Tiidak kuat menahan rasa marah. Tanpa aba-aba Grace langsung menerjang Freya, merampas kembali kertas miliknya, kemudian mendorong wanita jahanam itu.
"Sekali lagi kau ikut campur urusanku, aku tidak akan segan mengotori tanganku!" gertak Grace penuh kilatan amarah pada sorot matanya.Freya terbelalak hampir saja terhuyung ke belakang andai ia tidak bisa menjaga keseimbangan. Beruntungnya, Freya melakukan itu dengan cepat sekaligus mengembalikan ekspresi keterkejutannya. Ia tidak menduga jika Grace bisa berbuat kasar dan nekat seperti itu.Freya lantas menarik sudut bibirnya. "Hah, kau pikir aku akan tinggal diam! Aku juga akan terus menghalanginya. Aku pasti bisa menyingkirkanmu dari sisi Max! Tunggu saja setelah aku dapat bukti-bukti itu, Grace! Kau pasti menyembunyikan rahasia ...! Hahaha ..."Setelah puas mengancam Grace, Freya meninggalkan wanita itu sendiri. Grace terpaku menatap hasil Lab yang sudah kusut tak beraturan. Perlahan tangannyStella yang beberapa hari lalu pingsan karena dua orang laki-laki mencurigakan itu kembali hanya untuk mencari kebenaran suami rahasia Grace. Terlebih lagi sang perawat mendengar pernyataan Leon. Jika anak itu bertemu dengan pria mencurigakan di dalam kamarnya.Sang perawat langsung mengatakan apapun yang ia dengar pada Brian. Tak elak, Brian pun juga sama-sama terkejut. "Sebenarnya aku tidak tau pasti apa yang sedang mereka inginkan. Tetapi ... ini hanya dugaanku saja jika mereka sebenarnya tidak mengerti apapun tentang Leon. Walaupun wanita yang mereka maksud Grace yang sama.""Tapi siapa mereka sebenarnya? Mengapa mereka mencari suami Grace yang sudah pasti tidak akan mereka temukan!" balas Stella."Nah, itu aku juga tidak tau, Stella. Apabila mereka orang Jerman yang mengenal Grace, tentunya mereka tidak akan mengenali Grace dengan nama aslinya. Dan ... jika mereka dari Italia, seharusnya mereka tidak mengenal Leon. Karena setahuku Grace selama ini tidak pernah membuka jati diri
Tatapan kacau dan wajahnya yang sudah basah dengan air mata, Grace meratapi sosok yang terkapar dengan berlumuran darah. Wanita itu tercengang melihat wanita muda tidak sadarkan diri."Chel ... Chelsea!" Grace menutup mulutnya menahan agar dirinya tidak berteriak kuat. Langkahnya terpaku, tangannya bergetar. Namun, ia berusaha mengendalikan dirinya. "To-tolong!" teriak Grace melihat sekeliling, kemudian merogoh ponsel dalam tasnya. Berulang kali Grace menghubungi Max. Akan tetapi, pria itu tidak menjawab teleponnya."Max ... ayo, angkat ...!" Grace mengumpat dengan tangan gemetaran. Ia terus menghubungi Max sampai beberapa orang melihatnya, dan petugas polisi mengevakuasi lokasi."Maaf, Anda harus menepi, Nyonya," ucap petugas polisi."Saya mengenalnya, Pak. Dia adik saya." Sembari menjawab, Grace masih berusaha menghubungi Max.Dalam keadaan yang sangat tegang, tim medis pun juga datang. Mereka segera menolong dan mengeluarkan Chelsea dari mobil yang ringsek."Hati-hati!" tegur pe
Grace yang berada di pelukan Max berpegangan erat pada pinggang sang pria saat mendengar pernyataan dokter. Begitu pun dengan Max, hatinya benar-benar hancur saat adiknya terluka hingga menyebabkan retak bagian pinggul."Kemungkinan besar pasien akan sulit memiliki keturunan, Tuan. Karena pasien hanya memiliki satu ovarium," jawab sang dokter."Mak-maksud Dokter, Chelsea harus pengangkatan ovarium?" Grace mengulang pertanyaan."Ya, seperti itulah Nyonya. Karena retak bagian pinggul hingga luka di bagian dalam tersebut," balas sang dokter, lalu beralih pada Max. "Saya belum bisa memastikan ini sekarang. Kita lihat saja hasil operasinya nanti. Yang pasti korban harus menjalani operasi segera, Tuan."Tanpa menunggu lama menyangkut nyawa sang adik. Bagaimana mungkin Max membiarkan Chelsea kesakitan tanpa mendapatkan pertolongan."Lakukan, Dok! Lakukan segera!""Bagaimana dengan suaminya?" tanya sang dokter. "Itu harus persetujuan dengan suaminya juga, Tuan."Grace terbeliak. "Max, apa tid
