Acara perkenalan dokter Marzuki telah usai, dan seluruh perangkat desa beserta seluruh keluarganya diundang dalam rangka makan bersama dengan dokter Marzuki tersebut.
"Mbak, kamu ikut makan bersama dengan dokter Marzuki gak?" sebuah tepukan membuatku menoleh.Rama."Ikutlah. Kan aku lapar. Kamu sendiri ikut nggak?" tanyaku pada Rama."Ikut juga dong. Rejeki nggak boleh ditolak. Pamali." Rama cengengesan."Ya sudah. Ayo ke ruang tengah balai desa," ajakku."Ayok. Tapi bukankah Mbak tadi sudah makan sebelum berangkat ke balai desa?" tanya Rama."Ye biarin. Kan lapar lagi, Ram. Masak sih nggak boleh makan lagi?!" tanyaku sewot."Mbak lapar apa mau pedekate sama dokter Marzuki?" tanya Rama penuh selidik.Aku melempar tatapan maut padanya. "Emang apa urusannya sama anak kecil kayak kamu?!" tanyaku sewot."Jangan panggil aku anak kecil, Mbak La. Namaku Rama!" Seru Rama sambil ngeloyor mendahuluiku ke ruang tengah balai desa."Dasar aneh, Rama. Kalau enggak belajar, ya pasti nonton kartun. Capek deh," gumamku dalam hati, tapi tak urung, aku mengikutinya juga."Mbak, lihat! Keduluan tuh sama Mbak Juleha sama Mbak Ayu. Mereka nempel-nempel ke pak Dokter!" Seru Rama sambil menunjuk kedua teman sekolahku itu.Aku menghela nafas panjang. "Biarin Ram. Biar saja mereka caper sama dokter Marzuki. Tapi Mbak yakin dokter Marzuki itu jodohnya Mbak," sahutku.Rama tertawa mendengarnya. "Ya sudah, ayo ambil makanan Mbak." Rama mendahuluiku mengambil piring.Ayah Juleha yang merupakan bendahara desa dan paman Ayu yang merupakan kepala desa ini pasti membuat mereka mudah mendapatkan akses untuk ikut makan bersama dokter Marzuki.Aku pun mengambil piring dan mulai menata nasi serta lauknya. Ada bakso, sate, capcay kuah, nasi goreng, dan rendang."Wah, disini ada yang baru jadi korban gosting lo, Dok," kata Juleha sambil melirik ke arahku.Dokter Marzuki memandangku tanpa berkata apa-apa."Iya. Makanya jadi cewek jangan kecentilan deh. Dibaikin cowok, eh jadi gede rasa," timpal Ayu memanaskan suasana.Aku menghela nafas. "Setidaknya aku cukup tahu diri, kalau mengaku sudah punya pacar, nggak ganjen sama laki-laki lain. Sampai bikin risih ngeliatnya," sahutku."Apa kamu bilang, La?!" Juleha melotot mendekatiku."Ju, jangan!" Ayu berdesis lirih seraya menggelengkan kepalanya. "Ada banyak orang disini. Jangan bikin keributan. Itu bukan tujuan kita kesini kan?" sambung Ayu lagi.Juleha berdecak kesal tapi dengan menghentakkan kaki dia tetap menuju ke arahku. Beberapa pasang mata mulai memperhatikan kami.Dokter Marzuki yang sudah selesai mengambil makanan menyingkir ke arah bapak-bapak. Dengan menggandeng anak perempuan nya, dokter itu lalu duduk dan makan dengan tenang.Aku terdiam sambil tetap mengambil rendang yang ada di hadapanku. Tiba-tiba gerakan tanganku terhenti saat melihat Juleha yang menyerobot daging besar yang menjadi incaranku."Wah, ada daging besar. Cocoklah sama yang kurus seperti aku. Yang punya badan sudah berisi, lebih baik mengalah ya," tukas Juleha.Aku tersenyum. 