Bintang mengikuti Detektif Arif ke ruang interogasi. Mereka duduk berhadapan di meja kayu yang sederhana. Detektif Arif membuka berkas di depannya dan mulai menjelaskan."Kami menemukan beberapa petunjuk baru. Ada yang melihat Aera di sekitar lokasi terakhir di mana Agatha dan Niko terlihat," kata Detektif Arif dengan nada serius.Bintang terkejut mendengar itu. "Apa maksudnya? Apa Aera terlibat dalam semua ini?"Detektif Arif menatap Bintang dengan tegas. "Kami belum bisa memastikan, tapi kami perlu Anda untuk terus waspada. Kami juga akan terus mengawasi Aera. Ini bisa menjadi kunci untuk menemukan Agatha dan Niko."Bintang merasa dunianya berputar. Dia harus menghadapi kenyataan bahwa orang yang selama ini dia percayai mungkin saja terlibat dalam semua kekacauan ini. Namun, dia tahu bahwa dia harus tetap kuat dan fokus untuk menemukan kebenaran demi keselamatan Agatha dan Niko.Di sisi lain, Aera yang baru saja kembali ke rumah, merasa lega bisa lolos dari pen
Dessy memejamkan mata, pasrah dengan keadaan yang terjadi. Namun, tiba-tiba terdengar suara orang berkelahi. Dessy membuka mata dan melihat Niko sedang bertarung dengan pria bertopeng itu."Niko!" Dessy berteriak, matanya penuh harap dan ketakutan.Niko terus bertarung dengan pria bertopeng itu, berusaha melindungi Dessy. Mereka saling bertukar pukulan, dan Niko mencoba menahan lawannya agar tidak mendekati mobil Dessy."Pergilah, Dessy! Cepat!" teriak Niko di tengah pertarungan.Dessy tidak bisa bergerak, terpaku oleh rasa takut dan khawatir. Namun, melihat Niko berjuang keras untuk melindunginya, dia akhirnya berhasil mengumpulkan keberaniannya. Dengan tangan gemetar, Dessy menyalakan mobil dan mulai melaju dengan kecepatan tinggi, meninggalkan Niko yang masih bertarung dengan pria bertopeng itu.Saat mobil Dessy menghilang di tikungan, Niko berhasil menjatuhkan pria bertopeng itu dan segera berlari ke arah yang sama, berusaha memastikan Dessy aman.Namun, Niko merasa ada sesuatu ya
Niko kembali ke desa dengan motor yang ia pinjam dari warga. Roda motornya berderak-derak di jalan berbatu, debu mengepul di belakangnya. Sesampai di sana, dia segera mencari Agatha dengan hati yang gelisah.Agatha sedang duduk di depan rumah Pak Slamet, matanya terfokus pada pintu pagar yang berdecit saat Niko masuk. Wajahnya langsung berubah cemas melihat ekspresi serius Niko."Ada apa, Niko?" tanyanya dengan cepat.Niko menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Dessy... dia diserang dalam perjalanan pulang."Mata Agatha membelalak, tangan gemetar saat meraih ponsel. "Kita harus memastikan dia baik-baik saja."Niko mengangguk, mencoba menenangkan Agatha dengan tatapannya. "Aku sudah memastikan dia aman sampai di apartemennya. Tapi kita harus lebih berhati-hati. Ini sudah terlalu jauh."Agatha merasakan jantungnya berdetak cepat saat ponsel di tangannya menghubungi Dessy. Waktu seolah melambat sampai akhirnya terdengar suara Dessy di ujung sana."Dessy, kamu baik-baik saja?" suara
Di bawah langit senja yang berwarna jingga, Agatha dan Niko duduk di teras rumah Pak Slamet, merenung tentang perjalanan mereka sejauh ini. Keputusan untuk meninggalkan desa telah diambil, dan mereka merasa campuran antara ketakutan dan harapan.Mereka khawatir bahwa orang-orang suruhan Aera sudah mulai mencurigai keberadaan mereka, di tambah insiden baru-baru ini yang menimpa Dessy, membuat mereka merasa tak lagi aman."Kita harus pergi," kata Agatha dengan tegas pada Niko. "Semakin lama kita di sini, semakin besar risiko kita ditemukan."Niko mengangguk setuju. "Aku setuju. Kita harus kembali ke kota dan menyusun rencana baru. Kita tidak bisa terus bersembunyi."Pak Slamet, yang mendengar pembicaraan mereka, menatap dengan wajah khawatir. "Apakah kalian yakin ingin pergi? Kota itu berbahaya untuk kalian."Agatha tersenyum lembut pada kakek tua itu. "Kami tidak punya pilihan lain, Pak Slamet. Kami sudah terlalu banyak merepotkan warga di sini. Selain itu, kami tidak ingin kalian terl
