"Lhoh, ada Om Gia main ke sini!" teriak Rafa senang saat masuk ke dalam rumah. Bocah itu meloncat duduk di sisi Gia."No! No! No! Panggil Teh Gia. Bukan Om. Okay, darling?" Gia mencubit pipi Rafa."Kata Om David, Om Gia cowok. Panggilnya tetep Om Gia.""Hiiiih! Si David ini emang harus dipotong anu-nya deh. Bisa-bisanya ngajarin gitu si Rafa," omel Gia. Bibirnya manyun tak jelas.Riana menutup bibirnya dengan tangan kanannya. Berusaha menahan tawa. Matanya memilih menatap ke arah lain agar tak ketahuan Gia kalau dirinya sedang tertawa."Denger ya, Rafaku yang ganteng, berbudi luhur, sayang Mama, Papa, dan Teh Gia.""Sayang Om David juga," imbuh Rafa menyela Gia."Iye. Iye. Sayang semua orang di rumah ini dah. Cinta tanah air, rajin menabung, dan banyak makan.""Suka main kelereng juga," lanjut Rafa."Iya. Pokoknya Rafa yah. Kalau panggil urang jadi Teh Gia atau Tante Gia. Jangan panggil-panggil Om lagi.""Kenapa?""Tante cantik kan?""Cantik kan Mama.""Nanti nggak Om- eh Tante kasih
"Ini Bos data bulan ini," Jono menyetorkan data klien untuk bulan Februari."Udah dilunasi semua?""Yang di kolom merah masih belum Bos. Apa mau seperti biasa?""Iya. Kalau nggak lunas, ya sita aset. Nggak ada aset, bisa jual orangnya. Harga organ dalam juga makin mahal di pasar.""Siap, Bos," Jono mengundurkan diri.Sudah jadi rahasia perusahaan jika ada klien yang tidak bisa bayar harus membayar dengan tuntas. Entah dengan aset atau dijual tubuh dan organnya. Hal ini sudah jadi kesepakatan bersama secara turun temurun di keluarga Golden dalam mengembangkan perusahaan. Karenanya, keturunan keluarga Golden bisa bebas memilih pasangan mereka. Tak perlu mencari keturunan hebat dalam rangka berbisnis. Semuanya karena sistem bisnis keluarga Golden yang sudah mengakar kuat untuk menyedot kekayaan klien secara konsisten dengan jasa layanan yang selalu memuaskan.Namun, para penerus usaha utama keluarga Golden harus mengalami persaingan yang berdarah-darah. Saling menjatuhkan sampai melukai
"Da-david...!" Riana terkejut David menggelendengnya begitu saja ke kasur.Kedua tangan David memegang pinggang Riana lalu mengangkatnya ke atas kasur. Tubuh Riana langsung tergeletak dalam kondisi telentang.Riana menutup mata saat wajah David semakin mendekati wajahnya. Dia tak tahu harus berbuat apa. Sudah jelas pasti David menginginkannya sekarang. Meskipun hatinya belum siap, David pasti….."???"Riana perlahan membuka matanya. Tak ada David di hadapannya. Saat menoleh, tampak David sudah tertelungkup di sampingnya. Hanya tangannya saja yang memeluk Riana dari samping.Kedua mata Riana mengerjap-ngerjap. Takjub David tidak menyentuhnya. Perlahan jantungnya yang tadi berdetak cepat seperti kendaraan balap motor mulai kembali normal lagi.Hampir aja, batin David. Rasanya tadi dia sudah hampir gila ingin mencium Riana. Berdua dengan Riana seperti ini membuatnya gila. Apalagi dia sudah melihat Riana dengan lingerie-nya. Laki-laki normal manapun pasti tak bisa menolaknya."Da-david?"
