Boy memandang Alan dengan mata yang marah dan sedih. "Kamu tidak adil, Kak! Cloe bukanlah anak pelakor! Dia adalah wanita yang aku cintai!" teriak Boy dengan nada keras. Alan memandang Boy dengan mata yang tajam. "Kau tidak tahu siapa dia! Yang aku peduli adalah keluarga ini! Dan aku tidak akan membiarkan kamu merusaknya dengan wanita seperti Cloe!" bentak Alan. Boy memandang Alan dengan mata yang penuh kecewa. "Kamu tidak mengerti, Kak! Aku mencintai Cloe! Dan aku akan melakukan apa saja untuk membuatnya bahagia!" teriak Boy dengan nada keras. "Aku tidak akan membiarkan kamu melakukan itu, Boy! Aku tak menyutujuinya!" bentak Alan. "Kamu tidak adil, Kak! Aku hanya ingin bahagia! Lalu apa bedanya dengan Laura wanita yang tak jelas asal usulnya!" teriak Boy dengan nada keras. "Aku tidak peduli apa yang kamu inginkan, Boy! Asal kau t
Boy memasuki apartemennya dengan langkah yang berat, emosi yang masih menggelora di hatinya membuatnya merasa tidak tenang. Dia memang menyukai Laura, tapi hanya sebatas suka, tidak sampai mencintainya. Dia merasa bahwa Laura adalah wanita yang cantik dan baik, tapi dia tidak merasakan adanya hubungan yang lebih dalam dengan Laura. Boy berjalan ke arah jendela dan memandang ke luar, mencoba untuk menenangkan dirinya. Dia merasa bahwa dia telah membuat keputusan yang tepat dengan menolak perjodohan dengan Laura dan memilih Cloe sebagai kekasihnya. Tapi, dia juga merasa bahwa dia telah menyakiti Laura dan keluarganya. Boy mengambil napas dalam-dalam dan mencoba untuk membuang pikiran-pikiran yang mengganggu dirinya. Dia tahu bahwa dia harus fokus pada hubungannya dengan Cloe dan tidak boleh membiarkan perasaan-perasaan yang tidak diinginkan mengganggu dirinya. Dua ming
Vale duduk di dalam mobil dengan wajah yang tidak senang. Dia merasa bahwa Boy telah melebih-lebihkan dengan mengatakan bahwa ada pengawal yang menjaganya. Laura memulai mesin mobil dan memandang ke belakang untuk memastikan bahwa Vale sudah siap untuk berangkat. "Maaf, Nyonya," kata Laura dengan suara yang lembut. "Saya akan mengantar anda pulang sekarang." Vale tidak menjawab, tetapi hanya mengangguk dengan wajah yang masih tidak senang. Laura memahami bahwa Vale masih marah dengan Boy, jadi dia tidak berbicara lagi dan hanya fokus pada mengemudi. Saat mereka pergi, Boy masih berdiri di luar restoran, memandang mobil yang pergi dengan wajah yang sedikit gelisah. Dia merasa bahwa perasaannya tak tenang, tetapi dia tidak tahu apa itu. Sampai di mansion... Vale duduk di sofa yang empuk, mengelus perutnya yang sedang hamil besar. Dia masih terlihat marah dan frustras
Vale mencoba menghubungi Alan melalui telepon, karena Laura tidak kembali setelah beberapa jam. Sementara itu, Alan yang menunggu lama Laura yang tak datang-datang juga menghubungi istrinya, Vale. 'Halo, sayang. Kamu sedang apa?' tanya Alan melalui telepon. 'Alan, aku khawatir. Laura tidak kembali setelah beberapa jam. Aku sudah mencoba menghubunginya, tapi tidak ada jawaban,' jawab Vale dengan suara yang khawatir. Alan terdiam sejenak, kemudian menjawab. 'Aku juga menunggu Laura, tapi dia tidak datang-datang. Aku sudah mencoba menghubunginya juga, tapi tidak ada jawaban. Aku akan mencari tahu apa yang terjadi padanya.' Vale merasa lega karena Alan akan mencari tahu apa yang terjadi pada Laura. 'Terima kasih, Alan. Aku sangat khawatir tentang Laura,' kata Vale.
