Pesan berisi hal serius yang dikirimkan Tabitha pagi tadi membuat Sakha tidak bisa fokus memilah foto-foto. Kemarin, Sakha dan tim yang ditunjuk oleh Pramudya agar membantu Sakha mempersiapkan pameran memang sudah mensortir banyak foto, tetapi untuk keputusan finalnya—foto mana saja yang akan dipamerkan—ada di tangan Sakha. Sakha sebenarnya sudah akan menyinggung masalah 'itu' dan meminta Tabitha menjelaskan sedetail-detailnya, tetapi Sakha sengaja menunggu waktu. Ia perlu mempersiapkan diri untuk mendengar jawaban Tabitha. Salha pikir Tabitha juga belum siap membicarakannya karena mereka kemarin sepakat akan menikmati waktu berdua dulu sebelum memikirkan masalah lain yang membutuhkan momen yang pas dan juga berbekal pikiran yang jernih. "Apa lagi masalahmu, Sakha? Bukankah kamu sudah mendapatkan mantan istrimu kembali? Tapi kenapa kamu malah murung?" Cecaran pertanyaan Pramudya yang tiba-tiba muncul itu membuat Sakha ingin kabur saja. Sakha malas meladeni bosnya yang belakangan in
"Kenapa, Tha? Makanannya nggak enak? Nggak sesuai selera lo ya?"Pertanyaan beruntun dari Haga menyentak Tabitha dari lamunannya terkait balasan Sakha yang meminta Tabitha menunda membicarakan masa lalu. Padahal, tadinya Tabitha sudah yakin sekali setelah obrolannya dengan Jona."Tha? Are you okay?" tegur Haga lagi karena Tabitha malah melanjutkan lamunannya tanpa menjawab apa-apa."Oh, nggak. Maksud gue, bukan makanannya yang nggak enak. Gue... gue juga baik-baik aja, tapi gue cuma lagi kepikiran sesuatu," balas Tabitha dengan agak terbata sebelum Haga salah paham.Dua jam sebelum jam makan siang tadi, Haga mengirimkan pesan tentang ajakan makan siang dan Tabitha langsung menyetujuinya. Tabitha perlu memastikan bahwa pertemanannya dengan Haga yang baru terjalin itu tidak rusak hanya karena kecanggungan menyebalkan beberapa waktu lalu karena Sakha."Yakin?" Haga memastikan."Iya, gue nggak papa. Nih, gue makan," ringis Tabitha yang kemudian menyuapkan satu sendok penuh makanan ke dala
"Kamu tadi ketemu Albert?"Pertanyaan yang dilontarkan Sakha membuat Tabitha urung menyuapkan sesendok nasi ke dalam mulutnya."Iya. Dia cerita kalau tadi aku makan siang bareng Haga?" Tabitha balas bertanya dengan nada santai meski dalam hati ia khawatir Sakha akan marah seperti beberapa waktu lalu.Sakha mengangguk. Ekspresi di wajahnya tetap datar. "Dia lebih khawatir soal kita berdua balikan, actually."Tabitha meringis. Tadinya, Tabitha tidak ingin menyinggung tentang obrolannya dengan Albert yang tidak terlalu mengenakkan hati. Namun, karena Sakha yang lebih dulu membahasnya, Tabitha rasanya jadi ingin menceritakan keluh kesahnya."Soal pesan balasan yang kamu kirim tadi—""Makan dulu ya, Bee. Kita bahas nanti setelah di rumah. Abis ini aku harus ketemu penanggungjawab gedung tempat pameran digelar nanti. Nggak papa, kan?"Tabitha mengangguk-angguk, kemudian melanjutkan makan malam dengan tenang. Sakha pun juga melakukan hal yang sama. Tak lebih dari dua puluh menit kemudian, ke
