalam tidur damainya membuat senyum wanita itu terkembang lebar. Tidak adanya bau alkohol atau bau rokok yang tersisa seperti saat semalam laki-laki itu pulang semakin melebarkan senyum di wajahnya. "Ganteng banget sih laki gue," gumam wanita itu setelah mengecup pipi Sakha yang agak kasar karena jambang ttipisnya yang sudah mulai tumbuh. Sakha tidak terganggu sama sekali dengan tindakan Tabitha barusan, membuat Tabitha gemas lalu mencubit hidung mancung suaminya pelan. Dan detik kemudian wanita hamil itu tertawa kecil karena tingkah lakunya sendiri. Belakangan ini, Tabitha punya lebih banyak alasan untuk bersyukur setiap menemukan sosok Sakha ada di sampingnya ketika membuka mata. Dari mulai hal-hal sederhana seperti bisa menyantap sarapan bersama, berangkat ke kantor diantar sang suami sembari mengobrolkan agenda h
Wajah merah padam Tabitha menjadi pemandangan pertama saat Sakha muncul di rumah pada pukul sebelas malam. "Sayang, kok belum tidur?" Sakha tetap memangkas jarak meski sang istri menunjukkan gelagat tidak ingin berdekatan dengannya, yang telat pulang ke rumah itu. Sebenarnya, ekspresi Tabitha tidak tampak menakutkan. Pipi gembil yang semakin menonjol karena rambut pendeknya dan perut buncitnya yang terbalut daster selutut itu membuat wanita itu malah tampak manis dan memesona. Namun, tentu saja Sakha tidak akan mengucapkannya terang-terangan di saat sang istri sedang marah. Itu cari mati namanya. "Bee—" "Nggak usah pegang-pegang!" Tabitha berkacak pinggang. Dasternya terangkat naik dan kedua sisi daster di pinggangnya sedikit tertarik oleh kedua tangan, semakin menunjukkan perut bulatnya yang berisi calon bayi mereka. Sakha batal merengkuh sang istri dalam pelukan. "Aku beliin kamu sate Padang. Tadi kamu katanya pengen—" "Kamu pikir aku bakal nggak marah lagi cuma dengan sogokan
"Kenapa, Sayang?" Sakha menolehkan kepala, menatap sang istri yang baru saja menyuarakan pertanyaan setelah lima belas menit perjalanan pulang dari restoran. "Kenapa?" Dan ia malah mengulang pertanyaan itu. Tabitha mengendikkan bahu. "Kamu kelihatan nggak fokus gitu. Ada yang mengganggu kamu soal hubungan Haga sama Meggie?" "It's not like that," balas Sakha. Ia mendesah kecil. "Rasanya aneh aja memikirkan bagaimana takdir bekerja." Tawa ringan Tabitha memenuhi mobil. "It's kinda surprising, right?" Sakha mengangguk setuju. Menilik pada kisah cintanya dengan Tabitha, yang sempat runtuh dan terpisah. Lalu, suatu waktu, mereka dipertemukan oleh takdir di saat keduanya sudah berusaha keras untuk bangkit di jalan masing-masing. Hingga di satu titik mereka dipersatukan kembali dalam keadaan yang utuh dan saling melengkapi. Sakha tidak akan pernah bisa berhenti takjub pada bagaimana semesta mengejutkannya. "More than that, aku beneran syok lihat Haga ternyata bisa sebucin itu," gumam T