Laura masih terkejut dengan mimpi yang baru saja dialaminya. Dia berusaha untuk tenang dan memahami apa yang terjadi dalam mimpi tersebut. Tiba-tiba, Laura mendengar suara ketukan di pintu apartemennya.
"Hai, Laura. Aku datang untuk menjengukmu. Bagaimana kabarmu?" Boy berkata dengan tersenyum. "Saya baik-baik saja, Tuan. Terima kasih atas perhatianmu," Laura menjawab dengan tersenyum lemah. "Saya khawatir tentangmu, Laura. Aku ingin memastikan bahwa kamu baik-baik saja," Boy berkata dengan mata yang khawatir. "Saya baik-baik saja, Tuan. Saya hanya sedikit lelah," Laura menjawab. "Baiklah, aku akan pergi sekarang. Tapi aku akan kembali nanti untuk menjengukmu lagi," Boy berkata. "Terima kasih, Tuan," Laura menjawab.<"Jadi, Chloe memiliki kemampuan untuk memanipulasi orang lain dan menyembunyikan kebenaran tentang dirinya," Yash berkata. "Ya, itu benar. Dan kita harus berhati-hati karena Chloe mungkin akan mencoba memanipulasi kita juga." "Kita harus menyelidiki lebih lanjut tentang Chloe dan kejahatan yang dia lakukan," Yash berkata. "Kita harus menemukan bukti yang cukup untuk membawa Chloe ke pengadilan." "Ya, saya setuju. Kita harus bekerja sama untuk menemukan kebenaran tentang Chloe dan kejahatan yang dia lakukan." "Kita harus berhati-hati karena Chloe mungkin akan mencoba memanipulasi Boy," Yash berkata. "Kita harus tetap fokus dan tidak boleh terpengaruh oleh kebohongan Chloe." "Ya, saya setuju. Kita harus tetap profesional dan tidak boleh terpengaruh oleh emosi
Di dalam Apartemen Boy yang mewah dan modern terasa sunyi. Hanya cahaya lampu meja yang menerangi wajah Boy yang serius, menatap foto yang diberikan Chloe. Foto itu menunjukkan Laura bersama seorang pria paruh baya berjas rapi, wajahnya setengah tertutup bayangan. Boy mengusap dagunya, merenung. Chloe pasti menyembunyikan sesuatu. Dia tidak akan semudah itu memberikan petunjuk. Ini pasti jebakan. Tapi... ada sesuatu yang mengusiknya tentang pria di foto itu. Ada yang familiar. Boy membuka laptopnya. Jari-jarinya bergerak cepat di keyboard, menelusuri database kontaknya, mencari seseorang yang mungkin mengenal pria di foto itu. Dia mulai dengan kenalannya di dunia modeling, lalu meluaskan pencarian ke kalangan pengusaha dan pejabat. Beberapa jam berlalu. Boy menemukan sedikit informasi. Pria itu bernama Richard Hamzah, seorang pengacara terkenal yang menangani kasus-kasus korup
Boy menyaksikan polisi memborgol Chloe. Suasana kafe sunyi, hanya terdengar suara langkah kaki polisi dan isakan Chloe yang teredam. Boy bergumam pada dirinya sendiri. "Selesai... akhirnya selesai." Ia menghela napas panjang, lega, namun terlihat kosong. "Aku... aku lega. Tapi..." Ia mengusap wajahnya, terlihat bingung. Rasanya aneh. Seperti kehilangan sesuatu. "Bukannya seharusnya aku merasa senang? Dia... dia adalah Chloe. Wanita yang pernah kucintai." Boy menyaksikan Chloe dibawa pergi, tatapannya dingin dan tenang. Tidak ada sedikitpun emosi yang terlihat di wajahnya. "Tersangka sudah diamankan, Tuan muda. Terima kasih atas kerjasamanya," ucap Yash. Boy dengan nada datar. "Bagus." Ia mengangguk pelan, tanpa ekspresi. "Semoga dia mendapatkan hukuman yang
Beberapa minggu kemudian. Alan, Valeria, Boy, dan Ibu Jessy sedang makan malam bersama. Suasana jauh lebih hangat dan akrab daripada sebelumnya. Valeria tersenyum. "Terima kasih, kalian semua. Kalian membuatku merasa sangat dicintai dan didukung. "Itu sudah menjadi kewajibanku, Sayang. Dan untukmu, Boy... terima kasih sudah mau membantu mengecat kukuku. Ibu Jessy, terima kasih juga atas semua bantuannya." Boy tersenyum canggung. "Sama-sama. Lagipula, aku juga senang bisa ikut andil dalam mempersiapkan kedatangan si kembar. Dan, warna merah menyala itu... sebenarnya tidak separah yang kukira." Ibu Jessy tersenyum hangat. "Sama-sama, Nak. Aku senang melihat kalian semua begitu dekat. Melihat Alan dan Valeria bahagia, membuatku juga bahagia. Dan, tentunya, aku sangat menantikan kehadiran cucu-cucuku."
