"Mas Alarich, izin aku makan yah," ucap Aeera, berbicara pada nasi. Mengejutkannya, ada suara deheman yang menjawab. "Humm." Suara deheman terdengar merdu dan serak dari arah belakang Aeera, membuat Aeera tergelonjak kaget dan spontan menoleh panik ke belakang. "Yeah, silahkan," tambah Alarich, menaikkan sebelah alis dengan smirk yang menyungging jelas ke arah Aeera. Mata Aeera membulat sempurna, bibirnya menipis–mengunci rapat. Semburan merah otomatis menghias pipi Aeera, sedangkan dari dalam jantungnya telah berdebar kencang. "Silahkan makan aku, Darling." 'Darling.' beo Aeera, semakin canggung serta gugup. Pria ini sering memanggil darling jika Alarich ingin, sedang dan intinya berkaitan dengan keintiman. Aeera tetap duduk di posisinya, mendongak sepenuhnya untuk menatap Alarich yang berdiri. Alarich melepas jas dan rompi, kemudian berjalan mendekati Aeera dengan tangan yang sibuk melepas dari. "Katakan, kau ingin memakanku sekarang atau … satu detik yang akan datang," ucap Al
"Jangan membaca terlalu dekat dengan wajah, dan … pastikan jika buku yang kau baca tidak terbalik," lanjutnya. Alarich mengacak pucuk kepalanya Aeera kemudian segera beranjak sana. Namun, ketika di ambang pintu, Alarich berhenti melangkah. "Ingin ikut denganku?" "Iya." Dengan semangat, Aeera bangkit dari sopa, melangkah cepat untuk menghampiri Alarich yang menunggunya di ambang pintu. Diajak keluar oleh Alarich?! Tentu saja Aeera senang. Sekian menambah moment, Aeera bisa berduaan dengan Alarich. Yah, dalam kamar juga berduaan. Namun, ada kesan tersendiri ketika mereka berdua keluar jalan-jalan. Alarich meraih tangan Aeera, menggenggamnya dengan cukup kuat. Namun, masih terasa hangat dan nyaman bagi Aeera. Alarich berjalan santai, di mana devil smirk tiba-tiba muncul di bibirnya. Ceklek'"Kita sampai," jawab Alarich–mendapat pelototan tak percaya dari Aeera. "Ini kan ruangan Mas Alarich," ucapnya dengan nada tinggi–protes dan bingung secara bersamaan. "Humm." Alarich menutup
"Kak, aku ingin bicara sesuatu padamu. Boleh kita bicara sebentar?" tanya Nadien, setelah dia sampai di depan gedung apartemennya. "Bicara di sini. Silahkan," jawab Alarich. Nadien menoleh ke arah Aeera, menatap istri dari Kakak sepupunya tersebut dengan raut muka kusam. Nadien ingin membicarakan hal penting, dan tentunya tanpa ada Aeera. Namun, sepertinya Alarich tidak akan mau meninggalkan Aeera sendirian di mobil. 'Kamu merebut Kak Karl, Aeera. Lihat saja, aku akan membalasnya dengan cara yang sangat menyakitkan. Aku bukan hanya membuatmu kehilangan Kak Karl, tetapi kehilangan bayi dalam perutmu!' dendam Nadien dalam hati, tersenyum ke arah Alarich lalu menggelengkan kepala. "Tidak jadi, Kak. Aku … bicarakan besok saja," ucap Nadien, segera beranjak dari sana–masuk ke gedung apartemen. Alarich memilih tak acuh, menyalakan mesin mobil kemudian segera melaju dari tempat tersebut.Setelah tiba di tempat tujuannya, Alarich memarkirkan mobil. Dia tak langsung keluar, tiba-tiba menole
