Beranda / Pernikahan / MENANTU PILIHAN IBU / 2. KALIMAT TERAKHIR

Share

2. KALIMAT TERAKHIR

Penulis: Mazda Hrp
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

 Suara mengaji di Masjid membuatku terbangun, ternyata sudah menjelang magrib, sementara diriku belum mandi. Nyatanya tubuh ini sangat lelah terutama pikiranku sampai ketiduran. Aku mendengus pelan, ingin rasanya menjerit mengeluarkan semua beban yang menumpuk dikepala. Saat seperti ini Mama adalah orang yang paling mengerti, belaian serta kata-kata nasihatnya saat ini pasti sangat menenangkan hati. Tanpa sadar mata ini memerah dan berlinang merindukan pelukan dan sentuhan tangan Mama. Lama merenung, aku sadar waktu terus bergulir dan langsung beranjak dari tempat tidur segera menuju ke kamar mandi.

 Suara decitan pintu terdengar begitu jelas, seseorang perlahan masuk tanpa mengucapkan salam. Aku masih berdoa, mukenah putih yang mulai lusuh itu masih bertengger di tubuh. Banyak jahitan serta tempelan yang menghiasi mukenah itu, mungkin bisa dikatakan bahwa mukenah inilah pengobat rinduku pada Mama. Karena merupakan pemberian terakhir darinya.

 Tahun lalu ibu memberikan mukena bekasnya untuk diriku, masih bagus, tetapi terlalu mencolok dari segi warna dan hiasannya. Lagipula, hanya dipakai sesekali saja saat acara besar ataupun pengajian. Aku mengakhiri doa dengan khusyuk lalu mengalihkan pandangan ke arah belakang untuk melihat siapa yang masuk tanpa salam ke kamar.

“Kak,” sapa Riyan.

“Ternyata kamu, Yan. Kenapa masuk nggak pakai salam? kebiasaan,” ocehku kesal dengan kebiasan Riyan.

“Ih, Kakak. Sewot amat sih. Baru siap salat tuh jangan ngomel, istighfar Kak Rum,” canda Riyan sambil melempar tutup pulpen ke arahku.

Aku yang masih kesal dengan kebiasaannya tak menanggapi candaannya itu.

“Kalau punya kebiasaan buruk tuh diubah, besok-besok nggak diulangi lagi. Kalau masih tetap seperti itu, berarti orangnya tidak ada niat untuk maju. Karena kesalahan yang sama terus berlanjut,” cecarku tanpa ampun kepada Riyan, candaannya kali ini tidak bersambut. Aku langsung membungkam mulutnya.

“Ma..., maaf Kak Rum. Riyan tadi masuk karena tidak ingin menganggu Kakak yang sedang salat. Makanya langsung masuk saja tanpa mengucapkan salam,” jelas Riyan yang mulai menunjukkan rasa bersalah. Raut wajahnya menjelaskan itu. Tanpa pikir panjang aku langsung mendekati adik lelaki satu-satunya itu. Bagiku permintaan maaf itu tidak berarti, hanya Riyan harus memegang omongannya, sebab seorang lelaki omongannya adalah cambuk baginya. Sekali dirinya berkata maka tanggung jawab sepenuhnya ada padanya.

“Kakak marah bukan berarti tidak suka, hanya Kakak tidak ingin jika kamu mengabaikan sesuatu sehingga menjadi kebiasaan. Karena, jika dalam hidupmu menyepelekan sesuatu kamu tidak akan bisa mencapai apa yang kamu inginkan, Yan.” Aku berbisik pelan ke telinga Riyan. Kueratkan pelukan ini kepadanya, agar dia tahu bahwa aku tidak pernah bisa marah kepada dirinya dan Reina.

“Kak,” panggilnya pelan

 “Hmm.”

 “Mau sampai kapan pelukan seperti ini, aku risih.” Aku langsung menjitak kepalanya. Dirinya mengaduh pertanda bahwa jitakan itu terasa sakit.

