Chelsea membantu Kenan bangkit dengan keraguan. Bukan karena ia tidak ingin bersentuhan dengan sang pria. Namun, Chelsea berusaha menjaga jarak agar debaran jantungnya tidak terdengar."Semoga saja dia tidak mendengarnya," batin sang wanita bergerak kikuk, lalu melihat Kenan, menyodorkan tangan dengan gemetaran, "Kamu tak apa, Ken? Maaf ..."Kenan yang melihat uluran tangan lalu kemudian melihat ke wajah Chelsea, keduanya tampak canggung."Saya tidak apa-apa, Nyonya,"ucap Ken lalu berguling, bangkit dengan tegap. Kini, keduanya berhadapan. "Ya sudah, kalau kamu baik-baik saja. Oh ya, segera ganti bajumu, aku mau ke mall nanti," kata Chelsea. Setelah mengatakannya, Chelsea bergegas menjauh dari Kenan. Ia berusaha menutupi rona kemerah-merahan pada pipinya. "Duh ... Kenapa aku seperti ini ...?" batin Chelsea mondar-mandir di dalam kamar. "Tenang, Chelsea. Kamu pasti hanya kaget."Wanita itu menolak bahwa
Di Jerman, Rumah Sakit Chartie. Alika dan Leon berdiri di dekat jendela dalam kamar rumah sakit. Keduanya tampak berdiskusi dengan penuh harapan. Leon tampaknya antusias ke rumah Alika setelah gadis itu banyak menceritakan tentang tempat tinggalnya. "Ayo, Leon, kita pergi ke rumahku sebentar tidak jauh dari sini. Aku ingin menunjukkan beberapa hal padamu," ajak Lika dengan penuh binar.Memang, tempat tinggal Alika tidak jauh dari rumah sakit. Namun, kendala yang di hadapi keduanya adalah meyakinkan Brian dan Stella agar bisa mengijinkan Leon.Sementara Leon terlihat sedikit cemas namun tetap berharap bisa pergi. "Iya, aku ingin pergi, tapi … kita harus minta ijin dulu, kan? Aku tidak yakin Om Brian mengijinkannya, Lika," kata Leon ragu."Kita coba saja dulu. Kalau kita tidak mengatakannya, kita tidak tau hasilnya."Leon mengangguk-angguk. "Benar katamu. Ayo, kita cari mereka!"Keduanya kemudian mendekati Brian dan Stella ya
Leon sejenak terdiam, namun sembari berpikir. Ia tidak begitu suka dengan ide adanya pengawasan, tetapi melihat wajah sedih Alika tadi, dan mendengar persetujuan dari Brian, ia akhirnya setuju meskipun dengan berat hati.Anak tampan menyunggingkan senyum kecil, "Baiklah Om, kalau itu syaratnya, aku ikut. Tapi aku berharap tidak ada yang aneh."Mendengar Leon mau bersepakat dengan tawaran yang diberikannya, Brian sedikit merasa lega. Selain itu, Leon pun sudah tersenyum lagi padanya."Ayo, bawa aku ke kamar, Aunty!" pinta Leon tampak riang.Stella turut mengulas senyum, "Oke, Sayang."Dengan wajah sumringah, Leon bergegas bangkit dari kursi rodanya setelah tiba di kamar. Anak tampan itu berdiri di samping jendela, menatap pemandangan luar dengan penuh harapan. Ia merasa lega setelah mendapatkan kepastian. Sekarang, dia hanya perlu menghubungi Alika dan memberitahukan berita baik itu. Tangannya menggenggam ponsel, lalu dengan
