Home / Romansa / MENGEJAR CINTA DOKTER DUDA / Bab 1. Pertemuan Pertama

Share

MENGEJAR CINTA DOKTER DUDA
MENGEJAR CINTA DOKTER DUDA
Author: ananda zhia

Bab 1. Pertemuan Pertama

Author: ananda zhia
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Sejuknya angin sore yang sepoi-sepoi tidak membuatku merasakan hal yang sama. Karena baru saja menghadapi kenyataan pahit bahwa cem-cemanku lebih memilih teman sekelasku.

"Apes banget sih. Deketin aku, tapi ternyata suka sama temenku! Huh!" rutukku sebal dengan menendang kaleng soda kosong sejauh-jauhnya.

Klontang..!

"Ngooookkk!"

"Ngooookkk!"

"Astaghfirullahal'adziim!" Aku terkejut saat menyadari kaleng yang kutendang mengenai sekawanan preman desa. Dan angsa-angsa itu tampak marah, bersuara riuh rendah memandangiku yang seolah tertangkap basah baru saja maling ayam.

"Ngoookk!"

Hewan berleher panjang berbulu putih itu mulai melotot ke arahku dan mengejarku tanpa ampun.

"Ya Allah! Tolong!" Aku berlari pontang panting saat sekawanan angsa mengejarku dengan ganas.

"Gimana sih doa mengusir Angsa?" Aku mencoba berpikir sambil berlari terengah-engah.

Tak kuhiraukan jilbab yang miring-miring di kepala. Semakin cepat aku berlari, rasanya hewan berbulu putih itu pun semakin cepat mengejar. Bahkan salah satu diantaranya sempat menyambar rokku yang berkibar-kibar membuat semangatku berlari semakin berkobar.

"Allahummabariklana fiimarozaqtana waqina 'adzaa bannar!" seruku cepat.

Tapi bukannya menjauh, preman kampung itu justru semakin gencar mengejar.

"Ya Allah, tolonglah hambaMu yang jomblo ini dan sering nyari jodoh di kolom komentar f******k orang!" aku berdoa dalam hati.

Aku berlari sambil mencari pertolongan. Tapi nihil, semua warga kampung pasti sedang salat asar di masjid.

"Hih, ini semua gara-gara Rangga sampai aku bolos salat di masjid dan dikejar angsa," runtukku lagi.

Aku melihat angsa itu mendekat. Dan saat aku melihat ada sebatang pohon mangga di halaman sebuah rumah, tanpa pikir panjang aku segera menaikinya.

"Hup..hup..hup!"

Aku memanjat pohon mangga itu dengan bersemangat. Cantik-cantik gini aku dulu mantan juara PPK alias Panjat Pinang Kampung.

"Duh, gini amat sih nasib. Baru saja digosting sama cem-ceman sekarang dikejar angsa, ya Allah," batinku sambil melihat ke bawah.

"Weekkk, weeekk!" Aku menjulurkan lidah pada para angsa yang sedang bernyanyi dibawah.

"Heh, kapok Lu. Layla dilawan!" tukasku seraya mengambil mangga mentah lalu melempari angsa itu dari atas.

Angsa-angsa itu mendongak seraya memandangku penuh dendam.

"Rasain. Nggak bisa nyosor aku kan Luh!"

Aku tertawa-tawa lalu tiba-tiba mataku tertumbuk pada sebuah mangga masak yang letaknya jauh di atas kepala.

Air liur tanpa terasa mengalir. Dengan refleks aku memanjat ke atas pohon yang lebih tinggi untuk mengambil harum manis itu.

Begitu terpegang oleh tangan, aku mengusap mangga dengan penuh cinta.

"Duh, kalau makan langsung entar dikira maling. Gak dimakan langsung kok menggoda imun."

Aku memandangi mangga itu dengan bingung.

"Ah, dimakan dulu deh, lagian kan rumah ini sudah lama kosong. Masak iya aku minta ijin makan mangga sama demitnya."

Aku mengupas kulit mangga dengan gigi. Lalu langsung menggigiti dagingnya dengan nikmat. Enak bener nih, makan mangga sambil nangkring langsung di dahan pohonnya.

Tiba-tiba, sesuatu terjatuh di tangan. Refleks aku meliriknya. "Aargghh! ulat bulu jahan*m!"

