"Kamu itu enak saja bilang nggak sengaja. Pasti sengaja mau ngerjain orang tua, ya kan?" Bapak masih memegang erat gagang sapu sambil memandangku dengan rasa gemas.
Entah itu rasa gemas ingin mencubit, menjewer, atau menowelkan sapu ke betisku. Yang jelas, sekarang terpenting bagiku adalah lari menjauhi bapak.Akhirnya, "Hap!" Bapak bisa menangkap lenganku."Ampun Pak, typo itu tadi!" Seruku pasrah saat bapak berhasil menangkap telingaku dan menariknya berulangkali seperti sebuah gagang pintu.Huh, panas!"Apa itu tipo, bapak ngertinya tipi," sahut bapak ketus"Typo itu salah ketik, Pak. Layla nggak sengaja." Aku membela diri."Beneran salah ketik? Bukan sengaja ingin membuat Bapak malu pada pak Dokter?" tanya bapak sewot."Beneran Pak. Tadi bukan bermaksud untuk mempermalukan bapak, tapi memang permintaanku pada Om Minho, eh Pak Dokter!" Seruku sambil mencoba melepaskan telinga yang rasanya sudah seperti terkena jepit jemuran."Apa Nak? Anak masih ingusan sudah berani bermain cinta-cintaan? Tidak boleh! Belajar dulu yang rajin!""Nggeh Pak, ampun! Layla janji nggak bakal macam-macam kok. Layla cuma semacam aja," tukasku nyengir."Ada apa ini?" tanya ibu sambil membawa sepiring ikan gurame asam manis ke hadapan kami."Wah, alhamdulillah ya Allah, akhirnya Engkau memberi kesadaran pada ibu untuk meningkatkan status gizi hamba," seruku bahagia.Saat tanganku terulur untuk mencolek pipi si gurami, tiba-tiba aku merasakan cubitan pedas tanpa manis mendarat di tangan."Aduh, apalagi ini? Tadi sudah dijewer, sekarang dicubit," protesku sambil menoleh ke arah ibu yang berkacak pinggang."Itu bukan buat kita, buat kita tuh masih di dapur," Ibu menunjuk ke arah kompor."Terus ini buat siapa?" tanyaku."Buat pak Dokter!" Sahut ibu pendek.Tiba-tiba otakku terasa seperti diupgrade lagi."Bu, bagaimana kalau Layla yang jadi kurirnya?" tanyaku menawarkan diri.Ibu memandangiku dengan mulut terbuka dan tak lama kemudian memegang keningku dengan telapak tangannya lalu memindahkan tangannya dari keningku ke ketiak ibu."Kamu habis kesambet apa, La?" tanya ibu bingung."Maksudnya?" tanyaku lebih bingung."Biasanya kan kamu paling alergi disuruh ibu ke warung buat beli garem atau terasi, apalagi kalau sudah di depan tivi atau pegang Hp, kok ini tiba-tiba menawarkan diri sih?" tanya ibu heran."Wah beda level itu Bu, kalau untuk beli garem atau terasi kan sudah biasa. Nah kalau ini untuk membeli cinta," sahutku nyengir."Ehem! Gak boleh. Kamu masih kelas tiga SMA gak boleh aneh-aneh. Fokus belajar aja. Biar diantar sama adik kamu." Bapak memandangku sewot."Lagipula pak Dokter itu sudah punya anak. Yang anak kecil perempuan usia 5 tahun itu anaknya dokter Marzuki, La. Bapak nggak bisa bayangin kalau kamu menjadi ibu sambung. Bisa ikutan pecicilan nanti anaknya pak Dokter," sahut Bapak lagi.Sesaat aku tercengang. "Berarti kalau sudah punya anak, sudah punya istri juga?" tanyaku."Istrinya ... nggak ada!""Lho kok bisa?" tanya ibu dan aku berbarengan."Bisalah. Pak dokter sendiri yang cerita sama Bapak.""Kemana istrinya, Pak? Kira-kira masih hidup atau sudah meninggal?" tanya Ibu lebih antusias daripada aku."Istri nya balikan sama mantan pacarnya saat anaknya usia dua tahun. Dan mulai dari saat itu