Hanya ada cahaya senter yang mereka pegang, menerangi jalan yang tampaknya tak ada ujungnya. Udara di dalam lorong pun terasa pengap, seolah-olah tempat itu telah lama terlupakan. Dengan langkah hati-hati, mereka mulai berjalan memasuki lorong yang semakin dalam. Suara langkah kaki mereka terdengar bergema, seakan keduanya sedang berjalan di ruang yang kosong dan sunyi. "Ini... aneh, kan? Tidak ada suara sama sekali. Seperti dunia yang terpisah dari yang lain," kata Alika. Leon menatap lorong dengan waspada, suara sedikit bergetar, "Ya ... seperti kita sudah meninggalkan dunia luar dan masuk ke tempat yang tidak seharusnya kita tahu. Tapi aku heran, mengapa ada lorong ini di dalam rumahmu?" Alika menggendik bahu, "Entahlah, aku sendiri juga tidak tau jika ada lorong tersembunyi di dalam kamarku. Aku pun baru tau setelah memindahkan lemari itu." "Lalu, apakah kita akan terus mengikuti jalan ini?" Sambil melanjutkan langkah, Leon menggenggam senter lebih erat. Langkah mereka
Edward berdiri cemas di ruang tamu rumah Alika. Pandangannya terpaku pada ponsel yang ada di tangan. Sejenak ia ragu mengabarkan tentang hilangnya Leon dan Alika dari pengawasannya. Mungkin hanya butuh beberapa detik, namun rasanya sudah seperti berjam-jam baginya untuk menentukan keputusan. Leon dan Alika hilang, mereka belum kembali juga. Setiap detik yang berlalu menambah kekhawatiran dalam dirinya. Tak bisa menunggu lebih lama, Edward memutuskan untuk segera menghubungi Brian. "Brian, ini Edward. Aku butuh bantuanmu, Leon dan Alika ... mereka hilang! Aku tidak tahu di mana mereka!" Suaranya terdengar panik dengan raut cemas. Brian seketika terhenyak "Apa?! Kamu serius? Mereka hilang? Kenapa kamu bisa kehilangan mereka?!" Kemarahan Brian pun semakin menjadi. Sang dokter tidak bisa menerima kenyataan bila Leon justru hilang dari pengawasan sang bodyguard. "Aku baru sadar mereka mungkin masuk ke dalam lorong, Brian! Aku tidak tau ke mana ujung lorong ini, namun aku yakin ked
Alfonso menatap lurus ke meja di depannya, tangan kanannya menggenggam secangkir kopi yang kini mulai dingin. Carlos duduk di depannya, dengan ekspresi wajah yang tidak jauh berbeda darinya. Serius dan penuh perhitungan. Seolah otaknya sedang memikirkan sesuatu yang cukup rumit."Semua sudah kita atur," ujar Carlos dengan suara rendah. "Grace tidak akan pernah menyangka apa yang akan terjadi nantinya."Alfonso mengangguk perlahan, lalu menambahkan, "Dan polisi tidak akan bisa menemukan jejaknya. Semua akan terlihat seperti kecelakaan biasa. Kau yakin sudah siap?"Carlos memutar gelas kopinya pelan. "Seperti yang kau lihat, kita hanya perlu menunggu waktu yang tepat."Keduanya terdiam sejenak. Suasana di kafe pinggir jalan itu terasa damai, namun percakapan mereka penuh dengan ketegangan. Hanya bunyi langkah pengunjung dan suara kendaraan yang sesekali melintas memecah keheningan."Hah ... setelah dipikir-pikir, sudah lama kita tidak
Di depan klinik OBGYN milik Dr. Emily, Grace mengembuskan napas panjang. Langit mulai gelap, lampu jalanan menyala, dan udara dingin mulai terasa menusuk kulit. Sambil meraih ponselnya dari tas, Grace terkejut melihat notifikasi dari aplikasi bank. "Pembayaran dari kartu debit Anda telah berhasil." Ia mengerutkan kening, membaca notifikasi itu berulang kali. "Pembayaran makanan di kafe Fourth Avenue?" gumamnya pelan. "Apa Leon menggunakan kartu ini untuk membayar makan malam? Apa dia bersama Stella sekarang?" Grace memiringkan kepala, mencoba mengingat apakah ia memberi izin Stella untuk membawa Leon makan di luar malam ini. Namun, ingatannya kosong. Rasa penasaran mulai bercampur dengan kekhawatiran. Ia segera mencari kontak Stella dan menekan tombol panggil. Di tempat lain, Stella yang sedang berada di mobil bersama Brian hampir melompat dari kursinya ketika ponselnya tiba-tiba berdering. Nama "Nyonya Grace" tertera di layar. Stella memandang Brian panik. "B-brian... Nyonya
