Di depan klinik OBGYN milik Dr. Emily, Grace mengembuskan napas panjang. Langit mulai gelap, lampu jalanan menyala, dan udara dingin mulai terasa menusuk kulit. Sambil meraih ponselnya dari tas, Grace terkejut melihat notifikasi dari aplikasi bank. "Pembayaran dari kartu debit Anda telah berhasil." Ia mengerutkan kening, membaca notifikasi itu berulang kali. "Pembayaran makanan di kafe Fourth Avenue?" gumamnya pelan. "Apa Leon menggunakan kartu ini untuk membayar makan malam? Apa dia bersama Stella sekarang?" Grace memiringkan kepala, mencoba mengingat apakah ia memberi izin Stella untuk membawa Leon makan di luar malam ini. Namun, ingatannya kosong. Rasa penasaran mulai bercampur dengan kekhawatiran. Ia segera mencari kontak Stella dan menekan tombol panggil. Di tempat lain, Stella yang sedang berada di mobil bersama Brian hampir melompat dari kursinya ketika ponselnya tiba-tiba berdering. Nama "Nyonya Grace" tertera di layar. Stella memandang Brian panik. "B-brian... Nyonya
Grace sedang termangu di depan pintu ruang praktek Dr. Emily. Tangannya memegang ponsel dengan erat, pikirannya berkecamuk memikirkan notifikasi kartu debit milik Leon beberapa saat lalu. Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti saat melihat sosok yang familiar, keluar dari pintu lift menuju lantai yang sama."Grace? Apa yang kamu lakukan di sini?""Agatha?" gumam Grace pelan, alisnya terangkat.Agatha, yang mengenakan blazer pastel dan rok selutut nampak begitu terkejut. Mereka berdua saling pandang beberapa detik sebelum akhirnya Agatha tersenyum. "Kamu juga ada janji dengan Dr. Emily hari ini, Grace?" tanyanya sambil melangkah mendekat.Semua orang pasti paham apa yang mereka lakukan di tempat ini. Grace tidak akan bisa mengelak. Wanita itu tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan kegugupannya. "Iya, ada sesuatu yang harus aku periksa. Kamu sendiri ada perlu apa ke sini?"Agatha tersenyum sambil merapikan rambu
Sore itu, Chelsea dan Kenan bersiap untuk pergi ke mall. Sang bodyguard setia Chelsea, memastikan semuanya berjalan lancar. Chelsea dengan senyum ceria, sudah tak sabar untuk berbelanja, dalam balutan short skirt dengan atasan crop yang ia pakai.Mereka berdua keluar dari rumah dan menuju mobil. Kenan duduk di kursi pengemudi, memastikan sang Nyonya sudah memakai sabuk pengaman. Walaupun beberapa hari semua terasa tenang, namun Kenan selalu menjaga kewaspadaan, melindungi sang Nyonya dari kegilaan mantan suaminya."Kita ke mall biasa saja, Ken. Di sana lebih besar. Aku rasanya ingin menghabiskan semua uangku ..." ucap Chelsea terkikik.Kenan hanya menatap sekilas melalui kaca spion tengah, seraya mengangguk.Sesampainya di mall, Chelsea langsung melangkah cepat menuju pintu utama. Kenan mengikuti di belakangnya, matanya tak pernah lepas dari sekeliling."Ayo ke sana dulu, Ken," ajak Chelsea tanpa sadar menarik tangan Kenan.Pria
Setelah beberapa jam berada di rumah sakit untuk pemeriksaan rutin, Grace merasa sedikit jenuh. Keputusan spontan untuk mengisi waktu luang, membawa langkahnya ke sebuah pusat perbelanjaan, yang terletak tidak jauh dari rumah sakit. Ia memasuki satu toko, lalu berpindah ke toko lainnya, menjelajahi setiap sudut yang membuatnya lupa waktu. "Baju bayi ini sangat lucu-lucu," kagum Grace pada perlengkapan bayi yang ada di dalam satu outlet. "Tapi aku belum tau jenis kelaminnya, jadi ... nanti saja belinya," sambungnya. Ia kembali melangkah menyusuri setiap sudut mall hingga membeli barang-barang yang ia butuhkan. Namun, rasa lelah mulai menyergapnya. Kehamilan muda ini sangat membuatnya kesusahan, tapi demi Leon, apapun akan Grace lakukan untuk bertahan. "Aku harus kuat demi anakku!" tekadnya yakin. Kemudian, Ia memutuskan untuk beristirahat sejenak di restoran yang ada di dalam mall tersebut. "Sebaiknya aku minum dulu. Rasanya sangat lelah," batin Grace melangkah masuk. Grac
