Aku nyengir dan meletakkan sapu yang gagangnya telah basah oleh keringat di tanganku.
"Maaf Dok, tadi saya lihat pintu ruang tamu terbuka dan Dokter mempersilahkan saya masuk. Jadi saya masuk. Uhm, dan saya minta maaf kalau saya salah paham tentang sapu menyapu. Saya kira ini Dokter Marzuki perlu bantuan saya, ternyata Dokter Marzuki sedang menelepon," sahutku entah dengan wajah semerah apa. Mungkin tomat saja sekarang kalah oleh merahnya wajahku.Dokter Marzuki tersenyum. 'Allahuakbar. Apakah pabrik gula pindah ke sini? Kenapa tuh senyum manis banget.'Sekelebat ide tiba-tiba muncul di kepalaku."Dok, maaf kalau saya kepo. Apa Papanya Dokter punya pabrik gula?" tanyaku menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal.Dokter Marzuki menatapku dan Rama bergantian. "Nggak punya kok Mbak. Papa saya juga dokter. Dokter spesialis anak. Ada apa?" tanya dokter Marzuki bingung.Saat aku hendak membuka mulut, Rama menyela. "Mbak, jangan aneh-aneh deh. Segera berikan guraminya lalu pulang.""Sebentar, tapi saya penasaran kenapa tiba-tiba Mbak kamu tadi bilang orang tua saya punya pabrik gula. Coba Mbak jawab dulu, kenapa Mbak mendadak bertanya seperti itu?"'Aduh, niat bercanda kok jadi serius gini?'"Uhm, karena dokter Marzuki manisnya kebangetan sampai saya takut terkena diabetes," jawabku dengan menunduk.Dan tawa Rama pun meledak. "Hahaha, dokter Marzuki pasti nyesel kan tadi tanya ke mbak Layla. Memang dia suka bercanda. Jangan dimasukkan kedalam hati, ya Dok!"Dokter Marzuki tersenyum lalu menghela nafas." Saya ada pertanyaan juga Mbak. Mbak siapa tadi namanya?" dokter Marzuki bertanya balik."Layla, Dokter," sahutku berdebar."Kenapa rumah sakit hanya menerima pasien?""Kenapa ya?" gumamku menggaruk pipi lalu meminta bantuan pada Rama."Ya karena kalau orang sehat, nggak perlu ke rumah sakit, Dokter," jawabku ragu."Bukan. Karena kalau yang menerima kamu apa adanya, ya aku," jawab dokter Marzuki tersenyum simpul.Doweng! Aku dan Rama sejenak berpandangan dan tertawa.Argh! Fix, calon suami ini. Sudah ganteng, pinter, humoris lagi.Dokter Marzuki tersenyum lagi. 'Tuh kan situ hobi senyum sih. Membuat hatiku bergoncang. Tahu nggak sih?'"Jadi ada apa Mbak kok sore-sore datang ke sini?" tanya dokter Marzuki ramah setelah tawaku dan Rama mereda.Aku segera teringat dengan si Gurami yang menjadi saksi bisu atas kekonyolan sikapku."Ini Dok, tadi ibu saya memasak gurami asem manis dan meminta saya untuk mengantarkannya ke sini. Kata Ibu, untuk makan malam Dokter Marzuki," sahutku sambil mengulurkan tupperware kepada dokter muda itu.Terlihat mata dokter Marzuki berbinar. "Wah, Alhamdulillah. Kalau begitu tunggu sebentar ya. Akan saya ganti dulu tupperwarenya dan saya cuci biar bisa langsung dibawa pulang."Dokter Marzuki beranjak dari duduknya."Eh, jangan Dok. Dikembalikan kapan-kapan saja. Tidak apa-apa," sahutku cepat. Ya kan bisa jadi alasan untuk kesini lagi. Kalau segera dikembalikan, nggak bisa kesini lagi dong.Rama berdehem seolah mengerti jalan pikiranku."Mbak, apa nggak khawatir kalau tupperware ibu tidak kembali tepat waktu? Nanti uang saku Mbak bisa dipotong loh."Aku menghela nafas. 