Hari-hari berlalu dengan cepat hingga tak terasa hanya tinggal dua hari sebelum pameran tunggal Sakha digelar."Bee, udah belum?""Bentar.""Dari tadi nggak kelar-kelar. Kamu ngapain sih? Keburu macet nanti," protes Sakha yang sudah habis kesabarannya.Hari ini adalah jadwal Tabitha check up ke dokter dan kebetulan dokter yang menangani Tabitha hanya ada jadwal pagi hari ini, sehingga Tabitha izin setengah hari. Bukannya bersiap-siap seperti biasanya saat harus bekerja, entah apa yang dilakukan Tabitha di kamar sejak tadi hingga sudah nyaris jam delapan wanita itu belum siap juga. Padahal, di hari-hari biasa, Tabitha selalu sudah siap berangkat kerja saat waktu baru menunjukkan pukul setengah tujuh pagi."Aku pikir kamu dandan dulu, makanya lama," cetus Sakha saat beberapa menit kemudian Tabitha membuka pintu kamarnya.Tabitha keluar dari kamar dengan langkah yang berhati-hati. "Aku dandan kok. Nggak kelihatan ya?""Tapi muka kamu pucat, Bee. Kamu sakit?"Tabitha menghela napas. "Aku
Setelah perdebatan kecil Tabitha dan Sakha di mobil kemarin, tidak ada lagi obrolan yang terlalu serius di antara mereka berdua. Mereka sama-sama menghindari hal-hal yang hanya akan mengarahkan mereka ke keributan yang lebih besar. Tabitha mencoba pengertian karena pikiran Sakha sedang penuh dengan tetek bengek acara pameran. Wanita itu memaklumi sikap defensif Sakha karena Tabitha sudah sangat menyadari bahwa ialah yang menyimpan penjelasan tentang penyebab perceraian mereka dua tahun yang lalu hingga hari ini. Sakha juga bersikap seolah-olah perdebatan kemarin itu tak terjadi."Bee, kamu udah bangun?" tanya Sakha setelah mengetuk pintu kamar Tabitha yang tertutup."Kenapa?" seru Tabitha dari dalam. Kemudian terdengar gesekan antara kruk denga lantai."Kamu mau ikut aku atau di rumah aja?"Tabitha membuka pintu dari dalam dan melongokkan kepala di antara pintu. Tubuhnya masih terbalut baju tidur. Saat ini baru pukul setengah tujuh pagi. Mereka bahkan belum sarapan."Emang boleh ikut?
"Permainan apa yang sebenarnya sedang kalian berdua mainkan?" desak Ibu dengan tatapan menusuk. Jarang sekali Ibu menampilkan ekspresi garang seperti sekarang. Ibunda Sakha sama sekali tak mau memberikan waktu bagi anak lelaki dan mantan menantunya yang terpergok sedang bersama. Ibu langsung menuntut penjelasan saat itu juga sehingga Sakha terpaksa menyuruh timnya kembali lebih dulu untuk lanjut menyiapkan pameran untuk besok. Karena tidak mungkin bicara tentang hal-hal serius di tengah-tengah keramaian, Sakha mnegajak Ibu dan Tabitha pulang ke rumah.Awalnya, Ibu menolak dan meminta Sakha menjelaskan secara singkat lalu Ibu akan pulang sendiri, tetapi Sakha tidak bisa membiarkan Ibu pergi dalam keadaan kepikiran. Ibu yang tadinya datang ke rumah makan itu bersama teman-teman arisannya pun memutuskan untuk pulang lebih dahulu dengan beralasan ada urusan darurat. Nyatanya, urusan Sakha dan Tabitha memang masuk dalam kondisi darurat bagi Ibu tunggal itu."Bu, aku dan Tabitha nggak seda
Dulu, Tabitha bukanlah orang yang cengeng. Perceraiannya dengan Sakha-lah yang membuat Tabitha menjadi mudah sekali menangis. Tabitha pikir, setelah ia dan Sakha kembali bersama, ia akan menjadi kuat lagi seperti dulu. Nyatanya, tidak begitu. Tabitha nyaris tak bisa menghentikan tangisnya setelah berhadapan dengan Ibu yang begitu kecewa. Peluk yang diberikan Sakha saat mereka meninggalkan rumah Ibu pun tak bisa membuat Tabitha tenang. Wanita itu justru semakin kalut saja. "Malam ini kamu sendiri nggak papa? Atau mau tidur di rumah Mama dulu?" Keheningan yang tercipta selama perjalanan menuju rumah Tabitha itu terpecah oleh pertanyaan Sakha yang terlontar dengan lembut. Tabitha mengalihkan tatapan dari lampu merah di sisi jalan untuk menoleh, menatap Sakha yang ternyata sedang menatapnya juga. Sakha tersenyum padanya, seolah-olah mereka tidak sedang berada dalam masalah. "Nggak papa. Terlalu jauh kalau ke rumah Mama." Sakha manggut-manggut. "Besok supirnya Pram yang akan jemput ka