Posisi Carlos dan Alfonso membelakangi Brian dan Stella, sehingga keduanya tidak nampak jelas siapa dua pria yang bersama Leon sekarang. "Ah, iya kamu benar! Tapi ... siapa dua pria itu?" gumam Brian, nadanya penuh kewaspadaan. Stella menatap Brian dengan gugup. "Apa mungkin mereka yang menemani Leon dan Alika sejak hilang tadi? Apa yang mereka bicarakan?" Brian segera memarkirkan mobil di tepi jalan dan berkata, "Kita harus menghampiri mereka sekarang juga, Stella." "Ayo, kita ke sana!" Stella mengangguk cepat, membuka pintu mobil dengan tergesa-gesa. Namun, sebelum mereka bisa melangkah lebih jauh, ponsel Brian tiba-tiba berdering. Nama Edward terlihat muncul di layar. "Edward?" jawab Brian dengan suara tegang. "Ada apa?" "Kamu di mana sekarang?" tanya Edward dari balik speaker ponselnya. "Aku bersama Stella di depan Fourth Avenue Cafe. Kenapa?" "Apa kalian sudah menemukan mereka?" tanya Edward dengan nada suara antusias. "Kebetulan kami baru saja menemukan mereka
Malam itu, Grace baru saja tiba di rumah setelah menghabiskan waktu di mall. Langkah kakinya terdengar pelan di lantai marmer rumah besar yang sunyi. Ia menghela napas dan melepaskan sepatu hak tingginya. Namun, rasa lelahnya sirna seketika ketika ia melihat Max duduk di ruang tamu, wajahnya diterangi lampu gantung yang redup."Max? Kamu sudah pulang?" Grace mencoba menyapa dengan suara lembut, menyembunyikan rasa terkejutnya.Max hanya mengangkat pandangan sekilas tanpa senyum, lalu kembali menatap layar tablet di tangannya. Di atas meja, sebotol red wine dan gelas burgundy tersaji. Suasana yang biasanya hangat di antara mereka kini terasa dingin, seperti ada sesuatu yang tidak terucapkan menggantung di udara."Bagaimana pekerjaanmu di kantor?" Grace mencoba mencairkan suasana, berjalan mendekat sambil melepas tasnya."Baik, tidak ada masalah," jawab Max singkat, tanpa mengalihkan pandangan dari tablet.Grace terdiam sejen
Siang itu, matahari bersinar cerah, tapi hati Grace terasa mendung. Setelah kepergian Max yang begitu mendadak dan penuh tanda tanya, ia hanya bisa menghela napas panjang. Rasa dingin dalam sikap Max masih menghantui pikirannya."Kenapa Max tiba-tiba berubah seperti itu" gumamnya lirih sambil memandangi jendela ruang tamu. "Yah.... setidaknya semoga dia selamat sampai tujuan."Setelah beberapa saat termenung, Grace memutuskan untuk pergi ke kafe langganannya, tempat di mana ia biasa menenangkan pikiran dan sekedar mencari udara segar.Grace mengenakan gaun kasual berwarna pastel, memadukannya dengan tas kecil dan sandal berhak rendah. Ia mencoba tersenyum di depan cermin, meskipun hatinya terasa berat."Udara segar mungkin bisa membantuku menjernihkan pikiran," katanya pada dirinya sendiri sebelum melangkah keluar rumah.Setelah tiba di kafe, Grace memilih meja outdoor yang menghadap ke jalan. Ia memesan secangkir teh lemon dan sepir