Boy merasa sangat sedih dan kecewa karena Alan tidak mau melihatnya. Boy hanya ingin mencari tahu tentang keadaan Laura, tapi malah dihalangi oleh pengawal-pengawal kakaknya. Boy memutuskan untuk tidak memaksa Alan untuk berbicara dengannya. Dia tidak ingin membuat situasi menjadi lebih buruk. Boy memutuskan untuk pergi dan mencari tahu tentang keadaan Laura dari sumber lain. Saat Boy berjalan pergi, dia melihat seorang perawat yang sedang keluar dari ruang ICU. Boy segera mendekati perawat tersebut dan bertanya tentang keadaan Laura. "Maaf, saya ingin tahu tentang keadaan Nona Laura. Apakah lukaanya parah?" tanya Boy dengan suara yang khawatir. Perawat tersebut memandang Boy dengan simpati sebelum menjawab. "Maaf, tuan. Nona Laura masih dalam keadaan kritis. Kami masih berusaha untuk menyelamatkan nyawanya."
Boy, yang berdiri di belakang mereka, memandang Laura dengan mata yang sedih. Dia merasa bersalah karena sudah jahat dengan Laura, dan dia tidak tahu apa yang akan terjadi pada Laura jika dia tidak bisa sadar lagi. "Maaf, aku ingin bicara," kata Boy dengan suara yang lembut. "Aku ingin membantu menjaga Laura. Aku merasa bersalah karena sudah jahat dengan dia, dan aku ingin membuatnya baik-baik saja." Abizar, yang berdiri di samping mereka, memandang Alan dan Vale. "Alan, Vale, kalian berdua tidak perlu berdebat tentang ini. Yang penting adalah Laura mendapatkan perawatan yang baik dan cepat sembuh." Alan dan Vale memandang Boy dengan mata yang terkejut. Mereka tidak menyangka bahwa Boy akan menawarkan diri untuk membantu menjaga Laura. "Tidak, Boy. Kamu tidak perlu melakukannya," kata Alan dengan suara yang tegas. "Tapi aku ingin melakukann
Boy duduk di samping tempat tidur Laura, memandangnya dengan mata yang cemas. "Laura, bagaimana bisa terjadi? Dokter bilang kamu memiliki cedera saraf di dekat kepala...?" Laura memandang Boy dengan mata yang lemah, masih berbaring di tempat tidu. "Aku... aku tidak ingat apa-apa, Boy. Aku hanya ingat bahwa aku merasa sakit kepala dan tidak bisa mengingat apa-apa..." Boy memegang tangan Laura dengan erat. "Jangan khawatir, Laura. Aku akan selalu ada di sini untuk kamu. Aku akan membantu kamu mengingat kembali..." Laura memandang Boy dengan mata yang sedih. "Tapi bagaimana jika aku tidak bisa mengingat kembali, Boy?" Boy memandang Laura dengan mata yang sendu. "Jangan bilang begitu, Laura. Aku akan selalu membantu kamu. Aku akan melakukan apa saja untuk membantu kamu mengingat kembali..."
Laura masih terkejut dengan mimpi yang baru saja dialaminya. Dia berusaha untuk tenang dan memahami apa yang terjadi dalam mimpi tersebut. Tiba-tiba, Laura mendengar suara ketukan di pintu apartemennya. "Hai, Laura. Aku datang untuk menjengukmu. Bagaimana kabarmu?" Boy berkata dengan tersenyum. "Saya baik-baik saja, Tuan. Terima kasih atas perhatianmu," Laura menjawab dengan tersenyum lemah. "Saya khawatir tentangmu, Laura. Aku ingin memastikan bahwa kamu baik-baik saja," Boy berkata dengan mata yang khawatir. "Saya baik-baik saja, Tuan. Saya hanya sedikit lelah," Laura menjawab. "Baiklah, aku akan pergi sekarang. Tapi aku akan kembali nanti untuk menjengukmu lagi," Boy berkata. "Terima kasih, Tuan," Laura menjawab.