'Nggak apa-apa dipotong uang sakuku, asal bisa kesini lagi,' sahutku. Tentu saja di dalam hati."Wah, kalau begitu saya harus segera mengembalikannya ya. Tunggu di sini sebentar."Dokter Marzuki lalu beranjak meninggalkan ruang tamu menuju ke dalam rumahnya sambil membawa tupperware milik ibu."Mbak, jangan malu-maluin lah. Kalau bercanda itu mbok ada batasnya. Mbak Layla ini, duh," protes Rama."Iya, iya. Maaf deh. Kirain biar lebih akrab gitu, Dek. Dan mbak kira juga gak berlebihan deh." Aku membela diri."Ya kan itu menurut Mbak. Kalau menurut Dokter Marzuki berlebihan dan membuat beliau ilfeel, gimana Mbak?"Waduh, bener juga ucapan Rama. Jangan sampai aku terlalu lebay dan terlihat ganjen di mata dokter Marzuki. Bisa-bisa aku terlihat aneh.Aku menghela nafas dan bersamaan dengan itu dokter Marzuki keluar dari ruang tengah dengan menyibak tirainya."Ini tupperware nya sudah bersih karena sudah saya cuci. Sampaikan salam terimakasih pada ibu kamu."Dokter Marzuki duduk di hadapanku dan Rama serta mengulurkan tupperware dan meletakkannya di atas meja kayu di hadapan kami."Hm, iya. Nanti saya sampaikan pada ibu saya, Dok. Oh iya, untuk besok gimana cara dokter Marzuki makan? Apa perlu diantar ikan lagi?" tanyaku nyengir."Emang Mbak bisa masak? Mbak aja gak pernah bantuin ibu masak kan?"tanya Rama yang langsung mendapat pelototan maut dariku."Bisalah. Mbak jago masak kok. Masak air sama masak mie," jawabku nyengir.Dokter Marzuki terlihat hanya menggelengkan kepala. Mungkin baginya aku lucu dan menggemaskan. Yah, memang benar sih."Mbak, ayo pulang. Aku harus belajar untuk besok," terdengar suara Rama membuyarkan lamunanku.Aku mengangguk. "Dok, saya pulang dulu ya. Sekali lagi terimakasih karena tadi sudah menolong saya saat jatuh dari pohon mangga depan rumah," pamitku seraya berdiri.Rama mengerutkan dahi. Terlihat sekali kekepoannya sekarang mencapai level nasional.Dokter Marzuki tersenyum. "Sama-sama. Lain kali hati-hati kalau mau manjat pohon. Banyak ulat. Selain itu jatuh dari pohon tidak seindah jatuh cinta."Aku dan Rama berpandangan dan tertawa."Ya sudah kami pulang dulu, Dok," ujar Rama menyalami Dokter Marzuki.***Aku segera ngibrit pulang setelah keluar dari rumah dokter Marzuki."Mbak, maksudnya Dokter Marzuki tadi yang menolong Mbak jatuh dari pohon mangga, apaan ya?""Kepo aja lu jadi adik!""Heh, gimana nggak kepo! Mbak itu selalu aneh dengan tingkah absurd. Ayo segera cerita ke aku. Siapa tahu aku bisa memberikan saran."Aku menghela nafas. "Baiklah. Awas saja kalau ngasih saran nggak bermutu," ancam ku lalu menceritakan aib yang mengakibatkan aku harus naik pohon mangga dan nyaris jatuh ke tanah.Rama tertawa terbahak. "Ada-ada saja. Ibu dulu nyidam apa sih sampai mbak beda sendiri?" tanya Rama saat tanpa terasa kami sampai di depan rumah.Aku melepas sandal. "Enggak tahu. Lagian menurut Mbak, Mbak gak aneh kok. Cuma unik dan spesial," sahutku tertawa."Pede amat sih Mbak."Rama menyedekapkan kedua tangannya di depan dada."Iyalah. Jadi manusia itu harus pede. Biar bisa selalu eksis," sahutku sambil masuk kedalam rumah."Eh, tunggu. Kamu tadi lihat nggak sih wajahnya Dokter Marzuki aneh?" tanyaku sambil menghentikan langkah di tengah pintu depan."Aneh gimana?" tanya Rama sambil mendekat."Ya anehlah. Coba tadi kamu perhatikan wajah dokter Marzuki baik-baik.""Sudah, tapi gak ada yang aneh.""Ada. Kan wajahnya jelas banget menggambarkan sebagai wajah calon imam buat Mbak di masa depan," jawabku seraya berlari ke dalam rumah karena Rama telah bersiap untuk melemparkan rambutan yang kebetulan teronggok di teras rumah ke arahku.Next?"Ye, gak kena!" Aku menjulurkan lidah pada adik lelakiku itu. Rambutan yang dilemparkan adikku menggelinding dan melewati kaki.Dan saat aku membalikkan badan, di depanku sudah berdiri bapak sambil berkacak pinggang."Anak perempuan kok ketawa nya seperti Mak lampir. Siapa tadi yang wajahnya aneh dan ternyata calon imam untukku?"Astaghfirullah, bapak! Sejak kapan berdiri di sini?Aku hanya bisa nyengir