Mobil SUV hitam melaju kencang di jalanan kota yang agak lengang sore itu. Nampak jalanan penuh daun kering yang berguguran dan berhamburan saat roda mobil yang membawa Grace menerpanya. Di dalam mobil, dua pria tengah memasang wajah tegang seraya sesekali melirik ke kursi belakang tempat Grace berada."Tambah kecepatannya!" titah Ruben dengan dahi yang berkerut."Ini sudah paling cepat, Ruben!" sergah Diego sedikit kesal.Grace mencoba mengingat-ingat apa yang sudah ia lakukan di masa lampau. "Apa aku pernah berurusan dengan orang lain? Atau apa aku pernah menyakiti hati orang terdekat sehingga orang itu ingin membalas dendam kepadaku? Ataukah ini penculikan biasa yang hanya menginginkan uang tebusan?" batinnya.Dengan hati-hati, Grace mencoba meraih ponsel di saku bajunya, mencoba menekan tombol untuk mengirimkan lokasinya ke Arthur meskipun kedua tangannya terikat. Namun, nampaknya itu semua sia-sia. Diego tiba-tib
Setelah membaca pesan misterius yang ia terima, Grace berusaha menghilangkan keresahan di hati.Ia langsung bangkit, melangkah keluar ruangan. Grace berencana langsung pulang ke rumah dan memberesi barang penting yang akan ia bawa, termasuk visa dan pasport.Setelah perjalanan beberapa menit, Grace sedikit terkejut saat melihat mobil Max ada di rumah, pasalnya saat dia ke kantor, Max memang belum berangkat. "Apa dia libur?" gumamnya mulai tak tenang.Langkah kakinya terhenti saat suara bariton yang ia kenali, menyapa, "Baby, kenapa kembali? Kamu tidak jadi ke kantor?"Grace melepas sepatu hak tingginya dan berjalan ke arah suara itu. Max sedang duduk di sofa, mengenakan kemeja santai dan celana panjang. Wajahnya tampak penasaran, tetapi ia tersenyum ketika melihat Grace. "Hei, sayang," sapanya lembut. Grace mendekat dan duduk di sampingnya. "Aku hanya mampir sebentar tadi. Rasanya aku ingin istirahat." Max menggeleng pelan.
Persiapan Grace benar-benar matang, mulai dari berpamitan kepada dua orang meskipun secara tidak langsung. Namun, setidaknya ia bisa meredakan rasa sesak dalam hatinya.Pagi ini, Grace melangkah masuk ke kantor, sepatu hak tingginya mengeluarkan bunyi ketukan teratur di lantai marmer. Wajahnya terlihat tegas, meskipun matanya menyimpan kelelahan yang sulit disembunyikan. Di meja resepsionis, Vio—sekretaris pribadinya—sudah menunggu. Satu jam yang lalu, Grace sudah mengirim pesan padanya. Wanita itu selalu siap kapan pun Grace membutuhkan. "Vio, kamu sudah cek semua dokumen yang aku minta tadi?" tanya Grace langsung, tanpa basa-basi. Sang sekretaris berdiri dan mengangguk. "Sudah, Nyonya. Semuanya sudah siap di meja Anda. Apa ada tambahan yang perlu saya urus lagi?" Grace mengangguk kecil, lalu melangkah menuju ruang kerjanya. Vio mengikuti di belakangnya, membawa tablet dan sejumlah dokumen penting. Ketika mereka tiba di
Setelah beberapa saat pertemuannya dengan Arthur, mobilnya melaju perlahan di sepanjang jalan yang lengang. Grace menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. Ia tahu ke mana tujuannya malam ini—ke rumah orang tuanya, Victor dan Evelyn. Ketika mobilnya berhenti di depan pagar, Grace mematikan mesin dan duduk diam selama beberapa detik. Ia menatap rumah itu, mengingat momen-momen masa kecilnya. "Maaf, Ma... Pa..." bisiknya pelan. Air mata hampir saja mengalir, tapi ia buru-buru menghapusnya. "Aku tidak punya pilihan." Setelah menarik napas panjang, Grace keluar dari mobil dan berjalan menuju pintu depan. Ia mengetuk pintu beberapa kali sebelum akhirnya Evelyn membukanya. “Grace?” Evelyn memandang putrinya dengan sedikit terkejut. “Kamu tidak bilang mau datang.” Grace tersenyum kecil. “Ma, aku cuma ingin mampir. Sudah lama kan, aku tidak ngobrol sama Mama sama Papa.”