Setelah pertemuan tak terduga dengan Bintang dan Aera, Agatha merasa gelisah sepanjang malam, pikirannya terus melayang memikirkan Gio. Keesokan paginya, Detektif Arif tiba di apartemen mereka membawa kabar penting."Agatha, Niko," sapanya sambil memasuki ruangan dengan ekspresi serius. "Kita perlu melakukan sesuatu agar kalian bisa bergerak lebih leluasa dan aman. Aku sudah menyiapkan identitas baru untuk kalian."Agatha dan Niko duduk di meja makan, memperhatikan Detektif Arif yang membuka tasnya dan mengeluarkan dua amplop bersegel. "Niko, ini untukmu," kata Arif sambil menyerahkan amplop pertama. "Mulai sekarang, namamu adalah Dongmin. Kamu seorang konsultan IT yang bekerja secara freelance dari luar negeri."Niko membuka amplop itu dan menemukan KTP, SIM, dan beberapa kartu lainnya dengan nama baru tersebut. Dia mengangguk, menerima kenyataan bahwa ini adalah langkah yang perlu mereka ambil."Dan Agatha," lanjut Arif, menyerahkan amplop kedua. "Namamu tetap menjadi Rina. Kamu se
Di kantor polisi, suasana terasa tegang. Agatha, Niko, Detektif Arif, dan Rocky berkumpul di ruang interogasi yang sepi. Agatha duduk di salah satu kursi, menatap kosong ke depan, sementara Niko berdiri di sampingnya, mencoba memberikan dukungan. Rocky berdiri di sudut ruangan, dengan wajah penuh kekhawatiran dan amarah yang tertahan. Detektif Arif, dengan raut wajah serius, berjalan mondar-mandir sambil memegang berkas-berkas."Kita harus bergerak cepat," kata Detektif Arif, sambil menyerahkan dokumen-dokumen kepada mereka. "Kita tidak bisa membiarkan Aera terus meneror hidup kalian."Niko mengangguk, mengambil dokumen-dokumen tersebut. "Apa rencanamu selanjutnya, Arif?"Arif menjelaskan, "Kita akan menjebak Aera dengan bukti-bukti yang kita kumpulkan. Kita punya cukup bukti untuk mengaitkannya dengan berbagai kejahatan, termasuk penculikan dan percobaan pembunuhan."Agatha merasa sedikit lega mendengar rencana itu. "Jadi, apa yang harus kami lakukan?""Kalian harus tetap bersembunyi
Malam itu di rumah, Bintang merasakan kekosongan yang mendalam. Suara angin malam yang berhembus lembut di luar rumah terasa seperti simfoni kesedihan yang mendalam. Di kamar, Airin, putrinya, sedang terbaring dengan wajah memerah karena demam tinggi.Bintang mondar-mandir dengan cemas di samping tempat tidur Airin, sementara anak kecil itu gelisah dan rewel, terus-menerus memanggil nama Aera. "Mama... Mama..." rengek Airin dengan suara serak.Bintang duduk di tepi tempat tidur dan membelai rambut Airin yang basah karena keringat. "Airin, Mama sedang pergi sebentar. Ayah di sini, Ayah akan menjagamu," kata Bintang dengan suara lembut, meskipun hatinya penuh dengan kegelisahan.Airin terus menangis dan memanggil ibunya. "Mama... Mama..."Bintang mencoba segala cara untuk menenangkan Airin, dari mengompres keningnya dengan handuk basah hingga memeluknya erat. Namun, rasa kehilangan Aera membuat Airin semakin gelisah.Setiap kali Airin memanggil ibunya, Bintang merasakan luka yang mendal
Setelah kepergian Aera, Bintang berusaha mengisi kekosongan di hatinya dan di rumah mereka dengan harapan baru. Suasana rumah yang semula tegang dan penuh konflik kini mulai berubah. Pagi itu, sinar matahari menembus jendela, membawa kehangatan ke dalam rumah.Agatha, yang sebelumnya tinggal terpisah karena situasi yang rumit, akhirnya kembali ke rumah yang dulu mereka tempati bersama. Bintang, dengan penuh harap dan cinta, menyambutnya di depan pintu. Di sampingnya, Gio berdiri dengan buket bunga di tangannya, senyumnya lebar meskipun masih terlihat sedikit pucat setelah sakit beberapa hari lalu."Selamat datang kembali, Agatha," kata Bintang dengan suara lembut, matanya bersinar penuh rasa cinta dan kebahagiaan.Agatha tersenyum, matanya berkaca-kaca melihat Gio yang berlari kecil mendekatinya. "Mama, ini bunga untuk Mama!" seru Gio sambil menyerahkan buket bunga itu dengan bangga.Agatha berlutut, menerima bunga dari Gio dengan perasaan haru. Dia memeluk putranya erat-erat, mencium