Share

5. PERDEBATAN

Penulis: Mazda Hrp
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Aku, Riyan dan Reyna duduk di kursi paling belakang, sementara Ibu di kursi tengah dengan Papa di baringkan di tempat duduk. Dokter Kardi duduk di depan sesekali menoleh ke belakang untuk mengetahui kondisi Papa. Suasana hatiku sedang tidak bagus diakibatkan perdebatan yang terjadi dengan Ibu.

Aku merogoh saku celana untuk mengambil ponsel dan ingin menghubungi Bang Kemal yang sedang berada dalam masalah dengan mobilnya. Karena merasa tidak enak sebab dirinya sedang dalam kesulitan karena diriku, tetapi aku malah pergi tanpa memberitahukan kepadanya.

“Halo, Bang Kemal, bagaimana dengan mobilmu?”

“Sudah, Rum. Aku telepon Husin untuk mengantarkan ban serap yang ada dirumah. Jika harus menunggu untuk ke bengkel akan makan waktu lama,” ucapnya dengan terputus-putus, sesekali Bang Kemal mendesah mengambil napas panjang, mungkin Bang Kemal sedang menyelesaikan pergantian ban mobilnya.

“Alhamdlillah syukurlah kalau begitu, Bang. Rumi sangat khawatir.” Terdengar suara tawa pelan dari seberang telepon.

“Senang rasanya jika ada yang mengkhawatirkan.” Ucapan Bang Kemal memancing senyum di bibirku.

“Sebentar lagi aku akan sampai di rumahmu, Rum. Bersiaplah, kita akan segera berangkat membawa Papamu.”

“Hmm, maaf sebelumnya, Bang. Rumi menelepon juga ingin memberitahukan kalau Rumi sekeluarga sudah pergi ke rumah sakit bersama Dokter Kardi. Sebab sudah terlalu lama menunggu,” jelasku agar Bang Kemal tidak merasa tersinggung.

“Oh, iya tidak mengapa, Rum. Syukurlah kalau Papamu sudah cepat dibawa ke rumah sakit. Semoga lekas pulih ya, Rum, papamu. Kalau begitu aku pulang saja, sampai jumpa besok di kampus,” tuturnya pelan.

Aku berdehem kecil pertanda mengiakan percakapan itu akan berakhir. Sebenarnya ingin rasanya berbincang lebih lama dengan Bang Kemal, tetapi tatapan Ibu membuatku merasa risih. Apalagi, berulang kali aku memergoki lelaki tua yang sedang menyetir mobil ini berulang kali melirik ke arahku melalui kaca spion mobilnya.

Aku membuang muka, tidak ingin bersitatap langsung dengan pria itu. Jika ini bukan keadaan terpaksa tidak akan sudi untuk naik ke mobilnya.

“Siapa yang kau telepon, Rum?” Tiba-tiba Ibu menanyakan soal temanku.

“Teman kampusku,” ucapku datar.

“Apa ibu mengenalnya?”

“Ya.”

“Namanya?” tanya Ibu sekali lagi.

Aku menatap wanita itu tidak percaya, tatapanku terhalang oleh badan kursi yang di duduki ibu. Sejak kapan dia mau tahu urusanku.

"Ibu sudah seperti petugas desa saja, menanyakan biodata orang. Untuk apa?" ucapku sedikit kesal. Riyan mencubit lenganku sebagai pertanda agar aku bisa menahan diri.

"Apa salah jika Ibu menanyakannya, Rum? Ibu tidak ingin kau sampai salah bergaul."

Aku melengos kesal, sambil mengedarkan pandangan keluar jendela. Lagi-lagi Ibu menunjukkan rasa perhatiannya jika di hadapan orang lain.

"Ibu kenal dia, aku pun tahu bagaimana harus menjaga diri. Jadi Ibu tidak perlu cemas atau pun khawatir secara berlebih.”