 Tidak lama kemudian, tawa kami memenuhi kamar. Dirinya memang sangat usil, saat aku sedang menikmati perasaan ini, dirinya justru menjahiliku.

 “Keluar sana! Kakak mau tidur.”

 “Idihhh, masih magrib nih, Kak. Cepat amat tidurnya. Lagian Papa tadi nyuruh aku buat manggil Kakak. Disuruh, tuh ke kamar Papa.”

“Ada apa?”

“Ya, nggak tahu. Cepatan sana. Entar aku yang dimarahin.”

“Ya, sudah. Keluar sana. Kakak mau ganti pakaian.” Sambil mendorong Riyan keluar kamar.

***

Aku mengetuk pintu perlahan, terdengar suara dari dalam sebagai pertanda boleh masuk. Begitu membuka pintu, kedua netra kami saling bertatapan, wajah Papa tersenyum melihatku. Tepat di hadapan Papa aku duduk sambil memegang jari jemarinya yang tinggal tulang, sementara Ibu duduk di sebelah kanan Papa sambil memijit lengannya. Aku bertanya-tanya sendiri, apakah pertemuan ini sudah direncanakan oleh Papa, mungkin untuk berunding denganku perihal surat perjanjian itu.

Aku selalu tidak habis pikir apa yang membuat Ibu begitu mampu menerima Papa dengan kondisi tidak dapat bekerja dan hanya terbaring seperti ini. Hal ini merupakan poin penting bagiku, karena cinta Ibu ke Papa tidak mengukur dan bersyarat. Walaupun dirinya merupakan istri pengganti, tapi dia tidak pernah banyak menuntut Papa. Ini pun membuatku salut padanya, hanya saja sikapnya kekami benar-benar tegas dan harus selalu sesuai dengan keinginannya.

 “Rum, kau sehat, Nak?” Suara itu menggetarkanku, sudah lama sekali tidak mendengar suara lantangnya. Bibirnya bergetar mengucapkan satu per satu kata demi kata untuk dapat bertanya kesehatanku. Sementara diriku jarang menanyai kondisinya, karena amarah kepada Ibu dan juga dirinya yang sudah tega membuat perjanjian seperti itu tanpa sepengetahuanku dan melibatkan ke dalam masalah mereka.

 “Ba..., baik, Papa,” ucapku pelan.

 “Syukurlah,” jawabnya singkat, “Rumi.” Bibirnya begetar, seolah lidahnya tertahan untuk mengucapkan kata selanjutnya. Aku masih menunggu kata apa yang akan diucapkan Papa selanjutnya. Tidak lama Papa meraih tangganku yang tepat bersebelahan dengan tangannya.

 Tangan itu pun sudah lama tidak menggenggam jari jemariku. Perasaan ini hancur saat merasakan tangan yang dulunya mampu membelah puluhan kayu kini untuk memegang tanganku saja Papa butuh waktu. Mata ini berkaca-kaca dan tidak ingin menangis di hadapan Papa. Aku tidak ingin menunjukkan bahwa sisi lemah dan tidak berdaya. Namun, apa daya air mataku tumpah ruah mengalir deras. Tangannya masih bergetar memegang tanganku.

 “Papa,” lirihku pelan. Sementara ibu mencoba membantu Papa untuk memegang tanganku.

 “Rum, jangan menangis, Nak. Papa senang kau tumbuh mejadi gadis yang tegas dan mandiri.” Sesekali batuknya menghambat perbincangan kami. Ibu yang berada di sebelah kanannya dengan sigap membantu Papa meminum airnya. Pandangan Ibu pun tidak pernah luput dari Papa.

 “Papa, sudahlah, istirahat kembali. Jika ada yang ingin Papa sampaikan, bicarakan saja pada Ibu, biar Ibu yang memberitahukannya langsung kepada Rumi.”