Aku mengibas-kibaskan tanganku dan tanpa sadar kakiku tak menginjak dahan dengan benar.

"Krosaaakk!"

Aku terjun bebas dari dahan pohon mangga dan memejamkan mata sambil membayangkan aku mendarat diatas kasur springbed.

Aaaaarghh.

"Mbak, awaaassss!"

Sekonyong-konyong sepasang tangan menangkapku saat jatuh.

Buugghhh!

"Astaghfirullah," aku mendengar suara bening di sebelahku.

Aku masih memejamkan mata. "Apa aku sudah meninggal dan sekarang digendong oleh malaikat? Tapi kenapa malaikatnya bisa beristighfar?"

"Ya Allah, Layla! Turun kamu, gak punya malu, menyamankan diri digendong Pak Dokter! Pak Dokter, turunkan saja Layla, Pak. Dia suka bercanda."

Aku terkejut.

Lah, kok suara bapak! Aku membuka mata. Dan alamak! Kok ada oppa Le min ho* sedang menggendong aku tadi bagaimana ceritanya!?

Aku terkejut dan senang. Sesaat aku seakan mendengar lagu India saat berpandangan dengan Om Minho. Tapi tak lama kemudian sebuah jeweran mampir di kuping.

"Mudun Nduk. Ojo ngelunjak!"

"Ampun, Pak." Aku bergegas turun dari tangan Om Minho eh siapa tadi namanya, pak dokter ding.

Aku melihat terpesona ke arah pak dokter yang langsung menundukkan kepala.

"Heh, Layla. Bisa bolong dahi pak dokter kalau kamu pandangi terus menerus!" seru bapak lagi.

"Eh iya Pak," tukasku lantas melipir dan memberi jalan pada bapak dan dokter ganteng itu. Om dokter itu menggandeng seorang bocah perempuan kecil yang menatapku dengan ekspresi penasaran.

Aku segera melambaikan tangan dan menunjukkan senyum manisku pada bocah itu.

"Lah, kok masuk rumah kosong itu," gumamku bingung. "Tapi siapa ya bocah itu? Masa sih om dokter sudah punya anak? Terus mana ya istrinya? Jangan-jangan duda."

Baru saja ingin menuntaskan rasa kepo dengan mengikuti bapak, tiba-tiba suara perempuan yang menurutku tercantik di dunia terdengar melengking, "Anak ini bukannya salat di masjid, malah main disini. Pulang dulu, rumahnya belum disapu!"

Aku menoleh dan melihat ibu yang masih mengenakan mukena berkacak pinggang di hadapanku.

"Hm, hilang kesempatan untuk menjadi eonni deh," gumamku lalu nyengir dan ngeloyor pulang ke rumah.

***

"Pak, jadi rumah di dekat sawah itu sudah ada penghuninya?" tanyaku hati-hati saat bapak sedang duduk di teras rumah.

Sepiring pisang goreng di atas meja, di samping tempat duduk bapak tampak menggoda. Tapi aku tidak akan tergoda oleh rayuan pisang goreng itu. Sebelum kabar tentang pak Dokter menjadi jelas, aku tidak akan memakannya. Tapi aku harus main jaim dalam menanyakan hal itu.

Jangan sampai bapak curiga kalau aku ada perasaan dengan pak Dokter. Bisa segera dinikahkan nih. Kan enak. Eh!

"Hm." Hanya itu jawaban bapak sambil mengotak-atik Hp.

"Pak, pelit banget sih jawabannya,"

"Sebentar, ini Bapak harus mengatur ulang jadwal perkenalan pak Dokter hari ini di balai desa. Tapi Bapak kesulitan mengirim pesan w******p," kata bapak.

Bapak memang baru saja dibelikan Hp baru oleh kakak perempuan ku yang bekerja di kota.

Mendengar nama pak Dokter, otakku langsung naik level jadi pentium 4.

"Biar Layla yang ngetik Pak," tukasku penuh percaya diri.

Bapak pun mengulurkan ponselnya padaku.

"Ayo tulis sesuai yang Bapak diktekan!"

"Siap!" tukasku cepat sambil membuka aplikasi w******p di ponsel bapak.

"Siapa nama dokter yang baru datang tadi, Pak?" tanyaku.