Riyan memegang tanganku saat hendak melanjutkan peperangan kecil ini, Ibu terdiam, dirinya seolah menahan diri. Biasanya Ibu akan terus bicara tanpa henti.

Ditambah lagi emosiku memuncak saat pria yang menyetir itu selalu mencuri pandang ke arahku. Sesekali dirinya tersenyum tetapi aku kesal melihatnya. Sebenarnya diri ini merasa risih, kenapa pria tua itu selalu menatap dengan tatapan yang membuatku geli sendiri. Secara tidak sengaja manik mata kami bertemu, dia tersenyum lebar kepadaku.

"Ratih, anak perempuanmu sungguh pemberani. Dia membungkammu hanya dengan sekali kata saja," ujar pria itu sambil tersenyum.

Ibu yang bersender sambil mengelus kepala Papa tersenyum penuh arti kepada pria itu.

"Pak Romo, dialah Rumi, anak perempuan pertama Mas Rusli yang sebentar lagi akan menjadi menantu di rumah, Bapak.Saya sebagai ibunya mohon maaf jika Rumi berlaku tidak sopan hari ini."

Aku kaget, bagai tersambar petir rasanya mendengar pernyataan Ibu barusan. Tidak menyangka diri ini jika Ibu harus mengatakan hal itu di tengah suasana yang seperti ini. Tidak hanya diriku, Riyan, Reina dan Dokter Kardi pun menoleh menatap Ibu untuk mencari pembenaran.

"Apa benar itu, Rum?" tanya Dokter Kardi yang masih kaget.

Aku hanya terdiam membisu. Sementara pria itu tertawa girang kesenangan. “Tenang saja, Aku suka sikapnya yang blak-blakan. Itu menandakan kalau dia wanita yang kuat. Anakmu dan anakku pasti sangat cocok, saling mengisi kekurangan dan kelebihan mereka masing-masing. Perlu kamu ketahui, Rum. Anak saya Zaki dia lumpuh, semoga perjodohan ini tidak memberatkanmu, Nak Rumi.” Ucapan Pria tua itu semakin membuatku marah, dia dan Ibu begitu santai membahas masalah perjodohan, sementara Papa tengah kritis begini. Lagi pula aku sedang tidak ingin membahas hal itu.

“Rum.” Dokter Kardi memanggilku sekali lagi. Diamnya diriku membuat dokter Kardi memalingkan wajahnya ke arah ibu dan pria tua bernama Romo itu.

"Bu, Ratih. Sebaiknya masalah ini nanti saja di bicarakan. Tidak baik berdebat di dalam mobil. Apa lagi kita membawa Pak Rusli yang sedang sekarat. Ada baiknya masalah internal keluarga diselesaikan di rumah saja, Bu." Dokter Kardi menjelaskan kepada Ibu yang menunduk tanda mengerti.

Aku tidak tahan lagi, mencoba mengalihkan pandangan ke arah jendela agar tidak ada yang tahu jika bulir bening yang memenuhi mataku akhirnya keluar perlahan tanpa bisa ditahan.

Sakit sekali dada ini rasanya, kubersandar sambil mengatur napas yang naik turun, Ingin rasanya berkata pada pria bernama Romo itu agar mempercepat laju kendaraannya, karena aku tak ingin melihat dia dan Ibu. Harusnya tidak seorang pun tahu masalah ini, tapi kini Dokter Kardi pun tahu masalah ini, Riyan dan Reyna pun begitu. Padahal aku belum menyetujui apa pun, tetapi Ibu sudah membeberkannya.

Rumah Sakit Mitra Bakti.

Setelah diturunkan dari dalam mobil keadaan Papa masih kritis. Papa sedikit pun tidak merespon. Dari hasil pemeriksaan dokter mengatakan Papa masih dalam keadaan koma. Tidak ada penyebab yang pasti kenapa Papa bisa jatuh dari tempat tidur.