Papa menggeleng tanda tidak setuju. Keras kepalanya masih tetap sama, Papa dari dulu memang seperti itu, selalu ingin mengatakan langsung apa yang dirasakannya agar maksud dan tujuannya tersampaikan. Sebenarnya dari segi sifat, Papa sangat mirip denganku yang tidak bisa menyimpan perasaan terlalu lama. Jika tidak langsung mengatakan apa yang terganjal di hati, maka aku akan sakit dan lelah sendiri karena terlalu terpikir.

 “Rum, maafkan Papa, Nak. Jika Papa tidak bisa berbuat banyak untuk membantu kuliahmu. Papa tahu, kau pasti sangat kecewa dan marah pada Papa. Tapi doa Papa selalu untukmu, Rum. Walau raga Papa tidak bisa bergerak, tapi jiwa Papa masih bisa merasakan pertumbuhan kalian. Terima kasih, Nak telah menyetujui perjanjian itu.”

 Kalimat terakhir Papa bagai pukulan palu. Bagaimana tidak, aku belum memberikan jawaban apa-apa, bahkan tidak berniat untuk menjawabnya. Sontak pegangan tanganku terlepas dari tangan Papa, raut wajahnya terkejut begitu aku melepas genggaman tangannya.

 Kualihkan pandangan menatap Ibu yang duduk di sebelah kanan Papa, dirinya sibuk memijit lengan pria tua yang tak berdaya itu. Pandangan kami bertemu, aku menatap matanya tajam. Dirinya buang muka, aku yakin, ini semua ulah wanita kejam ini.

 Ingin rasanya aku menjerit sekencang-kencangnya, tapi kondisi Papa yang tidak begitu sehat membuatku berpikir lagi. Sedari tadi batuknya semakin sering dan semakin parah. Namun, Papa masih tetap memaksakan diri untuk berbicara langsung kepadaku.

 “Maaf, Papa. Rumi ingin bicara dengan Ibu sebentar saja.” Pandangan mataku mengarah pada Ibu yang sesekali mencuri pandang. Sepertinya wanita itu tahu jika aku mencurigai dirinya.

 Aku langsung beranjak keluar dari kamar Papa, diikuti Ibu dari belakang. Sebelumnya, kami beradu pandang sejenak, sepertinya Papa pun tahu jika aku akan membuat perhitungan dengan Ibu.

Bab terkait

  • MENANTU PILIHAN IBU   3. PERTENGKARAN HEBAT

    Aku berdiri tidak jauh dari kamar Papa sambil menunggu Ibu datang. Perasaan ini tidak bisa tergambarkan lagi, emosi, amarah, semua jadi satu. Ingin segera aku melampiaskan semuanya kepada Ibu yang bisa-bisanya tanpa berdiskusi langsung membuat keputusan tanpa persetujuanku. “Apa yang mau kamu katakan, Rum?” Ibu langsung bertanya begitu dia sampai di hadapanku. Dari pertanyaannya saja tidak sedikit pun punya rasa bersalah telah mengambil keputusan sendiri tanpa melibatkan diriku. “Ibu masih bertanya? Ibu sebenarnya tahu atau pura-pura tidak tahu!” cecarku dengan nada tinggi. Aku kesal dan ingin berteriak saja di hadapan wanita ini.Sudah cukup lama menyimpan segala bentuk kekesalan yang ingin kuhempaskan kepada Ibu. Tapi aku masih berpikir, semua ini demi Papa. Walau bagaimanapun, ibu telah bersusah payah mengurus Papaku. “Apa sebenarnya maksudmu, Rum? Ibu tidak paham. Kau langsung saja mau bicara apa?” tukasnya sambil melipat tangan. Raut wajahnya sama sekali tidak menunjukkan pen

