Boy memasuki apartemennya dengan langkah yang berat, emosi yang masih menggelora di hatinya membuatnya merasa tidak tenang. Dia memang menyukai Laura, tapi hanya sebatas suka, tidak sampai mencintainya. Dia merasa bahwa Laura adalah wanita yang cantik dan baik, tapi dia tidak merasakan adanya hubungan yang lebih dalam dengan Laura.
Boy berjalan ke arah jendela dan memandang ke luar, mencoba untuk menenangkan dirinya. Dia merasa bahwa dia telah membuat keputusan yang tepat dengan menolak perjodohan dengan Laura dan memilih Cloe sebagai kekasihnya. Tapi, dia juga merasa bahwa dia telah menyakiti Laura dan keluarganya. Boy mengambil napas dalam-dalam dan mencoba untuk membuang pikiran-pikiran yang mengganggu dirinya. Dia tahu bahwa dia harus fokus pada hubungannya dengan Cloe dan tidak boleh membiarkan perasaan-perasaan yang tidak diinginkan mengganggu dirinya. Dua mingVale duduk di dalam mobil dengan wajah yang tidak senang. Dia merasa bahwa Boy telah melebih-lebihkan dengan mengatakan bahwa ada pengawal yang menjaganya. Laura memulai mesin mobil dan memandang ke belakang untuk memastikan bahwa Vale sudah siap untuk berangkat. "Maaf, Nyonya," kata Laura dengan suara yang lembut. "Saya akan mengantar anda pulang sekarang." Vale tidak menjawab, tetapi hanya mengangguk dengan wajah yang masih tidak senang. Laura memahami bahwa Vale masih marah dengan Boy, jadi dia tidak berbicara lagi dan hanya fokus pada mengemudi. Saat mereka pergi, Boy masih berdiri di luar restoran, memandang mobil yang pergi dengan wajah yang sedikit gelisah. Dia merasa bahwa perasaannya tak tenang, tetapi dia tidak tahu apa itu. Sampai di mansion... Vale duduk di sofa yang empuk, mengelus perutnya yang sedang hamil besar. Dia masih terlihat marah dan frustras
Vale mencoba menghubungi Alan melalui telepon, karena Laura tidak kembali setelah beberapa jam. Sementara itu, Alan yang menunggu lama Laura yang tak datang-datang juga menghubungi istrinya, Vale. 'Halo, sayang. Kamu sedang apa?' tanya Alan melalui telepon. 'Alan, aku khawatir. Laura tidak kembali setelah beberapa jam. Aku sudah mencoba menghubunginya, tapi tidak ada jawaban,' jawab Vale dengan suara yang khawatir. Alan terdiam sejenak, kemudian menjawab. 'Aku juga menunggu Laura, tapi dia tidak datang-datang. Aku sudah mencoba menghubunginya juga, tapi tidak ada jawaban. Aku akan mencari tahu apa yang terjadi padanya.' Vale merasa lega karena Alan akan mencari tahu apa yang terjadi pada Laura. 'Terima kasih, Alan. Aku sangat khawatir tentang Laura,' kata Vale.
Boy merasa sangat sedih dan kecewa karena Alan tidak mau melihatnya. Boy hanya ingin mencari tahu tentang keadaan Laura, tapi malah dihalangi oleh pengawal-pengawal kakaknya. Boy memutuskan untuk tidak memaksa Alan untuk berbicara dengannya. Dia tidak ingin membuat situasi menjadi lebih buruk. Boy memutuskan untuk pergi dan mencari tahu tentang keadaan Laura dari sumber lain. Saat Boy berjalan pergi, dia melihat seorang perawat yang sedang keluar dari ruang ICU. Boy segera mendekati perawat tersebut dan bertanya tentang keadaan Laura. "Maaf, saya ingin tahu tentang keadaan Nona Laura. Apakah lukaanya parah?" tanya Boy dengan suara yang khawatir. Perawat tersebut memandang Boy dengan simpati sebelum menjawab. "Maaf, tuan. Nona Laura masih dalam keadaan kritis. Kami masih berusaha untuk menyelamatkan nyawanya."