'Terserah Lu deh, Ju!' bisikku dalam hati.Juleha dan Ayu bergegas mendekati kursi dokter Marzuki. Sementara aku memilih agak jauh ke dari mereka. Tapi aku masih bisa mendengar percakapan mereka."Semoga kerasan tinggal di daerah sini, Dokter." Terdengar suara pak Jamal, kepala desa yang juga merupakan paman Ayu."Amiin, terimakasih. Insyaallah saya betah. Warga di sini ramah, udaranya sejuk dan makanannya pun cocok di lidah saya," sahut dokter Marzuki tersenyum."Wah, Alhamdulillah kalau begitu. Kalau pak Dokter ingin sarapan atau beli lauk, di sini juga ada beberapa warung. Yah, seadanya ya Pak Dokter. Warung ala desa," timpal pak Harun, bendahara desa alias ayah Juleha."Iya Pak. Tidak usah khawatir. Saya tidak rewel kalau masalah makanan. Yang penting bersih dan bergizi.""Kalau butuh bantuan apapun itu, silakan hubungi kami, Dok." Bapakku menimpali.Dokter Marzuki tersenyum dan mengangguk."Apa Dokter sudah punya calon ibu untuk anaknya? Maksud saya, kalau pak Dokter sudah punya calon istri, lebih baik menikah lagi dan diajak kesini. Soalnya kalau malam, suasana desa ini sepi. Takutnya pak Dokter kesepian," sambung pak Harun.'Wah, kayaknya pak Harun sedang cari mantu nih,' bisik hatiku.Tapi tak urung aku, Juleha, dan Ayu tampak menunggu jawaban dokter Marzuki dengan harap-harap cemas.Juleha bahkan dengan terang-terangan menghentikan suapan makannya dan memadang Dokter Marzuki tanpa berkedip."Saya belum memikirkan cari istri. Masih fokus bekerja dan merawat anak saya, Pak."Hhhhh. Alhamdulillah. Masih jomblo. Eh."Wah, bagus itu. Tapi kalau pak dokter sedang bekerja, anaknya nanti di rumah dengan siapa?""Saya ajak saja Yasmin ke puskesmas, pak Jaka. Dia bisa bermain apapun di taman puskesmas yang ada perosotan nya. Yah, kira-kira sampai nanti saya mendaftarkan kan Yasmin ke KB atau paud.Kalau memang butuh pengasuh, ya nanti saya mencari orang yang butuh pekerjaan untuk menemani Yasmin saat saya bekerja maupun antar jemput dia ke sekolah nya.""Dok, boleh tanya?" Juleha pun angkat bicara. Aku meliriknya yang sedang berusaha makan dengan anggun."Rumah dokter Marzuki sebenarnya dimana?" tanya Juleha dengan suara dibuat sehalus mungkin."Wah, sepertinya anak pak Harun ingin mengenal Dokter Marzuki lebih jauh ya?!" tanya pak Jamal tersenyum."Nggak apa-apa kan, Dok? Tak kenal, maka ta'aruf. Ya kan?" Pak Harun tampak membela anaknya.Semua yang hadir di ruangan tersenyum."Rumah asli saya di Surabaya, Mbak. Nanti boleh lah kalau ada yang mau berkunjung ke rumah saya," sahut dokter Marzuki tersenyum.Juleha pun tersenyum sambil menyendok daging besar yang ada di piringnya, yang tadi sempat menjadi incaranku.Dan dalam sekali suapan, daging itu masuk ke dalam mulutnya. Seketika wajah Juleha memerah. Dia terbatuk-batuk dan mengeluarkan lagi daging yang ada di mulutnya dengan muka merah padam."Uhuk-uhuk!""Kamu kenapa, Nduk?" tanya pak Harun khawatir."Nggak apa-apa, Pa. Cuma ini Juleha makan lengkuas yang dikira daging," sahut Juleha sambil tersipu.Aku tersenyum dalam hati. Rasain!Next?Juleha dengan wajah yang pias meletakkan piringnya di bawah kursi. Lalu dia segera berdiri dan menuju ke arah meja dan bergegas mengambil segelas teh. "Wah, Alhamdulillah ya. Bukan aku yang ambil lengkuasnya tadi. Pasti rasanya manis-manis gitu," sahutku penuh kemenangan saat Juleha melewati tempat dudukku.Juleha mendengus sebal dan sambil menghentakkan kakinya kembali ke tempat duduknya semula. ***"La, mau kemana? Main kabur saja? Kalau mau makan, ya harus mau beresin dong!" Tegur suara ibu saat aku ketahuan tengah mengendap-endap untuk pulang. "Ah, ibu. Kan ada ibu-ibu yang lain. Lagian itu Juleha dan Ayu kok boleh pulang?! Layla sudah ngantuk, Bu!" Protesku pada ibu saat melihat Juleha dan Ayu yang berboncengan motor sedang menjulurkan lidah padaku. "Mereka tadi sudah bantuin masak ibu-ibu. Sekarang kamu yang bantuin ibu-ibu beresin bekas makan prasmanan kita. Ayo."Aku mendengus sebal saat dengan terpaksa aku mengikuti langkah ibu untuk mencuci piring dan mangkok yang kotor.