"Hmm," Riana semakin mendekap erat tubuh David. Dinginnya AC kamar membuatnya membutuhkan kehangatan lagi. Apalagi pagi hari di Bandung memang sangat dingin. Membuatnya secara otomatis semakin mendusel ke arah David."Hm?" Riana merasakan lututnya menyentuh sesuatu yang aneh. Sesuatu yang terasa menonjol dan keras. Semakin ditekan justru semakin mengeras.Riana bangun. Disingkapnya selimut yang menutupi tubuhnya dan tubuh David. Tangannya bergerak-gerak mencari hal aneh yang mengenai lututnya tadi.Pandangan Riana melihat sesuatu menonjol di antara dua paha David. Tonjolannya menyembul dari celana boxer yang digunakan oleh David."AAAAAAA!" jerit Riana membangunkan David."Ada apa?" David menatap Riana yang masih syok."Itu… apa…?" Riana menunjuk sesuatu yang menyembul dari dalam celana boxer David.Pandangan David bergerak mengikuti arah tangan Riana. Segera dia menutupi bagian bawah dirinya dengan selimut, saat sadar bahwa yang dimaksud Riana adalah juniornya yang ikut terbangun di
Di antara semua dokter yang ada di Bandung, kenapa harus dia? Itulah yang saat ini dipikirkan oleh David dan Riana.Jelas sekali kesunyian panjang muncul di antara mereka bertiga. Masing-masing dari mereka memikirkan hal berbeda. Meski memalukan, David cukup senang dokter yang mengurusnya adalah Jo. Dalam kondisi ini, sudah menjelaskan bahwa Riana adalah miliknya.Riana sendiri merasa agak khawatir karena Jo-lah yang datang. Sementara, dirinya dalam keadaan bangun tidur, rambut basah karena adegan rebutan shower dengan David tadi, dan hanya mengenakan kimono tidur. Tapi, jika mau memikirkan sisi positif, Riana bisa menunjukkan pada Jo bahwa dirinya sudah move on. Artinya, Jo tak akan memiliki pikiran aneh untuk mendekatinya lagi. Dia pun akan terbebas dari akal licik Risa yang sudah dua kali menjebaknya.Sebagai korban patah hati, di sini Jo-lah yang memang dibanting berkeping-keping perasaannya. Andai saja dirinya menolak permintaan temannya untuk datang ke hotel ini dan memeriksa pa
Aduuh. Pelan-pelan," rengek David pada Riana."Maaf. Maaf," Riana menyelesaikan olesan salepnya di punggung dan bahu David."Uuuh," wajah David lebih melega. Riana membantu David mengenakan kaos singlet dan kemejanya. Ini adalah bagian dari bentuk tanggung jawab Riana karena sudah membuat tulang punggung dan pergelangan kaki David bermasalah.Setiap hari Riana membantu David mengoleskan salep, menyuapinya makan, dan membantu mengenakan pakaian. Tapi, untuk urusan mandi, Riana minta bantuan perawat laki-laki dari rumah sakit. Selain tak kuat memapah David. Riana juga belum siap batin jika harus melihat anu-nya David saat sedang membantunya mandi.Kedua tangan David melingkar di pinggul Riana. Diperhatikannya Riana yang fokus mengancingkan kemeja. David mendorong tubuh Riana mendekat sehingga kepalanya bisa mendusel di antara kedua belah pegunungan kembar milik Riana."David… jangan gini ah," pinta Riana. Ini memang bukan pertama kalinya David melakukan hal seperti ini. Namun, Riana mas