"Dokter Marzuki," jawab bapak singkat.

Aku segera mencari nama kontak dokter Marzuki dan dengan segera menemukannya. Radarku memang tidak pernah lemot dalam urusan jodoh. Eh!

"Jadi, apa yang harus Layla ketik Pak?" tanyaku. Bapak lalu mengatakan sederet kalimat dan aku segera mengetiknya di ponsel bapak.

[Assalamu'alaikum Dokter, bisa tidak melakukan perkenalan di hati ini?]

"Sudah Pak," aku mengembalikan ponsel bapak sambil tersenyum.

"Oke La, terimakasih."

Belum sempat aku mengangguk, tiba-tiba ponsel bapak berbunyi.

"Assalamualaikum, gimana pak Dokter?" tanya bapak setelah menekan loudspeaker.

"Wa'alaikumsalam. Maksudnya saya harus berkenalan dengan hati siapa ya Pak?" terdengar suara dokter Marzuki dari seberang.

"Lah, kok bisa hati? Maksud saya perkenalan di hari ini dengan para warga di balai desa," kata bapak memandangiku dengan wajah garang, membuat hatiku berdebar-debar dan waspada.

"Oh, hari ya. Soalnya di pesan w******p kok ditulisnya hati ini. Makanya, saya bingung hati siapa yang harus saya kenal?" tukas pak Dokter tertawa.

Wajah bapak memerah. Sementara aku bersiap menjinjing rok semata kakiku dan kabur keluar halaman.

Dan benar saja, setelah Bapak mengakhiri panggilan teleponnya, beliau langsung berdiri dan mengambil ancang-ancang untuk mengejarku yang telah menjauh dari teras rumah.

"Layla! Aneh-aneh saja kamu!" seru bapak sambil mengacungkan sapu lidi yang teronggok tak bersalah di pojok rumah ke arahku.

"Ampun Pak. Layla bercanda!"

Aku berlari menghindar dari ayunan sapu yang Bapak pegang sambil tertawa-tawa.

Next?

Related chapters

  • MENGEJAR CINTA DOKTER DUDA   Bab 2. Kamu Juara Apa?

    "Kamu itu enak saja bilang nggak sengaja. Pasti sengaja mau ngerjain orang tua, ya kan?" Bapak masih memegang erat gagang sapu sambil memandangku dengan rasa gemas. Entah itu rasa gemas ingin mencubit, menjewer, atau menowelkan sapu ke betisku. Yang jelas, sekarang terpenting bagiku adalah lari menjauhi bapak. Akhirnya, "Hap!" Bapak bisa menangkap lenganku."Ampun Pak, typo itu tadi!" Seruku pasrah saat bapak berhasil menangkap telingaku dan menariknya berulangkali seperti sebuah gagang pintu.Huh, panas!"Apa itu tipo, bapak ngertinya tipi," sahut bapak ketus"Typo itu salah ketik, Pak. Layla nggak sengaja." Aku membela diri."Beneran salah ketik? Bukan sengaja ingin membuat Bapak malu pada pak Dokter?" tanya bapak sewot."Beneran Pak. Tadi bukan bermaksud untuk mempermalukan bapak, tapi memang permintaanku pada Om Minho, eh Pak Dokter!" Seruku sambil mencoba melepaskan telinga yang rasanya sudah seperti terkena jepit jemuran."Apa Nak? Anak masih ingusan sudah berani bermain cinta

  • MENGEJAR CINTA DOKTER DUDA   Bab 3. Salah Paham Telepon

    "Mbak, tungguin aku!" teriak Rama pontang panting mengejarku sambil membawa tupperware berisi gurami rasa cinta."Hadeh, kamu tuh laki-laki, masak larinya cepetan aku sih," tukasku lalu memelankan langkah."Lah embak keburu lari dan aku masih digandoli sama tupperware ini!" tukas Rama kesal sambil mengguncang-guncangkan tupperware yang langsung membuat hatiku juga seolah terkena gempa."Dek, jangan diguncang-guncang! Penentu masa depanku ituh!" Tunjukku pada kotak warna pink yang dibawa Rama."Hah? Penentu masa depan? Maksudnya apa Mbak?""Hilih, anak yang kutu buku mana mungkin tahu, ayo jalan lagi!" "Kalau nggak mau diguncang-guncangin, bawa aja sendiri!" tukas Rama manyun sambil mengulurkan bawaannya padaku."Kamu saja yang bawa. Kan kamu laki-laki," sahutku santai."Eh, mbak Maemunah! Nggak ada hubungannya antara gender dengan membawa kotak. Gih bawa, atau aku guncang-guncangin kotak ini!" Ancam Rama."Dih, iya iya." Aku menerima tupperware itu dan mendekapnya setulus hati.Saat