"Bagaimana?" Tangan Valeria mengepal. Dia masih tak menyangka kepada pria yang duduk di hadapannya dengan balutan jas hitam tersenyum remeh memandangnya. Seorang mantan suami yang sudah menceraikannya selama tiga tahun kini menawarkan uang untuk menutupi kerugian yang menimpa perusahaannya. "Apa maksudmu, Tuan Alan? Aku tidak sudi menerima uang yang kau berikan!" maki Vale sambil melemparkan amplop coklat berisi uang yang berada di atas meja ke wajah Alan. Weni sang asisten yang sejak tadi duduk di sofa dengan tenang melihat Tuan Alan dihina seperti itu langsung buka suara. "Anda bisa saja menolaknya Nona Valeria, tapi bagaimana dengan ribuan karyawan yang bekerja di perusahaan orangtua anda yang sedang berada di ujung tanduk?" "Itu urusanku bukan urusan kalian. Jangan sok tahu tentang masalah keluargaku. Sekarang pergilah, kalian tentu tahu pintu keluar di mana." Baru saja Weni ingin menyahuti Valeria, Alan langsung mengisyaratkan tangannya agar jangan bicara. Alan memajukan
"Kau harus menuruti apa yang ku mau selama Violet tidak berada disisiku. Calon istriku itu sedang berada di Itali selama tiga bulan karena ada pekerjaan di sana. Kau tentu tahu kebutuhan biologisku selama kita masih menjadi suami istri dulu." "Aku bukan pelacurmu simpan saja uangmu itu," ucap Valeri dengan tatapan tajam kepada Alan. "Nona Valeria kenapa kau masih saja keras kepala. Aku menawarkan keuntungan untukmu. Kau akan bahagia dan perusahaan Kakekmu itu akan aman. Apa kau tahu hutang Ayahmu sangat menumpuk. Beberapa para investor menarik uangnya. Dan kau jangan lupa Ayahmu juga berhutang banyak kepadaku," urai Alan dengan tenang duduk di atas meja kerjanya sambil melipatkan kedua tangannya. "Kau sudah gila! Aku tidak akan pernah mau menerima tawaranmu sudah cukup kita pernah mengenal. Jadi jangan sok baik untuk menolongku. Kalau kau ingin hartaku maka ambil saja. Aku tidak perduli lagi permisi," jawab Valeria dengan wajah datarnya lalu pergi dari ruangan itu tanpa memakai g
"Kau habis dari mana Vale?" tanya Cathy yang sejak tadi menunggunya. "Maaf... Aku tadi ada urusan sedikit, kenapa belum tidur?" "Owh, aku belum mengantuk saja. Emm... Vale tadi Ibuku telpon memintaku pergi ke rumah Tante Nana. Tanteku sakit tak ada yang mengurusnya. Bisakah Aku pinjam mobilmu kesana?" "Kau itu bagaimana pakai saja jangan sungkan. Apa aku boleh ikut?" "Ah... tidak! Jangan. Aku hanya sebentar saja. Kamu di rumah saja tidak apa-apakan?" "Ok baiklah, ini kunci mobilnya kamu hati-hati di jalan." Tanpa curiga kepada Cathy, Vale mengantarnya keluar rumah sampai wanita itu pergi mengendarai mobilnya. Vale masuk ke dalam rumah dia berjalan menaiki tangga menuju kamar. Sudah tiga hari wanita itu menginap di rumah temannya. Vale mempunyai harta gono gini dari mantan suaminya tapi dia tidak pernah menghuni rumah mewah yang diberikan mantan suaminya. Beberapa mobil mewah pun berdebu digarasi rumah itu. Dan beberapa aset seperti properti dan restoran tidak pernah di
"Kau mau membawaku kemana? Sepertinya jalan ini ke rumah utama. Hey apa kau sudah gila! Aku mau turun di sini saja... berhenti ku bilang!" Ckit! Suara bunyi rem mendadak terdengar jelas di telinga mereka. Alan melirik Vale yang ingin keluar dari mobil BMW mewahnya. "Coba saja kau keluar aku pastikan kita akan melakukannya di sini." "Apa kau tuli hah! Aku tidak mau ke rumah itu dan berhenti mengancamku, Alan." "Kita akan tetap ke sana karena itu rumahmu!" tanpa menghiraukan caci maki Vale. Alan tetap membawa Vale ke rumah utama mereka yang dulu pernah mereka tinggali bersama. Menempuh perjalanan selama 30 menit dengan banyak drama akhirnya sampai di depan pintu mewah pagar hitam sudah ada penjaga yang membukanya menyambut mereka. Alan turun dari mobil tanpa Vale yang masih betah bertahan diam di dalam mobil. Tanpa memaksa Vale turun Alan bersandar ke tiang kokoh rumahnya dengan menghisap rokok sambil melihat Vale yang masih tetap bertahan di dalam mobilnya. Beberapa pengawa