  • MENANTU PILIHAN IBU   4. SOSOK YANG DIHARAP

    Riyan datang sambil berlari, napasnya ngos-ngosan. Di belakangnya ada Dokter Kardi, seorang dokter yang ditugaskan di puskesmas pembantu untuk desa ini datang menyusul. “Yan, kau dari mana,” cecarku. “Aku memanggil Dokter Kardi, Kak Rum. Aku khawatir Papa....” Suaranya tercekat, Riyan tampak mengambil napas dalam, anak laki-laki yang baru menginjak usia remaja itu sudah bertindak cepat begitu melihat keadaan Papa yang tidak stabil. Dokter Kardi langsung melakukan pemeriksaan pada Papa, sebelumnya tubuh Papa mereka angkat terlebih dahulu ke atas tempat tidur. Tampak dokter Kardi sedang mendeteksi denyut nadi dan jantung Papa. “Denyut nadinya lemah sekali. Sebaiknya kita segera bawa ke rumah sakit yang berada di kota. Agar dilakukan pemeriksaan lebih lanjut,” ujar Dokter Kardi. “Dilakukan secepatnya saja, Dok. Agar Papa bisa segera pulih,”ujarku cepat. Semetara Ibu menatapku dengan tatapan ragu. “Tapi, saya mohon maaf. Mobil puskesmas saat ini tidak dapat digunakan karena sudah du

  • MENANTU PILIHAN IBU   5. PERDEBATAN

    Aku, Riyan dan Reyna duduk di kursi paling belakang, sementara Ibu di kursi tengah dengan Papa di baringkan di tempat duduk. Dokter Kardi duduk di depan sesekali menoleh ke belakang untuk mengetahui kondisi Papa. Suasana hatiku sedang tidak bagus diakibatkan perdebatan yang terjadi dengan Ibu.Aku merogoh saku celana untuk mengambil ponsel dan ingin menghubungi Bang Kemal yang sedang berada dalam masalah dengan mobilnya. Karena merasa tidak enak sebab dirinya sedang dalam kesulitan karena diriku, tetapi aku malah pergi tanpa memberitahukan kepadanya.“Halo, Bang Kemal, bagaimana dengan mobilmu?”“Sudah, Rum. Aku telepon Husin untuk mengantarkan ban serap yang ada dirumah. Jika harus menunggu untuk ke bengkel akan makan waktu lama,” ucapnya dengan terputus-putus, sesekali Bang Kemal mendesah mengambil napas panjang, mungkin Bang Kemal sedang menyelesaikan pergantian ban mobilnya.“Alhamdlillah syukurlah kalau begitu, Bang. Rumi sangat khawatir.” Terdengar suara tawa pelan dari seberang

  • MENANTU PILIHAN IBU   BAB 6 . KEMATIAN PAPA

    “Kini aku tersadar, bahwa kematian seseorang begitu menyesakkan dada. Apalagi jika diri ini tidak sempat meminta maaf untuk yang terakhir kalinya” Aku kembali dengan perasaan gundah. Karena sampai detik ini belum memutuskan apapun. Mengingat bahwa Ibu sudah mengatakan tentang perjodohan itu kepada semua orang. Kuberjalan menuju ruangan Papa dengan perasaan berkecamuk, apa lagi pria bernama Romo itu sedari tadi tidak pergi meninggalkan ruangan Papa. Rasanya kaki ini sudah tidak sanggup berjalan, dari kejauhan terlihat ruang tunggu di depan kamar Papa hanya tinggal Riyan. Ibu, Dokter Kardi, dan Pak Romo tidak ada di tempat. Aku mempercepat langkah, hati ini tidak tenang, firasatku mengatakan jika terjadi sesuatu dengan Papa. "Riyan, ke mana Ibu?" tanyaku dengan napas terengah-engah begitu sampai di tempat Riyan duduk. Riyan menatapku tajam. Matanya merah berlinang, tidak pernah dirinya menatapku dengan tatapan seserius itu. Riyan bangkit dari duduknya lalu memegang kedua tang