  • MENGEJAR CINTA DOKTER DUDA   Bab 4. Wajah Aneh

    Aku nyengir dan meletakkan sapu yang gagangnya telah basah oleh keringat di tanganku."Maaf Dok, tadi saya lihat pintu ruang tamu terbuka dan Dokter mempersilahkan saya masuk. Jadi saya masuk. Uhm, dan saya minta maaf kalau saya salah paham tentang sapu menyapu. Saya kira ini Dokter Marzuki perlu bantuan saya, ternyata Dokter Marzuki sedang menelepon," sahutku entah dengan wajah semerah apa. Mungkin tomat saja sekarang kalah oleh merahnya wajahku.Dokter Marzuki tersenyum. 'Allahuakbar. Apakah pabrik gula pindah ke sini? Kenapa tuh senyum manis banget.'Sekelebat ide tiba-tiba muncul di kepalaku."Dok, maaf kalau saya kepo. Apa Papanya Dokter punya pabrik gula?" tanyaku menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal.Dokter Marzuki menatapku dan Rama bergantian. "Nggak punya kok Mbak. Papa saya juga dokter. Dokter spesialis anak. Ada apa?" tanya dokter Marzuki bingung.Saat aku hendak membuka mulut, Rama menyela. "Mbak, jangan aneh-aneh deh. Segera berikan guraminya lalu pulang.""Sebe

  • MENGEJAR CINTA DOKTER DUDA   Bab 5. Siapa yang Ingin Bertanya?

    "Ye, gak kena!" Aku menjulurkan lidah pada adik lelakiku itu. Rambutan yang dilemparkan adikku menggelinding dan melewati kaki.Dan saat aku membalikkan badan, di depanku sudah berdiri bapak sambil berkacak pinggang."Anak perempuan kok ketawa nya seperti Mak lampir. Siapa tadi yang wajahnya aneh dan ternyata calon imam untukku?"Astaghfirullah, bapak! Sejak kapan berdiri di sini?Aku hanya bisa nyengir penuh perasaan. Rama tertawa terbahak. "Mbak Layla ini Pak, ngelawak. Berani bener ngajak dokter Marzuki bercanda."Rama melaporkan hasilnya memata-matai kelakuanku. Ugh, dasar tukang ngadu."Kamu naksir sama dokter Marzuki?" tanya bapak mendekat.Aduh, mampus. Aku jawab apa nih. Dijawab iya, kok rasanya keterlaluan banget. Tapi dijawab enggak, rasanya kok mubadzir. Eh."Eng ... Ehh ...." Kurasa aku mendadak menjadi gagap."Nggak usah ah, eh, uh. Jawab jujur, La!"Aku berusaha menormalkan detak jantung, menyeimbangkan antara hidung yang ingin kembang kempis dan bibir yang ingin nyengi

  • MENGEJAR CINTA DOKTER DUDA   bab 6. Pertanyaan untuk Dokter Marzuki

    Aku menelan ludah dan berdiri. Sementara bapak yang ada di depan selaku moderator mendelik melihatku, seolah anaknya ini bisa kentut sewaktu-waktu."Anu ... Dok, itu ...,""Sebutkan nama dulu, Mbak," tukas dokter Marzuki tersenyum."Uhm, baik."Aku mendelik pada Rama yang cengengesan di belakangku. 'Awas saja sampai rumah kamu nanti!'"Nama saya Layla. Tapi bukan Layla dan Majnun," tukasku tersenyum malu. 'Tapi Layla dan Marzuki,' lanjutku dalam hati."Ya Mbak Layla. Silakan pertanyaannya?" "Dokter, sebenarnya saya mau nanya. Saya itu kadang suka pusing kalau enggak sarapan. Itu kenapa ya Dok?" tanyaku akhirnya.Dokter muda itu tersenyum. "Baik, Mbaknya suka pusing? Kalau pusingnya suka nggak sama Mbak? Kalau pusingnya nggak suka sama Mbak, mending Mbak tinggalin deh. Karena tandanya cinta Mbak bertepuk sebelah tangan."Geerrrr!Terdengar gemuruh dan beberapa tawa di penjuru balai desa ini. Dokter Marzuki tersenyum lagi. Kan, hobi kok tersenyum sih. Kan jadi bikin gede rasa!"Bercan