Rumah megah Alan dan Valeria dipenuhi balon berwarna-warni, pita, dan mainan bayi. Suasana pesta ulang tahun pertama Reinhard dan Elsa sangat meriah. Ibu Jessy sibuk membagi-bagikan kue, sementara Laura dan pengawalnya mengamati para tamu dengan waspada. Boy, dengan canggungnya yang khas, sesekali membantu Valeria menggendong Elsa yang rewel. Elsa, dengan rambut pirang lembutnya yang diikat pita merah muda, mencoba mengucapkan kata-kata pertamanya. "Mama… Ma…," gumamnya, diikuti oleh serangkaian suara tidak jelas yang terdengar seperti "bla bla bla". Valeria langsung memeluknya erat, air mata bahagia bercampur kelelahan terurai di pipinya. Alan, yang sedang bermain dengan Reinhard, tertawa melihat tingkah Elsa. Reinhard, dengan rambut hitam lebatnya, lebih pendiam, tetapi tidak kurang ekspresif. Ia mengamati Elsa dengan serius, lalu tiba-tiba meraih mainan mobil-mobilan miliknya dan menjatuhkannya ke arah Elsa. Elsa, terk
Laura duduk di sebuah kafe kecil, mengamati orang-orang yang lalu lalang. Di depannya, sebuah laptop terbuka menampilkan berkas-berkas tentang Irina, istri baru Tuan Satia. Informasi yang ia temukan sejauh ini masih samar, tetapi ada beberapa ketidaksesuaian yang menarik perhatiannya. Laura menyesap kopinya, matanya kembali tertuju pada layar laptop. Sebuah pesan masuk dari informan rahasianya, seorang mantan detektif yang ia kenal di masa lalu. [Ada sesuatu yang tidak beres dengan Irina. Saya menemukan beberapa informasi yang tidak tercantum dalam berkas resmi. Bertemu di tempat biasa, pukul 8 malam?] Laura tersenyum tipis. Informan ini selalu punya informasi yang berharga, meskipun cara kerjanya sedikit... tidak yakin. Laura mengetik balasan. [Saya akan datang]
Alan dan Valeria semakin cemas. Mereka mencoba untuk tetap tenang di depan anak-anak, tetapi ketakutan terpancar dari raut wajah mereka. Mereka berdiskusi tentang kemungkinan solusi dan mencari perlindungan untuk keluarganya. "Alan, aku tidak bisa tidur. Aku terus memikirkan ancaman itu." "Aku tahu, sayang. Tapi kita harus tetap tenang. Untuk anak-anak." "Mudah kau katakan. Bagaimana jika sesuatu terjadi pada mereka?" "Laura sedang bekerja keras untuk menemukan pelakunya. Kita harus percaya padanya." Ibu Jessy mendekati mereka. "Jangan terlalu khawatir. Kalian berdua harus tetap kuat. Untuk Reinhard dan Elsa." "Terima kasih, Bu. Aku harap semuanya baik-baik saja." Ucap Alan sambil memeluk Valeria. ***
Di kantor polisi. Terungkap bahwa Irina mengetahui rencana Herman dan diam-diam mendukungnya. Irina memiliki hubungan gelap dengan Herman dan memanfaatkan situasi ini untuk keuntungannya sendiri. Irina pun ditangkap dan diadili. "Kami tahu kau terlibat, Irina. Kau membantu Herman." Ucap Laura tajam di ruang interogasi. Irina mencoba menyangkal. "Saya tidak tahu apa-apa." "Jangan berbohong. Kami punya bukti. Kau bekerja sama dengan Herman untuk menuntut uang dari Tuan Satia." Irina mengakui karena dia sudah tidak bisa berkutik. "Baiklah... Saya terlibat. Tapi saya tidak tahu Herman akan melakukan hal sejauh ini." "Apa pun alasanmu kau tetap bersalah maka nikmatilah hukumanmu," bisik Laura sambil menunduk menatap