"Dan naasnya, hanya aku satu-satunya penderita sindrom itu, Darling."Deg deg degJantung Aeera berdebar kencang, melototkan mata karena terkejut oleh ucapan Alarich. Sindrom karena terlalu mencintainya? Hah, sungguh?! Alarich mencintainya?"Ma--Mas bilang apa?" gugup Aeera, memandang tak santai pada Alarich. Pria tersebut masih di atas tubuhnya, setengah menindih Aeera. "Aku bilang, aku mencintaimu. Kenapa?" ucap Alarich, mendadak senyumnya buyar–berganti dengan raut muka dingin serta tatapan tajam. Sejujurnya dia khawatir dengan kata penolakan yang akan keluar dari bibir Aeera. Penolakan adalah hal yang Alarich benci, terutama jika itu Aeera. Selama ini Alarich memilih diam, memiliki perempuan ini lewat paksaan, juga karena kekhawatiran Alarich pada penolakan. Ditolak orang yang tak dia sukai saja, Alarich benci dan marah. Apalagi ditolak oleh Aeera, Alarich bisa gila. "A--aku rasa aku masih bermimpi," gumam Aeera pelan, memejamkan mata untuk tidur kembali. Aeera yakin jika ini h
Alarich memperhatikan Aeera secara intens, menatap wajah gelisah serta malu-malu sang istri. Saat ini mereka berdua sedang sarapan, di mana setelah ini Alarich akan berangkat bekerja. "Cih." Alarich berdecis pelan lalu terkekeh merdu–masih setia memperhatikan semburan merah di pipi istrinya. Menggemaskan! Tadi malam, perempuan ini sungguh pingsan setelah mengatakan cinta pada Alarich. Jujur saja, Alarich tak menyangka jika Aeera akan pingsan. Dia kira Aeera hanya bercanda ketika mengatakan bisa pingsan jika mengutarakan perasaannya, tetapi perempuan itu benar-benar pingsan. Alarich? Dia khawatir namun merasa lucu secara bersamaan. Sembari berusaha menyadarkan Aeera, Alarich tertawa geli. Ini konyol! Alarich selama ini menunda-nunda untuk jujur pada Aeera sebab takut ditolak. Sedangkan istrinya-- tremor parah bahkan berakhir pingsan setelah mengutarakan perasaan pada Alarich. Bukankah itu indah? Tentu! Perempuan yang sedang mengunyah secara lambat ini ternyata sangat mencintainya.
"Di mana istriku?" tanya Alarich dengan nada khawatir. Dari seorang maid, Alarich mendapat laporan buruk mengenai istrinya, oleh sebab itu dia buru-buru pulang dari kantor. Alarich seharusnya memang pulang ketika siang, sebab dia telah berjanji untuk menemani Aeera ke dokter. Namun, tujuan Alarich pulang bukanlah mengajak Aeera cek up, melainkan karena rasa khawatir pada kondisi Aeera. "Nyonya ada di dalam, Tuan. Nyonya masih menangis," jawab maid yang membawa Aeera pergi dari rumah Tuannya. Sepanjang perjalanan menuju tempat ini, wanita tegar dan selalu ceria yang selama ini ia kenal, terus saja menangis. Dia sangat mengkhawatirkan kondisi nyonya-nya. Bayangkan saja, wanita hamil yang tak diusik ketenangannya saja bisa tertekan oleh pikirannya sendiri. Apalagi nyonyanya yang dimaki-maki oleh mertuanya, bahkan sampai tega menyumpahi anak dalam perut nyonya-nya meninggal. Dan karena sumpah itu, Nyonyanya sampai di kaki ibu dari Tuannya tersebu
Namun, setelah di depan Alarich, dia dibuat terkejut. Plak' Tamparan kuat langsung melayang ke pipi Nadien, membuat perempuan itu terhempas kasar ke lantai. Nadien kehilangan keseimbangan pada tubuhnya, tamparan Alarich sangat kasar dan kuat. "Ahck," ringis Nadien sakit. Pipinya terasa sangat sakit, sepertinya tulang rahang pada wajahnya patah karena tamparan kuat Alarich. "KARL!""KARL SAYANG."Audriana dan Ruqayah berteriak bersamaan, Audriana langsung menghampiri Nadien sedangkan Ruqayah memilih menghampiri Alarich. "Karl, apa yang kamu lakukan, Hah?!" ucap Audriana, melayangkan tatapan tak percaya pada putranya. Sebelum Alarich menjawab, ayahnya dan Bian tiba di sana–mengambil tempat tak jauh dari Alarich, mewanti-wanti jika Alarich kehilangan akal sehatnya. Gavin belum tahu dengan pasti apa masalah yang terjadi, Bian hanya mengatakan jika Aeera sedang tidak baik-baik saja. "Masih bertanya?" Alarich menaikkan sebelah alisnya, menatap remeh pada mamanya. Entah dia akan diseb