Hasil dari diagnosis dokter menyatakan bawa Papa terkena serangan jantung. Dan sekarang masih dalam keadaan koma. Aku merasa khawatir dan merasa takut kalau penyebab jatuhnya Papa karena perdebatan antara aku dan Ibu.

Sementara biaya untuk rumah sakit pun belum tahu harus kudapatkan dari mana. Melihat dari kejauhan Ibu sedang berbincang serius dengan Pak Romo dan Dokter Kardi. Aku tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan. Sementara Riyan tertidur di sebelah kiri dan Reyna disebelah kananku.

Ibu menangis tersedu, ingin sekali diriku datang ke sana untuk mengetahui apa yang mereka bicarakan, tapi keberadaan Pak Romo di situ membuatku berpikir kembali untuk berkumpul bersama mereka. Aku beranjak pergi ke ruang administrasi, rasa penasaran akan biaya rumah sakit ini mengganggu pikiran. Kuberanjak dan meninggalkan Riyan yang sedang tertidur di ruang tunggu.

Sesampainya di ruang administrasi, aku langsung meminta kepada suster untuk melihat berapa biaya rumah sakit. Namun, betapa terkejutnya diri ini jika biaya rumah sakit sudah dibayar semuanya oleh Ibu. Dari mana Ibu mendapatkan biaya sebesar ini.

Aku bergegas pergi meninggalkan ruang administrasi setelah selesai melihat dokumen pembayaran tersebut. Kemudian kembali ke kamar di mana Papa dirawat. Sesampainya di sana aku melihat Ibu sudah duduk di sebelah kiri Riyan, Pak Romo serta Dokter Kardi berada di situ juga. Aku berjalan perlahan, Ibu menatap kearahku dengan nanar.

"Dari mana saja, Rum?" tanya Ibu ingin tahu.

"Dari ruang administrasi, aku ingin tahu biayanya berapa, tapi ternyata sudah dibayar semuanya," jelasku sambil bersandar di dinding rumah sakit menghadap ke arah Ibu dan yang lainnya. Aku sengaja berdiri karena tidak ingin duduk didekat pria tua itu.

"Kalau kamu tahu biayanya, apa kamu bisa membayarnya, Rum?" cecar Ibu sambil melirik tajam. Aku balik menatap Ibu dan tidak menyangka jika pertanyaan Ibu akan menyudutkanku.

"Ak..., aku hanya ingin tahu, Bu. Walaupun aku sadar tidak dapat membayarnya. Hanya ingin tahu saja."

"Buat apa? Seharusnya kamu berterima kasih kepada Pak Romo, karena beliaulah yang sudah membantu melunasi semua biaya rumah sakit papamu termasuk biaya pengobatannya."

"Bu, apa salah jika aku hanya ingin tahu saja? Kenapa tanggapan Ibu seperti itu?" balasku dengan nada suara sedikit meninggi.

"Untuk apa jika hanya ingin tahu, membantu pun kau tidak akan mampu. Biaya kuliahmu saja kau pasti pusing memikirkannya, belum lagi semua biaya ini, Rum. Seharusnya dari awal kau menurut Rum, untuk saat ini tidak ada gunanya keras kepalamu itu."

Aku memandang Ibu dengan sangat marah, bergantian kupandang ke arah Riyan yang menatapku sedih dan ke arah Pak Romo yang sedikit menyunggingkan senyumnya. Entah apa arti senyum pria tua itu. Apa dia senang melihatku terus-terusan menjadi sasaran kemarahan Ibu. Baginya mungkin ini menyenangkan.

Aku memutuskan untuk pergi. Meladeni Ibu pun tidak akan berarti bagiku. Karena bagi Ibu kehadiranku ada ataupun tidak, sama saja. Pendapatku tidak pernah didengar, Ibu selalu bertindak sesuka hatinya. Setelah ini entah apa lagi yang akan diperbuatnya.

