Edward berdiri cemas di ruang tamu rumah Alika. Pandangannya terpaku pada ponsel yang ada di tangan. Sejenak ia ragu mengabarkan tentang hilangnya Leon dan Alika dari pengawasannya. Mungkin hanya butuh beberapa detik, namun rasanya sudah seperti berjam-jam baginya untuk menentukan keputusan. Leon dan Alika hilang, mereka belum kembali juga. Setiap detik yang berlalu menambah kekhawatiran dalam dirinya. Tak bisa menunggu lebih lama, Edward memutuskan untuk segera menghubungi Brian. "Brian, ini Edward. Aku butuh bantuanmu, Leon dan Alika ... mereka hilang! Aku tidak tahu di mana mereka!" Suaranya terdengar panik dengan raut cemas. Brian seketika terhenyak "Apa?! Kamu serius? Mereka hilang? Kenapa kamu bisa kehilangan mereka?!" Kemarahan Brian pun semakin menjadi. Sang dokter tidak bisa menerima kenyataan bila Leon justru hilang dari pengawasan sang bodyguard. "Aku baru sadar mereka mungkin masuk ke dalam lorong, Brian! Aku tidak tau ke mana ujung lorong ini, namun aku yakin ked
Alfonso menatap lurus ke meja di depannya, tangan kanannya menggenggam secangkir kopi yang kini mulai dingin. Carlos duduk di depannya, dengan ekspresi wajah yang tidak jauh berbeda darinya. Serius dan penuh perhitungan. Seolah otaknya sedang memikirkan sesuatu yang cukup rumit."Semua sudah kita atur," ujar Carlos dengan suara rendah. "Grace tidak akan pernah menyangka apa yang akan terjadi nantinya."Alfonso mengangguk perlahan, lalu menambahkan, "Dan polisi tidak akan bisa menemukan jejaknya. Semua akan terlihat seperti kecelakaan biasa. Kau yakin sudah siap?"Carlos memutar gelas kopinya pelan. "Seperti yang kau lihat, kita hanya perlu menunggu waktu yang tepat."Keduanya terdiam sejenak. Suasana di kafe pinggir jalan itu terasa damai, namun percakapan mereka penuh dengan ketegangan. Hanya bunyi langkah pengunjung dan suara kendaraan yang sesekali melintas memecah keheningan."Hah ... setelah dipikir-pikir, sudah lama kita tidak
Di depan klinik OBGYN milik Dr. Emily, Grace mengembuskan napas panjang. Langit mulai gelap, lampu jalanan menyala, dan udara dingin mulai terasa menusuk kulit. Sambil meraih ponselnya dari tas, Grace terkejut melihat notifikasi dari aplikasi bank. "Pembayaran dari kartu debit Anda telah berhasil." Ia mengerutkan kening, membaca notifikasi itu berulang kali. "Pembayaran makanan di kafe Fourth Avenue?" gumamnya pelan. "Apa Leon menggunakan kartu ini untuk membayar makan malam? Apa dia bersama Stella sekarang?" Grace memiringkan kepala, mencoba mengingat apakah ia memberi izin Stella untuk membawa Leon makan di luar malam ini. Namun, ingatannya kosong. Rasa penasaran mulai bercampur dengan kekhawatiran. Ia segera mencari kontak Stella dan menekan tombol panggil. Di tempat lain, Stella yang sedang berada di mobil bersama Brian hampir melompat dari kursinya ketika ponselnya tiba-tiba berdering. Nama "Nyonya Grace" tertera di layar. Stella memandang Brian panik. "B-brian... Nyonya