"Haaah…. Haaah…." napas Riana kembang kempis saat David melepaskan cumbuan di bibirnya.Sementara David tersenyum lebar. Dia menjatuh kepalanya tepat di dada Riana. Mendusel sambil memeluk Riana erat dalam kondisi rebahan berdua di atas ranjang."Kamu kenapa sih?" Riana tak paham dengan sikap David. Sayangnya yang ditanya tak mau menjawab. Malah hanya mendusel saja."Jangan dekat-dekat Aldyn," larang David sekalinya angkat bicara."Kok? Kamu cemburu?" tebak Riana."Iya. Makanya jangan dekat-dekat," begitulah cara David menegaskan perasaannya pada Riana. Sangat jelas dan tanpa ada sesuatu yang ditutup-tutupi."Kita cuma temenan David. Nggak usah mikir aneh-aneh.""Cara dia mandang kamu beda, Riana.""Nggak. Dia emang ramah gitu. Tapi nggak pernah ngobrol yang menjurus gitu kok. Sopan dia," Riana berusaha meyakinkan David. Ya, dia tak menyangka David akan mudah cemburu padanya seperti ini. Dia imut banget, batin Riana sambil mengusap-usap pipi David."Oke," David berusaha menerima penje
Di luar hujan memang semakin deras. Beberapa kali kilat menyambar. Begitu pula dengan petir. Riana sendiri tak bisa tidur dengan nyenyak. Pikirannya takut jika tiba-tiba listrik mati.Riana turun dari kasur. Dia membuka-buka laci dapur untuk mencari lilin. "Ketemu," Riana mengambil lilin dan piring untuk bawahan lilin serta korek api. Setelahnya, dia kembali ke kamar lagi.Saat melangkah menuju ke kamar, Riana merasa diikuti oleh seseorang. Tapi saat menoleh tidak ada siapapun. Jantung Riana berdegup kencang.Nggak ada hantu kan ya di tempat begini? batin Riana resah.JEDER!Riana menutup rapat-rapat telinganya. Secepatnya berlari kecil ke dalam kamar. Jantungnya sudah memburu cepat karena rasa takutnya yang meningkat."Hah… hah… hah!" Riana menutup pintunya rapat-rapat. Tapi tak berani mengunci. Entah kenapa otaknya membayangkan akan ada hantu yang keluar tiba-tiba dari kolong tempat tidurnya. Membuatnya bergidik ngeri tanpa alasan jelas.Riana segera menyalakan lilin. Tepat ketika l
"Pagi, Rafa!" Riana menyapa dengan hangat. Jalan pagi berdua dengan David membuat mood Riana naik drastis.Rafa yang baru keluar kamar tertegun menatap mamanya yang tampak bersemangat. Sudah hampir sebulanan mamanya tampak lesu seperti orang tak ingin hidup. Kata Mbok Shinta, itu karena adiknya tak jadi lahir. Calon adiknya di perut mamanya menghilang dan gara-gara itu mamanya jadi sedih.Mendengar kabar itu, Rafa juga sedih. Tapi, mamanya sudah sangat sedih. Jadi, dia memutuskan untuk tidak tampak bersedih dan melakukan kegiatan sehari-hari dengan lebih mandiri. Intinya, Rafa bertekad lebih mandiri dan tidak bergantung pada mamanya agar tidak menambah duka dan beban pikiran mamanya."Udah mandi? Mau Mama mandiin?" tanya Riana dengan senyum cerah."Mama lagi seneng ya?" tanya balik Rafa. Hatinya ingin memastikan mamanya memang baik-baik saja.Riana tersipu malu sambil memegangi pipinya," Hehehe, senenglah. Kan lihat Rafa pagi ini."Rafa semakin melongo dengan tingkah aneh mamanya itu.
Dulu, saat bangun dari tidur, aku selalu takut melihat ke sisiku karena ada dirimu di sana. Aku sangat takut. Tiap kali berdua denganmu, jantungku seperti berhenti berdetak. Pikiranku selalu berdoa agar suatu saat bisa terlepas darimu.Nyatanya, setelah waktu berlalu. Aku malah berharap selalu bisa berada di sisimu. Hatiku selalu merasa lebih tenang, jika kamu bersamaku.Seperti saat ini. Waktu pagi datang. Kedua kelopak mataku terbuka. Aku langsung menoleh ke samping, mencarimu. Senyumku otomatis berkembang saat indera penglihatanku menangkap bayang dirimu ada di sisiku.Sudah banyak hal yang kami lalui bersama. Suka duka menjalani kehidupan sehari-hari yang terasa seperti naik roller coaster. Aneh. Sejujurnya aku takut naik roller coaster dan tentunya kehidupan seperti roller coaster saat bersama denganmu juga membuat jantungku tak bisa berdetak tenang barang sesaat. Namun, semuanya tak terasa menakutkan saat bersamamu.Memang ada kalanya kesedihan yang teramat menyakitkan membuatku
