"Ini. Aku mau minta rujuk," Risa menyerahkan dokumen saat Jo mengunjunginya keesokan harinya. Ini adalah pertanda baik bagi Risa. Jarang sekali Jo mencarinya duluan."Apa kamu lakuin sesuatu ke Riana?" tanya Jo cemas. Terakhir kali Jo meninggalkan Riana sendirian di kamar itu. Dia khawatir Risa melakukan hal buruk pada Riana. Apalagi dia kesulitan menghubungi Riana setelah peristiwa itu terjadi."Jo! Kita lagi obrolin anak dan pernikahan kita! Jangan bahas perempuan itu lagi!" hardik Risa kasar. Rasa cemburu di hatinya meluap-luap. Dia sudah berusaha sejauh ini tapi Jo masih tak menunjukkan simpati sedikit pun padanya."Aku serius Risa! Kamu nggak ngapa-ngapain Riana kan?!" Jo meninggikan suaranya."Aku juga serius, Jo! Aku nggak mau anak ini lahir tanpa ayah!" Risa ikut-ikutan meninggikan suaranya."Oke. Kita rujuk. Kita nikah lagi. Anak itu bakal jadi tanggung jawabku," ujar Jo."Beneran?" raut wajah Risa langsung mengembang cerah. Secerah mentari di pagi hari."Ya. Tapi kamu harus
BRUK!"MAMA!" Rafa langsung berlari menghampiri Riana yang terjatuh di halaman sekolahnya."Aduh," telapak tangan Riana terasa panas karena jatuh di tanah."Nggak apa-apa kan?"Riana merasa tak asing dengan suara itu. Saat mendongak, ternyata ada Aldyn di dekatnya. Aldyn membantu Riana bangun. Sementara Rafa dan Jenny menunggu di dekat mereka."Makasih," ujar Riana."Ih! Mama kok nggak hati-hati sih? Nanti sakit lagi. Kapan Rafa bisa main sama Mama kalau Mama sering sakit-sakitan?" keluh Rafa."Mama cuma jatuh kok. Tenang aja," Riana membersihkan lututnya dan bajunya. Gara-gara masih kepikiran ucapan David, dia jadi tak bisa konsentrasi."Kemarin kena influenza ya? Kata Rafa kamu sampai nggak dibolehin ketemu siapa-siapa," tutur Aldyn."Iya. Kata dokter begitu. Kayaknya aku nggak cocok sama cuaca dingin di Jepang waktu liburan ke sana.""Liburan dengan siapa?""Sama Om! Tapi Rafa nggak diajak. Huh!" Rafa memasang muka manyun karena sering ditinggal.Aldyn mengacak-acak rambut kepala R
"Lhoh, ada Om Gia main ke sini!" teriak Rafa senang saat masuk ke dalam rumah. Bocah itu meloncat duduk di sisi Gia."No! No! No! Panggil Teh Gia. Bukan Om. Okay, darling?" Gia mencubit pipi Rafa."Kata Om David, Om Gia cowok. Panggilnya tetep Om Gia.""Hiiiih! Si David ini emang harus dipotong anu-nya deh. Bisa-bisanya ngajarin gitu si Rafa," omel Gia. Bibirnya manyun tak jelas.Riana menutup bibirnya dengan tangan kanannya. Berusaha menahan tawa. Matanya memilih menatap ke arah lain agar tak ketahuan Gia kalau dirinya sedang tertawa."Denger ya, Rafaku yang ganteng, berbudi luhur, sayang Mama, Papa, dan Teh Gia.""Sayang Om David juga," imbuh Rafa menyela Gia."Iye. Iye. Sayang semua orang di rumah ini dah. Cinta tanah air, rajin menabung, dan banyak makan.""Suka main kelereng juga," lanjut Rafa."Iya. Pokoknya Rafa yah. Kalau panggil urang jadi Teh Gia atau Tante Gia. Jangan panggil-panggil Om lagi.""Kenapa?""Tante cantik kan?""Cantik kan Mama.""Nanti nggak Om- eh Tante kasih
"Ini Bos data bulan ini," Jono menyetorkan data klien untuk bulan Februari."Udah dilunasi semua?""Yang di kolom merah masih belum Bos. Apa mau seperti biasa?""Iya. Kalau nggak lunas, ya sita aset. Nggak ada aset, bisa jual orangnya. Harga organ dalam juga makin mahal di pasar.""Siap, Bos," Jono mengundurkan diri.Sudah jadi rahasia perusahaan jika ada klien yang tidak bisa bayar harus membayar dengan tuntas. Entah dengan aset atau dijual tubuh dan organnya. Hal ini sudah jadi kesepakatan bersama secara turun temurun di keluarga Golden dalam mengembangkan perusahaan. Karenanya, keturunan keluarga Golden bisa bebas memilih pasangan mereka. Tak perlu mencari keturunan hebat dalam rangka berbisnis. Semuanya karena sistem bisnis keluarga Golden yang sudah mengakar kuat untuk menyedot kekayaan klien secara konsisten dengan jasa layanan yang selalu memuaskan.Namun, para penerus usaha utama keluarga Golden harus mengalami persaingan yang berdarah-darah. Saling menjatuhkan sampai melukai
"Da-david...!" Riana terkejut David menggelendengnya begitu saja ke kasur.Kedua tangan David memegang pinggang Riana lalu mengangkatnya ke atas kasur. Tubuh Riana langsung tergeletak dalam kondisi telentang.Riana menutup mata saat wajah David semakin mendekati wajahnya. Dia tak tahu harus berbuat apa. Sudah jelas pasti David menginginkannya sekarang. Meskipun hatinya belum siap, David pasti….."???"Riana perlahan membuka matanya. Tak ada David di hadapannya. Saat menoleh, tampak David sudah tertelungkup di sampingnya. Hanya tangannya saja yang memeluk Riana dari samping.Kedua mata Riana mengerjap-ngerjap. Takjub David tidak menyentuhnya. Perlahan jantungnya yang tadi berdetak cepat seperti kendaraan balap motor mulai kembali normal lagi.Hampir aja, batin David. Rasanya tadi dia sudah hampir gila ingin mencium Riana. Berdua dengan Riana seperti ini membuatnya gila. Apalagi dia sudah melihat Riana dengan lingerie-nya. Laki-laki normal manapun pasti tak bisa menolaknya."Da-david?"