  • MENGEJAR CINTA DOKTER DUDA   bab 7. Daging atau Lengkuas

    Acara perkenalan dokter Marzuki telah usai, dan seluruh perangkat desa beserta seluruh keluarganya diundang dalam rangka makan bersama dengan dokter Marzuki tersebut. "Mbak, kamu ikut makan bersama dengan dokter Marzuki gak?" sebuah tepukan membuatku menoleh. Rama."Ikutlah. Kan aku lapar. Kamu sendiri ikut nggak?" tanyaku pada Rama. "Ikut juga dong. Rejeki nggak boleh ditolak. Pamali." Rama cengengesan. "Ya sudah. Ayo ke ruang tengah balai desa," ajakku. "Ayok. Tapi bukankah Mbak tadi sudah makan sebelum berangkat ke balai desa?" tanya Rama. "Ye biarin. Kan lapar lagi, Ram. Masak sih nggak boleh makan lagi?!" tanyaku sewot. "Mbak lapar apa mau pedekate sama dokter Marzuki?" tanya Rama penuh selidik. Aku melempar tatapan maut padanya. "Emang apa urusannya sama anak kecil kayak kamu?!" tanyaku sewot. "Jangan panggil aku anak kecil, Mbak La. Namaku Rama!" Seru Rama sambil ngeloyor mendahuluiku ke ruang tengah balai desa. "Dasar aneh, Rama. Kalau enggak belajar, ya pasti nonton

  • MENGEJAR CINTA DOKTER DUDA   bab 8. Gara-gara Cilok

    Juleha dengan wajah yang pias meletakkan piringnya di bawah kursi. Lalu dia segera berdiri dan menuju ke arah meja dan bergegas mengambil segelas teh. "Wah, Alhamdulillah ya. Bukan aku yang ambil lengkuasnya tadi. Pasti rasanya manis-manis gitu," sahutku penuh kemenangan saat Juleha melewati tempat dudukku.Juleha mendengus sebal dan sambil menghentakkan kakinya kembali ke tempat duduknya semula. ***"La, mau kemana? Main kabur saja? Kalau mau makan, ya harus mau beresin dong!" Tegur suara ibu saat aku ketahuan tengah mengendap-endap untuk pulang. "Ah, ibu. Kan ada ibu-ibu yang lain. Lagian itu Juleha dan Ayu kok boleh pulang?! Layla sudah ngantuk, Bu!" Protesku pada ibu saat melihat Juleha dan Ayu yang berboncengan motor sedang menjulurkan lidah padaku. "Mereka tadi sudah bantuin masak ibu-ibu. Sekarang kamu yang bantuin ibu-ibu beresin bekas makan prasmanan kita. Ayo."Aku mendengus sebal saat dengan terpaksa aku mengikuti langkah ibu untuk mencuci piring dan mangkok yang kotor.

  • MENGEJAR CINTA DOKTER DUDA   bab 9. Permintaan Juleha

    "Astaga, Kang. Maaf lupa. Saya gagal fokus. Duh, rasanya pingin nyemplung ke dandang ciloknya kang Mamat saja!""Wah, jangan lah Mbak. Masak cantik-cantik masuk ke dandang cilok. Entar jadi siomay raksasa, Mbak." sahut kang Mamat tertawa. Dokter Marzuki pun tak urung juga ikut tersenyum simpul. 'Astaga Layla. Bikin malu saja. Kenapa sih harus gagal fokus.'"La, sudah belum beli ciloknya? Ayo pulang." Untung Bapak segera menyelamatkanku dari situasi yang canggung banget. "Ya sudah, Dokter. Saya pulang dulu. Adik cantik, mbak pulang dulu ya," pamitku lalu setelah dokter Marzuki dan anaknya mengangguk, aku segera berbalik dan melangkahkan kaki menjauhi gerobak kang Mamat.Tapi langkahku tertahan saat karena terasa ada yang menarik tali tas selempangku."Dokter, tolong lepaskan tali tas saya," pintaku tanpa menoleh ke arah belakang. Duh, kok bisa sih dokter Marzuki sampai memegangi tasku. Apa dia masih ingin membicarakan sesuatu padaku atau memang tidak ingin berpisah dariku? Kepalaku