dokter Marzuki belum bisa mencari pengganti nya.""Mungkin trauma ya, Pak?" tanya Ibu dengan nada prihatin."Jelaslah. Lha ini tiba-tiba kok ada bocah tengil yang mau mendekati pak dokter. Kasihan nanti dokter Marzukinya kena sawan," sahut Bapak membuatku manyun."Ya Allah, Pak! Emangnya Layla ini demit! Layla ini manusia yang manis lho!" seruku tak mau kalah."Tunggu sebentar, Pak. Bapak sudah cerita banyak yang sama dokter Marzuki? Berarti bapak sudah tahu dong dokter Marzuki umur berapa?" tanya Ibu kepo."Umur tiga puluh tahun. Kenapa sih? Dari tadi ibu sama Layla kayak wartawan infotainment saja. Tahu nggak?" tanya Bapak sewot."Nah cocok itu. Nggak apa-apa selisih 12 tahun sama calon mantu Ibu. Kan kalau suami lebih tua bisa membimbing istri," sahut ibu terus membelaku.Aku hanya senyum-senyum melihat lampu hijau dari ibu."Wes pokoknya enggak usah! Belajar, sekolah, kuliah, kerja, nabung. Baru bisa mikir cinta. Nggak usah nganter ikan-ikanan segala!"'Yah, gagal deh untuk jadi kang kurir cinta,' batinku kecewa."Sebentar, sebentar! Ini maksudnya gimana? kan Layla cuma ingin nganter gurami saja, kok sampai dibilang aneh-aneh sih?" tanya ibu."Soalnya Layla naksir sama pak Dokter, Bu," jawab bapak. "Bocah belum tahu bedanya jahe sama lengkuas saja sok-sokan mau mencintai. Tuh, cintai saja bumbu dapur biar pinter masak," sahut bapak."Duh, bapak ember banget dah. Kenapa malah bilang ke ibu. Bisa-bisa aku mendapat jeweran gratis lagi.""Walah Pak! Alhamdulillah, ayo dinikahkan saja kalau gitu, ibu pingin punya mantu sholih, ngganteng dan pekerjaan bagus. Cocok wes. Ayo disahkan saja! Ibu mendukung sepenuh hati, jantung dan ginjal," sahut ibu.Aku melongo sambil tersenyum lebar."Akhirnya aku punya folower!""Lah, ibu ini gimana. Bukannya ibu dulu yang bercita-cita agar Layla setelah lulus SMA terus kuliah di kebidanan? Lalu nyari uang dulu setelah lulus kuliah? Kok ini malah disuruh nikah sih?" protes bapak.Ibu tertawa. "Kalau anak kita nikah sama dokter, kan otomatis bisa langsung jadi bu dokter tanpa kuliah, Pak?" sahut ibu santai."Aduh ibu ini. Jangan bikin malu dong Bu. Masak Dokter Marzuki bisa naksir sama anak kita yang hobinya dikejar angsa dan manjat pohon sih. Bisa malu Bapak,""Bapak ini gimana sih. Kalau memang jodoh, ya buat apa malu. Sudah sana anterin guraminya pada dokter Marzuki!""Wah, siap laksanakan, Ndan!" sahutku bahagia."Sebentar, jangan pergi dulu. Kalau ada manusia beda jenis dan berdua-duaan, maka yang ketiganya adalah setan. Rama!" bapak berteriak memanggil adikku."Ya pak, ada apa?"Rama keluar dari kamar sambil membenarkan kacamatanya yang melorot ke hidung."Temani kakak kamu mengantar gurami ke rumah Dokter Marzuki. Bisa?""Tentu saja bisa, Pak." Rama tersenyum."Pinter, pancen cah bagus. La, jangan kalah sama adik kamu. Masih kelas 3 SMP, tapi sudah hobi baca, patuh sama orangtua dan sering juara kelas.""Lah, Layla juga juara kok Pak," tukasku sambil mencium tangan ibu dan mengambil ikan gurami yang sudah pindah tempat ke tupperwear lalu memberikannya pada adikku."Juara apa kamu, belajar aja jarang," sindir bapak."Juara manjat pohon mangga dan kali ini juara menaklukan hati dokter Marzuki," tukasku langsung berlari setelah mencium tangan