Ekor mata Riana melirik-lirik gugup ke arah David. Dia tak berani langsung menoleh. Apalagi sekarang adegan panas di layar sedang berjalan.Masih terus melirik-lirik, Riana pura-pura mengambil popcorn yang ada di antara dirinya dan David. Tentu dengan pikiran agar terlihat natural. Namun, jari-jarinya tak bisa menemukan tempat popcorn yang diinginkannya."Kok? Harusnya kan di sini?" gumam Riana. Niatnya pun berubah. Jari-jarinya bergerak menelusuri sekitaran tubuh David. Bodohnya, dia melakukannya sambil tetap melirik. Tidak langsung menoleh."Eh? Kok? Menonjol?" Riana terkaget lalu akhirnya menoleh. Tampak David sudah berdeham-deham saja menatap ke arahnya.Kedua mata Riana membelalak lebar. Gara-gara asal meraba saat mencari popcorn, jarinya malah memegang junior David. Bukan popcorn yang dia cari!"Maaf, David!" buru-buru Riana menarik kembali tangannya. Mukanya sangat panas. Bahkan, suhu dingin AC di bioskop tak bisa meredam hawa panas yang menjalari wajahnya. Yang bisa Riana laku
Sepulang dari menjenguk Risa, David mengajak Riana makan. Dia membelokkan mobilnya ke arah Cihampelas Mall."Kok ke mall?" Riana menatap David bingung."Ke Mujigae. Kamu suka korea-koreaan kan?""Hmm, iya sih. Tapi, kamu doyan?""Kalau sama kamu mah, apa saja bisa jadi enak. Yang penting kamu makannya banyak. Oke?" David membuka pintu mobil lalu keluar. Setelah itu, dia berlari ke tempat Riana berada untuk membukakan pintu mobil buat Riana."Makasih," Riana memegangi erat jemari David sambil melangkah keluar mobil.David terus menggandeng tangan Riana sampai tiba di tempat makan. Dia memesan hampir semua aneka makanan di buku menu yang disediakan oleh pramusaji."David! Siapa yang mau makan itu semua?" Riana melongok pada tab menu pemesanan yang diklik oleh David. Matanya membelalak melihat banyaknya makanan yang David pilih."Kamu. Tugasmu sekarang makan banyak," David menekan tombol order untuk mengakhiri pesanan.Riana terpaksa mengikuti ucapan David. Toh, orderan sudah terlanjur d
Entah ini sudah hari ke berapa aku berada di rumah sakit. Aku tak tahu. Atau mungkin tepatnya tak ingin tahu.Luka di tubuhku sudah mendingan. Seharusnya aku sudah bisa pulang ke apartemenku. Tapi, aku tak mau pulang. Tempat itu hanya akan mengingatkan pada kenangan-kenangan manis yang ternyata hanyalah tipuan. Memikirkannya saja membuat air mataku meleleh.Padahal, aku sudah sangat percaya. Kukira memang sudah benar-benar mau menerimaku. Nyatanya, dia hanya menipu dan merampas semua kenangan indah yang dia berikan padaku secara sepihak. Bahkan, janin dalam kandunganku ikut dia rampas. Betapa dia sangat tidak memiliki hati. Anak di kandunganku kan anaknya juga. Tapi kenapa dia tega melakukan itu? Membuat janin yang belum genap tiga bulan itu sirna dari dunia. Sungguh sangat jahat dirimu, Jo. Harusnya aku menyadari ini semua dari awal. Tapi, semua sudah terlambat. Dari awal, batin dan pikiranku sudah tertutupi oleh cinta butaku padamu, Jo. Jika saja… jika saja aku masih bisa berpikir j
