Mobil yang ditumpangi Alissa melaju pelan melintasi kemacetan jalanan ibu kota.
Alissa memandang keluar jendela. Sangat ramai dan penuh dengan kendaraan orang-orang yang tengah berlalu lalang.Mobil itu kemudian membelok menuju ruas jalan yang besar namun sangat sepi. Tak lama, mobil itu kemudian masuk melewati gerbang yang besar dan tinggi menjulang.Alissa mengintip lewat jendela. Mobil itu masih melaju melewati beberapa lelaki dengan setelan jas dan kacamata hitam."Ayo turun." Ajak Mira saat mobil berhenti di depan rumah dengan gaya Eropa itu.Alissa mengekor Mira masuk ke dalam rumah besar itu. Dia menyapa beberapa laki-laki yang dia temui saat berjaan masuk. Persis seperti para bodyguard yang sering dia lihat di dalam sinetron.Mira mempersilahkan Alissa untuk duduk. Tak lama, seorang asisten rumah tangga membawakan jus jeruk dingin untuknya sambil menunggu sang bos untuk datang."Tunggu bentar ya, Bos mau ke sini." Kata Mira ambil duduk di sampng Alissa."Selamat siang. Maaf lama." Ucap seorang lelak berumur setengah abad yang datang bersama dua orang bodyguard bertubuh gempal.Alisa berdiri dari duduknya. Dari penampilannya aja, Alissa tahu jika lelaki itu adalah bosnya."Duduk aja, Alissa. Kamu pasti capek."Alissa menurut. Dia kembali duduk. Lelaki itu memperkenalkan dirinya sebagai William.William meminta Alisa sedikit menunggu karena anaknya sedang bermain di luar. Sambil menunggu, William bertanya tentang Alissa."Saya dulu ART lima tahun, Tuan. Terus pulang dan kerja di minimarket dua tahun. Tiga hari lalu berhenti." Jawab Alissa."Alissa, mungkin kamu heran kenapa banyak orang di sni. Tuan Wlliam ini, mafia." Ujar Mira seolah tahu akan kebingungan yang dirasakan Alissa."Tapi kamu tenang saja. Saya nggak akan jahat sama kamu. Kamu kerja dengan benar aja. Gaji tiga juta sebulan. Kebutuhan kamu saya penuhi. Bebas makan minum minta jajan. Kamu juga ada kamar sendri. Saya hanya minta, jaga anak saya dengan sngguh-sungguh. Kamu boleh cubit boleh pukul kalau dia nggak nurut." Jelas William panjang lebar membuat Alissa sedikit bingung.'Yakali gue nyubit anak mafia. Cari mati itu namanya.' Gumam Alissa dalam hati."I-iya Tuan." Jawab Alissa singkat.Tak ama mereka berbincang, segerombol orang masuk. Alissa menoleh menuju pintu utama. Empat orang berpakaian serba hitam serta seorang pemuda memakai baju santai berjalan menuju ke arahnya."Rafael, sini."Pemuda dengan baju santai berkaos merah itu mendekat dan duduk di samping William. Alissa memperhatikannya dengan seksama. Siapa dia?'Astaga, dia berdarah!" Batin Alissa."Alissa, ini anak saya Rafael. Rafael, mulai hari ini dia pengasuhmu.""Apa?""Apa?"Rafael dan Alissa terkejut dalam waktu yang bersamaan."Maaf Tuan. Maksudnya bagaimana? Saya harus mengasuh anak yang lebih tua dari saya?" tanya Alissa dan dijawab oleh anggukan William."Papa nggak usah bercanda deh. Ini maksudnya apa? Cewek ini siapa? Rafael bukan anak kecil berumur tujuh tahun.""Tapi kelakuanmu masih sama seperti anak lima tahun. Lihat kepalamu. Di mana lagi kau berkelahi seperti ini? Keputusan papa sudah bulat. Kalau kau nggak mau, ya sudah. Kartu kredit, uang, mobil, semua fasilitas papa ambil kembali."Rafael terdiam. Kemudian memandang Alissa dengan mata menyala seolah ingin memakannya hidup-hidup."Alissa, kau bisa mulai sekarang. Tolong bersihkan luka Rafael. Setelah itu Mira akan menunjukkan kamarmu."Alissa menarik nafas dalam dan menghembuskannya pelan. Dia mulai memahami keadaannya. Ya, setidaknya tidak lebih buruk ketimbang harus menikah dengan juragan tua itu, pikirnya.Alissa menyeka darah yang mulai mengering di wajah Rafael dengan handuk dan air hangat. Dia berusaha