Padahal jika Ibu mau meminta pendapatku, mungkin hutang keluarga juga tidak akan bertambah. Aku punya tabungan yang kusimpan untuk kuliah Riyan. Mungkin itu bisa dipakai untuk biaya pengobatan Papa. Dan ada sedikit tabunganku yang memang sengaja kusimpan untuk diriku sendiri jika aku ingin memulai usaha, terkadang dari tabungan ini sedikit demi sedikitpun aku membelikan obat yang Papa butuhkan dulu. Tapi lagi-lagi Ibu tidak pernah mengandalkanku, apalagi meminta pendapat dariku. Wanita itu selalu saja memohon kepada pria tua yang bernama Romo itu.

Terlepas dari semua perhatian dan pengabdiannya dalam mengurus Papa, Ibu selalu bertindak sesukanya. Baginya mungkin aku bisa dijadikan penjamin bagi hutang mereka. Sungguh jahat jika Ibu berpikir seperti itu.

Aku berhenti di taman rumah sakit, tidak jauh dari taman itu ada sebuah bangunan kecil seperti musholla. Kulangkahkan kaki menuju ke bangunan minimalis itu. Ternyata benar bahwa bangunan itu merupakan musholla.

 Sungguh ini di luar kuasaku. Hati ini ingin menjerit, sungguh perih kurasa dengan siapa kutumpahkan segala gejolak di dada. Kubersimpu dan mengadahkan tangan, hanya kepada Allah lah kucurahkan segala rasa yang berkecamuk dan juga kebimbangan ini. Apakah masih ada jalan untuk berbalik arah menolak perjodohan ini atau jika diterima apakah diri ini akan bisa bahagia hidup dengan orang yang bukan pilihan diriku. Jika menerima pinangan itu, mungkin kuliah dan semua biayanya akan dibiayai Pak Romo. Tapi, haruskan aku menikah dengan seorang lelaki yang bahkan tidak bisa berjalan. Lalu begaimana dirinya akan menjadi suami dan imam yang layak bagiku.

Jika aku menolaknya, maka rumah dan seisinya akan di sita untuk membayar semua hutang Papa dan Ibu. Pilihan itu sama sulitnya, entah aku harus bagaimana.

Bab terkait

  • MENANTU PILIHAN IBU   BAB 6 . KEMATIAN PAPA

    “Kini aku tersadar, bahwa kematian seseorang begitu menyesakkan dada. Apalagi jika diri ini tidak sempat meminta maaf untuk yang terakhir kalinya” Aku kembali dengan perasaan gundah. Karena sampai detik ini belum memutuskan apapun. Mengingat bahwa Ibu sudah mengatakan tentang perjodohan itu kepada semua orang. Kuberjalan menuju ruangan Papa dengan perasaan berkecamuk, apa lagi pria bernama Romo itu sedari tadi tidak pergi meninggalkan ruangan Papa. Rasanya kaki ini sudah tidak sanggup berjalan, dari kejauhan terlihat ruang tunggu di depan kamar Papa hanya tinggal Riyan. Ibu, Dokter Kardi, dan Pak Romo tidak ada di tempat. Aku mempercepat langkah, hati ini tidak tenang, firasatku mengatakan jika terjadi sesuatu dengan Papa. "Riyan, ke mana Ibu?" tanyaku dengan napas terengah-engah begitu sampai di tempat Riyan duduk. Riyan menatapku tajam. Matanya merah berlinang, tidak pernah dirinya menatapku dengan tatapan seserius itu. Riyan bangkit dari duduknya lalu memegang kedua tang