Suara cuitan burung di luar balkon terdengar riuh cahaya yang menembus ke dalam kamar cukup membuat Vale mengerjapkan matanya yang baru bangun dari mimpinya. Tak jauh darinya ada sosok pria yang sedang memandangnya tanpa berkedip. Kedua mata mereka saling berpandangan dan Vale lah yang pertama memutus pandangan tersebut. "Mandilah ikut bersamaku ke kantor." "Untuk apa bukannya sekarang kau yang akan menjadi bosnya." "Kau akan mengetahuinya setelah tiba di sana. Bersiap-siaplah aku menunggumu di bawah kita sarapan bersama." Setelah melihat Alan pergi dari kamar, Vale bergegas mandi dengan cepat karena dia juga penasaran dengan ucapan pria itu. Di atas ranjang ada stelan pakaian kantor untuknya. Blouse berwarna biru dan rok span berwarna hitam. Terlihat sangat sopan karena itu yang diinginkan Alan. Setelah mengecek beberapa riasan di wajahnya Vale keluar dan turun menghampiri Alan yang sejak tadi sudah menunggunya. Tapi baru beberapa langkah kakinya tertahan tanpa mau dig
Boy merasa sangat sedih dan kecewa karena Alan tidak mau melihatnya. Boy hanya ingin mencari tahu tentang keadaan Laura, tapi malah dihalangi oleh pengawal-pengawal kakaknya. Boy memutuskan untuk tidak memaksa Alan untuk berbicara dengannya. Dia tidak ingin membuat situasi menjadi lebih buruk. Boy memutuskan untuk pergi dan mencari tahu tentang keadaan Laura dari sumber lain. Saat Boy berjalan pergi, dia melihat seorang perawat yang sedang keluar dari ruang ICU. Boy segera mendekati perawat tersebut dan bertanya tentang keadaan Laura. "Maaf, saya ingin tahu tentang keadaan Nona Laura. Apakah lukaanya parah?" tanya Boy dengan suara yang khawatir. Perawat tersebut memandang Boy dengan simpati sebelum menjawab. "Maaf, tuan. Nona Laura masih dalam keadaan kritis. Kami masih berusaha untuk menyelamatkan nyawanya."
Vale mencoba menghubungi Alan melalui telepon, karena Laura tidak kembali setelah beberapa jam. Sementara itu, Alan yang menunggu lama Laura yang tak datang-datang juga menghubungi istrinya, Vale. 'Halo, sayang. Kamu sedang apa?' tanya Alan melalui telepon. 'Alan, aku khawatir. Laura tidak kembali setelah beberapa jam. Aku sudah mencoba menghubunginya, tapi tidak ada jawaban,' jawab Vale dengan suara yang khawatir. Alan terdiam sejenak, kemudian menjawab. 'Aku juga menunggu Laura, tapi dia tidak datang-datang. Aku sudah mencoba menghubunginya juga, tapi tidak ada jawaban. Aku akan mencari tahu apa yang terjadi padanya.' Vale merasa lega karena Alan akan mencari tahu apa yang terjadi pada Laura. 'Terima kasih, Alan. Aku sangat khawatir tentang Laura,' kata Vale.
Vale duduk di dalam mobil dengan wajah yang tidak senang. Dia merasa bahwa Boy telah melebih-lebihkan dengan mengatakan bahwa ada pengawal yang menjaganya. Laura memulai mesin mobil dan memandang ke belakang untuk memastikan bahwa Vale sudah siap untuk berangkat. "Maaf, Nyonya," kata Laura dengan suara yang lembut. "Saya akan mengantar anda pulang sekarang." Vale tidak menjawab, tetapi hanya mengangguk dengan wajah yang masih tidak senang. Laura memahami bahwa Vale masih marah dengan Boy, jadi dia tidak berbicara lagi dan hanya fokus pada mengemudi. Saat mereka pergi, Boy masih berdiri di luar restoran, memandang mobil yang pergi dengan wajah yang sedikit gelisah. Dia merasa bahwa perasaannya tak tenang, tetapi dia tidak tahu apa itu. Sampai di mansion... Vale duduk di sofa yang empuk, mengelus perutnya yang sedang hamil besar. Dia masih terlihat marah dan frustras
Boy memasuki apartemennya dengan langkah yang berat, emosi yang masih menggelora di hatinya membuatnya merasa tidak tenang. Dia memang menyukai Laura, tapi hanya sebatas suka, tidak sampai mencintainya. Dia merasa bahwa Laura adalah wanita yang cantik dan baik, tapi dia tidak merasakan adanya hubungan yang lebih dalam dengan Laura. Boy berjalan ke arah jendela dan memandang ke luar, mencoba untuk menenangkan dirinya. Dia merasa bahwa dia telah membuat keputusan yang tepat dengan menolak perjodohan dengan Laura dan memilih Cloe sebagai kekasihnya. Tapi, dia juga merasa bahwa dia telah menyakiti Laura dan keluarganya. Boy mengambil napas dalam-dalam dan mencoba untuk membuang pikiran-pikiran yang mengganggu dirinya. Dia tahu bahwa dia harus fokus pada hubungannya dengan Cloe dan tidak boleh membiarkan perasaan-perasaan yang tidak diinginkan mengganggu dirinya. Dua ming