Grace sedang termangu di depan pintu ruang praktek Dr. Emily. Tangannya memegang ponsel dengan erat, pikirannya berkecamuk memikirkan notifikasi kartu debit milik Leon beberapa saat lalu. Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti saat melihat sosok yang familiar, keluar dari pintu lift menuju lantai yang sama."Grace? Apa yang kamu lakukan di sini?""Agatha?" gumam Grace pelan, alisnya terangkat.Agatha, yang mengenakan blazer pastel dan rok selutut nampak begitu terkejut. Mereka berdua saling pandang beberapa detik sebelum akhirnya Agatha tersenyum. "Kamu juga ada janji dengan Dr. Emily hari ini, Grace?" tanyanya sambil melangkah mendekat.Semua orang pasti paham apa yang mereka lakukan di tempat ini. Grace tidak akan bisa mengelak. Wanita itu tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan kegugupannya. "Iya, ada sesuatu yang harus aku periksa. Kamu sendiri ada perlu apa ke sini?"Agatha tersenyum sambil merapikan rambu
Sore itu, Chelsea dan Kenan bersiap untuk pergi ke mall. Sang bodyguard setia Chelsea, memastikan semuanya berjalan lancar. Chelsea dengan senyum ceria, sudah tak sabar untuk berbelanja, dalam balutan short skirt dengan atasan crop yang ia pakai.Mereka berdua keluar dari rumah dan menuju mobil. Kenan duduk di kursi pengemudi, memastikan sang Nyonya sudah memakai sabuk pengaman. Walaupun beberapa hari semua terasa tenang, namun Kenan selalu menjaga kewaspadaan, melindungi sang Nyonya dari kegilaan mantan suaminya."Kita ke mall biasa saja, Ken. Di sana lebih besar. Aku rasanya ingin menghabiskan semua uangku ..." ucap Chelsea terkikik.Kenan hanya menatap sekilas melalui kaca spion tengah, seraya mengangguk.Sesampainya di mall, Chelsea langsung melangkah cepat menuju pintu utama. Kenan mengikuti di belakangnya, matanya tak pernah lepas dari sekeliling."Ayo ke sana dulu, Ken," ajak Chelsea tanpa sadar menarik tangan Kenan.Pria
Setelah beberapa jam berada di rumah sakit untuk pemeriksaan rutin, Grace merasa sedikit jenuh. Keputusan spontan untuk mengisi waktu luang, membawa langkahnya ke sebuah pusat perbelanjaan, yang terletak tidak jauh dari rumah sakit. Ia memasuki satu toko, lalu berpindah ke toko lainnya, menjelajahi setiap sudut yang membuatnya lupa waktu. "Baju bayi ini sangat lucu-lucu," kagum Grace pada perlengkapan bayi yang ada di dalam satu outlet. "Tapi aku belum tau jenis kelaminnya, jadi ... nanti saja belinya," sambungnya. Ia kembali melangkah menyusuri setiap sudut mall hingga membeli barang-barang yang ia butuhkan. Namun, rasa lelah mulai menyergapnya. Kehamilan muda ini sangat membuatnya kesusahan, tapi demi Leon, apapun akan Grace lakukan untuk bertahan. "Aku harus kuat demi anakku!" tekadnya yakin. Kemudian, Ia memutuskan untuk beristirahat sejenak di restoran yang ada di dalam mall tersebut. "Sebaiknya aku minum dulu. Rasanya sangat lelah," batin Grace melangkah masuk. Grac
Posisi Carlos dan Alfonso membelakangi Brian dan Stella, sehingga keduanya tidak nampak jelas siapa dua pria yang bersama Leon sekarang. "Ah, iya kamu benar! Tapi ... siapa dua pria itu?" gumam Brian, nadanya penuh kewaspadaan. Stella menatap Brian dengan gugup. "Apa mungkin mereka yang menemani Leon dan Alika sejak hilang tadi? Apa yang mereka bicarakan?" Brian segera memarkirkan mobil di tepi jalan dan berkata, "Kita harus menghampiri mereka sekarang juga, Stella." "Ayo, kita ke sana!" Stella mengangguk cepat, membuka pintu mobil dengan tergesa-gesa. Namun, sebelum mereka bisa melangkah lebih jauh, ponsel Brian tiba-tiba berdering. Nama Edward terlihat muncul di layar. "Edward?" jawab Brian dengan suara tegang. "Ada apa?" "Kamu di mana sekarang?" tanya Edward dari balik speaker ponselnya. "Aku bersama Stella di depan Fourth Avenue Cafe. Kenapa?" "Apa kalian sudah menemukan mereka?" tanya Edward dengan nada suara antusias. "Kebetulan kami baru saja menemukan mereka