bapak."Kabooor!""Oalah, bocah ayu tenan! Bapak doain ya kamu benar-benar jadi anak sholihah dan menjadi bidan yang baik dan benar!!"Masih sempat kudengar ucapan bapak yang sepertinya bernada gemas padaku.Aku berlari sekencang mungkin tanpa menunggu adikku yang masih tertinggal di belakang.Aku melihat sepanjang jalan kenangan seperti penuh dengan mawar melati semuanya indah. Dan tiba-tiba terputar lagu India janam-janamnya Om Shah Rukh Khan dan Tante Kajol. Eaaakkk!!!Next?"Mbak, tungguin aku!" teriak Rama pontang panting mengejarku sambil membawa tupperware berisi gurami rasa cinta."Hadeh, kamu tuh laki-laki, masak larinya cepetan aku sih," tukasku lalu memelankan langkah."Lah embak keburu lari dan aku masih digandoli sama tupperware ini!" tukas Rama kesal sambil mengguncang-guncangkan tupperware yang langsung membuat hatiku juga seolah terkena gempa."Dek, jangan diguncang-guncang! Penentu masa depanku ituh!" Tunjukku pada kotak warna pink yang dibawa Rama."Hah? Penentu masa depan? Maksudnya apa Mbak?""Hilih, anak yang kutu buku mana mungkin tahu, ayo jalan lagi!" "Kalau nggak mau diguncang-guncangin, bawa aja sendiri!" tukas Rama manyun sambil mengulurkan bawaannya padaku."Kamu saja yang bawa. Kan kamu laki-laki," sahutku santai."Eh, mbak Maemunah! Nggak ada hubungannya antara gender dengan membawa kotak. Gih bawa, atau aku guncang-guncangin kotak ini!" Ancam Rama."Dih, iya iya." Aku menerima tupperware itu dan mendekapnya setulus hati.Saat
Aku nyengir dan meletakkan sapu yang gagangnya telah basah oleh keringat di tanganku."Maaf Dok, tadi saya lihat pintu ruang tamu terbuka dan Dokter mempersilahkan saya masuk. Jadi saya masuk. Uhm, dan saya minta maaf kalau saya salah paham tentang sapu menyapu. Saya kira ini Dokter Marzuki perlu bantuan saya, ternyata Dokter Marzuki sedang menelepon," sahutku entah dengan wajah semerah apa. Mungkin tomat saja sekarang kalah oleh merahnya wajahku.Dokter Marzuki tersenyum. 'Allahuakbar. Apakah pabrik gula pindah ke sini? Kenapa tuh senyum manis banget.'Sekelebat ide tiba-tiba muncul di kepalaku."Dok, maaf kalau saya kepo. Apa Papanya Dokter punya pabrik gula?" tanyaku menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal.Dokter Marzuki menatapku dan Rama bergantian. "Nggak punya kok Mbak. Papa saya juga dokter. Dokter spesialis anak. Ada apa?" tanya dokter Marzuki bingung.Saat aku hendak membuka mulut, Rama menyela. "Mbak, jangan aneh-aneh deh. Segera berikan guraminya lalu pulang.""Sebe
"Ye, gak kena!" Aku menjulurkan lidah pada adik lelakiku itu. Rambutan yang dilemparkan adikku menggelinding dan melewati kaki.Dan saat aku membalikkan badan, di depanku sudah berdiri bapak sambil berkacak pinggang."Anak perempuan kok ketawa nya seperti Mak lampir. Siapa tadi yang wajahnya aneh dan ternyata calon imam untukku?"Astaghfirullah, bapak! Sejak kapan berdiri di sini?Aku hanya bisa nyengir penuh perasaan. Rama tertawa terbahak. "Mbak Layla ini Pak, ngelawak. Berani bener ngajak dokter Marzuki bercanda."Rama melaporkan hasilnya memata-matai kelakuanku. Ugh, dasar tukang ngadu."Kamu naksir sama dokter Marzuki?" tanya bapak mendekat.Aduh, mampus. Aku jawab apa nih. Dijawab iya, kok rasanya keterlaluan banget. Tapi dijawab enggak, rasanya kok mubadzir. Eh."Eng ... Ehh ...." Kurasa aku mendadak menjadi gagap."Nggak usah ah, eh, uh. Jawab jujur, La!"Aku berusaha menormalkan detak jantung, menyeimbangkan antara hidung yang ingin kembang kempis dan bibir yang ingin nyengi