berkonsentrasi sementara mata coklat tajam milik Rafael tak henti menatapnya."Kau akan berhenti besok. Kuberi uang sebanyak yang kau mau." Ucap Rafael setengah berbisik."Maaf, aku sudah membuat perjanjian dengan papamu. Aku akan bekerja dengan profesional. Lagipua, apa kau mau kehilangan segala failitasmu itu?"Rafael hanya diam mendengar jawaban Alissa yang benar adanya."Selesai. Sebaiknya Tuan Rafael pergi mandi.""Bukankah sebagai pengasuh kau harusnya memandikanku?" Ejek Rafael."Jika kau masih berumur tiga tahun, Rafael. Sudahlah. Alissa juga harus mandi."MIra kemudian mengajak Alissa ke kamarnya di lantai dua."Ini benar kamar saya?" Tanya Alissa bingung kenapa dia dibawa ke kamar megah seluas itu. Dia melangkahkan kakinya masuk. Kamar dengan lantai marmer itu terlihat mewah. Apalagi dengan tempat tidur ukuran Queen dan lemari besar di sisi lain tembok.Alissa menarik gorden besar yang ada dekat tempat tidur, mencoba melihat pemandangan dari jendela kamarnya.Rupanya dia salah, ternyata di balik gorden besar berwarna krem tu adalah kamar mandi dengan nuansa putih serta bathub yang terlihat nyaman. Di sana juga sudah tersedia beberapa perlengkapan untuk mandi."Kau mandi dulu. Nanti temui aku di bawah. Kita makan siang. Oh iya, pakai baju terbaikmu." Titah Mira sambil meninggalkan kamar itu.Lima belas menit untuk mandi dan bersiap, Alissa turun ke lantai satu. Di sana, Mira dan Rafael sudah menunggu."Lama sekali." Protes Rafael saat Alissa datang.Mira mengisyaratkan Alissa untuk duduk di sampingnya."Oke, make it clear. Raf, Alissa sekarang jadi pengasuhmu. Kemanapun kau keluar harus melalui persetujuannya. Credit card, Debit, cash, semua Alissa yang pegang. Dia akan mengendalikan nafsu belanjamu yang tak karuan itu." Mira menceramahi Rafael tanpa ampun."Untuk Alissa, jangan takut pada anak ini. Kau pengasuhnya, dia ada di bawah kendalimu. Kau tinggal ikuti saja jadwal kerjanya. Tugasmu membangunkannya saat pagi, menyiapkan baju ganti untuknya. Kau bisa mengambilnya dari lemari di kamar Rafael. Untuk pakaian, kau bebas memakai baju apapun. Kusarankan, jika Rafael terlibat perseteruan atau semacamnya, kau tunggu di mobil saja. Mengerti?"Alissa mengangguk."Tapi Miss Mira, apa tidak apa-apa jika aku memakai kaos? Aku tidak punya banyak baju.""Yang benar saja? Apa ini baju paling bagus yang kau punya? Anjingku saja bajunya lebih bagus!"Alissa terdiam mendengar perkataan Rafael barusan. Memang, celana hitam dan blouse warna biru tua ini adalah baju terbaik yang dimilikinya. Lainnya, hanya kaos dan celana denim berumur lebih dari dua tahun."Maaf, Tuan.""Yasudah makanlah dulu. Nanti kau ikut aku." Titah Rafael diiringi dengan anggukan pelan Alissa.Bersama dengan Mira dan seorang supir, Rafael dan Alissa terdiam tak banyak bicara di dalam mobil."Masuk." Ucap Rafael saat mereka telah tiba di sebuah Mall yang besar. Alissa menurut dan mengekor di belakang Rafael dan Mira.Setelah dua kali naik eskalator, mereka bertiga masuk ke sebuah toko baju."Mir, tolong pilihkan baju untuknya. Aku akan menunggu di sini." Pinta Rafael. Mira kemudian langsung mengajak Alissa untuk berkeliling."Kau paling suka gaya apa?""Hah? Maksudnya apa Miss?" Tanya Alissa kebingungan."Maksudku, kau suka setelan formal sepertiku ini atau baju santai. Pilihlah sesukamu.""Tapi ini mahal, Miss." Bisik Alissa pelan saat melihat price tag yang tergantung di baju-baju itu."Tak usah kau pikirkan. Satu atau dua juta itu sangat murah. Aku bisa membeli Mall ini jika mau." Ucap Mira percaya diri.Satu kaos berwarna merah dengan gambar anjing kecil serta celana denim dipegang Alissa untuk ditunjukkan pada Mira."Apa ini boleh Miss? Aku suka