Namun, sakit hati Audriana tersebut lebih-lebih sakit, sangat sesak dan menikam saat …-Tes' Bulir kristal bening jatuh dari mata elang Alarich. Itu membuat Audriana terhenyak, tertohok serta sesak secara bersamaan. Putranya me--menangis?Meski bulir kristal jatuh dari pelupuk, tampang wajah Alarich masih berbalut dingin. Rahangnya masih mengatup kencang dan amarah masih terasa pekat menguar dari dirinya. "Anakku belum lahir tetapi sudah menerima kebencian dari neneknya sendiri. Kenapa?" datar Alarich, menatap nyalang ke arah mamanya. "Ti--tidak, Nak. Pasti kamu hanya salah paham. Mama tidak mungkin membenci cucunya sendiri, Karl. Mama menyayangi Aeera dan calon cucunya," ucap Gavin, masih memeluk serta menahan tubuh putranya. "Paa, Ara sampai menangis dan memohon di kakinya supaya dia menarik sumpah itu. Dia--" Alarich mengadu, menjeda sejenak sembari menatap ibunya dengan penuh kekecewaan, "dia mengatakan semoga anakku mati dalam perut Ara," lanjut Alarich, kembali menjatuhkan
"Sungguh kau tak ingin ku antar, Tuan?" tanya Bian. Alarich menganggukkan kepala kemudian segera masuk dalam mobil. Bian hanya menghela napas, mengacungkan pundak karena sudah tahu apa yang akan Alarich lakukan. Tentu saja mengikuti Aeera pulang. Ini sudah menjadi rutinitas Alarich semenjak Aeera bekerja di sini. Dan benar! Sekarang Alarich sedang memantau Aeera. Mobilnya tak jauh dari tempat Aeera menunggu taksi. "Sangat cantik," gumam Alarich, terus memandang gasdinya. Saat taksi datang dan Aeera masuk, Alarich langsung bersiap-siap untuk mengikuti. Tibanya di sebuah gang, Aeera turun. Begitu juga dengan Alarich. Biasanya Alarich hanya mengantar hingga gang ini karena mobilnya tak bisa masuk ke dalam. Bisa saja, tetapi gangnya cukup sempit dan Alarich tak suka ribet. Kali ini Alarich memutuskan turun, mengikuti Aeera dengan berjalan tak jauh dari belakang perempuan itu. Alarich perlu tahu seperti apa lingkungan pujaan hatinya tinggal dan seperti apa rumah yang Aeera tempati.
Semenjak hari pertama dia bertemu dengan Aeera, Alarich selalu mengawasi perempuan itu. Dia rasa dia telah jatuh cinta pada perempuan itu dan tergila-gila pada sosok gadis cantik itu. Tahun berganti dan Alarich semakin terjebak oleh perasaan yang dia miliki. Bukan hanya memiliki tingkah lucu, humoris dan menyenangkan, faktanya perempuan yang telah berhasil membuatnya jatuh cinta tersebut seorang yang bertanggung jawab pada pekerjaannya. Dia perempuan cerdas, kompeten dan kreatif. Alarich semakin tenggelam! Sialnya sudah jalan dua tahun lebih dia memantau Aeera, akan tetapi dia tak kunjung punya keberanian untuk mengutarakan perasaan. Hell! Mendekati Aeera secara terang-terangan saja dia tak berani. Pecundang! Alarich memang pecundang! Dulu dia pernah ditolak dan itu menghantui Alarich. Ditolak perempuan yang tak dia sukai saja rasanya sangat menjengkelkan. Apalagi jika Alarich ditolak oleh pujaan hatinya. Lebih sialnya, tiga bulan ini dia diluar negeri. Selain untuk mengurus