Aku menelan ludah dan berdiri. Sementara bapak yang ada di depan selaku moderator mendelik melihatku, seolah anaknya ini bisa kentut sewaktu-waktu."Anu ... Dok, itu ...,""Sebutkan nama dulu, Mbak," tukas dokter Marzuki tersenyum."Uhm, baik."Aku mendelik pada Rama yang cengengesan di belakangku. 'Awas saja sampai rumah kamu nanti!'"Nama saya Layla. Tapi bukan Layla dan Majnun," tukasku tersenyum malu. 'Tapi Layla dan Marzuki,' lanjutku dalam hati."Ya Mbak Layla. Silakan pertanyaannya?" "Dokter, sebenarnya saya mau nanya. Saya itu kadang suka pusing kalau enggak sarapan. Itu kenapa ya Dok?" tanyaku akhirnya.Dokter muda itu tersenyum. "Baik, Mbaknya suka pusing? Kalau pusingnya suka nggak sama Mbak? Kalau pusingnya nggak suka sama Mbak, mending Mbak tinggalin deh. Karena tandanya cinta Mbak bertepuk sebelah tangan."Geerrrr!Terdengar gemuruh dan beberapa tawa di penjuru balai desa ini. Dokter Marzuki tersenyum lagi. Kan, hobi kok tersenyum sih. Kan jadi bikin gede rasa!"Bercan
Acara perkenalan dokter Marzuki telah usai, dan seluruh perangkat desa beserta seluruh keluarganya diundang dalam rangka makan bersama dengan dokter Marzuki tersebut. "Mbak, kamu ikut makan bersama dengan dokter Marzuki gak?" sebuah tepukan membuatku menoleh. Rama."Ikutlah. Kan aku lapar. Kamu sendiri ikut nggak?" tanyaku pada Rama. "Ikut juga dong. Rejeki nggak boleh ditolak. Pamali." Rama cengengesan. "Ya sudah. Ayo ke ruang tengah balai desa," ajakku. "Ayok. Tapi bukankah Mbak tadi sudah makan sebelum berangkat ke balai desa?" tanya Rama. "Ye biarin. Kan lapar lagi, Ram. Masak sih nggak boleh makan lagi?!" tanyaku sewot. "Mbak lapar apa mau pedekate sama dokter Marzuki?" tanya Rama penuh selidik. Aku melempar tatapan maut padanya. "Emang apa urusannya sama anak kecil kayak kamu?!" tanyaku sewot. "Jangan panggil aku anak kecil, Mbak La. Namaku Rama!" Seru Rama sambil ngeloyor mendahuluiku ke ruang tengah balai desa. "Dasar aneh, Rama. Kalau enggak belajar, ya pasti nonton
Juleha dengan wajah yang pias meletakkan piringnya di bawah kursi. Lalu dia segera berdiri dan menuju ke arah meja dan bergegas mengambil segelas teh. "Wah, Alhamdulillah ya. Bukan aku yang ambil lengkuasnya tadi. Pasti rasanya manis-manis gitu," sahutku penuh kemenangan saat Juleha melewati tempat dudukku.Juleha mendengus sebal dan sambil menghentakkan kakinya kembali ke tempat duduknya semula. ***"La, mau kemana? Main kabur saja? Kalau mau makan, ya harus mau beresin dong!" Tegur suara ibu saat aku ketahuan tengah mengendap-endap untuk pulang. "Ah, ibu. Kan ada ibu-ibu yang lain. Lagian itu Juleha dan Ayu kok boleh pulang?! Layla sudah ngantuk, Bu!" Protesku pada ibu saat melihat Juleha dan Ayu yang berboncengan motor sedang menjulurkan lidah padaku. "Mereka tadi sudah bantuin masak ibu-ibu. Sekarang kamu yang bantuin ibu-ibu beresin bekas makan prasmanan kita. Ayo."Aku mendengus sebal saat dengan terpaksa aku mengikuti langkah ibu untuk mencuci piring dan mangkok yang kotor.