warnanya." Ucap Alissa nampak bahagia dengan baju yang dipagangnya.Mira meminta Alissa untuk mencobanya. "Bungkus semua size untuk ukuran itu." Titah Mira pada pegawai toko saat melihat Alissa yang cocok dengan baju barunya. "Maaf Miss, apakah ini nggak berlebihan. Sepertinya tiga potong saja sudah cukup." Keluh Alissa. Mira menatap Alissa tajam. "Kamu tidak boleh terlihat kumal di samping Rafael, Lissa. Semua anggota kita punya setelan baju mahal, meski hanya supir. Penampilan itu juga hal penting." Alissa hanya mengangguk setuju. Dia tak berani banyak protes dihari pertamanya bekerja. "Mbak, tolong bawa dia ke bagian skincare dan make up ya. Carikan yang pas buat dia." "Siap kak," ujar pegawai toko itu sambil mengajak Alissa menuju bagian lain toko. "Kau dapat gadis itu dari mana?" Tanya Rafael pada Mira. "Kenapa?" "Dia aneh." Jawab Rafael membuat Mira heran. "Saat kau bilang kalau papa mafia, dia tak bereaksi apapun. Jangan-jangan dia mata-mata." Mira memcoba mengingat apa yang dikatakan Rafael barusan. "Mungkin dia pasrah kali sama na
"Apa kau sudah pernah ke Kampung Hilir itu?" Tanya Alissa dan di jawab dengan gelengan kepala oleh Rafael. "Sudah diurus sama Dion. Buat apa ke sana. Urusanku juga masih banyak." Rafael mengajak Alissa untuk menyudahi acara makannya di cafe itu. "Oh iya. Tulis nomor ponselmu di sini. Kalau butuh sewaktu-waktu." Ucap Rafael memberikan ponselnya pada Alissa. "Aku belum ganti nomor, Tuan." "Hah?" Rafael mengkerutkan alisnya. Dia tak mengerti maksud Alissa. Alissa menunjukkan ponsel tua miliknya yang sedang mati. "Aku harus mengganti nomornya dulu. Aku nggak mau keluargaku terus menghubungiku." "Ponsel apa itu? Buruk sekali. Lebih mirip ponsel jaman purba." Rafael tertawa lepas melihatnya. "Memang iya. Aku membelinya empat tahun silam. Beruntung sekali dia masih mau nyala." Sungut Alissa. Rafael melajukan mobilnya membelah jalanan besar ibu kota yang mulai macet. "Mau ke mana?" Tanya Alissa saat Rafael mengajaknya turun ke sebuah deretan pertokoan. "Mbak. Ambilkan ponsel keluara
Genap sudah tiga minggu Alissa bekerja. Mengasuh bayi besar ternyata tidak semudah yang dipikirkannya. Apalagi, membangunkan Rafael setiap pagi selalu membuat tenggorokannya lelah. Belum lagi bau alkohol yang sering keluar dari mulut pria muda dengan rambut bercat sedikit coklat itu. Namun, Alissa masih mampu menahannya. Tiga juta gaji yang ditawarkan William termasuk besar. Apalagi sudah termasuk kamar pribadi super mewah, makan sepuasnya dan kebutuhan pribadinya yang sudah ditanggung. "Aku akan menemui seseorang yang berbahaya, kau tunggu di mobil bersama Jhon." Titah Rafael sembari mengamati pemandangan dari luar jendela mobil. Alissa menyanggupi. Lagipula, menunggunya berdua dengan sang supir di mobil sudah bukan hal baru baginya. Mobil hitam pabrikan Inggris yang berisi tiga orang termasuk Alissa berhenti di sebuah bangunan besar yang terbengkalai. Sebuah mobil berwarna merah terparkir disana dengan seorang pria berumur yang berdiri di sisi kirinya. "Ingat, jangan keluar da
Dorr!! Sebuah tembakan mengejutkan Alissa dan preman gempal itu. Mereka memandang ke satu arah, tepat di belakang Alissa. "Pergilah, tinggalkan anak itu. Aku punya banyak peluru untuk menghabisi satu nyawamu yang menjijikkan itu. Jangan lupa bawa temanmu itu pergi dari hadapanku!" Ujar Rafael sambil menodongkan senjata apinya pada preman gempal itu. Preman itu melepaskan cengkeraman tangannya pada Diki dan berlari sambil memapah temannya yang sudah dilumpuhkan oleh Alissa. Dengan cepat, Alissa menghampiri Jaka dan Diki. "Kalian nggak apa-apa kan?" Tanya Alissa sambil memeluk mereka berdua. Jaka dan Diki menumpahkan air mata dalam pelukan Alissa. "Kakak harusnya nggak perlu nolongin kami Kak. Kami nggak mau Kakak terluka." Alissa menghapus air mata Diki dan menenangkannya. "Tidak apa. Mereka sudah pergi." Diki menggeleng pelan saat Rafael menawarkan diri untuk mengantar mereka pulang. "Lain kali jangan langsung nyelonong keluar gitu. Untung aku dateng. Kalau nggak, gimana?" Om