  • MENANTU PILIHAN IBU    7. Permintaan seorang Ibu

    BAB 7 PERMINTAAN SEORANG IBU “Aku hanya sedikit berusaha keras, agar yang terbaik bisa menjadi pilihan untuk memulai sesuatu yang baru” Aku berjalan mengantarkan nampan berisi teh dan juga sepiring gorengan yang dibawa oleh Pak Romo. Kuhidangkan dua cangkir teh dengan aroma melati serta sepiring gorengan, dan menawarkan kepada tamu tersebut untuk segera meminum minumannya sebelum dingin. “Silakan diminum, Pak,” ucapku seramah mungkin tanpa melihat ke arah Pak Romo. Saat aku beranjak dan akan pergi, Ibu menahanku. “Rum, duduklah sebentar. Temani Ibu mengobrol dengan Pak Romo,” ujar Ibu tiba-tiba. Aku terperangah, bibir ini tiba-tiba terkunci tidak bisa menolak. Sebenarnya diri ini ingin mengelak, tapi tatapan Ibu seperti menyuruhku untuk diam dan mengikuti arahannya. “Rum, bukan apa-apa. Tidak baik meninggalkan Ibu sendirian mengobrol dengan seorang pria. Temanilah Rum, sebentar saja,” pinta Ibu sekali lagi.

  • MENANTU PILIHAN IBU    8 . RUMAH PAK ROMO

    BAB 8 RUMAH PAK ROMO Arah takdir selalu tidak bisa diprediksi. Sekuat apapun aku berharap pada sesuatu yang kuinginkan, tetapi justru hal itu bukanlah yang terbaik bagi diriku. Allah selalu punya rencana terbaik bagi hambanya. Ponsel berdering, ternyata alarm jam lima pagi telah berdentang membangunkanku dari malam panjang ini. Kubergegas ke kamar mandi dan melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim untuk melakukan salat subuh. Tidak lupa setelah itu aku mengaji serta mengirimkan doa untuk almarhum Papa. Seperti biasa rutinitas di pagi hari menyempatkan diri membaca buku, setelah itu melihat jadwal hari ini tidak begitu sibuk, hanya menemui Bang Kemal di perpustakaan dekat kampus untuk bimbingan sebentar mengenai skripsi. Aku belum pernah menceritakan tentang Bang Kemal kepada siapapun dan jujur juga tidak tahu harus bercerita kepada siapa, sebab aku tidak memiliki sahabat dekat. Keseharian kuhab

  • MENANTU PILIHAN IBU   9 . PEMBATALAN JANJI

    ”Bagaimana kita menyikapi soal kehidupan. Padahal banyak cara untuk menyelesaikannya. Walaupun harus jatuh di lubang yang sama, tetapi roda kehidupan terus berputar, yang bersabarlah segera bangkit dan terus berjuang dan memetik hasil dari kerja keras tersebut” Jarum jam terus berdentang menunjukkan bahwa aku sudah lebih dari lima belas menit duduk terpaku dan terdiam di hadapan Pak Romo. Tanpa memaksa untuk berbicara, pria itu lebih kepada mencoba memberi ruang untuk menata perasaanku sendiri sebelum mengungkapkan apa yang ingin kusampaikan padanya. Sesekali mengembuskan napas, terlihat sekali jika diri ini sangat gugup. Padahal Pak Romo begitu santai menghadapiku saat ini. Aku berdehem mencoba untuk mencairkan suasana, tetapi justru tubuhku panas membara, seperti kobaran api yang siap membakar setiap masalah yang kuhadapi saat ini. “Begini, Pak. Maksud dan tujuan saya datang kesini ingin memohon kepada anda untuk membatalkan isi dari

  • MENANTU PILIHAN IBU   10 . SEBUAH PERMINTAAN

    “Ada hal yang paling kubenci dari diriku sendiri. Saat orang memohon kepadaku untuk kebaikan orang lain, tetapi aku tidak bisa menolaknya”Hening sesaat sebab permintaan Pak Romo begitu mengejutkanku.“Apa maksdunya, Pak? Saya masih kurang paham.” Aku memandang Pak Romo dengan heran, sebab di surat perjanjian itu mengatakan bahwa aku harus menikah dengannya. Tapi sekarang kenapa malah jadi menikah dengan anaknya.“Tenanglah, Rum. Jangan terlalu terkejut, kau harus mendengarkannya secara detail agar tidak merasa heran.” Aku mengerutkan dahi, mencoba mencerna maksud dari perkataan Pak Romo.“Kamu sudah menolak dan aku menyetujui pembatalan tentang kau menikah denganku dengan konsekuensi kau harus menikah dengan Zaki. Jika kau menyetujuinya, kuliahmu akan aku biayai beserta adik-adikmu hingga kuliah. Dan kau akan kuberi usaha dan pergi tinggal dikota bersama Zaki, aku ingin kau megurusnya, tapi tidak mungkin jika kau harus mengurusnya ditengah kesibukanmu