Obrolan tentang Ranis tak lagi berlanjut setelah mobil yang disetiri Albert memasuki pelataran lokasi pameran Sakha diadakan. Karena letak lahan parkir ada di belakang gedung, Albert menurunkan Tabitha dan Alex terlebih dulu agar Tabitha tak perlu menghabiskan banyak tenaga untuk berjalan. Turun dari mobil dibantu oleh Alex, pandangan Tabitha langsung tertuju pada standee banner berukuran cukup besar yang menginformasikan tentang pameran yang mengusung tema "Walk in Memories". Tabitha merasakan desakan aneh di dadanya hanya karena membaca tema pameran itu. "Kenapa, Tha?" tegur Alex saat langkah Tabitha terhenti. Senyum dilontarkan Tabitha seraya melanjutkan langkah dan membalas, "Nothing. Gue cuma penasaran aja kenapa tema pamerannya soal kenangan gitu." Alex mengendikkan bahu saat langkah mereka sudah sama lagi. "Lo tanya langsung aja sama yang ngadain pameran." Keduanya masuk ke dalam gedung setelah menunjukkan kartu undangan khusus kepada petugas yang berjaga di depan pintu. M
[Yunani 2026] Tabitha terbangun dari tidurnya karena mendengar suara debur ombak yang menyapa telinga. Ketika kedua matanya telah sepenuhnya terbuka, wanita itu langsung dihadapkan pada pemandangan indah yang membuat senyum manisnya terukir. Yaitu punggung liat suaminya yang tak terbalut sehelai kain menjadi yang pertama Tabitha lihat. Laki-laki itu berdiri membelakanginya, dengan kedua tangan bersandar di pagar balkon kamar. Senyumnya melebar kala sang suami menyadari kalau ia telah bangun dan sosok itu berbalik untuk menatapnya. "Selamat pagi, Istriku." Sapaan itu membuat wajah Tabitha memerah. Gara-gara panggilan yang terdengar manis itu juga kemarin Tabitha berakhir telanjang di atas tempat tidur sesaat setelah mereka tiba di kamar dengan pemandangan menakjubkan itu. Mereka bergumul di atas ranjang hingga tengah malam, sama-sama banjir peluh dan kelelahan, tetapi banjir kenikmatan. Tanpa sempat menikmati pemandangan yang disuguhkan salah satu pulau di Yunani yang menjadi dest
Pada pernikahan pertamanya dengan Sakha, banyak tangis yang diam-diam Tabitha pendam setiap kali wanita itu kembali mendapatkan tamu bulanan. Pada saat memasuki tahun kedua pernikahan, Tabitha masih belum terlalu mempermasalahkannya. Ia masih bisa berpikir positif dan menganggap bahwa ia belum siap menjadi ibu. Bahwa ia masih diberi waktu oleh Tuhan untuk menyiapkan mental. Tabitha memilih menikmati hari demi harinya bersama Sakha. Merajut cinta yang terus bertumbuh seiring berjalannya waktu.Tabitha baru mulai khawatir saat tahun ketiga, sudah mulai ikut promil, tetapi malam-malam penuh cintanya bersama Sakha tak juga menghadirkan bayi di dalam perutnya. Terlebih mengetahui Sakha yang sudah sangat mengharapkan kehadiran anak, Tabitha jadi gundah gulana.Hati Tabitha remuk setiap kali Sakha mengecup perutnya dan membisikkan doa agar usahanya membuahkan hasil, tetapi esok harinya Tabitha mendapati bercak merah di celana dalamnya. Dan yang lebih menyakitkan adalah ketika Tabitha sudah t