"Nggak bisa! Alissa nggak mau nikah sama juragan Darso, Bu!"Alissa meninggikan suaranya saat mendengar keputusan ibunya yang tidak masuk akal itu. Wanita yang telah melahirkannya dua puluh dua tahun silam itu berdiri dari duduknya. Dia memegang kedua pundak Alissa, mencoba menenangkan putri satu-satunya itu. "Kita tidak punya pilihan, Alissa. Kita berhutang dua ratus juta pada Juragan Darso. Ibu mohon, mengertilah." Alissa menghembuskan nafasnya dengan kasar. Kini dia tahu kenapa orang tuanya bersikeras ingin menikahkannya dengan pria yang sudah beruban itu. "Dua ratus juta? Uang sebesar itu buat apa pak, bu?" tanya Alissa dengan geramnya. namun, tak satupun dari orang tuanya yang membuka mulut untuk menjawab pertanyaannya itu. Seorang pria paruh baya, yang sedari tadi duduk di kursi paling pojok di ruang tamu berdiri dan berjalan mendekat."Orang tuamu meminjam uang dariku untuk melunasi hutang adikmu, Angga yang kalah judi seratus delapan puluh juta." Katanya. Alissa menggele
Dorr!! Sebuah tembakan mengejutkan Alissa dan preman gempal itu. Mereka memandang ke satu arah, tepat di belakang Alissa. "Pergilah, tinggalkan anak itu. Aku punya banyak peluru untuk menghabisi satu nyawamu yang menjijikkan itu. Jangan lupa bawa temanmu itu pergi dari hadapanku!" Ujar Rafael sambil menodongkan senjata apinya pada preman gempal itu. Preman itu melepaskan cengkeraman tangannya pada Diki dan berlari sambil memapah temannya yang sudah dilumpuhkan oleh Alissa. Dengan cepat, Alissa menghampiri Jaka dan Diki. "Kalian nggak apa-apa kan?" Tanya Alissa sambil memeluk mereka berdua. Jaka dan Diki menumpahkan air mata dalam pelukan Alissa. "Kakak harusnya nggak perlu nolongin kami Kak. Kami nggak mau Kakak terluka." Alissa menghapus air mata Diki dan menenangkannya. "Tidak apa. Mereka sudah pergi." Diki menggeleng pelan saat Rafael menawarkan diri untuk mengantar mereka pulang. "Lain kali jangan langsung nyelonong keluar gitu. Untung aku dateng. Kalau nggak, gimana?" Om
Genap sudah tiga minggu Alissa bekerja. Mengasuh bayi besar ternyata tidak semudah yang dipikirkannya. Apalagi, membangunkan Rafael setiap pagi selalu membuat tenggorokannya lelah. Belum lagi bau alkohol yang sering keluar dari mulut pria muda dengan rambut bercat sedikit coklat itu. Namun, Alissa masih mampu menahannya. Tiga juta gaji yang ditawarkan William termasuk besar. Apalagi sudah termasuk kamar pribadi super mewah, makan sepuasnya dan kebutuhan pribadinya yang sudah ditanggung. "Aku akan menemui seseorang yang berbahaya, kau tunggu di mobil bersama Jhon." Titah Rafael sembari mengamati pemandangan dari luar jendela mobil. Alissa menyanggupi. Lagipula, menunggunya berdua dengan sang supir di mobil sudah bukan hal baru baginya. Mobil hitam pabrikan Inggris yang berisi tiga orang termasuk Alissa berhenti di sebuah bangunan besar yang terbengkalai. Sebuah mobil berwarna merah terparkir disana dengan seorang pria berumur yang berdiri di sisi kirinya. "Ingat, jangan keluar da