Latest chapter

  • MENGEJAR CINTA DOKTER DUDA   bab 97. Kematian Tiara (Tamat)

    Tiara mendelik, dia langsung terduduk di ranjang hotel dan memutar ulang video yang menampilkan sosoknya yang sedang marah-marah. "Sial*n! Siapa yang telah merekam dan mempermalukanku? Ini pasti kerjaan bocil genit itu! Bisa-bisa nya mas Marzuki mencintai anak kecil padahal aku masih hidup. Aku tidak terima! Aku akan membalas bocil itu!"Tangan Tiara mengepal. "Tapi apa yang bisa aku lakukan untuk membuat mas Marzuki meninggalkan bocil itu?!"Tiara berdiri lalu mondar mandir di dalam kamar hotelnya, mencari ide untuk membuat Marzuki membenci Laila. Mendadak sebuah ide terlintas di kepalanya. "Ah, betul juga! Kalau wajah Laila menjadi cacat, Mas Marzuki dan Yasmin pasti tidak mau mendekati bocil itu lagi. Dan saat itulah aku akan merebut perhatian mereka. Mereka pasti akan menerima perhatian dariku," desis Tiara dengan penuh keyakinan. Dia lantas membuka internet lalu mencari tahu di online shop tentang barang yang bisa membantu rencananya. ***Laila dengan tangan gemetar mencelupk

  • MENGEJAR CINTA DOKTER DUDA   bab 96. Tiara Ditalak

    Tiara yang sudah mengenal suara di belakang nya menghela nafas dan berbalik ke belakang. "Hai, Mas Rizki. Kamu sampai di sini juga?" tanya Tiara berbasa basi seraya menyedekapkan kedua tangan di depan dadanya. "Tentu saja. Setelah kamu minggat, aku langsung memerintahkan orang untuk mencari keberadaan kamu. Ternyata kamu di sini. Jauh-jauh dari jakarta ke kota terpencil ini hanya untuk mengganggu suami orang. Ck, ck, aku tidak menyangka kalau kamu akan berbuat sesuatu seperti ini. Kamu benar-benar berbakat menjadi pelakor, Ti," sahut Rizki, sang suami. Tiara tergelak. "Pelakor? Hati-hati kalau kamu bicara, Mas! Dia mantan suamiku, jadi aku ...""Memang di masa lalu, dia adalah suami kamu. Tapi saat ini dia kan sudah mempunyai keluarga baru, istri baru, seharusnya kamu tahu diri dan tidak merusak kehidupan rumah tangganya!"Tawa Tiara semakin terdengar keras. "Hahaha! Kamu ini lucu sekali, Mas! Kamu dulu menjadi pebinor dan merebutku dari mas Marzuki sehingga kami bercerai, dan sek

  • MENGEJAR CINTA DOKTER DUDA   bab 95. Rayuan Tiara

    "Mas, tolong aku!" ujar Tiara dengan penuh harap menatap ke arah Marzuki. "Aku mengalami KDRT! Aku kabur dari suamiku! Tolong tampung aku di rumah kamu, Mas!" seru Tiara lagi dengan sangat memelas. Laila mendelik, sebenarnya dalam hatinya sangat ingin mencakar dan menjambak Tiara. Tapi ditahannya karena Laila tidak mau mengotori tangan nya dengan memegang sampah. Wajah Marzuki menegang melihat Tiara yang datang menemui mereka, apalagi di hadapan Yasmin. "Kok kamu bisa kesini?" tanya Marzuki dengan wajah parau. Ditatapnya wajah dan tubuh Tiara yang terdapat lebam-lebam di beberapa tempat. "Mas, kalau enggak di sini, aku harus kemana? Lihatlah luka-luka di tubuhku ini. Aku dipukuli suami ku. Tidakkah kamu kasihan, Mas? Aku hanya punya kamu. Kamu kan tahu kalau orang tuaku meninggal sejak SMA dan aku bisa hidup karena bantuan kamu," ujar Tiara dengan wajah memelas. Baru saja Laila hendak merespon ucapan Tiara saat Marzuki menunjuk wajah Tiara dengan serius. "Kamu tahu bahwa hanya a