Boy memandang Alan dengan mata yang marah dan sedih. "Kamu tidak adil, Kak! Cloe bukanlah anak pelakor! Dia adalah wanita yang aku cintai!" teriak Boy dengan nada keras. Alan memandang Boy dengan mata yang tajam. "Kau tidak tahu siapa dia! Yang aku peduli adalah keluarga ini! Dan aku tidak akan membiarkan kamu merusaknya dengan wanita seperti Cloe!" bentak Alan. Boy memandang Alan dengan mata yang penuh kecewa. "Kamu tidak mengerti, Kak! Aku mencintai Cloe! Dan aku akan melakukan apa saja untuk membuatnya bahagia!" teriak Boy dengan nada keras. "Aku tidak akan membiarkan kamu melakukan itu, Boy! Aku tak menyutujuinya!" bentak Alan. "Kamu tidak adil, Kak! Aku hanya ingin bahagia! Lalu apa bedanya dengan Laura wanita yang tak jelas asal usulnya!" teriak Boy dengan nada keras. "Aku tidak peduli apa yang kamu inginkan, Boy! Asal kau t
Laura berjalan dengan langkah cepat ke dalam markas, tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Dia masuk ke dalam ruang senjata, tempat dia biasa melatih diri dan menguji kemampuan tempurnya. Tapi kali ini, Laura tidak datang untuk melatih diri. Dia datang untuk meluapkan amarahnya. Dia mengambil peluru dari tempat penyimpanan dan memasukkannya ke dalam senjatanya. Dengan mata yang berapi-api, Laura menatap beberapa patung boneka yang berada di ruangan itu. Dia menganggap patung-patung itu sebagai Boy, tuan mudanya yang telah menolak perjodohannya dengannya. Dengan gerakan yang cepat dan tepat, Laura menembaki patung-patung itu berkali-kali. Peluru-peluru menghantam patung-patung itu, membuatnya hancur dan berantakan. Laura terus menembaki patung-patung itu, tidak peduli deng
Laura merasa tidak nyaman ketika melihat pesan tersebut. Dia tidak ingin berbicara dengan orang itu, karena dia tahu bahwa percakapan mereka hanya akan membuatnya semakin sakit hati. 'Aku tidak ingin bicara denganmu,' kata Laura dalam hati, sambil menatap ponselnya. Tapi, ponselnya kembali bergetar. Orang itu tidak mau menyerah. {'Aku tahu kamu sedang online, tapi aku harus bicara denganmu. Tolong, Laura angkat teleponku'} kata pesan tersebut. Laura merasa malas. Dia tahu apa yang ingin dikatakan oleh orang itu, tapi dia tahu bahwa dia tidak bisa menghindarinya. Terpaksa dia mengangkat panggilan itu. ['Dengan siapa aku bicara?'} tanya Laura, sambil mengambil napas dalam-dalam. {'Jangan pura-pura lupa ingatan,'} jawab Boy. Laura diam dan menebak dalam hati. 'Apa dia ingin bicara dengannya tentang perjodoh
Laura keluar dari toilet dengan langkah ringan, ia terkejut ketika melihat seorang lelaki tampan bersandar di dinding, menyilangkan tangan dengan wajah datar. Boy, mendekatinya dengan langkah mantap hingga wajah mereka hanya berselisih beberapa sentimeter saja. Laura bisa merasakan hembusan nafas lelaki itu di wajahnya, membuatnya terdiam. "Kau cemburu, hem?" tanya Boy dengan suara yang menggoda, sambil menatap lurus mata hijau Laura. Laura hanya bisa membalas tatapan tajam Boy sambil tersenyum tipis. "Apa maksud Anda, tuan muda?" tanyanya dengan nada dingin, mencoba menyembunyikan kecanggungannya di balik senyumnya. "Jangan pura-pura kau cemburukan kalau aku dekat dengan wanita lain," ucap Boy sambil menggerakkan jari-jarinya di samping wajah Laura, membuatnya semakin merasa tidak nyaman.
Vale tersenyum melihat pemandangan di depannya. Laura, pengawalnya yang dingin, sedang digoda oleh adik iparnya, Boy. Meskipun terlihat dingin, Vale tahu bahwa di balik sikapnya yang keras, Laura sebenarnya adalah sosok yang lembut dan penuh kasih. Vale yang sedang hamil begitu senang melihat kedua manusia tersebut. Ia berharap agar Laura dan Boy bisa menjadi sepasang kekasih. "Laura, Boy, kenapa kalian selalu bertengkar? Kalian tidak sadar bahwa sebenarnya kalian saling menyukai," ujar Vale sambil tersenyum lembut. Laura menatap Vale dengan tatapan datar. "Apa yang anda bicarakan, Nyonya Vale?" Boy menimpali sambil tersenyum jail. "Kak Vale benar, Laura. Jika kita selalu bertengkar karena saling menyukai. Ayo berikan kesempatan padaku untuk menjadiknmu kekasihku." Laura hanya tersenyum tipis mendengar