"Apa kau sudah pernah ke Kampung Hilir itu?" Tanya Alissa dan di jawab dengan gelengan kepala oleh Rafael. "Sudah diurus sama Dion. Buat apa ke sana. Urusanku juga masih banyak." Rafael mengajak Alissa untuk menyudahi acara makannya di cafe itu. "Oh iya. Tulis nomor ponselmu di sini. Kalau butuh sewaktu-waktu." Ucap Rafael memberikan ponselnya pada Alissa. "Aku belum ganti nomor, Tuan." "Hah?" Rafael mengkerutkan alisnya. Dia tak mengerti maksud Alissa. Alissa menunjukkan ponsel tua miliknya yang sedang mati. "Aku harus mengganti nomornya dulu. Aku nggak mau keluargaku terus menghubungiku." "Ponsel apa itu? Buruk sekali. Lebih mirip ponsel jaman purba." Rafael tertawa lepas melihatnya. "Memang iya. Aku membelinya empat tahun silam. Beruntung sekali dia masih mau nyala." Sungut Alissa. Rafael melajukan mobilnya membelah jalanan besar ibu kota yang mulai macet. "Mau ke mana?" Tanya Alissa saat Rafael mengajaknya turun ke sebuah deretan pertokoan. "Mbak. Ambilkan ponsel keluara
Mira meminta Alissa untuk mencobanya. "Bungkus semua size untuk ukuran itu." Titah Mira pada pegawai toko saat melihat Alissa yang cocok dengan baju barunya. "Maaf Miss, apakah ini nggak berlebihan. Sepertinya tiga potong saja sudah cukup." Keluh Alissa. Mira menatap Alissa tajam. "Kamu tidak boleh terlihat kumal di samping Rafael, Lissa. Semua anggota kita punya setelan baju mahal, meski hanya supir. Penampilan itu juga hal penting." Alissa hanya mengangguk setuju. Dia tak berani banyak protes dihari pertamanya bekerja. "Mbak, tolong bawa dia ke bagian skincare dan make up ya. Carikan yang pas buat dia." "Siap kak," ujar pegawai toko itu sambil mengajak Alissa menuju bagian lain toko. "Kau dapat gadis itu dari mana?" Tanya Rafael pada Mira. "Kenapa?" "Dia aneh." Jawab Rafael membuat Mira heran. "Saat kau bilang kalau papa mafia, dia tak bereaksi apapun. Jangan-jangan dia mata-mata." Mira memcoba mengingat apa yang dikatakan Rafael barusan. "Mungkin dia pasrah kali sama na
Mobil yang ditumpangi Alissa melaju pelan melintasi kemacetan jalanan ibu kota. Alissa memandang keluar jendela. Sangat ramai dan penuh dengan kendaraan orang-orang yang tengah berlalu lalang. Mobil itu kemudian membelok menuju ruas jalan yang besar namun sangat sepi. Tak lama, mobil itu kemudian masuk melewati gerbang yang besar dan tinggi menjulang. Alissa mengintip lewat jendela. Mobil itu masih melaju melewati beberapa lelaki dengan setelan jas dan kacamata hitam. "Ayo turun." Ajak Mira saat mobil berhenti di depan rumah dengan gaya Eropa itu. Alissa mengekor Mira masuk ke dalam rumah besar itu. Dia menyapa beberapa laki-laki yang dia temui saat berjaan masuk. Persis seperti para bodyguard yang sering dia lihat di dalam sinetron. Mira mempersilahkan Alissa untuk duduk. Tak lama, seorang asisten rumah tangga membawakan jus jeruk dingin untuknya sambil menunggu sang bos untuk datang. "Tunggu bentar ya, Bos mau ke sini." Kata Mira ambil duduk di sampng Alissa. "Selamat sian
"Nggak bisa! Alissa nggak mau nikah sama juragan Darso, Bu!"Alissa meninggikan suaranya saat mendengar keputusan ibunya yang tidak masuk akal itu. Wanita yang telah melahirkannya dua puluh dua tahun silam itu berdiri dari duduknya. Dia memegang kedua pundak Alissa, mencoba menenangkan putri satu-satunya itu. "Kita tidak punya pilihan, Alissa. Kita berhutang dua ratus juta pada Juragan Darso. Ibu mohon, mengertilah." Alissa menghembuskan nafasnya dengan kasar. Kini dia tahu kenapa orang tuanya bersikeras ingin menikahkannya dengan pria yang sudah beruban itu. "Dua ratus juta? Uang sebesar itu buat apa pak, bu?" tanya Alissa dengan geramnya. namun, tak satupun dari orang tuanya yang membuka mulut untuk menjawab pertanyaannya itu. Seorang pria paruh baya, yang sedari tadi duduk di kursi paling pojok di ruang tamu berdiri dan berjalan mendekat."Orang tuamu meminjam uang dariku untuk melunasi hutang adikmu, Angga yang kalah judi seratus delapan puluh juta." Katanya. Alissa menggele