"Astaga, Kang. Maaf lupa. Saya gagal fokus. Duh, rasanya pingin nyemplung ke dandang ciloknya kang Mamat saja!""Wah, jangan lah Mbak. Masak cantik-cantik masuk ke dandang cilok. Entar jadi siomay raksasa, Mbak." sahut kang Mamat tertawa. Dokter Marzuki pun tak urung juga ikut tersenyum simpul. 'Astaga Layla. Bikin malu saja. Kenapa sih harus gagal fokus.'"La, sudah belum beli ciloknya? Ayo pulang." Untung Bapak segera menyelamatkanku dari situasi yang canggung banget. "Ya sudah, Dokter. Saya pulang dulu. Adik cantik, mbak pulang dulu ya," pamitku lalu setelah dokter Marzuki dan anaknya mengangguk, aku segera berbalik dan melangkahkan kaki menjauhi gerobak kang Mamat.Tapi langkahku tertahan saat karena terasa ada yang menarik tali tas selempangku."Dokter, tolong lepaskan tali tas saya," pintaku tanpa menoleh ke arah belakang. Duh, kok bisa sih dokter Marzuki sampai memegangi tasku. Apa dia masih ingin membicarakan sesuatu padaku atau memang tidak ingin berpisah dariku? Kepalaku
"Kenapa ngajak aku kesini?" tanyaku saat Rangga berhasil 'menyeretku' ke tengah lapangan.Rangga menatapku lama. "Kamu enggak pernah diajarkan pelajaran kurang-kurangan di kelas ya?" tanya Rangga.Rangga yang mempunyai tinggi 180 senti itu membuatku harus mendongak menatapnya karena tinggiku yang 158 senti."Hei kamu aneh. Salah makan? Atau kesurupan? Tiba-tiba tanya pelajaran matematika di lapangan basket? Ada apa sih?" tanyaku bingung. Rangga tersenyum. Dia manis. Ada lesung pipinya. Tapi entahlah, rasanya di hatiku sekarang sudah tertulis nama lain.Dulu aku memang sering memimpikannya menjadi kekasih. Tapi sekarang jelas berbeda. Rangga mau saltopun di hadapanku. I don't care anymore."Tinggal jawab saja apa susahnya sih?" tanya Rangga memandangiku.Aku mendengus sebal. Nggak penting banget. "Aku diajari seluruh pelajaran matematika. Termasuk kurang-kurangan. Ada apa sih?""Kamu jangan bohong La. Kamu bilang kamu diajari kurang-kurangan, tapi bagiku kamu tidak ada kurangnya tuh!