  • MENANTU PILIHAN IBU   11 . PESAN SINGKAT

    Sebab yang paling salah dari jatuh cinta adalah jatuh cinta dalam diam. Tidak pernah dirinya memulai chat duluan, selalu aku, itu pun dengan alasan menanyakan tugas agar bisa berkirim pesan dengannya. Aku menutup kembali ponsel dan duduk kembali di sofa tempat semula duduk saat mengobrol dengan Pak Romo. Aku melirik jam yang sudah menunjukkan pukul 10 pagi, tidak terasa kami sudah menghabiskan waktu 1 jam lebih 30 menit untuk berbincang tentang masalah ini. Aku merasa tidak enak jika harus menambah waktu lagi untuk menjelaskan semua ini, padahal semua keputusan ada di tanganku saat ini. “Pak, beri saya waktu untuk memikirkan permintaan ini. Bagaimanapun saya harus mendiskusikan kembali kepada Ibu untuk hal ini. Mohon Pak Romo mengerti dengan keadaan saya saat ini,” ujarku meminta waktu kepadanya. Pria tua yang duduk dihadapanku saat ini tengah berpikir sejenak. Dirinya menarik dalam rokok yang tengah dihisapnya saat ini.

  • MENANTU PILIHAN IBU   12 . RASA ITU

    "Benar kata orang, wanita mampu menyembunyikan luka dibalik senyum indahnya. Siapa yang tahu jika hatiku saat ini tengah terluka. " Bang Kemal duduk dan bersalaman dengan Ibu, Ibu menatapku tajam seolah tidak suka dengan kehadiran Bang Kemal. “Rum, ikut Ibu sebentar,” ucap Ibu sambil beranjak dari tempat duduknya. Aku melirik ke arah Bang Kemal seraya tersenyum sambil memberikan tanda bahwa aku pergi sebentar, Bang Kemal mengangguk pertanda dia mengerti atas arti dari senyumanku itu. Aku mengikuti langkah kaki Ibu hingga berhenti di depan kamar, perasaan ini tidak enak saat Ibu menatapku dengan tatapan yang sama saat aku menolak menikah dengan Pak Romo. “Rum, siapa dia? Berani kau mengizinkan seorang pria datang ke rumah ini. Terlebih lagi semenjak papamu tidak ada kau mulai berlagak.” Ucapan Ibu seperti cambuk bagiku. Aku menatap wajah Ibu, padahal hari ini suasana hati ini sangat bagus, tetapi atas tuduhan yang ti

  • MENANTU PILIHAN IBU   13 . FAKTA BARU

    BAB 13FAKTA BARUSetiap orang selalu punya alasan untuk bertahan dan melawan. Bertahan untuk orang yang dicintai serta melawan untuk melindungi yang mereka cintai.Pukul tujuh malam aku tiba di rumah, Bang Kemal mengantarkan sampai rumah dan sengaja tidak menawarkan kepadanya untuk masuk serta menyuruhnya segera pergi. Sebab suasana hatiku saat ini benar-benar tidak bagus, aku takut jika amarah ini tidak tepat sasaran. Namun, pertemuan dengan dosen sore tadi membuahkan kabar bahagia, mungkin berita itu bisa jadi sedikit penenang bagi diriku saat ini karena sebentar lagi akan segera sidang kelulusan. Setidaknya berita itu menjadi penenang bagi hatiku yang resah saat ini. Sepanjang perjalanan pulang Bang Kemal bercerita bagaimana senangnya dia akhirnya rasa yang dia pendam selama beberapa tahun akhirnya bisa dia ungkapkan. Aku sesekali menanggapi ceritanya dan kesal padanya karena sama sekali tidak pandai membaca situasi. Aku berjalan masuk ke rumah, t