penuh perasaan. Rama tertawa terbahak. "Mbak Layla ini Pak, ngelawak. Berani bener ngajak dokter Marzuki bercanda."Rama melaporkan hasilnya memata-matai kelakuanku. Ugh, dasar tukang ngadu."Kamu naksir sama dokter Marzuki?" tanya bapak mendekat.Aduh, mampus. Aku jawab apa nih. Dijawab iya, kok rasanya keterlaluan banget. Tapi dijawab enggak, rasanya kok mubadzir. Eh."Eng ... Ehh ...." Kurasa aku mendadak menjadi gagap."Nggak usah ah, eh, uh. Jawab jujur, La!"Aku berusaha menormalkan detak jantung, menyeimbangkan antara hidung yang ingin kembang kempis dan bibir yang ingin nyengi
Aku menelan ludah dan berdiri. Sementara bapak yang ada di depan selaku moderator mendelik melihatku, seolah anaknya ini bisa kentut sewaktu-waktu."Anu ... Dok, itu ...,""Sebutkan nama dulu, Mbak," tukas dokter Marzuki tersenyum."Uhm, baik."Aku mendelik pada Rama yang cengengesan di belakangku. 'Awas saja sampai rumah kamu nanti!'"Nama saya Layla. Tapi bukan Layla dan Majnun," tukasku tersenyum malu. 'Tapi Layla dan Marzuki,' lanjutku dalam hati."Ya Mbak Layla. Silakan pertanyaannya?" "Dokter, sebenarnya saya mau nanya. Saya itu kadang suka pusing kalau enggak sarapan. Itu kenapa ya Dok?" tanyaku akhirnya.Dokter muda itu tersenyum. "Baik, Mbaknya suka pusing? Kalau pusingnya suka nggak sama Mbak? Kalau pusingnya nggak suka sama Mbak, mending Mbak tinggalin deh. Karena tandanya cinta Mbak bertepuk sebelah tangan."Geerrrr!Terdengar gemuruh dan beberapa tawa di penjuru balai desa ini. Dokter Marzuki tersenyum lagi. Kan, hobi kok tersenyum sih. Kan jadi bikin gede rasa!"Bercan
Acara perkenalan dokter Marzuki telah usai, dan seluruh perangkat desa beserta seluruh keluarganya diundang dalam rangka makan bersama dengan dokter Marzuki tersebut. "Mbak, kamu ikut makan bersama dengan dokter Marzuki gak?" sebuah tepukan membuatku menoleh. Rama."Ikutlah. Kan aku lapar. Kamu sendiri ikut nggak?" tanyaku pada Rama. "Ikut juga dong. Rejeki nggak boleh ditolak. Pamali." Rama cengengesan. "Ya sudah. Ayo ke ruang tengah balai desa," ajakku. "Ayok. Tapi bukankah Mbak tadi sudah makan sebelum berangkat ke balai desa?" tanya Rama. "Ye biarin. Kan lapar lagi, Ram. Masak sih nggak boleh makan lagi?!" tanyaku sewot. "Mbak lapar apa mau pedekate sama dokter Marzuki?" tanya Rama penuh selidik. Aku melempar tatapan maut padanya. "Emang apa urusannya sama anak kecil kayak kamu?!" tanyaku sewot. "Jangan panggil aku anak kecil, Mbak La. Namaku Rama!" Seru Rama sambil ngeloyor mendahuluiku ke ruang tengah balai desa. "Dasar aneh, Rama. Kalau enggak belajar, ya pasti nonton
Juleha dengan wajah yang pias meletakkan piringnya di bawah kursi. Lalu dia segera berdiri dan menuju ke arah meja dan bergegas mengambil segelas teh. "Wah, Alhamdulillah ya. Bukan aku yang ambil lengkuasnya tadi. Pasti rasanya manis-manis gitu," sahutku penuh kemenangan saat Juleha melewati tempat dudukku.Juleha mendengus sebal dan sambil menghentakkan kakinya kembali ke tempat duduknya semula. ***"La, mau kemana? Main kabur saja? Kalau mau makan, ya harus mau beresin dong!" Tegur suara ibu saat aku ketahuan tengah mengendap-endap untuk pulang. "Ah, ibu. Kan ada ibu-ibu yang lain. Lagian itu Juleha dan Ayu kok boleh pulang?! Layla sudah ngantuk, Bu!" Protesku pada ibu saat melihat Juleha dan Ayu yang berboncengan motor sedang menjulurkan lidah padaku. "Mereka tadi sudah bantuin masak ibu-ibu. Sekarang kamu yang bantuin ibu-ibu beresin bekas makan prasmanan kita. Ayo."Aku mendengus sebal saat dengan terpaksa aku mengikuti langkah ibu untuk mencuci piring dan mangkok yang kotor.