Grace sedang termangu di depan pintu ruang praktek Dr. Emily. Tangannya memegang ponsel dengan erat, pikirannya berkecamuk memikirkan notifikasi kartu debit milik Leon beberapa saat lalu. Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti saat melihat sosok yang familiar, keluar dari pintu lift menuju lantai yang sama."Grace? Apa yang kamu lakukan di sini?""Agatha?" gumam Grace pelan, alisnya terangkat.Agatha, yang mengenakan blazer pastel dan rok selutut nampak begitu terkejut. Mereka berdua saling pandang beberapa detik sebelum akhirnya Agatha tersenyum. "Kamu juga ada janji dengan Dr. Emily hari ini, Grace?" tanyanya sambil melangkah mendekat.Semua orang pasti paham apa yang mereka lakukan di tempat ini. Grace tidak akan bisa mengelak. Wanita itu tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan kegugupannya. "Iya, ada sesuatu yang harus aku periksa. Kamu sendiri ada perlu apa ke sini?"Agatha tersenyum sambil merapikan rambu
Mobil SUV hitam melaju kencang di jalanan kota yang agak lengang sore itu. Nampak jalanan penuh daun kering yang berguguran dan berhamburan saat roda mobil yang membawa Grace menerpanya. Di dalam mobil, dua pria tengah memasang wajah tegang seraya sesekali melirik ke kursi belakang tempat Grace berada."Tambah kecepatannya!" titah Ruben dengan dahi yang berkerut."Ini sudah paling cepat, Ruben!" sergah Diego sedikit kesal.Grace mencoba mengingat-ingat apa yang sudah ia lakukan di masa lampau. "Apa aku pernah berurusan dengan orang lain? Atau apa aku pernah menyakiti hati orang terdekat sehingga orang itu ingin membalas dendam kepadaku? Ataukah ini penculikan biasa yang hanya menginginkan uang tebusan?" batinnya.Dengan hati-hati, Grace mencoba meraih ponsel di saku bajunya, mencoba menekan tombol untuk mengirimkan lokasinya ke Arthur meskipun kedua tangannya terikat. Namun, nampaknya itu semua sia-sia. Diego tiba-tib
Siang itu, matahari bersinar cerah, tapi hati Grace terasa mendung. Setelah kepergian Max yang begitu mendadak dan penuh tanda tanya, ia hanya bisa menghela napas panjang. Rasa dingin dalam sikap Max masih menghantui pikirannya."Kenapa Max tiba-tiba berubah seperti itu" gumamnya lirih sambil memandangi jendela ruang tamu. "Yah.... setidaknya semoga dia selamat sampai tujuan."Setelah beberapa saat termenung, Grace memutuskan untuk pergi ke kafe langganannya, tempat di mana ia biasa menenangkan pikiran dan sekedar mencari udara segar.Grace mengenakan gaun kasual berwarna pastel, memadukannya dengan tas kecil dan sandal berhak rendah. Ia mencoba tersenyum di depan cermin, meskipun hatinya terasa berat."Udara segar mungkin bisa membantuku menjernihkan pikiran," katanya pada dirinya sendiri sebelum melangkah keluar rumah.Setelah tiba di kafe, Grace memilih meja outdoor yang menghadap ke jalan. Ia memesan secangkir teh lemon dan sepir