Rachel Kalila Ramadhani."Halo, anak Ayah."Sakha memandangi bayi mungil yang masih merah dari balik kaca dengan mata yang berkaca-kaca. Sudah sejak berpuluh-puluh menit ia berdiri di sana. Ia sangat bahagia karena akhirnya bisa menyambut buah cintanya bersama Tabitha, tetapi juga teramat patah hati karena tidak bisa langsung merengkuh anak gadisnya yang masih harus mendapatkan beberapa penanganan medis khusus.Karena sudah harus lahir beberapa minggu sebelum HPL, berat badannya saat ini hanya 2,4 kilogram. Laju pernapasannya masih belum teratur sehingga harus dibantu alat pernapasan yang terpasang di hidungnya. Istrinya saat ini sedang beristirahat di kamar inap setelah operasi caesar yang harus dilaluinya karena kondisi medis darurat.Tadi, saat harus mendengar berita itu disampaikan oleh dokter dan istrinya menangis karena mengkhawatirkan kondisi bayinya, Sakha nyaris ikut meneteskan air mata. Ia benar-benar tidak tega melihat sang istri yang menahan sakit di perut sekaligus terte
"Lho, Bee? Kok belum ganti baju?" Sakha mengernyit bingung melihat istrinya belum selesai bersiap-siap. Istrinya masih mengenakan jubah mandi seperti satu jam yang lalu. Bedanya, wajahnya sekarang sudah full make-up. Menambah kesan cantik yang memikat Sakha meski hanya melihat wajah istrinya dari samping. "Aku bingung mau pakai baju apa," gumam Tabitha. Masih betah memandangi deretan gaun di dalam lemari yang pintunya telah terbuka lebar-lebar. "Semalam bukannya udah kamu siapin sama baju aku sekalian, Bee?" Tidak hanya itu. Sebenarnya sudah sejak jauh-jauh hari Tabitha membeli gaun--yang serasi dengan batik yang dikenakan Sakha sekarang--untuk dipakai saat resepsi pernikahan Haga dan Meg. Sakha mendekat kepada istrinya dan ikut melongok ke dalam lemari lalu meraih gaun berwarna salem yang langsung terlihat di matanya. "Pakai ini, kan?" Tabitha merengut saat melihat ke arah suaminya. "Aku kelihatan makin gendut kalau pakai ini. Mau pakai yang lain tapi bingung. Semua baju yang
Mata Tabitha mulai berkaca-kaca karena tidak bisa menahan rasa haru yang mengisi dadanya karena dua nama yang sarat makna indah yang sudah disiapkan oleh suaminya itu. Saat menyinggung soal nama anak tadi dan mendengar fakta kalau suaminya telah menyiapkan dua nama untuk calon anak mereka, Tabitha sama sekali tidak berekspektasi tinggi. Tetapi begitu mendengar Sakha mengucapkan dua nama itu dengan tatapan penuh cinta, bahkan sampai menjelaskan arti namanya masing-masing, Tabitha langsung tahu bahwa Sakha telah mempersiapkannya dengan sungguh-sungguh. Tidak asal mencomot nama dari internet karena tampak bagus dipadu-padankan. Dan hal itu membuat Tabitha semakin tak bisa menahan air matanya. "Bee, kok nangis? Kamu nggak suka, ya?" Sakha mendadak panik. Tampak rasa khawatir yang pekat membayangi wajahnya. Ia langsung mencerocos panjang lebar. "Aku nggak akan maksa kamu pakai nama itu kalau nama yang aku siapin nggak sesuai harapan kamu kok. Maaf, Bee. Udah ya? Jangan nangis lagi. Kala
"Kalian kenapa lebay banget, sih? Gue nggak papa kali!" keluh Albert yang sama sekali tidak terlihat baik-baik saja, seperti yang diucapkannya barusan.Laki-laki itu masih telungkup di atas tempat tidur, hanya mengenakan celana pendek dan singlet. Aroma tidak sedap karena sisa-sisa alkohol memenuhi kamarnya yang terang benderang karena cahaya dari lampu."Lo nggak inget semalem nelepon gue sampai nyaris dua jam? Kuping gue sampai panas denger lo ngomong sambil kumur-kumur!" cibir Ranis seraya membuka gorden dan jendela.Sementara Tabitha menyingkirkan pakaian-pakaian kotor milik Albert yang bertebaran di lantai. Memasukkannya ke dalam keranjang kotor yang ada di dekat pintu kamar mandi.Bukannya merasa bersalah, Albert malah cengengesan. "Masa, sih?""Lo bikin gue kurang tidur gara-gara nungguin Sakha nggak balik-balik tau nggak!" omel Tabitha menimpali keluhan Ranis yang diganggu malam-malam oleh curhatan Albert di telepon. "Kenapa jadi gue yang salah? Sakha yang inisiatif nemenin g