Malam itu, Grace baru saja tiba di rumah setelah menghabiskan waktu di mall. Langkah kakinya terdengar pelan di lantai marmer rumah besar yang sunyi. Ia menghela napas dan melepaskan sepatu hak tingginya. Namun, rasa lelahnya sirna seketika ketika ia melihat Max duduk di ruang tamu, wajahnya diterangi lampu gantung yang redup."Max? Kamu sudah pulang?" Grace mencoba menyapa dengan suara lembut, menyembunyikan rasa terkejutnya.Max hanya mengangkat pandangan sekilas tanpa senyum, lalu kembali menatap layar tablet di tangannya. Di atas meja, sebotol red wine dan gelas burgundy tersaji. Suasana yang biasanya hangat di antara mereka kini terasa dingin, seperti ada sesuatu yang tidak terucapkan menggantung di udara."Bagaimana pekerjaanmu di kantor?" Grace mencoba mencairkan suasana, berjalan mendekat sambil melepas tasnya."Baik, tidak ada masalah," jawab Max singkat, tanpa mengalihkan pandangan dari tablet.Grace terdiam sejen
Sudah hampir satu bulan sejak Chelsea mulai melakukan pencarian terhadap suaminya secara mandiri. Meskipun pihak kepolisian Jerman sudah menutup kasus kecelakaan ini. Pencarian polisi berakhir, bersamaan dengan ditutupnya kasus itu dan menyatakan dua orang sebagai korban. "Kenapa harus berakhir dengan begini, Ken ..." Chelsea meratapi di tempat kejadian sebelum mobil Kenan masuk ke jurang. "Kembalikan suamiku wahai alam. Kembalikan dia meskipun itu hanya abu atau tulang belulangnya ... Ijinkan aku memeluknya sekali lagi. Aku tidak akan marah padamu. Bagaimana aku bisa marah, kalau kau adalah rumah suamiku sekarang, selamanya ...." Wanita itu bahkan tidak kuasa menahan isak tangis. Setiap hari, ia tak kenal lelah, menyerahkan segalanya untuk mencari keberadaan Kenan. "Maaf, Nyonya." Suara Christ yang tiba-tiba pun tidak menghentikan isakan Chelsea. Sang asisten yang telah setia membantu, bersama dengan beberapa orang yang dikerahkan untuk mencari, sudah melakukan segala cara
Kelopak bulu mata lentik membuka matanya perlahan, samar-samar cahaya matahari menembus tirai jendela.Pusingnya pun masih terasa, dan tubuhnya juga masih lemah, namun Grace mencoba mengingat apa yang terjadi. Semua kenangan tentang operasi dan masa koma itu kabur, tapi ada satu hal yang sangat jelas di pikirannya. Anak laki-lakinya, Leon."Ergghhh ..." Grace memegangi kepalanya yang masih berdenyut.Dengan susah payah, ia mengangkat tubuhnya dan menoleh ke sekeliling ruangan. Namun, tak ada siapapun di sana. Kosong!"Apa aku masih hidup?" Grace sendiri hampir tidak percaya dirinya masih bernyawa. Kemudian mengusap perutnya yang seakan tidak ada apa-apa. "Ke mana bayiku?" tanyanya kebingungan, entah pada siapa.Wanita itu lantas menoleh. Di sana, di ranjang yang terpisah, Leon sedang tertidur pulas. Wajah kecilnya tampak damai, meskipun di hati Grace, ada kekhawatiran yang menggantung."Leon, Mommy b