--Karl Alarich Adam & Aeera Grizella-- "Ck." Suara decakan kesal terdengar di bibir seorang pria yang sedang duduk di balik setir, sedang mengemudi. Pria tersebut begitu mempesona, sangat tampan dan berkarisma. Dia pria setuju pesona dan love dreams bagi banyak kaum hawa. Bukan hanya dianugerahi ketampanan, dia juga seorang yang sangat sukses–pengusaha yang ditakuti serta berasal dari keluarga terpandang. Hidupnya mendekati kata sempurna! Sayangnya, pria tampan ini digosibkan telah menyimpang. Karena diusia yang ke tiga puluh dua tahun, tak ada issue tentang dirinya yang berkencan dengan perempuan. Dia bersih dari gosip apapun mengenai lawan jenis sehingga banyak orang berspekulasi jika dia seorang homo. Sejujurnya dia bukan pria seperti yang digosibkan. Dia hanya tidak punya waktu untuk meladeni kaum hawa, serta-- fakta jika dia pernah ditolak seseorang. Itulah yang membuat pria tampan ini memilih hidup sendiri–tanpa pasangan. Dertttt' Suara handphone berdering, dia menoleh lal
Hari yang ditunggu pun tiba, Nathan dan Zendaya melangsungkan pernikahan dengan meriah. Sekarang, keduanya telah sah menjadi sepasang suami istri. Keluarga besar Nathan–dari sang Mama, terlihat begitu bahagia. Begitu juga dengan keluarga Zendaya yang penuh suka cita serta keharuan. Tristan dan istri keduanya, maupun Angel tak diundang. Sekalipun mereka ingin mengacau, mereka tidak bisa karena pernikahan Nathan dilakukan di sebuah hotel mewah, dijaga ketat oleh banyak penjaga. Mereka diblacklist dari daftar tamu undangan, sesuai permintaan Preya–yang masih memiliki dendam pada suaminya. Preya juga tidak mau hari bahagia putranya rusak oleh kehadiran Erika dan putrinya. Lagipula makhluk gatal seperti mereka, tak pantas menghadiri acara putranya. Sejak tadi, Danzel terus memandang ke arah adiknya–memperhatikannya dengan lekat. Tatapannya begitu sendu, manik berkaca-kaca sebab merasa sedih tanpa sebab. Sewaktu kecil hingga dia besar, adiknya selalu menyusahkannya. Anak itu cerewet dan p
Sedangkan Victoria yang sudah buntu, menatap penuh harap pada Liora. "Liora, apa kamu bersedia menikah dengan adikku? Apapun akan kuberi padamu asal kamu bersedia membantuku untuk menikah dengan Devson." Liora termenung, menundukkan kepala dengan raut muka sedih. Sedangkan Lachi yang memahami perasaan perempuan itu memilih diam, dia takut salah bicara. Namun, mengejutkannya tiba-tiba saja Liora menganggukkan kepala. "Aku bersedia. Tapi … bawa aku pergi dari sini," ucap Liora, menatap Victoria dengan sendu. "Se-sebenarnya aku sedang bersembunyi dari Angel. Kemarin dia menjebak Tuan Danzel dengan sebuah obat terlarang. Aku tidak tahu apa yang terjadi secara lengkap, tetapi Angel sendiri yang berakhir meminum minuman itu. Dia menghubungiku untuk menyelamatkannya dan aku …-Liora terdiam sejenak. Lachi menggaruk pipi tak enak karena sejujurnya dia tahu kenapa Angel lah yang berakhir meminum jebakannya sendiri. Dia bahkan mendengar percakapan Liora dengan Angel, dan dari sana Lachi bisa
"Karena kebaikan hatinya, Tristan membawa Erika dan putrinya ke rumah. Awal, dia menjadikan Erika sebagai pelayan di rumah kami," cerita Preya pada Nara, mengenai kedatangan Erika dan Angel di keluarga Luis. Nara yang lebih dulu mengungkit Erika, yang ternyata pernah berniat merusak keluarga Nara dan Zavier. Lalu Erika dipecat, diblacklist dari perusahaan manapun serta dari tempat kerja yang berada dinaungan perusahaan Adam. Mendengar itu, Erika tak menyangka. Dia kira Erika yang Nara katakan berbeda dari Erika yang ada di keluarga Luis. Namun, itu Erika yang sama. "Dari awal aku tidak pernah suka pada Erika, sejak Tristan membawanya ke rumah. Katakanlah aku perempuan yang cemburuan. Namun, aku hanya mengikuti feeling sebagai seorang istri dan perempuan yang mencintai suaminya. Benar saja, perempuan itu tidak baik dan dia berhasil menghancurkan rumah tanggaku. Aku tidak menyalahkan dia sepenuhnya, perpisahanku dengan Tristan juga terjadi karena Tristan sendiri. Coba saja dia tegas,