Tubuh Darren hampir saja terhuyung andai saja Max tidak memegangi lengan pria itu. Darren benar-benar tidak bisa berkata-kata setelah mendengar pernyataan sang dokter.Max menyangga tubuh Darren dengan lengannya, sementara tangan Max menepuk-nepuk pundak pria itu "Aku tau kamu berat menerima kenyataan ini. Kita semua juga bersedih atas apa yang menimpa Chelsea. Tapi apa boleh buat, kita juga tidak bisa menolak takdir, Darren. Kuharap kau bisa menerima kekurangan Chelsea."Sebagai seorang kakak, sudah pasti akan menjaga adiknya selama ia bisa lakukan itu. Max saja bahkan tidak tega melukai Chelsea sejak bayi.Sang dokter yang masih berada di depan ketiganya pun mengangguk, "Baik kalau begitu Tuan, setelah observasi selesai, pasien akan kami pindahkan ke ruang rawat inap."Setelah mengatakan hal itu sang dokter langsung meninggalkan ketiganya yang masih terpaku."Max ..." Grace mengegam tangan sang suami yang terbebas.Pria tampan itu menoleh, mengedipkan mata pelan. Seolah memberi isy
Mendengar pekik kesakitan wanita paruh baya, Freya seketika langsung menoleh dan menghampiri wanita tersebut. Maya merintih terduduk kesakitan di lantai. Sebab, kaki wanita itu menginjak pecahan beling yang berserakan.Bukannya menolong, Freya justru berkacak pinggang di depan wanita yang sudah melahirkannya. "Mama kenapa ada di sini?!" bentak Freya dengan melebarkan matanya. "Mau mengawasiku! Mau menguping, ya! Makanya tidak usah mengendap-endap seperti pencuri!"Freya semakin mencecar dengan tuduhan yang tidak masuk akal hingga membuat sang ibu mendongak. "Freya! Mama ini tidak sedang mengupingmu! Mama hanya mau tau apa yang terjadi di kamarmu ini. Kenapa kamu membanting semuanya?"Freya tidak merasa kasihan sedikit pun dengan sang ibu, tetapi justru berdecih. "Cih, alasanmu saja!"Pelayan yang mendengar jeritan Maya pun langsung menyusul ke atas dengan hati-hati. Sang pelayan seketika mengernyit miris, merasa kasihan dengan Maya yang justru mendapat hinaan dari sang majikan. Frey
Pagi ini, di ruangan kamar luas yang di dominasi warna gold dan abu-abu, membuat kesan mewah pada ruangan tersebut. Max kembali disibukkan dengan pekerjaannya, setelah beberapa hari dibuat pusing dengan masalah kantor dan keluarga, terutama Chelsea.Grace yang duduk di tepi ranjang, melihat ke arah Max yang sedang merapikan dasinya di depan cermin. Wanita itu menyilangkan kaki, dan masih menggunakan gaun tidurnya."Kau tidak pergi ke kantor hari ini?" tanya Max melihat Grace dari pantulan cermin."Hm, tidak Max. Rencananya aku mau pergi bersama Agatha."Mendengar nama Agatha, sontak membuat Max membalikkan badan, menatap penuh tanya, "Mau ke mana kalian?"Seingat Max, terakhir kali istrinya datang pada acara pesta yang diadakan bersama Agatha, ia justru dibuat malu dengan tingkah para wanita itu."Aku hanya mau berbelanja, Max!" jawab Grace meyakinkan. "Ke mana lagi aku biasa pergi dengan dia ....""Kau tidak akan l
Agatha pun menjadi ikut penasaran dengan sosok yang dilihat sahabatnya. Gadis itu mengikuti tujuan pandangan Grace pada seorang laki-laki. "Kamu melihat siapa Grace, apa kamu mengenalnya?" bisik Agatha membuat wanita itu tersadar. "Ya, aku mengenalnya." Langkah keduanya semakin terkikis hingga kedua wanita itu berhadapan dengan laki-laki tersebut. Pria itu juga terkejut dengan ketidaksengajaan dirinya bertemu dengan Grace. "Grace?" Steve melebarkan mata, terkesiap. "Kamu juga ada di sini?" "Kenapa kamu di sini?" tanya Grace yang justru lebih penasaran. Bukan hal yang wajar bukan, karena tempat yang dikunjungi Steve adalah klinik kecantikan wanita? "Ah ... itu! Jangan kamu coba berpikir aku pria jadi-jadian ya ...!" tawanya tergelak. Pria itu langsung menangkap pemikiran negatif Grace terhadap dirinya. Grace hanya mengangguk-angguk, sedangkan Agatha masih membaca situasi. "Aku seratus persen pria, Grace! Jadi tidak usah mencurigaiku!" Grace yang sekarang ingin terbahak, me
Setelah satu hari kemarin menghabiskan waktu bersama Agatha, dan acara terakhir Steve mengajaknya makan. Kini, Grace sudah berada di rumah. Wanita itu sejenak termenung berdiri di balik tirai tipis, memandang keluar jendela.Meskipun Grace baru saja bersenang-senang dan tertawa, tetapi pikiran Grace tak lekang dari sang anak yang berada di sana. Wanita itu terus memikirkan siapa sosok yang sedang mencarinya di Jerman. Sebab, orang tersebut menduga ia mempunyai suami simpanan, bukan anaknya—Leon."Sebenarnya apa yang diinginkannya? Siapa orangnya yang berpikiran begitu ..."Teka-teki ini terus bergelayut di kepalanya. Hingga akhirnya lamunan wanita itu lenyap karena dering telepon."Papi ...?" Grace tersentak membaca nama penelpon pada layar datarnya. "Kenapa, ya?"Wanita itu terus bergumam sebelum menerima panggilan tersebut. Karena tidak mungkin sang ayah mertua menghubunginya jika tidak ada urusan yang sangat mendesak.Hingga beberapa nada dering itu berbunyi ..."Hallo, Pi?" sapa G