Malam itu, Grace baru saja tiba di rumah setelah menghabiskan waktu di mall. Langkah kakinya terdengar pelan di lantai marmer rumah besar yang sunyi. Ia menghela napas dan melepaskan sepatu hak tingginya. Namun, rasa lelahnya sirna seketika ketika ia melihat Max duduk di ruang tamu, wajahnya diterangi lampu gantung yang redup."Max? Kamu sudah pulang?" Grace mencoba menyapa dengan suara lembut, menyembunyikan rasa terkejutnya.Max hanya mengangkat pandangan sekilas tanpa senyum, lalu kembali menatap layar tablet di tangannya. Di atas meja, sebotol red wine dan gelas burgundy tersaji. Suasana yang biasanya hangat di antara mereka kini terasa dingin, seperti ada sesuatu yang tidak terucapkan menggantung di udara."Bagaimana pekerjaanmu di kantor?" Grace mencoba mencairkan suasana, berjalan mendekat sambil melepas tasnya."Baik, tidak ada masalah," jawab Max singkat, tanpa mengalihkan pandangan dari tablet.Grace terdiam sejen
Posisi Carlos dan Alfonso membelakangi Brian dan Stella, sehingga keduanya tidak nampak jelas siapa dua pria yang bersama Leon sekarang."Ah, iya kamu benar! Tapi ... siapa dua pria itu?" gumam Brian, nadanya penuh kewaspadaan.Stella menatap Brian dengan gugup. "Apa mungkin mereka yang menemani Leon dan Alika sejak hilang tadi? Apa yang mereka bicarakan?"Brian segera memarkirkan mobil di tepi jalan dan berkata, "Kita harus menghampiri mereka sekarang juga, Stella.""Ayo, kita ke sana!" Stella mengangguk cepat, membuka pintu mobil dengan tergesa-gesa.Namun, sebelum mereka bisa melangkah lebih jauh, ponsel Brian tiba-tiba berdering. Nama Edward terlihat muncul di layar."Edward?" jawab Brian dengan suara tegang. "Ada apa?""Kamu di mana sekarang?" tanya Edward dari balik speaker ponselnya."Aku bersama Stella di depan Fourth Avenue Cafe. Kenapa?""Apa kalian sudah menemukan mereka?" tanya Edward d
Setelah beberapa jam berada di rumah sakit untuk pemeriksaan rutin, Grace merasa sedikit jenuh. Keputusan spontan untuk mengisi waktu luang, membawa langkahnya ke sebuah pusat perbelanjaan, yang terletak tidak jauh dari rumah sakit. Ia memasuki satu toko, lalu berpindah ke toko lainnya, menjelajahi setiap sudut yang membuatnya lupa waktu. "Baju bayi ini sangat lucu-lucu," kagum Grace pada perlengkapan bayi yang ada di dalam satu outlet. "Tapi aku belum tau jenis kelaminnya, jadi ... nanti saja belinya," sambungnya. Ia kembali melangkah menyusuri setiap sudut mall hingga membeli barang-barang yang ia butuhkan. Namun, rasa lelah mulai menyergapnya. Kehamilan muda ini sangat membuatnya kesusahan, tapi demi Leon, apapun akan Grace lakukan untuk bertahan. "Aku harus kuat demi anakku!" tekadnya yakin. Kemudian, Ia memutuskan untuk beristirahat sejenak di restoran yang ada di dalam mall tersebut. "Sebaiknya aku minum dulu. Rasanya sangat lelah," batin Grace melangkah masuk. Grac
Sore itu, Chelsea dan Kenan bersiap untuk pergi ke mall. Sang bodyguard setia Chelsea, memastikan semuanya berjalan lancar. Chelsea dengan senyum ceria, sudah tak sabar untuk berbelanja, dalam balutan short skirt dengan atasan crop yang ia pakai.Mereka berdua keluar dari rumah dan menuju mobil. Kenan duduk di kursi pengemudi, memastikan sang Nyonya sudah memakai sabuk pengaman. Walaupun beberapa hari semua terasa tenang, namun Kenan selalu menjaga kewaspadaan, melindungi sang Nyonya dari kegilaan mantan suaminya."Kita ke mall biasa saja, Ken. Di sana lebih besar. Aku rasanya ingin menghabiskan semua uangku ..." ucap Chelsea terkikik.Kenan hanya menatap sekilas melalui kaca spion tengah, seraya mengangguk.Sesampainya di mall, Chelsea langsung melangkah cepat menuju pintu utama. Kenan mengikuti di belakangnya, matanya tak pernah lepas dari sekeliling."Ayo ke sana dulu, Ken," ajak Chelsea tanpa sadar menarik tangan Kenan.Pria