Bab terbaru

  • MENANTU PILIHAN IBU   67. WISUDA

    WISUDA POV ZAKI. Sejak keluar dari rumah hingga sampai di pelataran auditorium kampus, aku tidak melepas genggaman ini dari tangan Rumi. Dirinya sampai mengomel karena aku tidak melepas pegangan tanganku padanya. “Sebentar aja, Kak, Rumi mau ke toilet,” ucapnya padaku yang berusaha melepas pegangan tangannya. “Yaudah, aku ikut. Aku tunggu di luar.” Dia melotot menatapku, kuabaikan saja berpaling menatap ke arah lain. “Astaga, Kak Zaki. Rumi cuma ke situ, toiletnya dekat.” “Emang salah kalau aku ikut? Ya aku mau jagaian kamu,” balasku tak mau kalah, seulas senyum kuberikan untuknya sebagai peredam amarahnya, tetapi tampaknya tidak berhasil. Kuabaikan lirikan Rumi yang seolah ingin memakanku hidup-hidup. Rumi melangkahkan kakinya dan kuikuti berdampingan dengannya. Tangannya kugenggam erat agar dia tidak menjauh dariku.

  • MENANTU PILIHAN IBU   66. PRIA LAIN

    PRIA LAIN“Kalian berdua sama pentingnya di hati ini. Nggak mungkin aku harus memilih”              Pagi ini aku bangun lebih awal, sebab jam 8 nanti ada undangan dari Bang Kemal untuk menghadiri acara wisudanya. Masalah kemarin sudah selesai, nggak diperpanjang dan berlarut. Kami sama-sama minta maaf.             Kak Zaki sudah menjelaskan padaku tentang Tiara. Perasaan itu berubah sejak lama, saat Tiara mengabaikannya, tidak ingin tahu tentang dirinya. Kalaupun Tiara  merasa kehilangan Kak Zaki, harusnya Tiara mencari bukan malah menghilang tanpa kabar.                Dia katakan kalau Tiara banyak berubah, bukan seperti wanita yang dikenalnya dulu. memang sejak dulu Tiara ambisius, tetapi sekarang jadi lebih terobsesi ingin kembali pada Kak Zaki, padahal Kak Zaki sudah menolaknya.               “Kakak, pakai baju ini?” tanyaku saat melihat Kak Zaki mengeluarkan kemeja batik berwarna hijau botol dengan celana hitam berbahan kain. Dia menatapku sekilas

  • MENANTU PILIHAN IBU   65. PROBLEM

    PROBLEM“Terima kasih karena sudah peduli dan khawatir”              Aku menghela napas pelan berjalan lunglai melewati tiang-tiang koridor perpustakaan. Napas ini sesak, bukan karena Kak Zaki, tetapi lebih kepada diri sendiri. Mulai dari pergi menuju kampus kesialan sudah mengikutiku. Ban taksi online yang bocor di tempat sepi, membuat sopir taksi tersebut kewalahan melakukan pergantian ban sendiri dengan peralatan seadaanya.              Begitu tiba di kampus dosen pembimbing sudah tidak ada lagi, beliau pergi karena menunggu terlalu lama. Entah bagaimana nanti aku menemuinya karena sudah membuatnya menunggu.              Aku mengutuki diri, mungkin ini adalah salah satu pelajaran karena mengingkari dan mengabaikan ucapan Kak Zaki. Dia melarangku pergi, tetapi aku paksa untuk pergi, alhasil begini hasilnya. Allah langsung menegurku dengan berbagai rentetan kejadian di luar kuasa diri.              Getaran dari dalam tas membuat langkahku terhenti, menepi se