Ibu hanya bisa bengong melihatku yang sudah siap untuk memeriksakan diri ke puskesmas. "Cepet banget kamu La, siap-siapnya?!" tegur ibu.Aku hanya bisa nyengir. Mana bisa aku jujur dan terus terang kalau aku mengalami penyakit malarindu tropikangen? Karena kurasa obatnya cuma satu, yaitu Bodrex sun. Eh!"Iya Bu. Layla memang persiapannya kilat nggak pakai petir kan. Karena Layla ingin segera minum obat," sahutku sekenanya. Ibu menatap dengan penuh selidik. "Kamu kok aneh, biasanya paling enggak mau bau obat dan alergi dengar kata suntik. Kenapa sekarang semangat?""Layla cuma mau cepat sembuh Bu. Beneran deh. Ayo berangkat." Aku berlalu meninggalkan ibu yang masih kebingungan di kamarku. "La, tunggu Ibu. Mau pakai jilbab dulu!"***"Dokter, Layla ini tadi pingsan di kelas pas pelajaran matematika. Saya khawatir dia kena virus atau kuman semacam itu. Tolong periksa ya Dok?!" pinta ibu saat kami berdua masuk ke dalam ruang periksa. Dokter Marzuki yang sedang menulis di mejanya meng
Dokter Marzuki tersenyum pada Laila dan di sampingnya, Yasmin menatap Laila antara takut dan malu. "Dokter Marzuki?" "Iya. Mbak La."'Wah, kesempatan dan kesemutan nih,' bisik hati Laila riang. 'Tunggu, ini mimpi nggak sih kalau dokter Marzuki ke rumah?' Laila lalu mencubit lengannya dan tak lama kemudian dia mengelus lengannya karena merasa nyeri. 'Wah, nggak ada hujan, nggak ada panas, mendadak ada calon suami dan calon anak sambung bertamu nih,' batin Laila. Dia lalu mengarahkan pandangannya ke arah Yasmin. "Hai Yasmin cantik! Apa kabar nih? Masuk yuk ke rumah kakak?" tawar Laila mempersilakan anak dokter Marzuki untuk masuk ke dalam rumahnya. "Hm, iya mbak La, terimakasih ya sebelum nya dan maaf mengganggu. Tapi kami di sini saja. Cuma ingin bertanya dimana alun-alun di daerah sini. Soalnya ..,""Ada siapa, La?" terdengar suara dari belakang punggung Laila. Laila dan Marzuki menoleh ke arah suara itu. "Oh Pak dokter! Kenapa cuma berdiri saja di luar?" tanya Pak Jaka, ayah
"Apa tidak merepotkan dokter Marzuki kalau Laila ikut ke alun-alun?" tanya Pak Jaka menatap dengan tidak enak ke arah dokter Marzuki. Dokter Marzuki menggelengkan kepalanya. "Insyallah tidak. Justru nanti mbak Laila bisa menjadi guide saat saya dan Yasmin kuliner.""Kalau begitu saya ganti baju dulu ya, Dok."Laila melesat ke dalam kamar tanpa menunggu jawaban dari dokter Marzuki.Di depan kaca, Laila termangu. Dirinya memang termasuk bongsor dengan tulang bahu lebar. Bentuk dada dan pantat lebih subur dari anak seusianya. Jadi dia selalu menganggap bahwa badannya gemuk. "Ck, apa nggak ada baju yang jika dipakai bisa membuat lebih langsing seperti Lina blackping?" gumam Laila kesal. Akhirnya diraihnya baju lengan panjang dan celana kain hitam. Tak lupa jilbab warna navi menutup kepalanya. "Haduh, nggak punya bedak sama lipstik lagi. Udah baju gelap, wajah pucet, ck. Ini mau ke alun-alun apa mau takziyah. Duh Laila!" Laila menepuk jidatnya sendiri."Kamu jadi ikut dokter Marzuki, M
DOKTER 14 Laila dan Yasmin menoleh ke asal suara. Tampak Dokter Marzuki menyedekapkan kedua tangan di dada sambil menggeleng-gelengkan kepalanya seraya menahan senyum. Terlihat ekspresi wajah gemas juga merasa aneh saat melihat Laila yang baru saja merayap turun dari pohon mangga. "Papa!" seru Laila riang. Marzuki menatap ke arah anaknya dan Laila bergantian. "Wah, kamu dapat layang-layang, Sayang?" tanya Marzuki seraya menatap ke tangan anaknya yang sedang mengacungkan layang-layang itu. "Ya, mbaknya yang dapat. Mbaknya pintar banget manjat pohon, Pa. Kayak monyet!"Marzuki langsung mendelik dan menatap sungkan pada Laila. Sementara itu, Laila tertawa lebar mendengar ucapan polos Yasmin. "Yasmin Sayang. Nggak boleh ya ngatain manusia kayak binatang. Nama mbak ini, mbak Laila.""Panggil saja Mbak La, Min," sahut Laila sambil meletakkan mangga ke meja kayu yang ada di teras rumah dokter Marzuki. "Pa, aku mau dong pintar manjat pohon kayak mbak La!" seru Yasmin dengan bersemangat.