Alan memerintahkan baby sister datang ke hotel untuk menjaga Anya. Sedangkan dia ingin bermesraan bersama Valeria. "Aku bukannya senang merayakan wasiatmu, tapi aku speechless kenapa Ayah Satia tidak jujur dan malah berhutang banyak denganku. Apa dia hanya pura-pura saja? Pantas saja dia meninggalkan perusahaan, pergi ke Rusia bersama wanita mudanya, hanya untuk mengujiku," ucap Alan yang kini sedang menciumi tubuh Vale dengan mesra. Valeria tertawa kecil. "Jadi, semua ini adalah ujian? Ujian yang sangat mahal!" Alan mencium leher Valeria. "Ya, ujian untuk melihat apakah kita cukup kuat untuk menghadapi semua ini bersama-sama. Dan sejauh ini, ki
"Terima kasih sudah menjadi suamiku kembali. Meskipun kau membuatku sedikit khawatir tadi malam." Alan tertawa kecil. "Maaf, sayang. Aku terlalu bersemangat." Valeria mencubit lengan Alan pelan. "Lain kali, jangan terlalu bersemangat. Tapi... aku senang." Alan memeluk Valeria. "Baiklah, sayang. Aku berjanji akan lebih lembut... kecuali jika kau menginginkan sebaliknya. Malam yang luar biasa. Aku senang kita bisa menghabiskan waktu bersama seperti ini. "Aku juga. Rasanya seperti kita kembali muda lagi." "Kita akan selalu muda di hati, sayang. Selamanya."
Reinhard dan Elsa, dua anak Alan Chester Clark yang gendut dan lucu, berlarian di sekitar taman pesta pernikahan Abizar, membuat para tamu undangan tertawa. Mereka berguling-guling di atas rumput, mengejar kupu-kupu, dan saling kejar-kejaran. 'Lihatlah mereka! Seperti dua anak kelinci yang berlarian!" ucap para tamu. "Mereka sangat menggemaskan! Aku jadi ingin punya anak juga." Di sisi lain taman, Valeria, dan Violet, duduk di sebuah bangku tamu undangan, menikmati suasana pesta sambil mengobrol. Anya duduk di pangkuan Valeria, tersenyum terus tanpa henti. "Anya, kamu kenapa senyum terus? Ada yang lucu ya?" Violet tertawa. "Dia memang selalu ceria. Lihat giginya, baru tumbuh beberapa
"Jadi, anakku sudah mulai mengikuti jejak ayahnya, ya?" ucap Alan sambil tertawa. Valeria mendelik. "Jangan tertawa! Ini serius! Aku khawatir dia akan terlalu banyak pacar nanti." Alan masih tertawa. "Tenanglah. Aku yakin dia akan baik-baik saja. Setidaknya dia punya bakat alami. Mungkin suatu hari nanti dia akan menulis buku tentang pengalaman pacarannya, judulnya." "Petualangan Cinta Seorang Playboy Cilik". Valeria memukul pelan lengan Alan. "Jangan mengada-ada! Ini serius!" Alan tertawa. "Baiklah, baiklah. Aku berjanji akan membicarakan ini dengan Reinhard. Tapi jangan berharap aku akan melarangnya pacaran. Aku sendiri kan juga pernah mengalami masa-masa itu. Tapi aku akan memastikan dia tahu batasannya. Aku tidak ingin dia terluka."