Bab227#Setelah menghabiskan waktu untuk berbulan madu. Keduanya kini mengakhiri masa libur mereka.Chelsea tersenyum kecil, memandangi wajah suaminya yang tetap fokus mengemudi. Meski ia tahu perjalanan mereka menuju rumah masih panjang, hatinya terasa ringan. Ada rasa nyaman yang tak terjelaskan, seolah semua percakapan mereka sepanjang perjalanan ini menjadi semacam pengikat. Mobil terus melaju melewati jalan-jalan yang mulai ramai. Chelsea bersandar di kursinya, menyandarkan kepala ke bahu Kenan. “Aku tidak sangka perjalanan ini cepat usai, Ken.” Kenan menoleh sedikit, menatapnya lembut. “Aku juga merasa begitu. Tapi kan, kita sudah sepakat. Ini bukan yang terakhir.” “Janji, ya?” Chelsea mendongak, menatap suaminya dengan mata berbinar. Kenan tersenyum kecil, lalu mengecup keningnya. “Janji. Nanti kita buat rencana lagi.” Chelsea tersenyum puas. Ia memejamkan mata, mencoba menikmati perjalanan pulang mereka
Chelsea menahan senyumnya, lalu melipat kedua kakinya di atas ranjang. “Tentang kamu. Masa lalumu. Kamu jarang bahkan tidak pernah cerita, Ken. Aku tahu kamu tidak suka bicara soal itu, tapi aku mau tau. Apa kamu pernah merasa ... ya, kesepian?” Kenan menghela napas perlahan, lalu menoleh ke arah jendela yang masih memperlihatkan sedikit kilauan bintang. Udara malam dari celah jendela terasa dingin, tapi juga menenangkan. Ia menyandarkan punggungnya ke kepala ranjang, mencoba mengatur kata-kata dalam pikirannya. “Masa kecilku, ya?” Kenan akhirnya membuka suara. “Itu tidak pernah jadi sesuatu yang aku banggakan, Chelsea. Aku tidak pernah punya keluarga yang utuh. Mama meninggal beberapa waktu yang lalu. Beliau mungkin masih menyisakan luka yang dalam akibat papaku. Aku bahkan hampir tidak ingat wajahnya. Papa ..."Kenan berhenti sejenak, menelan ludah. “Papa pergi sejak Anna bayi. Ia lebih pilih hidup dengan wanita lain yang dianggapnya lebi
Mendengar ungkapan Kenan, tentu saja membuat Chelsea penasaran, siapa yang mengajari suaminya itu. Kenan pura-pura berpikir sebentar, lalu tersenyum jahil. “YouTube.” Chelsea langsung memukul punggung sang pria, seraya mendengus geli. "Oh, pantas saja. Kukira kamu serius belajar dari chef terkenal atau gimana. Ternyata hasil tutorial."“Tapi yang penting hasilnya enak, kan?” Kenan membalas sambil menatap Chelsea yang sedang sibuk menyantap spaghetti buatannya. Chelsea mengangguk kecil sambil menyuapkan lagi spaghetti ke mulutnya lagi. “Enak sekali, Ken. Kalau gini pun aku tidak bingung kalau pelayan pulang kampung, hehehe ...” tawanya.“Ya, aku kan suami yang serba bisa,” jawab Kenan santai, tapi senyumnya tetap lebar. Chelsea hanya menggeleng-geleng pelan, mencoba menahan tawa. “Iya, iya. Suami serba bisa. Tidak salah aku nikah sama kamu.” Kenan tertawa kecil, tapi kemudian menatap Chelsea dengan lembut. “Aku c