  • MENANTU PILIHAN IBU    7. Permintaan seorang Ibu

    BAB 7 PERMINTAAN SEORANG IBU “Aku hanya sedikit berusaha keras, agar yang terbaik bisa menjadi pilihan untuk memulai sesuatu yang baru” Aku berjalan mengantarkan nampan berisi teh dan juga sepiring gorengan yang dibawa oleh Pak Romo. Kuhidangkan dua cangkir teh dengan aroma melati serta sepiring gorengan, dan menawarkan kepada tamu tersebut untuk segera meminum minumannya sebelum dingin. “Silakan diminum, Pak,” ucapku seramah mungkin tanpa melihat ke arah Pak Romo. Saat aku beranjak dan akan pergi, Ibu menahanku. “Rum, duduklah sebentar. Temani Ibu mengobrol dengan Pak Romo,” ujar Ibu tiba-tiba. Aku terperangah, bibir ini tiba-tiba terkunci tidak bisa menolak. Sebenarnya diri ini ingin mengelak, tapi tatapan Ibu seperti menyuruhku untuk diam dan mengikuti arahannya. “Rum, bukan apa-apa. Tidak baik meninggalkan Ibu sendirian mengobrol dengan seorang pria. Temanilah Rum, sebentar saja,” pinta Ibu sekali lagi.

  • MENANTU PILIHAN IBU    8 . RUMAH PAK ROMO

    BAB 8 RUMAH PAK ROMO Arah takdir selalu tidak bisa diprediksi. Sekuat apapun aku berharap pada sesuatu yang kuinginkan, tetapi justru hal itu bukanlah yang terbaik bagi diriku. Allah selalu punya rencana terbaik bagi hambanya. Ponsel berdering, ternyata alarm jam lima pagi telah berdentang membangunkanku dari malam panjang ini. Kubergegas ke kamar mandi dan melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim untuk melakukan salat subuh. Tidak lupa setelah itu aku mengaji serta mengirimkan doa untuk almarhum Papa. Seperti biasa rutinitas di pagi hari menyempatkan diri membaca buku, setelah itu melihat jadwal hari ini tidak begitu sibuk, hanya menemui Bang Kemal di perpustakaan dekat kampus untuk bimbingan sebentar mengenai skripsi. Aku belum pernah menceritakan tentang Bang Kemal kepada siapapun dan jujur juga tidak tahu harus bercerita kepada siapa, sebab aku tidak memiliki sahabat dekat. Keseharian kuhab

  • MENANTU PILIHAN IBU   9 . PEMBATALAN JANJI

    ”Bagaimana kita menyikapi soal kehidupan. Padahal banyak cara untuk menyelesaikannya. Walaupun harus jatuh di lubang yang sama, tetapi roda kehidupan terus berputar, yang bersabarlah segera bangkit dan terus berjuang dan memetik hasil dari kerja keras tersebut” Jarum jam terus berdentang menunjukkan bahwa aku sudah lebih dari lima belas menit duduk terpaku dan terdiam di hadapan Pak Romo. Tanpa memaksa untuk berbicara, pria itu lebih kepada mencoba memberi ruang untuk menata perasaanku sendiri sebelum mengungkapkan apa yang ingin kusampaikan padanya. Sesekali mengembuskan napas, terlihat sekali jika diri ini sangat gugup. Padahal Pak Romo begitu santai menghadapiku saat ini. Aku berdehem mencoba untuk mencairkan suasana, tetapi justru tubuhku panas membara, seperti kobaran api yang siap membakar setiap masalah yang kuhadapi saat ini. “Begini, Pak. Maksud dan tujuan saya datang kesini ingin memohon kepada anda untuk membatalkan isi dari