Reaksi Brian membuat Max menarik paksa hasil tes kesehatannya. Pria itu dinyatakan cocok menjadi pendonor tulang sumsum untuk Leon.Dengan wajah binar, Max langsung bangkit dari duduknya. "Ayo cepat, ke mana aku harus pergi, Brian!" "Ayo! Aku juga sudah tidak sabar menunggu waktu ini!" Brian langsung bangkit dari duduknya, kemudian melangkah keluar yang diikuti Max.Setelah kurang lebih satu jam proses pengambilan sel tulang sumsum Max, petugas Laboratorium mulai memprosesnya.Max keluar dari ruang periksa dengan langkah yang sedikit terhuyung. Udara dingin di ruang rumah sakit tak bisa mengurangi rasa lega yang perlahan merayap dalam dirinya. "Apapun yang terjadi, Daddy akan berusaha segala cara Leon," tekad Max lirih.Meski perasaan berat masih menggantung, setidaknya ia tahu bahwa tulang sumsum yang baru saja didonorkan untuk Leon, memiliki peluang besar untuk menyelamatkan hidupnya. Hasil tes genetik men
Kelopak mata dengan bulu mata lentik itu bergerak pelan. Aroma desinfektan membuat Chelsea sadar seketika. Kepala terasa berat, tubuhnya lelah, dan rasa sakit mulai merayapi seluruh tubuhnya. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, mencoba mengingat apa yang terjadi. "Kenaann ..." Ia berharap semua yang baru saja ia lihat adalah sebuah mimpi. Namun, sayangnya itu adalah hal nyata yang baru saja dialaminya. Chelsea melihat bekas tanah yang terdapat di sela-sela pada kuku-kuku. "Ini bukan mimpi ..." ratapnya menahan isak. Melihat sang Nyonya sudah sadar, Christ mendekati Chelsea yang terbaring di atas brankar rumah sakit. "Apa yang Anda rasakan, Nyonya?" tanyanya. Chelsea menatap asisten sang kakak, "Katakan kalau semua ini hanya mimpi kan, Christ?" Chelsea berharap asisten itu menggeleng, namun nyatanya Christ menggangguk, hatinya tahu bahwa ini semua kenyataan.
Kegelapan langit malam berubah merah menyala karena ledakan mobil Kenan yang masuk ke jurang. Serpihan body mobil pun berterbangan hingga menjadi bagian terkecil. Semua orang mengalihkan wajah, menutup mata dengan lengan masing-masing. "Tidak Keennn ..." Chelsea meratapi terduduk di atas tanah. Tatapannya kosong pada nyala api di angkasa. Arthur memegang pundak Chelsea, menguatkan wanita itu, "Semua akan baik-baik saja, Chel. Kenan pasti selamat ..." Meski sejujurnya Arthur juga ragu akan ucapannya. Jurang dan ledakan sebesar itu mana mungkin tidak menghancurkan tubuh seseorang. Christ berlari ke tepian jurang, lalu menatap ke bawah. Namun, tak ada siapapun di sana. Hanya ada pecahan puing yang berserakan dan masih menyisakan bara api yang berkobar. Kemudian ia berbalik badan lalu menggeleng lirih. Isyarat Christ semakin membuat Chelsea semakin histeris. "Tidak! Kembali padaku Kenaannn ...!" Tangisan Chelsea yang terdengar pilu makin tak terkendali, hingga tiba-tiba semu
Setibanya di basecamp yang tersembunyi, Chelsea merasa ada sesuatu yang sangat salah. Tempat itu sangat kacau dan suasana mencekam memenuhi udara. "Apa ini tempatnya, Arthur?" tanya Chelsea penuh keraguan. "Hm, benar ini tempatnya." Belum juga kedua mata Chelsea memindai tempat itu, tiba-tiba ... Brak! Freya dan Kenan keluar dari bangunan sepi dengan pencahayaan minim. Meski demikian, sorot mata Chelsea mampu menangkap siluet bayangan sang suami. "Kenan ...?!" Chelsea hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Seruan Chelsea ternyata mampu mengalihkan perhatian kedua orang itu, terutama Kenan. Ia lebih terkejut saat melihat Chelsea juga berada di sekitar tempat itu. Area yang tidak sebaiknya dituju. Namun, di balik semua rasa takut dan kecemasan Chelsea, hatinya semakin teriris saat kenyataan yang lebih pahit terbuka di hadapannya. Di sana, di tengah kekacauan, dia melihat Kenan—dengan jelas berdiri di sisi Freya. Sekarang tampak seperti musuh yang berdiri di samp