  • MENANTU PILIHAN IBU   64. SALAH PAHAM

    SALAH PAHAM “Siapa, Kak,” tanyaku dari dalam sambil berjalan ke arah pintu. Langkah kaki ini terhenti begitu pintu kubuka lebar. “Kak,” lirihku pelan menatap Tiara berpelukan dengan Kak Zaki, dirinya tesenyum ke arahku sambil mengedipkan sebelah matanya. “I miss you,” bisiknya sengaja di depanku sambil melirik. Kak Zaki menoleh, dia segera melepaskan pelukan wanita itu dan berjalan pelan ke arahku perlahan. “Rum,” desisnya sembari meraih tangan ini. Namun, tanpa diduga tangan yang berusaha meraih tangan ini kutepis begitu saja, refleks karena merasa kecewa dengan apa yang sudah kulihat. Kutatap kedua netra Kak Zaki yang terlihat seperti memohon. “Rum, dengar sebentar, Sayang,” ucapnya lembut sambil memegang tanganku lagi. Mata ini sudah memupuk air yang siap

  • MENANTU PILIHAN IBU   63. UNGKAPAN

    UNGKAPAN             Aku masuk terlebih dahulu membiarkan Kak Zaki yang masih diteras memandang ke arah jalan, seolah tengah menunggu seseorang. Mulai dari membereskan ruang tamu juga sisa piring yang masih ada di wastafel belum aku bersihkan.              Oh ya, aku lupa mengecek ponsel yang belum sempat kuperiksa tadinya.  Kubuka ponsel dan melihat beberapa banyak pesan masuk dan panggilan tidak terjawab dari Bang Kemal juga Riyan.              [Rum, kamu baik-baik aja, kan?]             [Apa Zaki melarangmu datang?]              Jariku berhenti tepat di pesan tersebut begitu membacanya, seolah Bang Kemal tahu apa yang terjadi. Pantas saja tatapan pria itu tidak sedikitpun terusik dengan apa yang Kak Zaki lakukan, dia masih terlihat santai di saat Kak Zaki melakukan aksi konyolnya tadi.               [kamu nggak bisa di hubungi, nggak terjadi apa-apa, kan?]             [Nanti aku sama Riyan mau datang ke rumah menjenguk kamu.]             Ak

  • MENANTU PILIHAN IBU   62

    DEBAT KUSIRPOV KEMALAku menunggu Riyan di meja pantry yang ada di dapur Rumi. Sambil main ponsel melihat dokumentasi kegiatan yang baru dilakukan hari ini bersama pihak yayasan chariety peduli rumah singgah. Aku tersenyum senang melihat wajah-wajah semringah anak-anak rumah singgah yang senang mendapat bantuan dari para relawan. Selain itu juga sebagai pendiri rumah singgah, yayasan tersebut mengucurkan dana berupa bantuan untuk membangun bangunan sekolah semi permanen agar dindingnya tidak beralaskan kardus lagi. Aku banyak mengucap syukur, setidaknya apa yang kulakukan bisa memberikan mafaat bagi orang lain. Melihat foto kegiatan para pengajar terbesit rasa sedih walau hanya sedikit, karena Rumi tidak hadir. Namun, aku mencoba menepisnya. Bukannya Rumi tidak mau datang, pasti ada sebabnya kenapa dia tidak bisa hadir. Aku mengulas smirk, menyadari bahwa Rumi bukanlah wanita yang kukenal dulu. Dia sudah bersuami dan pasti dia harus menuruti perkataan suaminya. Sepanjang kegiatan

  • MENANTU PILIHAN IBU   61. TARIK MENARIK

    TARIK MENARIK Selagi aku sibuk di dapur membuka barang belanjaan yang dibawa Riyan, kubiarkan mereka bertiga di ruang tamu. Sambil membuka layar televisi agar suasana tidak terlalu hening. