"Kak, aku ingin bicara sesuatu padamu. Boleh kita bicara sebentar?" tanya Nadien, setelah dia sampai di depan gedung apartemennya. "Bicara di sini. Silahkan," jawab Alarich. Nadien menoleh ke arah Aeera, menatap istri dari Kakak sepupunya tersebut dengan raut muka kusam. Nadien ingin membicarakan hal penting, dan tentunya tanpa ada Aeera. Namun, sepertinya Alarich tidak akan mau meninggalkan Aeera sendirian di mobil. 'Kamu merebut Kak Karl, Aeera. Lihat saja, aku akan membalasnya dengan cara yang sangat menyakitkan. Aku bukan hanya membuatmu kehilangan Kak Karl, tetapi kehilangan bayi dalam perutmu!' dendam Nadien dalam hati, tersenyum ke arah Alarich lalu menggelengkan kepala. "Tidak jadi, Kak. Aku … bicarakan besok saja," ucap Nadien, segera beranjak dari sana–masuk ke gedung apartemen. Alarich memilih tak acuh, menyalakan mesin mobil kemudian segera melaju dari tempat tersebut.Setelah tiba di tempat tujuannya, Alarich memarkirkan mobil. Dia tak langsung keluar, tiba-tiba menole
"Dan naasnya, hanya aku satu-satunya penderita sindrom itu, Darling."Deg deg degJantung Aeera berdebar kencang, melototkan mata karena terkejut oleh ucapan Alarich. Sindrom karena terlalu mencintainya? Hah, sungguh?! Alarich mencintainya?"Ma--Mas bilang apa?" gugup Aeera, memandang tak santai pada Alarich. Pria tersebut masih di atas tubuhnya, setengah menindih Aeera. "Aku bilang, aku mencintaimu. Kenapa?" ucap Alarich, mendadak senyumnya buyar–berganti dengan raut muka dingin serta tatapan tajam. Sejujurnya dia khawatir dengan kata penolakan yang akan keluar dari bibir Aeera. Penolakan adalah hal yang Alarich benci, terutama jika itu Aeera. Selama ini Alarich memilih diam, memiliki perempuan ini lewat paksaan, juga karena kekhawatiran Alarich pada penolakan. Ditolak orang yang tak dia sukai saja, Alarich benci dan marah. Apalagi ditolak oleh Aeera, Alarich bisa gila. "A--aku rasa aku masih bermimpi," gumam Aeera pelan, memejamkan mata untuk tidur kembali. Aeera yakin jika ini h
Alarich memperhatikan Aeera secara intens, menatap wajah gelisah serta malu-malu sang istri. Saat ini mereka berdua sedang sarapan, di mana setelah ini Alarich akan berangkat bekerja. "Cih." Alarich berdecis pelan lalu terkekeh merdu–masih setia memperhatikan semburan merah di pipi istrinya. Menggemaskan! Tadi malam, perempuan ini sungguh pingsan setelah mengatakan cinta pada Alarich. Jujur saja, Alarich tak menyangka jika Aeera akan pingsan. Dia kira Aeera hanya bercanda ketika mengatakan bisa pingsan jika mengutarakan perasaannya, tetapi perempuan itu benar-benar pingsan. Alarich? Dia khawatir namun merasa lucu secara bersamaan. Sembari berusaha menyadarkan Aeera, Alarich tertawa geli. Ini konyol! Alarich selama ini menunda-nunda untuk jujur pada Aeera sebab takut ditolak. Sedangkan istrinya-- tremor parah bahkan berakhir pingsan setelah mengutarakan perasaan pada Alarich. Bukankah itu indah? Tentu! Perempuan yang sedang mengunyah secara lambat ini ternyata sangat mencintainya.