Alan memerintahkan baby sister datang ke hotel untuk menjaga Anya. Sedangkan dia ingin bermesraan bersama Valeria. "Aku bukannya senang merayakan wasiatmu, tapi aku speechless kenapa Ayah Satia tidak jujur dan malah berhutang banyak denganku. Apa dia hanya pura-pura saja? Pantas saja dia meninggalkan perusahaan, pergi ke Rusia bersama wanita mudanya, hanya untuk mengujiku," ucap Alan yang kini sedang menciumi tubuh Vale dengan mesra. Valeria tertawa kecil. "Jadi, semua ini adalah ujian? Ujian yang sangat mahal!" Alan mencium leher Valeria. "Ya, ujian untuk melihat apakah kita cukup kuat untuk menghadapi semua ini bersama-sama. Dan sejauh ini, ki
"Terima kasih sudah menjadi suamiku kembali. Meskipun kau membuatku sedikit khawatir tadi malam." Alan tertawa kecil. "Maaf, sayang. Aku terlalu bersemangat." Valeria mencubit lengan Alan pelan. "Lain kali, jangan terlalu bersemangat. Tapi... aku senang." Alan memeluk Valeria. "Baiklah, sayang. Aku berjanji akan lebih lembut... kecuali jika kau menginginkan sebaliknya. Malam yang luar biasa. Aku senang kita bisa menghabiskan waktu bersama seperti ini. "Aku juga. Rasanya seperti kita kembali muda lagi." "Kita akan selalu muda di hati, sayang. Selamanya."
Reinhard dan Elsa, dua anak Alan Chester Clark yang gendut dan lucu, berlarian di sekitar taman pesta pernikahan Abizar, membuat para tamu undangan tertawa. Mereka berguling-guling di atas rumput, mengejar kupu-kupu, dan saling kejar-kejaran. 'Lihatlah mereka! Seperti dua anak kelinci yang berlarian!" ucap para tamu. "Mereka sangat menggemaskan! Aku jadi ingin punya anak juga." Di sisi lain taman, Valeria, dan Violet, duduk di sebuah bangku tamu undangan, menikmati suasana pesta sambil mengobrol. Anya duduk di pangkuan Valeria, tersenyum terus tanpa henti. "Anya, kamu kenapa senyum terus? Ada yang lucu ya?" Violet tertawa. "Dia memang selalu ceria. Lihat giginya, baru tumbuh beberapa
"Jadi, anakku sudah mulai mengikuti jejak ayahnya, ya?" ucap Alan sambil tertawa. Valeria mendelik. "Jangan tertawa! Ini serius! Aku khawatir dia akan terlalu banyak pacar nanti." Alan masih tertawa. "Tenanglah. Aku yakin dia akan baik-baik saja. Setidaknya dia punya bakat alami. Mungkin suatu hari nanti dia akan menulis buku tentang pengalaman pacarannya, judulnya." "Petualangan Cinta Seorang Playboy Cilik". Valeria memukul pelan lengan Alan. "Jangan mengada-ada! Ini serius!" Alan tertawa. "Baiklah, baiklah. Aku berjanji akan membicarakan ini dengan Reinhard. Tapi jangan berharap aku akan melarangnya pacaran. Aku sendiri kan juga pernah mengalami masa-masa itu. Tapi aku akan memastikan dia tahu batasannya. Aku tidak ingin dia terluka."
