Di dalam mobil polisi, Bintang duduk di kursi penumpang sebelah Detektif Arif. Mesin mobil meraung hidup, dan detektif itu segera melajukan kendaraan dengan kecepatan tinggi di tengah rintik hujan malam. Kilatan petir sesekali menerangi langit, menciptakan suasana yang semakin mencekam. Lampu jalan yang sesekali melintas di jendela hanya menambah kesan suram perjalanan mereka.
Detektif Arif menoleh ke arah Bintang dengan ekspresi serius. "Selain Agatha, ada hal lain yang harus Anda ketahui," katanya dengan suara berat, hampir tenggelam dalam deru mesin mobil dan hujan deras.Bintang merasakan detak jantungnya semakin cepat. "Apa maksud Anda?" tanyanya dengan suara serak, hampir berbisik."Kami juga sedang menyelidiki kasus penggelapan dana dan korupsi yang melibatkan ayah Anda, Pak Johan. Kami butuh kesaksian Anda," lanjut Detektif Arif, matanya tetap fokus pada jalan yang licin di depan.Bintang terkejut mendengar ini. "Apa hubungannya ini dengan Agatha?" tanyanya,Pagi hari menyapa dengan sinar matahari yang hangat menembus jendela ruang tamu. Aera duduk di sofa dengan secangkir kopi hangat di tangannya. Dia berpura-pura membaca buku, namun pikirannya melayang-layang jauh dari halaman-halaman yang terbuka di depannya. Dengan Agatha dan Niko yang hilang, Aera merasa lebih bebas. Dia menghela napas lega, merasa beban yang selama ini menghantuinya perlahan mulai terangkat. Namun, dia juga tahu bahwa ketidakhadiran mereka hanya sementara jika dia tidak waspada.Aera menutup bukunya dan memandang sekeliling ruang tamu. Rumah yang biasanya dipenuhi dengan kegaduhan kini terasa lebih tenang. Hanya suara burung yang berkicau di luar jendela yang terbuka. Keheningan ini memberinya rasa lega yang tak bisa dia sembunyikan. Senyum tipis muncul di wajahnya setiap kali dia memikirkan betapa lancarnya rencana yang telah dia susun.Dia mengambil ponselnya dan melihat beberapa pesan yang belum terbaca. Salah satunya dari seorang yang juga terlibat dalam rencan
Malam itu, di rumah sederhana Pak Slamet, Agatha duduk termenung di samping jendela, menatap langit malam yang dipenuhi bintang. Suasana tenang di desa itu kontras dengan kekacauan yang masih bergejolak di dalam hatinya. Setiap malam, pikirannya selalu kembali pada Gio, putranya yang masih kecil.Sebuah pesan masuk ke ponselnya, mengalihkan perhatiannya sejenak. Itu dari Moona."Mbak Agatha, Gio hari ini sudah mulai belajar merangkak. Dia tumbuh begitu cepat. Aku tahu kamu pasti sangat merindukannya."Air mata mengalir di pipi Agatha saat membaca pesan itu. Hatinya berdesir dengan campuran kebahagiaan dan kesedihan. Dia begitu merindukan putranya, merindukan setiap momen kecil dalam pertumbuhannya yang tidak bisa dia saksikan.Niko mendekati Agatha dan duduk di sampingnya, merasakan kesedihan yang terpancar dari sahabatnya itu. "Agatha, kamu harus kuat. Kita akan melewati ini. Gio butuh kamu."Agatha mengangguk, meskipun air mata masih membasahi pipinya. "Aku tahu, Niko. Hanya saja, s
Bintang mengikuti Detektif Arif ke ruang interogasi. Mereka duduk berhadapan di meja kayu yang sederhana. Detektif Arif membuka berkas di depannya dan mulai menjelaskan."Kami menemukan beberapa petunjuk baru. Ada yang melihat Aera di sekitar lokasi terakhir di mana Agatha dan Niko terlihat," kata Detektif Arif dengan nada serius.Bintang terkejut mendengar itu. "Apa maksudnya? Apa Aera terlibat dalam semua ini?"Detektif Arif menatap Bintang dengan tegas. "Kami belum bisa memastikan, tapi kami perlu Anda untuk terus waspada. Kami juga akan terus mengawasi Aera. Ini bisa menjadi kunci untuk menemukan Agatha dan Niko."Bintang merasa dunianya berputar. Dia harus menghadapi kenyataan bahwa orang yang selama ini dia percayai mungkin saja terlibat dalam semua kekacauan ini. Namun, dia tahu bahwa dia harus tetap kuat dan fokus untuk menemukan kebenaran demi keselamatan Agatha dan Niko.Di sisi lain, Aera yang baru saja kembali ke rumah, merasa lega bisa lolos dari pen
Dessy memejamkan mata, pasrah dengan keadaan yang terjadi. Namun, tiba-tiba terdengar suara orang berkelahi. Dessy membuka mata dan melihat Niko sedang bertarung dengan pria bertopeng itu."Niko!" Dessy berteriak, matanya penuh harap dan ketakutan.Niko terus bertarung dengan pria bertopeng itu, berusaha melindungi Dessy. Mereka saling bertukar pukulan, dan Niko mencoba menahan lawannya agar tidak mendekati mobil Dessy."Pergilah, Dessy! Cepat!" teriak Niko di tengah pertarungan.Dessy tidak bisa bergerak, terpaku oleh rasa takut dan khawatir. Namun, melihat Niko berjuang keras untuk melindunginya, dia akhirnya berhasil mengumpulkan keberaniannya. Dengan tangan gemetar, Dessy menyalakan mobil dan mulai melaju dengan kecepatan tinggi, meninggalkan Niko yang masih bertarung dengan pria bertopeng itu.Saat mobil Dessy menghilang di tikungan, Niko berhasil menjatuhkan pria bertopeng itu dan segera berlari ke arah yang sama, berusaha memastikan Dessy aman.Namun, Niko merasa ada sesuatu ya