Angin dingin khas pegunungan perlahan menyelinap di sela-sela kulit. Chelsea menarik syal yang melingkar di lehernya, mencoba menghangatkan diri. Di hadapan mereka, villa yang mereka sewa untuk beberapa hari ke depan berdiri megah. Bangunannya bergaya rustic modern, dengan dominasi kayu cokelat tua yang berpadu dengan kaca besar yang memantulkan pemandangan hijau di sekitarnya. Di belakang villa, pegunungan menjulang tinggi, membingkai lanskap alami yang seperti lukisan. “Ken, aku tidak tau kalau tempat ini akan seindah ini …” Chelsea berujar, suaranya pelan namun penuh kekaguman. Kedua mata tak henti-henti memindai setiap detail villa. Balkon kayu yang menghadap langsung ke lembah, kolam renang kecil yang airnya jernih seperti kaca, hingga taman kecil di samping villa yang dihiasi dengan bunga-bunga musim semi yang sedang mekar. Kenan terkekeh kecil. “Aku tau. Makanya aku tidak kasih lihat detail fotonya ke kamu waktu pesan.” Che
Chelsea menatap Kenan, bibirnya sedikit terbuka, seakan ingin bicara. Tapi, seperti ada sesuatu yang membekukan lidahnya. Pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi kepalanya seakan berlomba-lomba keluar, tetapi tidak ada satu pun yang berhasil terucap. Mata Kenan yang tenang menatapnya dengan lembut. "Chelsea, ada sesuatu yang mau kamu ucapkan?" tanyanya lagi, suaranya rendah, penuh perhatian.Chelsea menelan ludah, mencoba mencari kata-kata yang tepat. Tapi akhirnya, hanya sebuah senyuman kecil yang berhasil keluar. "Tidak, aku cuma ... cuma kepikiran saja," katanya pelan.Mengangguk lirih, meskipun demikian, Kenan terlihat tidak sepenuhnya percaya. Tapi, seperti kebiasaannya, dia tidak memaksa. "Kalau begitu, jangan pikirkan terlalu berat, ya. Kita harus saling berbagi." Kenan menepuk punggung tangan Chelsea dengan lembut, lalu berdiri, "Tidur yang nyenyak. Besok kita jalan pagi-pagi."Chelsea hanya mengangguk, meski hatinya tidak bena
Suara Kenan membuyarkan lamunan Chelsea. Nada bicara lembut, seperti biasa, tetapi cukup untuk membuat Chelsea menyadari bahwa ia sudah terlalu jauh tenggelam dalam pikiran.Chelsea mengerjap cepat, menoleh Kenan yang duduk di sampingnya dengan sorot mata penuh perhatian. "Aku tidak apa-apa," jawabnya cepat. Kenan menatapnya sejenak, jelas tahu ada sesuatu yang mengganjal. Tapi seperti biasa, dia tidak memaksa. "Kalau ada apa-apa, bilang saja. Aku di sini, oke?"Chelsea mengangguk pelan. Dia tahu Kenan tulus, namun ada sesuatu yang belum bisa dia ungkapkan. Belum sekarang, pikirnya.“Eh, ngomong-ngomong soal bulan madu, Kak Chelsea sudah ada ide mau ke mana?” Anna tiba-tiba menyela, memecahkan keheningan yang sempat tercipta. Gadis itu menatap mereka dengan mata berbinar, seperti anak kecil yang menunggu cerita dongeng. Chelsea menghela napas kecil. "Belum ada, Anna. Aku masih bingung."Anna langsung berseru, "Yah, ke