"Astaga, Kang. Maaf lupa. Saya gagal fokus. Duh, rasanya pingin nyemplung ke dandang ciloknya kang Mamat saja!""Wah, jangan lah Mbak. Masak cantik-cantik masuk ke dandang cilok. Entar jadi siomay raksasa, Mbak." sahut kang Mamat tertawa. Dokter Marzuki pun tak urung juga ikut tersenyum simpul. 'Astaga Layla. Bikin malu saja. Kenapa sih harus gagal fokus.'"La, sudah belum beli ciloknya? Ayo pulang." Untung Bapak segera menyelamatkanku dari situasi yang canggung banget. "Ya sudah, Dokter. Saya pulang dulu. Adik cantik, mbak pulang dulu ya," pamitku lalu setelah dokter Marzuki dan anaknya mengangguk, aku segera berbalik dan melangkahkan kaki menjauhi gerobak kang Mamat.Tapi langkahku tertahan saat karena terasa ada yang menarik tali tas selempangku."Dokter, tolong lepaskan tali tas saya," pintaku tanpa menoleh ke arah belakang. Duh, kok bisa sih dokter Marzuki sampai memegangi tasku. Apa dia masih ingin membicarakan sesuatu padaku atau memang tidak ingin berpisah dariku? Kepalaku
"Kenapa ngajak aku kesini?" tanyaku saat Rangga berhasil 'menyeretku' ke tengah lapangan.Rangga menatapku lama. "Kamu enggak pernah diajarkan pelajaran kurang-kurangan di kelas ya?" tanya Rangga.Rangga yang mempunyai tinggi 180 senti itu membuatku harus mendongak menatapnya karena tinggiku yang 158 senti."Hei kamu aneh. Salah makan? Atau kesurupan? Tiba-tiba tanya pelajaran matematika di lapangan basket? Ada apa sih?" tanyaku bingung. Rangga tersenyum. Dia manis. Ada lesung pipinya. Tapi entahlah, rasanya di hatiku sekarang sudah tertulis nama lain.Dulu aku memang sering memimpikannya menjadi kekasih. Tapi sekarang jelas berbeda. Rangga mau saltopun di hadapanku. I don't care anymore."Tinggal jawab saja apa susahnya sih?" tanya Rangga memandangiku.Aku mendengus sebal. Nggak penting banget. "Aku diajari seluruh pelajaran matematika. Termasuk kurang-kurangan. Ada apa sih?""Kamu jangan bohong La. Kamu bilang kamu diajari kurang-kurangan, tapi bagiku kamu tidak ada kurangnya tuh!