Grace dengan suara penuh amarah, "Kenan! Kau datang kemari hanya untuk jadi pengkhianat! Tidak tahu malu!" Berdiri tegak, Kenan menatap Grace dengan dingin, "Aku memilih sisi yang benar, Grace. Ini bukan tentang kamu atau aku lagi, ini tentang apa yang seharusnya terjadi." Grace tertawa sinis, "Cih! Sisi yang benar? Kau menjual dirimu kepada Freya, itu yang kamu sebut benar? Jangan lebih rendah dari itu, Ken!" "Aku tidak membutuhkan pembenaran darimu, Grace. Semua ini sudah berjalan terlalu jauh. Tidak ada yang bisa menghentikanku sekarang." Freya, yang sejak tadi diam dan menyaksikan percakapan itu, akhirnya berbicara dengan suara penuh kebencian. Grace tertawa remeh pada Freya, seolah mengejek wanita ular itu. "Apapun yang kau lakukan, kau tidak akan pernah bisa mengalahkanku. Karena kau tidak pernah dicintai sampai mati! Kau tak akan pernah tau apa itu cinta!" ucapnya penuh penekanan, "kasihan sekali!" Suasana di antara kedua wanita itu semakin mencekam. Freya ingin seka
Max tampak berjalan mondar-mandir di ruang kantor yang gelap, ekspresinya tegang dan penuh amarah. Matanya yang tajam menatap beberapa anak buah Christ yang berdiri cemas di hadapannya."Bagaimana bisa kalian belum menemukan lokasi Freya?!" bentaknya, suaranya keras dan penuh amarah. "Kalian cuma membuang-buang waktu! Ini sudah terlalu lama, aku ingin jawaban sekarang!"Anak buah Christ, yang satu bernama Markus dan yang satunya lagi disebut Simon saling pandang, tampak bingung dan tertekan."Ma-Maaf, Tuan ... kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi kami belum menemukan petunjuk pasti," jawab Markus, suaranya terbata-bata.Max menggeram, berjalan mendekat dan berdiri tepat di depan mereka. "Berusaha? Itu bukan jawaban yang aku cari! Jika kalian tidak bisa melaksanakan perintah sederhana ini, lebih baik aku cari orang lain yang bisa!"Simon mencoba menenangkan situasi. "Kami benar-benar sudah berusaha, Tuan. Kami akan terus menca
Kenan terlihat tegang, tapi mencoba menurunkan egonya. "Freya, aku tahu aku salah. Aku tidak mencari pembenaran. Aku hanya ingin tahu di mana basecamp-mu. Aku punya rencana ... rencana untuk melancarkan keinginanmu." Namun, diam-diam, tanpa melibatkan siapa pun. Kenan akan pastikan akan membebaskan Grace. Ini adalah kesempatan terakhirnya untuk menebus semua kesalahan." Mendengar ketulusan Kenan, dan betapa pria itu juga memenuhi keinginannya mendapatkan lokasi Grace, Freya terdiam sejenak, mempertimbangkan kata-katanya. "Kau tidak akan menjadi pengkhianat di dalam basecamp-ku, kan?" "Kau bisa percaya padaku, Freya. Aku akan lakukan apa saja untuk memastikan semuanya berjalan lancar. Kau akan dapatkan semua yang kau inginkan." Dalam hati Freya melewati banyak perdebatan. Kemudian suara Freya berubah, sedikit lebih lembut. "Baiklah, aku beri kau satu kesempatan lagi. Basecamp-ku ada di kawasan Charlottenburg, dekat Stasiun Zoologischer Garten. Tapi ingat, Kenan. Satu langkah s