"Di mana istriku?" tanya Alarich dengan nada khawatir. Dari seorang maid, Alarich mendapat laporan buruk mengenai istrinya, oleh sebab itu dia buru-buru pulang dari kantor. Alarich seharusnya memang pulang ketika siang, sebab dia telah berjanji untuk menemani Aeera ke dokter. Namun, tujuan Alarich pulang bukanlah mengajak Aeera cek up, melainkan karena rasa khawatir pada kondisi Aeera. "Nyonya ada di dalam, Tuan. Nyonya masih menangis," jawab maid yang membawa Aeera pergi dari rumah Tuannya. Sepanjang perjalanan menuju tempat ini, wanita tegar dan selalu ceria yang selama ini ia kenal, terus saja menangis. Dia sangat mengkhawatirkan kondisi nyonya-nya. Bayangkan saja, wanita hamil yang tak diusik ketenangannya saja bisa tertekan oleh pikirannya sendiri. Apalagi nyonyanya yang dimaki-maki oleh mertuanya, bahkan sampai tega menyumpahi anak dalam perut nyonya-nya meninggal. Dan karena sumpah itu, Nyonyanya sampai di kaki ibu dari Tuannya tersebu
Namun, setelah di depan Alarich, dia dibuat terkejut. Plak' Tamparan kuat langsung melayang ke pipi Nadien, membuat perempuan itu terhempas kasar ke lantai. Nadien kehilangan keseimbangan pada tubuhnya, tamparan Alarich sangat kasar dan kuat. "Ahck," ringis Nadien sakit. Pipinya terasa sangat sakit, sepertinya tulang rahang pada wajahnya patah karena tamparan kuat Alarich. "KARL!""KARL SAYANG."Audriana dan Ruqayah berteriak bersamaan, Audriana langsung menghampiri Nadien sedangkan Ruqayah memilih menghampiri Alarich. "Karl, apa yang kamu lakukan, Hah?!" ucap Audriana, melayangkan tatapan tak percaya pada putranya. Sebelum Alarich menjawab, ayahnya dan Bian tiba di sana–mengambil tempat tak jauh dari Alarich, mewanti-wanti jika Alarich kehilangan akal sehatnya. Gavin belum tahu dengan pasti apa masalah yang terjadi, Bian hanya mengatakan jika Aeera sedang tidak baik-baik saja. "Masih bertanya?" Alarich menaikkan sebelah alisnya, menatap remeh pada mamanya. Entah dia akan diseb
Namun, sakit hati Audriana tersebut lebih-lebih sakit, sangat sesak dan menikam saat …-Tes' Bulir kristal bening jatuh dari mata elang Alarich. Itu membuat Audriana terhenyak, tertohok serta sesak secara bersamaan. Putranya me--menangis?Meski bulir kristal jatuh dari pelupuk, tampang wajah Alarich masih berbalut dingin. Rahangnya masih mengatup kencang dan amarah masih terasa pekat menguar dari dirinya. "Anakku belum lahir tetapi sudah menerima kebencian dari neneknya sendiri. Kenapa?" datar Alarich, menatap nyalang ke arah mamanya. "Ti--tidak, Nak. Pasti kamu hanya salah paham. Mama tidak mungkin membenci cucunya sendiri, Karl. Mama menyayangi Aeera dan calon cucunya," ucap Gavin, masih memeluk serta menahan tubuh putranya. "Paa, Ara sampai menangis dan memohon di kakinya supaya dia menarik sumpah itu. Dia--" Alarich mengadu, menjeda sejenak sembari menatap ibunya dengan penuh kekecewaan, "dia mengatakan semoga anakku mati dalam perut Ara," lanjut Alarich, kembali menjatuhkan
"Adek? Acieeeeee … awok awok awok awok … dipanggil Adek. Ahahaha …." Tawa Shila menggema, merasa lucu dengan panggilan pria tampan di sebelahnya pada Aeera. Manis dan terasa romantisnya, tetapi tetap lucu mengingat sahabatnya pernah marah-marah sebab dipanggil 'adek oleh yang dibawah umur mereka. Tawa Shila langsung lenyap, reflek menutup mulut dengan rapat sembari melirik makhluk mengerikan yang berdiri di sebelahnya. Mata Shila membelalak. Astaga! Dia sedang bermain-main dengan kematian, sungguh berani dirinya menertawakan Alarich. Mampus! "Hehehe … aku keluar dulu, Aeera, Tu--tuan Alarich. Papai …." Dengan kikuk dan takut setengah mati, Shila melambaikan tangan ke arah Aeera. Kemudian dia buru-buru keluar dari ruangan tersebut. Aeera mengerjap-erjab, menatap Alarich sekilas lalu menatap Shila yang telah keluar dari tempat tersebut. "Kau ingin bulan madu?" tanya Alarich, mengabaikan sahabat istrinya yang cukup aneh tersebut. Dia memilih menanyakan hal serupa, seperti sebelumnya.
"Tante Audriana, ini semua salahku. Nenek dan Om Gavin … bahkan Karl marah pada Tante, itu semua karena kehadiranku di sini." Audriana menatap keponakannya dengan raut muka sendu. Dia tidak mengatakan apa-apa sebab dia tidak tahu harus berbicara seperti apa pada Nadien. Semuanya hancur! Tetapi … kasihan jika Audriana menyalahkan Nadien untuk semua yang telah terjadi. "Karl bilang ada empat orang suruhannya yang datang untuk membantumu. Benar, Nadien?" tanya Audriana dengan nada datar. Sejenak mimik muka Nadien menjadi pucat, namun dia bisa menguasai diri. Buru-buru rautnya ia rubah, menampilkan ekspresi bingung serta polos. "Aku tidak tahu, Tante. Saat itu aku sangat panik, a--aku takut dan traumaku muncul. Aku ingat orang-orang membantuku, tapi aku tidak tahu dan tidak sempat untuk memastikan. Aku … aku-- aku …-""Hentikan!" Ucap suara tegas, tiba-tiba menyahut dengan lantang dan menyela perkataan Nadien. Gavin berjalan dengan langkah tegap ke tempat istrinya dan perempuan licik