Ibu hanya bisa bengong melihatku yang sudah siap untuk memeriksakan diri ke puskesmas. "Cepet banget kamu La, siap-siapnya?!" tegur ibu.Aku hanya bisa nyengir. Mana bisa aku jujur dan terus terang kalau aku mengalami penyakit malarindu tropikangen? Karena kurasa obatnya cuma satu, yaitu Bodrex sun. Eh!"Iya Bu. Layla memang persiapannya kilat nggak pakai petir kan. Karena Layla ingin segera minum obat," sahutku sekenanya. Ibu menatap dengan penuh selidik. "Kamu kok aneh, biasanya paling enggak mau bau obat dan alergi dengar kata suntik. Kenapa sekarang semangat?""Layla cuma mau cepat sembuh Bu. Beneran deh. Ayo berangkat." Aku berlalu meninggalkan ibu yang masih kebingungan di kamarku. "La, tunggu Ibu. Mau pakai jilbab dulu!"***"Dokter, Layla ini tadi pingsan di kelas pas pelajaran matematika. Saya khawatir dia kena virus atau kuman semacam itu. Tolong periksa ya Dok?!" pinta ibu saat kami berdua masuk ke dalam ruang periksa. Dokter Marzuki yang sedang menulis di mejanya meng
Dokter Marzuki tersenyum pada Laila dan di sampingnya, Yasmin menatap Laila antara takut dan malu. "Dokter Marzuki?" "Iya. Mbak La."'Wah, kesempatan dan kesemutan nih,' bisik hati Laila riang. 'Tunggu, ini mimpi nggak sih kalau dokter Marzuki ke rumah?' Laila lalu mencubit lengannya dan tak lama kemudian dia mengelus lengannya karena merasa nyeri. 'Wah, nggak ada hujan, nggak ada panas, mendadak ada calon suami dan calon anak sambung bertamu nih,' batin Laila. Dia lalu mengarahkan pandangannya ke arah Yasmin. "Hai Yasmin cantik! Apa kabar nih? Masuk yuk ke rumah kakak?" tawar Laila mempersilakan anak dokter Marzuki untuk masuk ke dalam rumahnya. "Hm, iya mbak La, terimakasih ya sebelum nya dan maaf mengganggu. Tapi kami di sini saja. Cuma ingin bertanya dimana alun-alun di daerah sini. Soalnya ..,""Ada siapa, La?" terdengar suara dari belakang punggung Laila. Laila dan Marzuki menoleh ke arah suara itu. "Oh Pak dokter! Kenapa cuma berdiri saja di luar?" tanya Pak Jaka, ayah
Tiara mendelik, dia langsung terduduk di ranjang hotel dan memutar ulang video yang menampilkan sosoknya yang sedang marah-marah. "Sial*n! Siapa yang telah merekam dan mempermalukanku? Ini pasti kerjaan bocil genit itu! Bisa-bisa nya mas Marzuki mencintai anak kecil padahal aku masih hidup. Aku tidak terima! Aku akan membalas bocil itu!"Tangan Tiara mengepal. "Tapi apa yang bisa aku lakukan untuk membuat mas Marzuki meninggalkan bocil itu?!"Tiara berdiri lalu mondar mandir di dalam kamar hotelnya, mencari ide untuk membuat Marzuki membenci Laila. Mendadak sebuah ide terlintas di kepalanya. "Ah, betul juga! Kalau wajah Laila menjadi cacat, Mas Marzuki dan Yasmin pasti tidak mau mendekati bocil itu lagi. Dan saat itulah aku akan merebut perhatian mereka. Mereka pasti akan menerima perhatian dariku," desis Tiara dengan penuh keyakinan. Dia lantas membuka internet lalu mencari tahu di online shop tentang barang yang bisa membantu rencananya. ***Laila dengan tangan gemetar mencelupk
Tiara yang sudah mengenal suara di belakang nya menghela nafas dan berbalik ke belakang. "Hai, Mas Rizki. Kamu sampai di sini juga?" tanya Tiara berbasa basi seraya menyedekapkan kedua tangan di depan dadanya. "Tentu saja. Setelah kamu minggat, aku langsung memerintahkan orang untuk mencari keberadaan kamu. Ternyata kamu di sini. Jauh-jauh dari jakarta ke kota terpencil ini hanya untuk mengganggu suami orang. Ck, ck, aku tidak menyangka kalau kamu akan berbuat sesuatu seperti ini. Kamu benar-benar berbakat menjadi pelakor, Ti," sahut Rizki, sang suami. Tiara tergelak. "Pelakor? Hati-hati kalau kamu bicara, Mas! Dia mantan suamiku, jadi aku ...""Memang di masa lalu, dia adalah suami kamu. Tapi saat ini dia kan sudah mempunyai keluarga baru, istri baru, seharusnya kamu tahu diri dan tidak merusak kehidupan rumah tangganya!"Tawa Tiara semakin terdengar keras. "Hahaha! Kamu ini lucu sekali, Mas! Kamu dulu menjadi pebinor dan merebutku dari mas Marzuki sehingga kami bercerai, dan sek