"Astaga, Kang. Maaf lupa. Saya gagal fokus. Duh, rasanya pingin nyemplung ke dandang ciloknya kang Mamat saja!""Wah, jangan lah Mbak. Masak cantik-cantik masuk ke dandang cilok. Entar jadi siomay raksasa, Mbak." sahut kang Mamat tertawa. Dokter Marzuki pun tak urung juga ikut tersenyum simpul. 'Astaga Layla. Bikin malu saja. Kenapa sih harus gagal fokus.'"La, sudah belum beli ciloknya? Ayo pulang." Untung Bapak segera menyelamatkanku dari situasi yang canggung banget. "Ya sudah, Dokter. Saya pulang dulu. Adik cantik, mbak pulang dulu ya," pamitku lalu setelah dokter Marzuki dan anaknya mengangguk, aku segera berbalik dan melangkahkan kaki menjauhi gerobak kang Mamat.Tapi langkahku tertahan saat karena terasa ada yang menarik tali tas selempangku."Dokter, tolong lepaskan tali tas saya," pintaku tanpa menoleh ke arah belakang. Duh, kok bisa sih dokter Marzuki sampai memegangi tasku. Apa dia masih ingin membicarakan sesuatu padaku atau memang tidak ingin berpisah dariku? Kepalaku
"Kenapa ngajak aku kesini?" tanyaku saat Rangga berhasil 'menyeretku' ke tengah lapangan.Rangga menatapku lama. "Kamu enggak pernah diajarkan pelajaran kurang-kurangan di kelas ya?" tanya Rangga.Rangga yang mempunyai tinggi 180 senti itu membuatku harus mendongak menatapnya karena tinggiku yang 158 senti."Hei kamu aneh. Salah makan? Atau kesurupan? Tiba-tiba tanya pelajaran matematika di lapangan basket? Ada apa sih?" tanyaku bingung. Rangga tersenyum. Dia manis. Ada lesung pipinya. Tapi entahlah, rasanya di hatiku sekarang sudah tertulis nama lain.Dulu aku memang sering memimpikannya menjadi kekasih. Tapi sekarang jelas berbeda. Rangga mau saltopun di hadapanku. I don't care anymore."Tinggal jawab saja apa susahnya sih?" tanya Rangga memandangiku.Aku mendengus sebal. Nggak penting banget. "Aku diajari seluruh pelajaran matematika. Termasuk kurang-kurangan. Ada apa sih?""Kamu jangan bohong La. Kamu bilang kamu diajari kurang-kurangan, tapi bagiku kamu tidak ada kurangnya tuh!
Tiara mendelik, dia langsung terduduk di ranjang hotel dan memutar ulang video yang menampilkan sosoknya yang sedang marah-marah. "Sial*n! Siapa yang telah merekam dan mempermalukanku? Ini pasti kerjaan bocil genit itu! Bisa-bisa nya mas Marzuki mencintai anak kecil padahal aku masih hidup. Aku tidak terima! Aku akan membalas bocil itu!"Tangan Tiara mengepal. "Tapi apa yang bisa aku lakukan untuk membuat mas Marzuki meninggalkan bocil itu?!"Tiara berdiri lalu mondar mandir di dalam kamar hotelnya, mencari ide untuk membuat Marzuki membenci Laila. Mendadak sebuah ide terlintas di kepalanya. "Ah, betul juga! Kalau wajah Laila menjadi cacat, Mas Marzuki dan Yasmin pasti tidak mau mendekati bocil itu lagi. Dan saat itulah aku akan merebut perhatian mereka. Mereka pasti akan menerima perhatian dariku," desis Tiara dengan penuh keyakinan. Dia lantas membuka internet lalu mencari tahu di online shop tentang barang yang bisa membantu rencananya. ***Laila dengan tangan gemetar mencelupk
Tiara yang sudah mengenal suara di belakang nya menghela nafas dan berbalik ke belakang. "Hai, Mas Rizki. Kamu sampai di sini juga?" tanya Tiara berbasa basi seraya menyedekapkan kedua tangan di depan dadanya. "Tentu saja. Setelah kamu minggat, aku langsung memerintahkan orang untuk mencari keberadaan kamu. Ternyata kamu di sini. Jauh-jauh dari jakarta ke kota terpencil ini hanya untuk mengganggu suami orang. Ck, ck, aku tidak menyangka kalau kamu akan berbuat sesuatu seperti ini. Kamu benar-benar berbakat menjadi pelakor, Ti," sahut Rizki, sang suami. Tiara tergelak. "Pelakor? Hati-hati kalau kamu bicara, Mas! Dia mantan suamiku, jadi aku ...""Memang di masa lalu, dia adalah suami kamu. Tapi saat ini dia kan sudah mempunyai keluarga baru, istri baru, seharusnya kamu tahu diri dan tidak merusak kehidupan rumah tangganya!"Tawa Tiara semakin terdengar keras. "Hahaha! Kamu ini lucu sekali, Mas! Kamu dulu menjadi pebinor dan merebutku dari mas Marzuki sehingga kami bercerai, dan sek