  • MENANTU PILIHAN IBU   10 . SEBUAH PERMINTAAN

    “Ada hal yang paling kubenci dari diriku sendiri. Saat orang memohon kepadaku untuk kebaikan orang lain, tetapi aku tidak bisa menolaknya”Hening sesaat sebab permintaan Pak Romo begitu mengejutkanku.“Apa maksdunya, Pak? Saya masih kurang paham.” Aku memandang Pak Romo dengan heran, sebab di surat perjanjian itu mengatakan bahwa aku harus menikah dengannya. Tapi sekarang kenapa malah jadi menikah dengan anaknya.“Tenanglah, Rum. Jangan terlalu terkejut, kau harus mendengarkannya secara detail agar tidak merasa heran.” Aku mengerutkan dahi, mencoba mencerna maksud dari perkataan Pak Romo.“Kamu sudah menolak dan aku menyetujui pembatalan tentang kau menikah denganku dengan konsekuensi kau harus menikah dengan Zaki. Jika kau menyetujuinya, kuliahmu akan aku biayai beserta adik-adikmu hingga kuliah. Dan kau akan kuberi usaha dan pergi tinggal dikota bersama Zaki, aku ingin kau megurusnya, tapi tidak mungkin jika kau harus mengurusnya ditengah kesibukanmu

Bab terbaru

  • MENANTU PILIHAN IBU   67. WISUDA

    WISUDA POV ZAKI. Sejak keluar dari rumah hingga sampai di pelataran auditorium kampus, aku tidak melepas genggaman ini dari tangan Rumi. Dirinya sampai mengomel karena aku tidak melepas pegangan tanganku padanya. “Sebentar aja, Kak, Rumi mau ke toilet,” ucapnya padaku yang berusaha melepas pegangan tangannya. “Yaudah, aku ikut. Aku tunggu di luar.” Dia melotot menatapku, kuabaikan saja berpaling menatap ke arah lain. “Astaga, Kak Zaki. Rumi cuma ke situ, toiletnya dekat.” “Emang salah kalau aku ikut? Ya aku mau jagaian kamu,” balasku tak mau kalah, seulas senyum kuberikan untuknya sebagai peredam amarahnya, tetapi tampaknya tidak berhasil. Kuabaikan lirikan Rumi yang seolah ingin memakanku hidup-hidup. Rumi melangkahkan kakinya dan kuikuti berdampingan dengannya. Tangannya kugenggam erat agar dia tidak menjauh dariku.

  • MENANTU PILIHAN IBU   66. PRIA LAIN

    PRIA LAIN“Kalian berdua sama pentingnya di hati ini. Nggak mungkin aku harus memilih”              Pagi ini aku bangun lebih awal, sebab jam 8 nanti ada undangan dari Bang Kemal untuk menghadiri acara wisudanya. Masalah kemarin sudah selesai, nggak diperpanjang dan berlarut. Kami sama-sama minta maaf.             Kak Zaki sudah menjelaskan padaku tentang Tiara. Perasaan itu berubah sejak lama, saat Tiara mengabaikannya, tidak ingin tahu tentang dirinya. Kalaupun Tiara  merasa kehilangan Kak Zaki, harusnya Tiara mencari bukan malah menghilang tanpa kabar.                Dia katakan kalau Tiara banyak berubah, bukan seperti wanita yang dikenalnya dulu. memang sejak dulu Tiara ambisius, tetapi sekarang jadi lebih terobsesi ingin kembali pada Kak Zaki, padahal Kak Zaki sudah menolaknya.               “Kakak, pakai baju ini?” tanyaku saat melihat Kak Zaki mengeluarkan kemeja batik berwarna hijau botol dengan celana hitam berbahan kain. Dia menatapku sekilas

  • MENANTU PILIHAN IBU   65. PROBLEM

    PROBLEM“Terima kasih karena sudah peduli dan khawatir”              Aku menghela napas pelan berjalan lunglai melewati tiang-tiang koridor perpustakaan. Napas ini sesak, bukan karena Kak Zaki, tetapi lebih kepada diri sendiri. Mulai dari pergi menuju kampus kesialan sudah mengikutiku. Ban taksi online yang bocor di tempat sepi, membuat sopir taksi tersebut kewalahan melakukan pergantian ban sendiri dengan peralatan seadaanya.              Begitu tiba di kampus dosen pembimbing sudah tidak ada lagi, beliau pergi karena menunggu terlalu lama. Entah bagaimana nanti aku menemuinya karena sudah membuatnya menunggu.              Aku mengutuki diri, mungkin ini adalah salah satu pelajaran karena mengingkari dan mengabaikan ucapan Kak Zaki. Dia melarangku pergi, tetapi aku paksa untuk pergi, alhasil begini hasilnya. Allah langsung menegurku dengan berbagai rentetan kejadian di luar kuasa diri.              Getaran dari dalam tas membuat langkahku terhenti, menepi se