"Mas, tolong aku!" ujar Tiara dengan penuh harap menatap ke arah Marzuki. "Aku mengalami KDRT! Aku kabur dari suamiku! Tolong tampung aku di rumah kamu, Mas!" seru Tiara lagi dengan sangat memelas. Laila mendelik, sebenarnya dalam hatinya sangat ingin mencakar dan menjambak Tiara. Tapi ditahannya karena Laila tidak mau mengotori tangan nya dengan memegang sampah. Wajah Marzuki menegang melihat Tiara yang datang menemui mereka, apalagi di hadapan Yasmin. "Kok kamu bisa kesini?" tanya Marzuki dengan wajah parau. Ditatapnya wajah dan tubuh Tiara yang terdapat lebam-lebam di beberapa tempat. "Mas, kalau enggak di sini, aku harus kemana? Lihatlah luka-luka di tubuhku ini. Aku dipukuli suami ku. Tidakkah kamu kasihan, Mas? Aku hanya punya kamu. Kamu kan tahu kalau orang tuaku meninggal sejak SMA dan aku bisa hidup karena bantuan kamu," ujar Tiara dengan wajah memelas. Baru saja Laila hendak merespon ucapan Tiara saat Marzuki menunjuk wajah Tiara dengan serius. "Kamu tahu bahwa hanya a
Laila terbangun dan merab* ranjang di samping nya."Kok kosong? Mana mas Marzuki ya?" gumam Laila lalu duduk di atas ranjang dan melihat sekeliling kamar."Mungkin masih salat di masjid atau lihat tivi. Hm, ini kan hari Minggu. Puskesmas libur dan hanya on call," ujar Laila lagi. Dia melihat ke arah jam di kamar. "Sudah jam lima nih. Musti mandi dulu sebelum salat."Laila pun bergegas ke kamar mandi yang terletak di dalam kamar lalu segera membersihkan diri. Setelah mandi dan menunaikan salat subuh, Laila mengering kan rambut nya dengan hair dryer lalu keluar dari kamar. "Mama! Selamat ulang tahun!" seru Yasmin riang begitu Laila membuka pintu kamarnya. Laila yang saat itu sedang mengenakan daster warna kuning merasa sangat bahagia dan terkejut saat melihat kue berbentuk lingkaran mungil yang sedang dipegang oleh Yasmin. Lalu dari arah belakang tampak Marzuki yang sedang mengenakan celemek dan membawa sendok sayur sedang berjalan menuju ke arah Laila dan Yasmin. Sedangkan bi Inah
Laila terbangun saat merasakan dinginnya AC yang menyentuh kulitnya, dengan segera di Laila menarik selimut nya lagi. "Dingin ya?" sapa sebuah suara yang berbisik di telinga Laila. Laila mengangguk manja. Dan Marzuki yang ada di belakang Laila memeluk erat sang istri semakin erat. "Ya sudah. Aku peluk lagi. Atau kamu mau kita mengulang yang semalam?" tanya Marzuki seraya menciumi pundak dan punggung Laila sehingga perempuan itu terkikik geli dan manja. "Mas, geli tahu!" bisik Laila lalu membalikkan badannya ke arah Marzuki. Mereka saling bertatapan di dalam remang cahaya lampu kamar tidur. Laila memandang jam bulat melalui pundak Marzuki yang tertempel di dinding kamar. 'Masih jam satu rupanya.'Marzuki meletakkan tangannya ke pipi Laila dan berbisik merdu. "Kenapa kamu memandang kearah belakang ku? Aku hanya ingin kamu menatap ke arahku, Sayang."Marzuki menangkup wajah Laila lalu mengecup pipi istrinya perlahan. Laila mengalihkan pandangan nya ke arah Marzuki. "Lalu aku harus