"Mas, tolong aku!" ujar Tiara dengan penuh harap menatap ke arah Marzuki. "Aku mengalami KDRT! Aku kabur dari suamiku! Tolong tampung aku di rumah kamu, Mas!" seru Tiara lagi dengan sangat memelas. Laila mendelik, sebenarnya dalam hatinya sangat ingin mencakar dan menjambak Tiara. Tapi ditahannya karena Laila tidak mau mengotori tangan nya dengan memegang sampah. Wajah Marzuki menegang melihat Tiara yang datang menemui mereka, apalagi di hadapan Yasmin. "Kok kamu bisa kesini?" tanya Marzuki dengan wajah parau. Ditatapnya wajah dan tubuh Tiara yang terdapat lebam-lebam di beberapa tempat. "Mas, kalau enggak di sini, aku harus kemana? Lihatlah luka-luka di tubuhku ini. Aku dipukuli suami ku. Tidakkah kamu kasihan, Mas? Aku hanya punya kamu. Kamu kan tahu kalau orang tuaku meninggal sejak SMA dan aku bisa hidup karena bantuan kamu," ujar Tiara dengan wajah memelas. Baru saja Laila hendak merespon ucapan Tiara saat Marzuki menunjuk wajah Tiara dengan serius. "Kamu tahu bahwa hanya a
Laila terbangun dan merab* ranjang di samping nya."Kok kosong? Mana mas Marzuki ya?" gumam Laila lalu duduk di atas ranjang dan melihat sekeliling kamar."Mungkin masih salat di masjid atau lihat tivi. Hm, ini kan hari Minggu. Puskesmas libur dan hanya on call," ujar Laila lagi. Dia melihat ke arah jam di kamar. "Sudah jam lima nih. Musti mandi dulu sebelum salat."Laila pun bergegas ke kamar mandi yang terletak di dalam kamar lalu segera membersihkan diri. Setelah mandi dan menunaikan salat subuh, Laila mengering kan rambut nya dengan hair dryer lalu keluar dari kamar. "Mama! Selamat ulang tahun!" seru Yasmin riang begitu Laila membuka pintu kamarnya. Laila yang saat itu sedang mengenakan daster warna kuning merasa sangat bahagia dan terkejut saat melihat kue berbentuk lingkaran mungil yang sedang dipegang oleh Yasmin. Lalu dari arah belakang tampak Marzuki yang sedang mengenakan celemek dan membawa sendok sayur sedang berjalan menuju ke arah Laila dan Yasmin. Sedangkan bi Inah
Laila terbangun saat merasakan dinginnya AC yang menyentuh kulitnya, dengan segera di Laila menarik selimut nya lagi. "Dingin ya?" sapa sebuah suara yang berbisik di telinga Laila. Laila mengangguk manja. Dan Marzuki yang ada di belakang Laila memeluk erat sang istri semakin erat. "Ya sudah. Aku peluk lagi. Atau kamu mau kita mengulang yang semalam?" tanya Marzuki seraya menciumi pundak dan punggung Laila sehingga perempuan itu terkikik geli dan manja. "Mas, geli tahu!" bisik Laila lalu membalikkan badannya ke arah Marzuki. Mereka saling bertatapan di dalam remang cahaya lampu kamar tidur. Laila memandang jam bulat melalui pundak Marzuki yang tertempel di dinding kamar. 'Masih jam satu rupanya.'Marzuki meletakkan tangannya ke pipi Laila dan berbisik merdu. "Kenapa kamu memandang kearah belakang ku? Aku hanya ingin kamu menatap ke arahku, Sayang."Marzuki menangkup wajah Laila lalu mengecup pipi istrinya perlahan. Laila mengalihkan pandangan nya ke arah Marzuki. "Lalu aku harus