Sudah seminggu lebih waktu berlalu sejak kejadian itu. Kejadian yang sangat memilukan. Bagiku dan Riana.Hari-hari kami di rumah jadi sepi. Riana lebih suka mengurung diri di kamar. Jarang makan. Wajahnya jadi lebih pucat dan tirus.Aku tahu. Ini pasti sangat berat untuknya. Ibunya sudah menginap di rumahku. Bahkan, Sena. Kubiarkan mereka menemani Riana. Karena kupikir, lingkungan yang lebih ramai, bisa membuat dirinya lebih ceria.Memang saat bersama orang lain, dia sudah bisa menanggapi dengan baik. Walau hanya beberapa patah kata dan senyum simpul. Menurut laporan psikolog yang tiap harinya kutugaskan untuk membantu terapi Riana, kondisi Riana memang masih membutuhkan proses. Dikarenakan Riana tipe perasa. Butuh waktu lebih lama menuntaskan rasa duka."Kira-kira ada alternatif lain tidak untuk membantunya?" tanyaku pada sang psikolog. Sejujurnya aku juga tak sanggup jika tiap malam mendengar Riana menangis sendirian. Hatiku selalu ikut teriris mendengarnya. Aku pun sudah tak bisa b
"David...." panggil Riana lemah."Iya, Sayang," David mencoba mencari wajah istrinya yang masih tersembunyi dalam dadanya. Tangannya bergerak mengusap-usap rambut dan pelipis istrinya."Rumah sakit…. Aku mau ke rumah sakit," rengek Riana. Tangannya meremas kaos polo David yang berwarna hitam pekat."Iya. Ayo," David langsung menggendong Riana keluar kamar. Riana menelusupkan kepalanya dalam dekapan dada David. Memang hatinya masih tak tenang karena obat yang baru ditelannya. Tapi, sudah ada David di sisinya. Bukankah semuanya akan berjalan baik-baik saja kan?"Bos, yang di luar sudah beres," Jono tampak tergopoh-gopoh menghampiri David."Jo di dalam. Jalankan sesuai perintahku tadi," pesan David."Iya, Bos," Jono menyanggupi perintah bosnya.David melangkah menuruni tangga. Dia berjalan membawa Riana masuk dalam mobil Jeep."Pak, ke rumah sakit terdekat," ujarnya pada sopir sewaan yang dari tadi menunggu."Siap, Bos," jawab sang sopir.Sepanjang perjalanan, David terus memangku Riana.
David terbangun dari kantuknya. Perjalanan panjang menuju lokasi Riana disekap membuatnya semakin lelah. Tanpa dia sadari, dirinya sudah terlelap begitu saja tadi."Jam berapa sekarang?" tanya David pada Joni yang ada di sisinya."Jam sembilan, Bos. Sekitar dua puluh menit lagi sampai," jelas Joni.Butuh waktu sehari penuh bagi David untuk mendapatkan lokasi Riana berada. David harus mencari info dari geng preman maupun kepolisian sekitar. Sangat beruntung, David belum pernah memiliki masalah dengan pihak kepolisian. Makanya, urusannya bisa berjalan lebih lancar dan bisa menemukan posisi Riana meski hanya berbekal plat nomor mobil saja.Jalan yang mereka lalui semakin lama kasar. Berulang kali ban mobil Jeep yang David kendarai seolah-olah meloncat melayang terbang saking terlalu sering bersentuhan dengan jalan bebatuan tak rata.David menatap ke belakang. Anak buahnya mengikuti dengan mobil di belakang. Dia kembali menoleh ke depan. Berulang kali dia menghembuskan napas penuh kegelis
Aku pikir aku mati. Ya. Saat ini kematian benar-benar dekat denganku. Malaikat pencabut nyawa ada di sisi. Walaupun aku sudah meraung-raung memohon, tak ada kepeduliannya yang tersisa untukku. Sebaliknya, mulutku malah dibungkam dengan lakban hitam.Hanya tangisku yang bisa kuandalkan. Entah sudah berapa liter air mata kucucurkan. Mataku pun sudah lelah. Tapi, hanya ini protes yang bisa kulakukan. Tak ada yang lain.Aku tak berdaya. Tak bisa melakukan apapun. Jo mengikatku begitu kencang. Tak mau menerima sedikit pun penjelasan dariku. Malah, dia meminumkan obat aneh padaku.Aku tak tahu obat apa itu. Tapi, dia memaksaku meminumnya. Jemarinya menjejalkan buliran pil berwarna putih itu ke dalam mulut dengan kasar. Aku berusaha untuk melawan, memuntahkannya. Tapi, jari-jarinya mendorong masuk pil itu ke pangkal tenggorokanku dan mengguyurnya dengan air mineral sebanyak mungkin. Aku pun tersedak bersamaan dengan pil dan air mineral yang menelusup masuk dalam tenggorokanku."Bagus!" itula