Grace sedang termangu di depan pintu ruang praktek Dr. Emily. Tangannya memegang ponsel dengan erat, pikirannya berkecamuk memikirkan notifikasi kartu debit milik Leon beberapa saat lalu. Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti saat melihat sosok yang familiar, keluar dari pintu lift menuju lantai yang sama."Grace? Apa yang kamu lakukan di sini?""Agatha?" gumam Grace pelan, alisnya terangkat.Agatha, yang mengenakan blazer pastel dan rok selutut nampak begitu terkejut. Mereka berdua saling pandang beberapa detik sebelum akhirnya Agatha tersenyum. "Kamu juga ada janji dengan Dr. Emily hari ini, Grace?" tanyanya sambil melangkah mendekat.Semua orang pasti paham apa yang mereka lakukan di tempat ini. Grace tidak akan bisa mengelak. Wanita itu tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan kegugupannya. "Iya, ada sesuatu yang harus aku periksa. Kamu sendiri ada perlu apa ke sini?"Agatha tersenyum sambil merapikan rambu
Di depan klinik OBGYN milik Dr. Emily, Grace mengembuskan napas panjang. Langit mulai gelap, lampu jalanan menyala, dan udara dingin mulai terasa menusuk kulit. Sambil meraih ponselnya dari tas, Grace terkejut melihat notifikasi dari aplikasi bank. "Pembayaran dari kartu debit Anda telah berhasil." Ia mengerutkan kening, membaca notifikasi itu berulang kali. "Pembayaran makanan di kafe Fourth Avenue?" gumamnya pelan. "Apa Leon menggunakan kartu ini untuk membayar makan malam? Apa dia bersama Stella sekarang?" Grace memiringkan kepala, mencoba mengingat apakah ia memberi izin Stella untuk membawa Leon makan di luar malam ini. Namun, ingatannya kosong. Rasa penasaran mulai bercampur dengan kekhawatiran. Ia segera mencari kontak Stella dan menekan tombol panggil. Di tempat lain, Stella yang sedang berada di mobil bersama Brian hampir melompat dari kursinya ketika ponselnya tiba-tiba berdering. Nama "Nyonya Grace" tertera di layar. Stella memandang Brian panik. "B-brian... Nyonya
Alfonso menatap lurus ke meja di depannya, tangan kanannya menggenggam secangkir kopi yang kini mulai dingin. Carlos duduk di depannya, dengan ekspresi wajah yang tidak jauh berbeda darinya. Serius dan penuh perhitungan. Seolah otaknya sedang memikirkan sesuatu yang cukup rumit."Semua sudah kita atur," ujar Carlos dengan suara rendah. "Grace tidak akan pernah menyangka apa yang akan terjadi nantinya."Alfonso mengangguk perlahan, lalu menambahkan, "Dan polisi tidak akan bisa menemukan jejaknya. Semua akan terlihat seperti kecelakaan biasa. Kau yakin sudah siap?"Carlos memutar gelas kopinya pelan. "Seperti yang kau lihat, kita hanya perlu menunggu waktu yang tepat."Keduanya terdiam sejenak. Suasana di kafe pinggir jalan itu terasa damai, namun percakapan mereka penuh dengan ketegangan. Hanya bunyi langkah pengunjung dan suara kendaraan yang sesekali melintas memecah keheningan."Hah ... setelah dipikir-pikir, sudah lama kita tidak