"Mama! Papa!" Yasmin melambaikan tangan pada Laila dan Marzuki dari layar ponsel. "Sayang!" Laila memberikan kecup jauh untuk gadis kecil itu."Mama dimana?" tanya Yasmin lagi."Bagaimana ini, Yang? Kita jemput Yasmin di pintu masuk hotel. Daripada nanti dia bertemu dengan Tiara lebih dulu."Marzuki menoleh pada Laila dan terlihat bingung."Baiklah Mas, ayo kita jemput mami dan Yasmin." Laila menarik tangan Marzuki dan mereka berjalan menuju gapura pintu masuk hotel."Mama!"Yasmin berlari dan menghambur memeluk Laila. "Hap!"Laila memeluk Yasmin beberapa lama, lalu melanjutkan langkah menuju papi dan mami kemudian mencium punggung tangan keduanya."Yasmin sudah makan?" tanya Laila sambil mengelus kepala Yasmin perlahan. "Belum, Ma.""Ayo makan dulu ke resto. Restonya bagus dan ada kolam renangnya." Laila berjalan mendahului Marzuki dan orangtuanya menuju ke resto."Yasmin mau makan apa?" tanya Marzuki."Ayam goreng, Pa."Marzuki segera menulis ayam goreng krispi di kertas menu l
Dokter 91"Insyallah saya lebih baik dalam mengasuhnya daripada sang ibu kandung yang menelantarkannya. Dan jangan coba-coba mendekati suami saya setelah Mbak dengan semena-mena membuangnya. Tolong jangan hadir sebagai orang ketiga diantara kami. Terimakasih atas pengertiannya," kata Laila seraya memandang tajam pada Tiara. Laila melihat tangan Tiara yang putih terkepal di atas meja kafe. "Kalem saja Mbak. Bukankah mbak sudah punya suami juga? Jadi mari kita berusaha melakukan yang terbaik untuk keluarga kita."Tiara menatap tajam ke arah Laila. "Tunggu saja Laila. Saya pastikan kita akan segera bertemu lagi. Bagaimanapun Yasmin itu adalah darah daging saya. Dan saya pastikan Mas Marzuki akan menceraikan kamu!"Tiara mengacungkan telunjuknya ke arah Laila. Dan Laila menurunkan telunjuk Tiara dengan santai. "Oh ya? Baru ingat kalau masih punya darah daging? Kemana saja kamu selama ini saat Yasmin kesepian dan tidak punya teman bermain karena ibunya menghilang?"Kamu yang tidak tahu
"Tiara?" gumam Marzuki kaget.Laila juga tidak kalah kagetnya karena dia ingat betul siapa Tiara itu."Tolong! Ada yang berprofesi dokter di sini? Atau tenaga medis? Perempuan ini dadanya tidak bergerak lagi."'Ya benar! Walaupun aku belum pernah melihat fotonya, tapi aku yakin dia pasti ibunya Yasmin. Garis wajah dan lengkung bibirnya yang sensual sama persis dengan gadis kecil itu. Kenapa dia di sini. Apa mas Marzuki sengaja mengajakku ke sini untuk mencari ibu Yasmin lagi? Tapi perempuan itu butuh tenaga medis untuk menyelamatkan nyawanya. Ya Tuhan, jika mas Marzuki yang melakukan CPR, hatiku tidak ikhlas karena kalau memberikan nafas buatan, bib*r mereka akan langsung bersentuhan. Bagaimana ini?' gumam Laila bingung.Hati Laila berperang antara rasa cemburu dan rasa kemanusiaan. Digenggamnya tangan Marzuki yang berdiri di sebelahnya. Terasa dingin dan tatapan matanya seakan juga menyiratkan kegalauan dan kebimbangan hati.'Mas, apakah masih ada namanya di hatimu?'Laila menghela
Aku tidak ingin kamu hanya menjadi seperti pelangi di langit ku, yang hanya muncul setelah hujan sejenak kemudian meninggalkan pergi.***Beberapa hari setelahnya,"Wah bagus sekali kamar hotel yang kamu pesan, Mas," kata Laila seraya membuka tirai kamar dan memandang keluar. Langsung terlihat kolam renang yang dikelilingi perpaduan rumpun mawar dan pohon palem botol sebagai pagar hidupnya."Kamu suka?" tanya dokter Marzuki memeluk Laila dari belakang. Hembusan napasnya terasa hangat di telinga.Sekarang musim liburan sekolah, dan Marzuki memutuskan untuk mengajak Laila bulan madu di Bali, sedangkan Yasmin ingin menghabiskan liburannya di rumah Ambar dan Iwan. "Suka banget Mas. Makasih ya," sahut Laila lalu membalikkan badan dan mengecup hidung dokter Marzuki dengan lembut."Kamu ..., minta jatah ya?"Pertanyaan Marzuki membuat Laila nyaris tersedak."Apa? Nggak kok! Memang kalau istri mencium suami lebih dahulu berarti minta gituan ya?" tanya Laila manyun tapi tetap mengalungkan ked