"Dalam rangka apa kau memberiku bunga, Mochi?" tanya Danzel, mengecup kening Lachi. Setelah sebelumnya sang istri menyalam tangannya. "Dalam rangka mencintai Habibi," jawab Lachi dengan nada jelas, nyengir setelahnya karena dia malu-malu. Sial. Padahal dia sudah berlatih berjam-jam di depan cermin. Hanya agar terkesan anggun, tak malu-malu serta tak gugup sedikitpun ketika memberikan hadiah berupa buket bunga primrose ini pada sang suami. Namun nyatanya dia tetap gugup dan malu. "Hum?" Danzel menaikkan sebelah alis, langsung menggendong istrinya secara bridal style–membawa istrinya ke kamar. Ah, masa bodo jika Lachi bermaksud menciptakan adegan romantis. Sungguh, persetan! Toh, di mata Danzel, istrinya tetap terlihat tengah menggodanya. Yah, ini godaan yang manis! Danzel meletakkan bunga pemberian Lachi di atas nakas kemudian membaringkan istrinya di ranjang. "Habibi, tunggu! A-adegan ini tidak ada dalam skenario hayalanku. Harusnya bukan begini. Menjauh dulu," pekik Lachi, meng
"A--aku hanya iseng, tidak ada artinya kok." 'Cinta terpendam.' batin Nathan, terkekeh pelan sembari mengacak pucuk kepala Zendaya secara gemas. Nathan tahu artinya karena salah satu kalung yang dia berikan pada Zendaya–setiap ulang tahunnya, punya bandul bunga mawar putih. Hampir saja dia lupa akan hal itu, dan untuknya dia mengingat. Namun, benarkah Zendaya memberikan kalung ini atas dasar ungkapan cinta terpendam yang perempuan ini rasakan padanya? Atau memang hanya iseng? ***"Nyonya Xavier."Mendengar namanya di panggil, Lachi yang sedang memilih bunga langsung menoleh ke arah seseorang yang memanggilnya. Lachi mengerutkan kening, bingung dan cukup aneh melihat Liora bersama Victoria mendatanginya. "Oh, iya?" ucap Lachi, meletakkan bunga primrose ke tempat semula. Dia menghadap kepada Victoria dan Liora yang telah berada di sebelahnya. "Nyonya sedang membeli bunga untuk Tuan yah?" tanya Liora sembari tersenyum canggung. Lachi membalas dengan senyum tipis, menganggukkan kep
Tangan Donita terangkat ke arah Zendaya, melayang untuk menampar pipi Zendaya. Namun, pergelangan tangannya tertahan. Bahkan dihempas kasar lalu berakhir dirinya yang terkena tamparan. Plak'"Ahck." Donita menoleh kasar ke sebelah, segera memengang pipi yang terkena tamparan. Donita mendongak, menatap seseorang yang telah menampar pipinya dengan sangat kuat–tak punya hati. "Nathan?" pekik Donita tak percaya, menatap sosok pria tinggi yang berada di sebelah Zendaya. Zendaya menoleh ke arah sebelahnya, mendongak untuk melihat Nathan. Pria tersenyum memasang mimik dingin, melayangkan tatapan tajam yang menghunus tepat ke arah Donita. "Kau akan mendapat yang lebih buruk dari ini jika seandainya tanganmu menyentuh kulit wanitaku," ucap Nathan dingin, mengatupkan rahang–menahan gejolak marah karena perempuan ini berniat menyakiti Zendaya.Zendaya yang masih syok karena Donita berniat menamparnya kemudian tiba-tiba ada Nathan di sini yang mengambil peran melindunginya. Kini semakin syok