Sore hari menjelang, mentari mulai terbenam, menorehkan warna jingga dan ungu di langit. Alan dan Valeria masih berbaring di ranjang, saling berpelukan. Suasana kamar masih dipenuhi aroma intim dan sisa-sisa gairah. Valeria tersenyum. "Aku merasa sangat senang. Seperti kembali ke masa pacaran kita dulu." "Aku juga. Rasanya seperti waktu berhenti, hanya ada kita berdua." "Anak-anak akan kembali dalam seminggu. Kita harus memanfaatkan waktu ini sebaik mungkin." "Tentu. Bagaimana kalau kita memasak makan malam bersama? Sesuatu yang romantis, hanya untuk kita berdua." "Ide bagus! Bagaimana kalau kita membuat pasta? Dengan saus truffle dan anggur merah?" Alan tersenyum. "Kau selalu tahu
Jan 23.00 malam baru pulang dari kantor. Ia masuk ke kamar , melihat Valeria, matanya melebar. Ia berjalan mendekat dengan langkah pasti. Kamar gelap hanya diterangi cahaya remang dari lampu tidur di meja samping ranjang. Alan berbisik, sedikit serak. "Wow..." menatap Valeria yang tertidur pulas dengan lingerie sutra berwarna merah marun. "Pekerjaan yang melelahkan di kantor, langsung sirna begitu melihatmu..." Alan mendekati Valeria dan menyentuh pipinya dengan lembut, jari-jarinya merasakan kelembutan kulit Valeria. "Lingerie itu... sangat menggoda." Ia menarik napas dalam-dalam, aroma parfum Valeria memenuhi indranya. "Kau selalu tahu bagaimana membuatku tenang dan... tergoda sekaligus." Ia menunduk, mencium lembut leher Valeria. "Kau luar biasa, Valeria." Alan kemudian berbaring di samping Valeria, memeluknya dengan erat. Ia merasakan detak jantung Valeria yang t
"Kau menginap di sini atau pulang, Boy?" "Aku langsung pulang saja, Kak. Kan ada jet pribadi Kakak." Boy tersenyum. Alan tersenyum. "Ya sudah. Aku ke ruang kerja dulu." Alan menyerahkan Anya ke Valeria. "Anya, sayang, ikut Mommy ya." Valeria menerima Anya. "Tentu, Sayang." "Reinhard dan Elsa ke mana, Kak?" "Mereka tadi, setelah berenang, katanya mau bermain di taman bersama teman-temannya. Sepertinya mereka sudah pulang juga. melihat ke arah pintu. "Ah, lihat! Mereka sudah pulang." Reinhard dan Elsa masuk, membawa beberapa mainan kecil. "Mom! Papa!" teriak Reinhard. "Paman Boy!" seru Els
Valeria segera mempersiapkan diri untuk menyusui Anya. Alan meletakkan Anya di pangkuan Valeria, dan Anya langsung menempelkan mulutnya ke dada Valeria, menghisap dengan lahapnya. Valeria menatap Anya yang sedang menyusu. "Nah, sudah tenang sekarang, ya, Sayang. Minum yang banyak biar kuat." Alan duduk di samping Valeria. "Dia memang cepat sekali laparnya." "Iya juga ya. Besok aku harus lebih sering memberinya ASI. Jangan sampai dia kelaparan lagi." Valeria menatap Anya dengan penuh kasih sayang. "Mommy sayang Anya." Alan memeluk Valeria dari belakang. "Aku juga sayang kalian semua. Keluarga kecilku yang sempurna." Anya selesai menyusu dan tertidur pulas di pangkuan Valeria. Suasana menjadi tenang dan damai. Valeria berbisik kepada Alan. "Dia sudah tidur. Tidurnya sangat nyenyak." "Kita juga perlu istirahat sebentar, Sayang. Hari ini cukup melelahkan." Valeria dan
Alan dan Valeria tetap berpelukan, tenang dan damai. Keheningan di antara mereka dipenuhi dengan cinta yang dalam dan pengertian yang mendalam. Alan berbisik pelan. "Ingatkah kau... saat kita pertama kali bertemu?" Valeria tersenyum lembut muncul di wajahnya. "Tentu saja. Di kafe kecil itu, dengan hujan yang turun deras di luar." Kenangan itu muncul kembali di benak mereka, membawa mereka kembali ke masa-masa awal hubungan mereka. Mereka mengingat perasaan gugup, debaran jantung, dan percikan cinta pertama yang mekar di antara mereka. "Saat itu... aku tahu. Aku tahu kau adalah orang yang tepat untukku." "Aku juga, Sayang. Aku merasakannya sejak pandangan pertama." Mereka saling bertukar tatapan, tatapan yang penuh cinta, kepercayaan, dan pen