"Hmm," Riana semakin mendekap erat tubuh David. Dinginnya AC kamar membuatnya membutuhkan kehangatan lagi. Apalagi pagi hari di Bandung memang sangat dingin. Membuatnya secara otomatis semakin mendusel ke arah David."Hm?" Riana merasakan lututnya menyentuh sesuatu yang aneh. Sesuatu yang terasa menonjol dan keras. Semakin ditekan justru semakin mengeras.Riana bangun. Disingkapnya selimut yang menutupi tubuhnya dan tubuh David. Tangannya bergerak-gerak mencari hal aneh yang mengenai lututnya tadi.Pandangan Riana melihat sesuatu menonjol di antara dua paha David. Tonjolannya menyembul dari celana boxer yang digunakan oleh David."AAAAAAA!" jerit Riana membangunkan David."Ada apa?" David menatap Riana yang masih syok."Itu… apa…?" Riana menunjuk sesuatu yang menyembul dari dalam celana boxer David.Pandangan David bergerak mengikuti arah tangan Riana. Segera dia menutupi bagian bawah dirinya dengan selimut, saat sadar bahwa yang dimaksud Riana adalah juniornya yang ikut terbangun di
Di antara semua dokter yang ada di Bandung, kenapa harus dia? Itulah yang saat ini dipikirkan oleh David dan Riana.Jelas sekali kesunyian panjang muncul di antara mereka bertiga. Masing-masing dari mereka memikirkan hal berbeda. Meski memalukan, David cukup senang dokter yang mengurusnya adalah Jo. Dalam kondisi ini, sudah menjelaskan bahwa Riana adalah miliknya.Riana sendiri merasa agak khawatir karena Jo-lah yang datang. Sementara, dirinya dalam keadaan bangun tidur, rambut basah karena adegan rebutan shower dengan David tadi, dan hanya mengenakan kimono tidur. Tapi, jika mau memikirkan sisi positif, Riana bisa menunjukkan pada Jo bahwa dirinya sudah move on. Artinya, Jo tak akan memiliki pikiran aneh untuk mendekatinya lagi. Dia pun akan terbebas dari akal licik Risa yang sudah dua kali menjebaknya.Sebagai korban patah hati, di sini Jo-lah yang memang dibanting berkeping-keping perasaannya. Andai saja dirinya menolak permintaan temannya untuk datang ke hotel ini dan memeriksa pa
Aduuh. Pelan-pelan," rengek David pada Riana."Maaf. Maaf," Riana menyelesaikan olesan salepnya di punggung dan bahu David."Uuuh," wajah David lebih melega. Riana membantu David mengenakan kaos singlet dan kemejanya. Ini adalah bagian dari bentuk tanggung jawab Riana karena sudah membuat tulang punggung dan pergelangan kaki David bermasalah.Setiap hari Riana membantu David mengoleskan salep, menyuapinya makan, dan membantu mengenakan pakaian. Tapi, untuk urusan mandi, Riana minta bantuan perawat laki-laki dari rumah sakit. Selain tak kuat memapah David. Riana juga belum siap batin jika harus melihat anu-nya David saat sedang membantunya mandi.Kedua tangan David melingkar di pinggul Riana. Diperhatikannya Riana yang fokus mengancingkan kemeja. David mendorong tubuh Riana mendekat sehingga kepalanya bisa mendusel di antara kedua belah pegunungan kembar milik Riana."David… jangan gini ah," pinta Riana. Ini memang bukan pertama kalinya David melakukan hal seperti ini. Namun, Riana mas