"Mama! Papa!" Yasmin melambaikan tangan pada Laila dan Marzuki dari layar ponsel. "Sayang!" Laila memberikan kecup jauh untuk gadis kecil itu."Mama dimana?" tanya Yasmin lagi."Bagaimana ini, Yang? Kita jemput Yasmin di pintu masuk hotel. Daripada nanti dia bertemu dengan Tiara lebih dulu."Marzuki menoleh pada Laila dan terlihat bingung."Baiklah Mas, ayo kita jemput mami dan Yasmin." Laila menarik tangan Marzuki dan mereka berjalan menuju gapura pintu masuk hotel."Mama!"Yasmin berlari dan menghambur memeluk Laila. "Hap!"Laila memeluk Yasmin beberapa lama, lalu melanjutkan langkah menuju papi dan mami kemudian mencium punggung tangan keduanya."Yasmin sudah makan?" tanya Laila sambil mengelus kepala Yasmin perlahan. "Belum, Ma.""Ayo makan dulu ke resto. Restonya bagus dan ada kolam renangnya." Laila berjalan mendahului Marzuki dan orangtuanya menuju ke resto."Yasmin mau makan apa?" tanya Marzuki."Ayam goreng, Pa."Marzuki segera menulis ayam goreng krispi di kertas menu l
Dokter 91"Insyallah saya lebih baik dalam mengasuhnya daripada sang ibu kandung yang menelantarkannya. Dan jangan coba-coba mendekati suami saya setelah Mbak dengan semena-mena membuangnya. Tolong jangan hadir sebagai orang ketiga diantara kami. Terimakasih atas pengertiannya," kata Laila seraya memandang tajam pada Tiara. Laila melihat tangan Tiara yang putih terkepal di atas meja kafe. "Kalem saja Mbak. Bukankah mbak sudah punya suami juga? Jadi mari kita berusaha melakukan yang terbaik untuk keluarga kita."Tiara menatap tajam ke arah Laila. "Tunggu saja Laila. Saya pastikan kita akan segera bertemu lagi. Bagaimanapun Yasmin itu adalah darah daging saya. Dan saya pastikan Mas Marzuki akan menceraikan kamu!"Tiara mengacungkan telunjuknya ke arah Laila. Dan Laila menurunkan telunjuk Tiara dengan santai. "Oh ya? Baru ingat kalau masih punya darah daging? Kemana saja kamu selama ini saat Yasmin kesepian dan tidak punya teman bermain karena ibunya menghilang?"Kamu yang tidak tahu
"Tiara?" gumam Marzuki kaget.Laila juga tidak kalah kagetnya karena dia ingat betul siapa Tiara itu."Tolong! Ada yang berprofesi dokter di sini? Atau tenaga medis? Perempuan ini dadanya tidak bergerak lagi."'Ya benar! Walaupun aku belum pernah melihat fotonya, tapi aku yakin dia pasti ibunya Yasmin. Garis wajah dan lengkung bibirnya yang sensual sama persis dengan gadis kecil itu. Kenapa dia di sini. Apa mas Marzuki sengaja mengajakku ke sini untuk mencari ibu Yasmin lagi? Tapi perempuan itu butuh tenaga medis untuk menyelamatkan nyawanya. Ya Tuhan, jika mas Marzuki yang melakukan CPR, hatiku tidak ikhlas karena kalau memberikan nafas buatan, bib*r mereka akan langsung bersentuhan. Bagaimana ini?' gumam Laila bingung.Hati Laila berperang antara rasa cemburu dan rasa kemanusiaan. Digenggamnya tangan Marzuki yang berdiri di sebelahnya. Terasa dingin dan tatapan matanya seakan juga menyiratkan kegalauan dan kebimbangan hati.'Mas, apakah masih ada namanya di hatimu?'Laila menghela
Aku tidak ingin kamu hanya menjadi seperti pelangi di langit ku, yang hanya muncul setelah hujan sejenak kemudian meninggalkan pergi.***Beberapa hari setelahnya,"Wah bagus sekali kamar hotel yang kamu pesan, Mas," kata Laila seraya membuka tirai kamar dan memandang keluar. Langsung terlihat kolam renang yang dikelilingi perpaduan rumpun mawar dan pohon palem botol sebagai pagar hidupnya."Kamu suka?" tanya dokter Marzuki memeluk Laila dari belakang. Hembusan napasnya terasa hangat di telinga.Sekarang musim liburan sekolah, dan Marzuki memutuskan untuk mengajak Laila bulan madu di Bali, sedangkan Yasmin ingin menghabiskan liburannya di rumah Ambar dan Iwan. "Suka banget Mas. Makasih ya," sahut Laila lalu membalikkan badan dan mengecup hidung dokter Marzuki dengan lembut."Kamu ..., minta jatah ya?"Pertanyaan Marzuki membuat Laila nyaris tersedak."Apa? Nggak kok! Memang kalau istri mencium suami lebih dahulu berarti minta gituan ya?" tanya Laila manyun tapi tetap mengalungkan ked