"Mas pacar!" seru seorang gadis dari tepi lapangan.Panggilan itu sudah tak asing lagi di telinga Bintang. Aera berlari dari kejauhan menuju ke arahnya, dengan penuh semangat gadis itu memberikannya sebotol air mineral dan mengelap keringat di wajahnya.Sudah hampir tiga tahun mereka berpacaran, Bintang tidak tahu kenapa dia bisa menerima cinta gadis manja ini. Setiap kali bersamanya, Bintang seperti sedang mengurus seorang bayi. Anehnya, sikap Aera yang menggemaskan dan kekanak-kanakan justru membuatnya semakin jatuh hati pada Aera.Sebenarnya, adiknya Moona tidak begitu menyukai Aera sebagai kekasihnya. Katanya, "ngapain pacaran sama bocil?". Tetapi Bintang tidak peduli, baginya Aera adalah gadis yang paling dia sayang."Mau makan apa, aku yang traktir hari ini," ucap Aera bersemangat."Tidak, biar aku saja. Aku punya banyak uang," kata Bintang."Benar, Mas kan sudah selayaknya memberiku nafkah," kata Aera menyindir."Seharusnya kamu juga memasak untukku setiap hari, dan mem
"Masuk," kata Bintang setelah menggunakan kembali kemejanya.Bintang meraih minuman di atas meja dan meminumnya sampai habis, ia terlihat berkeringat dan gugup. Aera juga merasakan hal yang sama. Jantungnya sejak tadi tak mau berhenti berdebar karena hampir kehilangan kesuciannya.Mereka kembali menoleh ke arah pintu, tampaklah seorang gadis dengan penampilan yang memukau, memiliki kecantikan yang klasik dan elegan. Rambut hitamnya yang panjang mengalir lembut seperti sutra, membingkai wajahnya yang sempurna. Matanya yang besar dan kulitnya yang putih, menunjukkan kelembutan namun juga ketegasan.Bintang memperhatikannya tanpa berkedip, membuat Aera terbakar api cemburu. Aera segera berdiri, dan menghampiri gadis itu yang masih berdiri di luar."Siapa kamu?" tanya Aera."Perkenalkan, saya Agatha. Apa benar ini rumah Mas Bintang?" tanya gadis itu."Apa katamu? Mas Bintang? Bisakah kamu memanggil dia lebih sopan, Pak Bintang!" kata Aera dengan keras."Baiklah, Pak Bintang, bisa k
Setelah selesai mandi, Bintang bersiap untuk turun ke bawah. Dia membuka jendela dan melihat mobil orang tuannya sudah terparkir rapi di garasi. Kedatangan Moona sebelumnya tidak membuatnya curiga, tapi kali ini dia merasakan ada sesuatu yang tak biasa.Bintang keluar dari kamarnya dan melihat ke ruang tamu. Dia berdiri di depan tangga, langkahnya terhenti saat melihat Agatha berada di antara kedua orang tuanya. Dia menarik nafasnya dan menghempaskannya perlahan. Jantungnya kembali berdebar."Mas, kenapa berdiri di sini?" seseorang menepuk bahunya.Bintang berteriak kaget, mengambil alih perhatian mereka yang sedang bicara di bawah. Dia menatap orang yang baru saja menyentuhnya dengan jengkel, dia adalah Moona. Adiknya itu selalu muncul secara tiba-tiba. Semua mata kini menatap ke arah mereka berdua yang masih berdiri di atas tangga. Kedua orang tuanya sedang duduk di sofa bersama sepasang orang tua yang baru saja Bintang lihat wajahnya. Bintang tidak mengenal siapa mereka.Bintan
Bintang merasa pikirannya kacau beberapa hari ini, terombang-ambing antara perasaannya pada Aera dan tekanan dari keluarganya untuk menikahi Agatha. Setiap kali mencoba mencari cara untuk mengatasi semua itu, ia tak menemukan jalan keluar. Hatinya selalu kembali pada Aera, wanita yang telah mendampingi dan mencintainya dengan tulus.Suatu malam, ketika pikiran Bintang semakin tak menentu, dia memutuskan untuk keluar dari kamar. Ia berpikir untuk menemui Aera dan mengatakan semuanya dengan jujur. Namun, saat tangannya meraih ponsel untuk menghubungi Aera, pikiran itu menguap. Ia tahu, kejujuran hanya akan menyakitinya."Kenapa tidak jadi?" suara lembut di belakang memecah keheningan, membuat Bintang terkejut."Kamu, kenapa ada di sini?" tanya Bintang dengan nada tajam, tetapi kelelahan terlihat jelas di wajahnya.Agatha tampak tenang, bahkan tersenyum kepada Bintang. "Memangnya kenapa? Aku kan calon istri, Mas.""Calon istri?" Bintang kali ini menatapnya dengan serius, berjalan me