  • MENANTU PILIHAN IBU   64. SALAH PAHAM

    SALAH PAHAM “Siapa, Kak,” tanyaku dari dalam sambil berjalan ke arah pintu. Langkah kaki ini terhenti begitu pintu kubuka lebar. “Kak,” lirihku pelan menatap Tiara berpelukan dengan Kak Zaki, dirinya tesenyum ke arahku sambil mengedipkan sebelah matanya. “I miss you,” bisiknya sengaja di depanku sambil melirik. Kak Zaki menoleh, dia segera melepaskan pelukan wanita itu dan berjalan pelan ke arahku perlahan. “Rum,” desisnya sembari meraih tangan ini. Namun, tanpa diduga tangan yang berusaha meraih tangan ini kutepis begitu saja, refleks karena merasa kecewa dengan apa yang sudah kulihat. Kutatap kedua netra Kak Zaki yang terlihat seperti memohon. “Rum, dengar sebentar, Sayang,” ucapnya lembut sambil memegang tanganku lagi. Mata ini sudah memupuk air yang siap

  • MENANTU PILIHAN IBU   63. UNGKAPAN

    UNGKAPAN             Aku masuk terlebih dahulu membiarkan Kak Zaki yang masih diteras memandang ke arah jalan, seolah tengah menunggu seseorang. Mulai dari membereskan ruang tamu juga sisa piring yang masih ada di wastafel belum aku bersihkan.              Oh ya, aku lupa mengecek ponsel yang belum sempat kuperiksa tadinya.  Kubuka ponsel dan melihat beberapa banyak pesan masuk dan panggilan tidak terjawab dari Bang Kemal juga Riyan.              [Rum, kamu baik-baik aja, kan?]             [Apa Zaki melarangmu datang?]              Jariku berhenti tepat di pesan tersebut begitu membacanya, seolah Bang Kemal tahu apa yang terjadi. Pantas saja tatapan pria itu tidak sedikitpun terusik dengan apa yang Kak Zaki lakukan, dia masih terlihat santai di saat Kak Zaki melakukan aksi konyolnya tadi.               [kamu nggak bisa di hubungi, nggak terjadi apa-apa, kan?]             [Nanti aku sama Riyan mau datang ke rumah menjenguk kamu.]             Ak

  • MENANTU PILIHAN IBU   62

    DEBAT KUSIRPOV KEMALAku menunggu Riyan di meja pantry yang ada di dapur Rumi. Sambil main ponsel melihat dokumentasi kegiatan yang baru dilakukan hari ini bersama pihak yayasan chariety peduli rumah singgah. Aku tersenyum senang melihat wajah-wajah semringah anak-anak rumah singgah yang senang mendapat bantuan dari para relawan. Selain itu juga sebagai pendiri rumah singgah, yayasan tersebut mengucurkan dana berupa bantuan untuk membangun bangunan sekolah semi permanen agar dindingnya tidak beralaskan kardus lagi. Aku banyak mengucap syukur, setidaknya apa yang kulakukan bisa memberikan mafaat bagi orang lain. Melihat foto kegiatan para pengajar terbesit rasa sedih walau hanya sedikit, karena Rumi tidak hadir. Namun, aku mencoba menepisnya. Bukannya Rumi tidak mau datang, pasti ada sebabnya kenapa dia tidak bisa hadir. Aku mengulas smirk, menyadari bahwa Rumi bukanlah wanita yang kukenal dulu. Dia sudah bersuami dan pasti dia harus menuruti perkataan suaminya. Sepanjang kegiatan