  • MENGEJAR CINTA DOKTER DUDA   bab 94. Ulang Tahun Laila

    Laila terbangun dan merab* ranjang di samping nya."Kok kosong? Mana mas Marzuki ya?" gumam Laila lalu duduk di atas ranjang dan melihat sekeliling kamar."Mungkin masih salat di masjid atau lihat tivi. Hm, ini kan hari Minggu. Puskesmas libur dan hanya on call," ujar Laila lagi. Dia melihat ke arah jam di kamar. "Sudah jam lima nih. Musti mandi dulu sebelum salat."Laila pun bergegas ke kamar mandi yang terletak di dalam kamar lalu segera membersihkan diri. Setelah mandi dan menunaikan salat subuh, Laila mengering kan rambut nya dengan hair dryer lalu keluar dari kamar. "Mama! Selamat ulang tahun!" seru Yasmin riang begitu Laila membuka pintu kamarnya. Laila yang saat itu sedang mengenakan daster warna kuning merasa sangat bahagia dan terkejut saat melihat kue berbentuk lingkaran mungil yang sedang dipegang oleh Yasmin. Lalu dari arah belakang tampak Marzuki yang sedang mengenakan celemek dan membawa sendok sayur sedang berjalan menuju ke arah Laila dan Yasmin. Sedangkan bi Inah

  • MENGEJAR CINTA DOKTER DUDA   bab 93. Semakin Mesra

    Laila terbangun saat merasakan dinginnya AC yang menyentuh kulitnya, dengan segera di Laila menarik selimut nya lagi. "Dingin ya?" sapa sebuah suara yang berbisik di telinga Laila. Laila mengangguk manja. Dan Marzuki yang ada di belakang Laila memeluk erat sang istri semakin erat. "Ya sudah. Aku peluk lagi. Atau kamu mau kita mengulang yang semalam?" tanya Marzuki seraya menciumi pundak dan punggung Laila sehingga perempuan itu terkikik geli dan manja. "Mas, geli tahu!" bisik Laila lalu membalikkan badannya ke arah Marzuki. Mereka saling bertatapan di dalam remang cahaya lampu kamar tidur. Laila memandang jam bulat melalui pundak Marzuki yang tertempel di dinding kamar. 'Masih jam satu rupanya.'Marzuki meletakkan tangannya ke pipi Laila dan berbisik merdu. "Kenapa kamu memandang kearah belakang ku? Aku hanya ingin kamu menatap ke arahku, Sayang."Marzuki menangkup wajah Laila lalu mengecup pipi istrinya perlahan. Laila mengalihkan pandangan nya ke arah Marzuki. "Lalu aku harus

  • MENGEJAR CINTA DOKTER DUDA   bab 92. Saat Ibu Kandung Bertemu dengan Anaknya

    "Mama! Papa!" Yasmin melambaikan tangan pada Laila dan Marzuki dari layar ponsel. "Sayang!" Laila memberikan kecup jauh untuk gadis kecil itu."Mama dimana?" tanya Yasmin lagi."Bagaimana ini, Yang? Kita jemput Yasmin di pintu masuk hotel. Daripada nanti dia bertemu dengan Tiara lebih dulu."Marzuki menoleh pada Laila dan terlihat bingung."Baiklah Mas, ayo kita jemput mami dan Yasmin." Laila menarik tangan Marzuki dan mereka berjalan menuju gapura pintu masuk hotel."Mama!"Yasmin berlari dan menghambur memeluk Laila. "Hap!"Laila memeluk Yasmin beberapa lama, lalu melanjutkan langkah menuju papi dan mami kemudian mencium punggung tangan keduanya."Yasmin sudah makan?" tanya Laila sambil mengelus kepala Yasmin perlahan. "Belum, Ma.""Ayo makan dulu ke resto. Restonya bagus dan ada kolam renangnya." Laila berjalan mendahului Marzuki dan orangtuanya menuju ke resto."Yasmin mau makan apa?" tanya Marzuki."Ayam goreng, Pa."Marzuki segera menulis ayam goreng krispi di kertas menu l

  • MENGEJAR CINTA DOKTER DUDA   bab 91. Perselisihan

    Dokter 91"Insyallah saya lebih baik dalam mengasuhnya daripada sang ibu kandung yang menelantarkannya. Dan jangan coba-coba mendekati suami saya setelah Mbak dengan semena-mena membuangnya. Tolong jangan hadir sebagai orang ketiga diantara kami. Terimakasih atas pengertiannya," kata Laila seraya memandang tajam pada Tiara. Laila melihat tangan Tiara yang putih terkepal di atas meja kafe. "Kalem saja Mbak. Bukankah mbak sudah punya suami juga? Jadi mari kita berusaha melakukan yang terbaik untuk keluarga kita."Tiara menatap tajam ke arah Laila. "Tunggu saja Laila. Saya pastikan kita akan segera bertemu lagi. Bagaimanapun Yasmin itu adalah darah daging saya. Dan saya pastikan Mas Marzuki akan menceraikan kamu!"Tiara mengacungkan telunjuknya ke arah Laila. Dan Laila menurunkan telunjuk Tiara dengan santai. "Oh ya? Baru ingat kalau masih punya darah daging? Kemana saja kamu selama ini saat Yasmin kesepian dan tidak punya teman bermain karena ibunya menghilang?"Kamu yang tidak tahu

  • MENGEJAR CINTA DOKTER DUDA   bab 90. Kehadiran Masa Lalu

    "Tiara?" gumam Marzuki kaget.Laila juga tidak kalah kagetnya karena dia ingat betul siapa Tiara itu."Tolong! Ada yang berprofesi dokter di sini? Atau tenaga medis? Perempuan ini dadanya tidak bergerak lagi."'Ya benar! Walaupun aku belum pernah melihat fotonya, tapi aku yakin dia pasti ibunya Yasmin. Garis wajah dan lengkung bibirnya yang sensual sama persis dengan gadis kecil itu. Kenapa dia di sini. Apa mas Marzuki sengaja mengajakku ke sini untuk mencari ibu Yasmin lagi? Tapi perempuan itu butuh tenaga medis untuk menyelamatkan nyawanya. Ya Tuhan, jika mas Marzuki yang melakukan CPR, hatiku tidak ikhlas karena kalau memberikan nafas buatan, bib*r mereka akan langsung bersentuhan. Bagaimana ini?' gumam Laila bingung.Hati Laila berperang antara rasa cemburu dan rasa kemanusiaan. Digenggamnya tangan Marzuki yang berdiri di sebelahnya. Terasa dingin dan tatapan matanya seakan juga menyiratkan kegalauan dan kebimbangan hati.'Mas, apakah masih ada namanya di hatimu?'Laila menghela

  • MENGEJAR CINTA DOKTER DUDA   bab 89. Bulan Madu

    Aku tidak ingin kamu hanya menjadi seperti pelangi di langit ku, yang hanya muncul setelah hujan sejenak kemudian meninggalkan pergi.***Beberapa hari setelahnya,"Wah bagus sekali kamar hotel yang kamu pesan, Mas," kata Laila seraya membuka tirai kamar dan memandang keluar. Langsung terlihat kolam renang yang dikelilingi perpaduan rumpun mawar dan pohon palem botol sebagai pagar hidupnya."Kamu suka?" tanya dokter Marzuki memeluk Laila dari belakang. Hembusan napasnya terasa hangat di telinga.Sekarang musim liburan sekolah, dan Marzuki memutuskan untuk mengajak Laila bulan madu di Bali, sedangkan Yasmin ingin menghabiskan liburannya di rumah Ambar dan Iwan. "Suka banget Mas. Makasih ya," sahut Laila lalu membalikkan badan dan mengecup hidung dokter Marzuki dengan lembut."Kamu ..., minta jatah ya?"Pertanyaan Marzuki membuat Laila nyaris tersedak."Apa? Nggak kok! Memang kalau istri mencium suami lebih dahulu berarti minta gituan ya?" tanya Laila manyun tapi tetap mengalungkan ked

DMCA.com Protection Status