"Yasmin, layang-layang nya sudah rusak lho. Jadi nggak bisa terbang tuh."Bibir Yasmin mengerucut seraya masih memegang layang-layang itu erat. "Tapi Pa, Yasmin mau nya besok main layang-layang, Pa. Ya Pa? Masa Yasmin setelah sekolah harus ikut papa terus di puskesmas?" tanya Yasmin dengan nada memprotes. Dokter Marzuki hanya menghela nafas panjang. Laila langsung merasa bersalah karena dia juga lah yang mengambil layang-layang dari pohon mangga tadi sehingga Yasmin rewel. "Di alun-alun banyak kok layang-layang. Kita bisa beli satu," ujar Yasmin. "Dan kalau papa kamu nggak bisa menemani kamu main layang-layang, biar mbak La saja yang menemani kamu main layang-layang besok.""Wah, benarkah Mbak La mau menemani Yasmin bermain layang-layang?" tanya Yasmin dengan mata berbinar. "Bukannya besok kamu sekolah, Mbak La?" tanya Dokter Marzuki seraya melirik sedikit ke arah Laila. "Ya sekolah, Dok. Tapi kan besok hari Jum'at. Jadi sekolah cuma sampai jam 10.30.""Kamu beneran nggak masalah
Tiara mendelik, dia langsung terduduk di ranjang hotel dan memutar ulang video yang menampilkan sosoknya yang sedang marah-marah. "Sial*n! Siapa yang telah merekam dan mempermalukanku? Ini pasti kerjaan bocil genit itu! Bisa-bisa nya mas Marzuki mencintai anak kecil padahal aku masih hidup. Aku tidak terima! Aku akan membalas bocil itu!"Tangan Tiara mengepal. "Tapi apa yang bisa aku lakukan untuk membuat mas Marzuki meninggalkan bocil itu?!"Tiara berdiri lalu mondar mandir di dalam kamar hotelnya, mencari ide untuk membuat Marzuki membenci Laila. Mendadak sebuah ide terlintas di kepalanya. "Ah, betul juga! Kalau wajah Laila menjadi cacat, Mas Marzuki dan Yasmin pasti tidak mau mendekati bocil itu lagi. Dan saat itulah aku akan merebut perhatian mereka. Mereka pasti akan menerima perhatian dariku," desis Tiara dengan penuh keyakinan. Dia lantas membuka internet lalu mencari tahu di online shop tentang barang yang bisa membantu rencananya. ***Laila dengan tangan gemetar mencelupk
Tiara yang sudah mengenal suara di belakang nya menghela nafas dan berbalik ke belakang. "Hai, Mas Rizki. Kamu sampai di sini juga?" tanya Tiara berbasa basi seraya menyedekapkan kedua tangan di depan dadanya. "Tentu saja. Setelah kamu minggat, aku langsung memerintahkan orang untuk mencari keberadaan kamu. Ternyata kamu di sini. Jauh-jauh dari jakarta ke kota terpencil ini hanya untuk mengganggu suami orang. Ck, ck, aku tidak menyangka kalau kamu akan berbuat sesuatu seperti ini. Kamu benar-benar berbakat menjadi pelakor, Ti," sahut Rizki, sang suami. Tiara tergelak. "Pelakor? Hati-hati kalau kamu bicara, Mas! Dia mantan suamiku, jadi aku ...""Memang di masa lalu, dia adalah suami kamu. Tapi saat ini dia kan sudah mempunyai keluarga baru, istri baru, seharusnya kamu tahu diri dan tidak merusak kehidupan rumah tangganya!"Tawa Tiara semakin terdengar keras. "Hahaha! Kamu ini lucu sekali, Mas! Kamu dulu menjadi pebinor dan merebutku dari mas Marzuki sehingga kami bercerai, dan sek