  • MENANTU PILIHAN IBU   61. TARIK MENARIK

    TARIK MENARIK Selagi aku sibuk di dapur membuka barang belanjaan yang dibawa Riyan, kubiarkan mereka bertiga di ruang tamu. Sambil membuka layar televisi agar suasana tidak terlalu hening. Dari dapur bisa kuperhatikan apa yang sedang ketiganya lakukan. Kak Zaki masih tetap dengan posisinya fokus menatap layar televisi, Bang Kemal lebih memilih membaca buku yang ada di atas nakas sebelah sofa. Yah, memang di sebelah sofa itu selalu kusiapkan beberapa buku yang sering kubaca, sengaja di letakkan di sana agar tidak berulang mengambil ke kamar. Sementara Riyan sama dengan Kak Zaki, fokus menonton acara kesukaan keduanya, apalagi kalau bukan berita tentang sepak bola. Sesekali kudengar keduanya mengobrol. Membincangkan berita yang disampaikan presenter televisi tentang acara bola tersebut. Sedikit merasa lega, karena akhirnya Kak Zaki tidak diam saja, bisa mengobrol dengan Riyan membincangkan hal yang dia sukai. Supaya suasana mencair tidak mencekam seper

  • MENANTU PILIHAN IBU   60. SURAM

    SURAM“Sebentar ya, Bang, Rumi buatkan minum dulu,” ucapku tersenyum lalu meninggalkan keduanya di ruang tamu. Sepeninggalanku keduanya tidak banyak bicara, sesekali curi-curi pandangan ke arah mereka, tetapi keduanya masih diam membisu, tidak seperti biasanya. Aku hanya berharap semoga apa yang kutakutkan tidak terjadi, masalah pertengkaran aku dan Kak Zaki semoga saja tidak menjadi masalah bagi hubungan perteman mereka. Semoga Kak Zaki bisa bersikap biasa saja kepada Bang Kemal. “Ini Bang, silakan di minum,” ucapku mempersilakan Bang Kemal. Kubuatkan dua teh hangat untuk dirinya dan juga Riyan, sekaligus ada camilan roti kaleng yang sudah kutaruh dipiring agar mempermudah keduanya untuk mengambilnya. “Terima kasih, Rum,” balasnya sambil tersenyum. Aku ambil duduk di single sofa yang letaknya tidak jauh dari Kak Zaki dan Bang Kemal. Namun, belum juga duduk lenganku tertahan. “Kamu mau ke mana, Sayang?” tanya Kak Zaki tiba-tiba. Aku terhent

  • MENANTU PILIHAN IBU   58. CONTEMPLATION

    COMTEMPLATION“Dirinya terlalu samar untuk diriku yang butuh kejelasan.”Masih dengan posisi yang sama, meringkuk memeluk lutut sambil merenungi kesalahanku hari ini. Tangis belum juga reda dan dada masih terasa sesak. Kuliirik jam yang berdentang menunjukkan pukul 9 tepat, tanpa sadar berada di posisi ini sudah dua jam lebih. Ponselku berdenting, sebuah pesan masuk dari Bang Kemal.[Rum, sudah di mana?]Begitulah bunyi pesan itu yang tampil di layar bar tanpa membuka aplikasi pesan itu langsung terbaca. Karena terlalu hanyut dengan perasaan ini membuatku lupa mengabari Bang Kemal. [Maaf ya, Bang. Rumi nggak bisa hadir. Kasihan Kak Zaki nggak ada yang temani.]Seperti itulah alasanku, setelah itu kumatikan ponsel tidak ingin diganggu oleh siapapun. Aku masih ingin meresapi perasaan ini, memikirkan bagaimana caranya untuk meminta maaf kepada Kak Zaki. Keras dan angkuhnya itu belum bisa terpatahkan. Kak Zaki terlalu samar untuk kutelus

DMCA.com Protection Status