Tabitha sudah berniat memanjangkan durasi marahnya kepada Sakha, tetapi kemarahannya dengan ajaib menguap saat ia bangun pagi. Menatap wajah sang suami yang masih lelap dalam tidur damainya membuat senyum wanita itu terkembang lebar. Tidak adanya bau alkohol atau bau rokok yang tersisa seperti saat semalam laki-laki itu pulang semakin melebarkan senyum di wajahnya. "Ganteng banget sih laki gue," gumam wanita itu setelah mengecup pipi Sakha yang agak kasar karena jambang ttipisnya yang sudah mulai tumbuh. Sakha tidak terganggu sama sekali dengan tindakan Tabitha barusan, membuat Tabitha gemas lalu mencubit hidung mancung suaminya pelan. Dan detik kemudian wanita hamil itu tertawa kecil karena tingkah lakunya sendiri. Belakangan ini, Tabitha punya lebih banyak alasan untuk bersyukur setiap menemukan sosok Sakha ada di sampingnya ketika membuka mata. Dari mulai hal-hal sederhana seperti bisa menyantap sarapan bersama, berangkat ke kantor diantar sang suami sembari mengobrolkan agenda h
Wajah merah padam Tabitha menjadi pemandangan pertama saat Sakha muncul di rumah pada pukul sebelas malam. "Sayang, kok belum tidur?" Sakha tetap memangkas jarak meski sang istri menunjukkan gelagat tidak ingin berdekatan dengannya, yang telat pulang ke rumah itu. Sebenarnya, ekspresi Tabitha tidak tampak menakutkan. Pipi gembil yang semakin menonjol karena rambut pendeknya dan perut buncitnya yang terbalut daster selutut itu membuat wanita itu malah tampak manis dan memesona. Namun, tentu saja Sakha tidak akan mengucapkannya terang-terangan di saat sang istri sedang marah. Itu cari mati namanya. "Bee—" "Nggak usah pegang-pegang!" Tabitha berkacak pinggang. Dasternya terangkat naik dan kedua sisi daster di pinggangnya sedikit tertarik oleh kedua tangan, semakin menunjukkan perut bulatnya yang berisi calon bayi mereka. Sakha batal merengkuh sang istri dalam pelukan. "Aku beliin kamu sate Padang. Tadi kamu katanya pengen—" "Kamu pikir aku bakal nggak marah lagi cuma dengan sogokan
"Kenapa, Sayang?" Sakha menolehkan kepala, menatap sang istri yang baru saja menyuarakan pertanyaan setelah lima belas menit perjalanan pulang dari restoran. "Kenapa?" Dan ia malah mengulang pertanyaan itu. Tabitha mengendikkan bahu. "Kamu kelihatan nggak fokus gitu. Ada yang mengganggu kamu soal hubungan Haga sama Meggie?" "It's not like that," balas Sakha. Ia mendesah kecil. "Rasanya aneh aja memikirkan bagaimana takdir bekerja." Tawa ringan Tabitha memenuhi mobil. "It's kinda surprising, right?" Sakha mengangguk setuju. Menilik pada kisah cintanya dengan Tabitha, yang sempat runtuh dan terpisah. Lalu, suatu waktu, mereka dipertemukan oleh takdir di saat keduanya sudah berusaha keras untuk bangkit di jalan masing-masing. Hingga di satu titik mereka dipersatukan kembali dalam keadaan yang utuh dan saling melengkapi. Sakha tidak akan pernah bisa berhenti takjub pada bagaimana semesta mengejutkannya. "More than that, aku beneran syok lihat Haga ternyata bisa sebucin itu," gumam T