"Mas, tolong aku!" ujar Tiara dengan penuh harap menatap ke arah Marzuki. "Aku mengalami KDRT! Aku kabur dari suamiku! Tolong tampung aku di rumah kamu, Mas!" seru Tiara lagi dengan sangat memelas. Laila mendelik, sebenarnya dalam hatinya sangat ingin mencakar dan menjambak Tiara. Tapi ditahannya karena Laila tidak mau mengotori tangan nya dengan memegang sampah. Wajah Marzuki menegang melihat Tiara yang datang menemui mereka, apalagi di hadapan Yasmin. "Kok kamu bisa kesini?" tanya Marzuki dengan wajah parau. Ditatapnya wajah dan tubuh Tiara yang terdapat lebam-lebam di beberapa tempat. "Mas, kalau enggak di sini, aku harus kemana? Lihatlah luka-luka di tubuhku ini. Aku dipukuli suami ku. Tidakkah kamu kasihan, Mas? Aku hanya punya kamu. Kamu kan tahu kalau orang tuaku meninggal sejak SMA dan aku bisa hidup karena bantuan kamu," ujar Tiara dengan wajah memelas. Baru saja Laila hendak merespon ucapan Tiara saat Marzuki menunjuk wajah Tiara dengan serius. "Kamu tahu bahwa hanya a
Laila terbangun dan merab* ranjang di samping nya."Kok kosong? Mana mas Marzuki ya?" gumam Laila lalu duduk di atas ranjang dan melihat sekeliling kamar."Mungkin masih salat di masjid atau lihat tivi. Hm, ini kan hari Minggu. Puskesmas libur dan hanya on call," ujar Laila lagi. Dia melihat ke arah jam di kamar. "Sudah jam lima nih. Musti mandi dulu sebelum salat."Laila pun bergegas ke kamar mandi yang terletak di dalam kamar lalu segera membersihkan diri. Setelah mandi dan menunaikan salat subuh, Laila mengering kan rambut nya dengan hair dryer lalu keluar dari kamar. "Mama! Selamat ulang tahun!" seru Yasmin riang begitu Laila membuka pintu kamarnya. Laila yang saat itu sedang mengenakan daster warna kuning merasa sangat bahagia dan terkejut saat melihat kue berbentuk lingkaran mungil yang sedang dipegang oleh Yasmin. Lalu dari arah belakang tampak Marzuki yang sedang mengenakan celemek dan membawa sendok sayur sedang berjalan menuju ke arah Laila dan Yasmin. Sedangkan bi Inah
Laila terbangun saat merasakan dinginnya AC yang menyentuh kulitnya, dengan segera di Laila menarik selimut nya lagi. "Dingin ya?" sapa sebuah suara yang berbisik di telinga Laila. Laila mengangguk manja. Dan Marzuki yang ada di belakang Laila memeluk erat sang istri semakin erat. "Ya sudah. Aku peluk lagi. Atau kamu mau kita mengulang yang semalam?" tanya Marzuki seraya menciumi pundak dan punggung Laila sehingga perempuan itu terkikik geli dan manja. "Mas, geli tahu!" bisik Laila lalu membalikkan badannya ke arah Marzuki. Mereka saling bertatapan di dalam remang cahaya lampu kamar tidur. Laila memandang jam bulat melalui pundak Marzuki yang tertempel di dinding kamar. 'Masih jam satu rupanya.'Marzuki meletakkan tangannya ke pipi Laila dan berbisik merdu. "Kenapa kamu memandang kearah belakang ku? Aku hanya ingin kamu menatap ke arahku, Sayang."Marzuki menangkup wajah Laila lalu mengecup pipi istrinya perlahan. Laila mengalihkan pandangan nya ke arah Marzuki. "Lalu aku harus
"Mama! Papa!" Yasmin melambaikan tangan pada Laila dan Marzuki dari layar ponsel. "Sayang!" Laila memberikan kecup jauh untuk gadis kecil itu."Mama dimana?" tanya Yasmin lagi."Bagaimana ini, Yang? Kita jemput Yasmin di pintu masuk hotel. Daripada nanti dia bertemu dengan Tiara lebih dulu."Marzuki menoleh pada Laila dan terlihat bingung."Baiklah Mas, ayo kita jemput mami dan Yasmin." Laila menarik tangan Marzuki dan mereka berjalan menuju gapura pintu masuk hotel."Mama!"Yasmin berlari dan menghambur memeluk Laila. "Hap!"Laila memeluk Yasmin beberapa lama, lalu melanjutkan langkah menuju papi dan mami kemudian mencium punggung tangan keduanya."Yasmin sudah makan?" tanya Laila sambil mengelus kepala Yasmin perlahan. "Belum, Ma.""Ayo makan dulu ke resto. Restonya bagus dan ada kolam renangnya." Laila berjalan mendahului Marzuki dan orangtuanya menuju ke resto."Yasmin mau makan apa?" tanya Marzuki."Ayam goreng, Pa."Marzuki segera menulis ayam goreng krispi di kertas menu l