Sore hari menjelang, mentari mulai terbenam, menorehkan warna jingga dan ungu di langit. Alan dan Valeria masih berbaring di ranjang, saling berpelukan. Suasana kamar masih dipenuhi aroma intim dan sisa-sisa gairah. Valeria tersenyum. "Aku merasa sangat senang. Seperti kembali ke masa pacaran kita dulu." "Aku juga. Rasanya seperti waktu berhenti, hanya ada kita berdua." "Anak-anak akan kembali dalam seminggu. Kita harus memanfaatkan waktu ini sebaik mungkin." "Tentu. Bagaimana kalau kita memasak makan malam bersama? Sesuatu yang romantis, hanya untuk kita berdua." "Ide bagus! Bagaimana kalau kita membuat pasta? Dengan saus truffle dan anggur merah?" Alan tersenyum. "Kau selalu tahu
Jan 23.00 malam baru pulang dari kantor. Ia masuk ke kamar , melihat Valeria, matanya melebar. Ia berjalan mendekat dengan langkah pasti. Kamar gelap hanya diterangi cahaya remang dari lampu tidur di meja samping ranjang. Alan berbisik, sedikit serak. "Wow..." menatap Valeria yang tertidur pulas dengan lingerie sutra berwarna merah marun. "Pekerjaan yang melelahkan di kantor, langsung sirna begitu melihatmu..." Alan mendekati Valeria dan menyentuh pipinya dengan lembut, jari-jarinya merasakan kelembutan kulit Valeria. "Lingerie itu... sangat menggoda." Ia menarik napas dalam-dalam, aroma parfum Valeria memenuhi indranya. "Kau selalu tahu bagaimana membuatku tenang dan... tergoda sekaligus." Ia menunduk, mencium lembut leher Valeria. "Kau luar biasa, Valeria." Alan kemudian berbaring di samping Valeria, memeluknya dengan erat. Ia merasakan detak jantung Valeria yang t
"Kau menginap di sini atau pulang, Boy?" "Aku langsung pulang saja, Kak. Kan ada jet pribadi Kakak." Boy tersenyum. Alan tersenyum. "Ya sudah. Aku ke ruang kerja dulu." Alan menyerahkan Anya ke Valeria. "Anya, sayang, ikut Mommy ya." Valeria menerima Anya. "Tentu, Sayang." "Reinhard dan Elsa ke mana, Kak?" "Mereka tadi, setelah berenang, katanya mau bermain di taman bersama teman-temannya. Sepertinya mereka sudah pulang juga. melihat ke arah pintu. "Ah, lihat! Mereka sudah pulang." Reinhard dan Elsa masuk, membawa beberapa mainan kecil. "Mom! Papa!" teriak Reinhard. "Paman Boy!" seru Els
Valeria segera mempersiapkan diri untuk menyusui Anya. Alan meletakkan Anya di pangkuan Valeria, dan Anya langsung menempelkan mulutnya ke dada Valeria, menghisap dengan lahapnya. Valeria menatap Anya yang sedang menyusu. "Nah, sudah tenang sekarang, ya, Sayang. Minum yang banyak biar kuat." Alan duduk di samping Valeria. "Dia memang cepat sekali laparnya." "Iya juga ya. Besok aku harus lebih sering memberinya ASI. Jangan sampai dia kelaparan lagi." Valeria menatap Anya dengan penuh kasih sayang. "Mommy sayang Anya." Alan memeluk Valeria dari belakang. "Aku juga sayang kalian semua. Keluarga kecilku yang sempurna." Anya selesai menyusu dan tertidur pulas di pangkuan Valeria. Suasana menjadi tenang dan damai. Valeria berbisik kepada Alan. "Dia sudah tidur. Tidurnya sangat nyenyak." "Kita juga perlu istirahat sebentar, Sayang. Hari ini cukup melelahkan." Valeria dan
Alan dan Valeria tetap berpelukan, tenang dan damai. Keheningan di antara mereka dipenuhi dengan cinta yang dalam dan pengertian yang mendalam. Alan berbisik pelan. "Ingatkah kau... saat kita pertama kali bertemu?" Valeria tersenyum lembut muncul di wajahnya. "Tentu saja. Di kafe kecil itu, dengan hujan yang turun deras di luar." Kenangan itu muncul kembali di benak mereka, membawa mereka kembali ke masa-masa awal hubungan mereka. Mereka mengingat perasaan gugup, debaran jantung, dan percikan cinta pertama yang mekar di antara mereka. "Saat itu... aku tahu. Aku tahu kau adalah orang yang tepat untukku." "Aku juga, Sayang. Aku merasakannya sejak pandangan pertama." Mereka saling bertukar tatapan, tatapan yang penuh cinta, kepercayaan, dan pen