Dokter 91"Insyallah saya lebih baik dalam mengasuhnya daripada sang ibu kandung yang menelantarkannya. Dan jangan coba-coba mendekati suami saya setelah Mbak dengan semena-mena membuangnya. Tolong jangan hadir sebagai orang ketiga diantara kami. Terimakasih atas pengertiannya," kata Laila seraya memandang tajam pada Tiara. Laila melihat tangan Tiara yang putih terkepal di atas meja kafe. "Kalem saja Mbak. Bukankah mbak sudah punya suami juga? Jadi mari kita berusaha melakukan yang terbaik untuk keluarga kita."Tiara menatap tajam ke arah Laila. "Tunggu saja Laila. Saya pastikan kita akan segera bertemu lagi. Bagaimanapun Yasmin itu adalah darah daging saya. Dan saya pastikan Mas Marzuki akan menceraikan kamu!"Tiara mengacungkan telunjuknya ke arah Laila. Dan Laila menurunkan telunjuk Tiara dengan santai. "Oh ya? Baru ingat kalau masih punya darah daging? Kemana saja kamu selama ini saat Yasmin kesepian dan tidak punya teman bermain karena ibunya menghilang?"Kamu yang tidak tahu
"Tiara?" gumam Marzuki kaget.Laila juga tidak kalah kagetnya karena dia ingat betul siapa Tiara itu."Tolong! Ada yang berprofesi dokter di sini? Atau tenaga medis? Perempuan ini dadanya tidak bergerak lagi."'Ya benar! Walaupun aku belum pernah melihat fotonya, tapi aku yakin dia pasti ibunya Yasmin. Garis wajah dan lengkung bibirnya yang sensual sama persis dengan gadis kecil itu. Kenapa dia di sini. Apa mas Marzuki sengaja mengajakku ke sini untuk mencari ibu Yasmin lagi? Tapi perempuan itu butuh tenaga medis untuk menyelamatkan nyawanya. Ya Tuhan, jika mas Marzuki yang melakukan CPR, hatiku tidak ikhlas karena kalau memberikan nafas buatan, bib*r mereka akan langsung bersentuhan. Bagaimana ini?' gumam Laila bingung.Hati Laila berperang antara rasa cemburu dan rasa kemanusiaan. Digenggamnya tangan Marzuki yang berdiri di sebelahnya. Terasa dingin dan tatapan matanya seakan juga menyiratkan kegalauan dan kebimbangan hati.'Mas, apakah masih ada namanya di hatimu?'Laila menghela
Aku tidak ingin kamu hanya menjadi seperti pelangi di langit ku, yang hanya muncul setelah hujan sejenak kemudian meninggalkan pergi.***Beberapa hari setelahnya,"Wah bagus sekali kamar hotel yang kamu pesan, Mas," kata Laila seraya membuka tirai kamar dan memandang keluar. Langsung terlihat kolam renang yang dikelilingi perpaduan rumpun mawar dan pohon palem botol sebagai pagar hidupnya."Kamu suka?" tanya dokter Marzuki memeluk Laila dari belakang. Hembusan napasnya terasa hangat di telinga.Sekarang musim liburan sekolah, dan Marzuki memutuskan untuk mengajak Laila bulan madu di Bali, sedangkan Yasmin ingin menghabiskan liburannya di rumah Ambar dan Iwan. "Suka banget Mas. Makasih ya," sahut Laila lalu membalikkan badan dan mengecup hidung dokter Marzuki dengan lembut."Kamu ..., minta jatah ya?"Pertanyaan Marzuki membuat Laila nyaris tersedak."Apa? Nggak kok! Memang kalau istri mencium suami lebih dahulu berarti minta gituan ya?" tanya Laila manyun tapi tetap mengalungkan ked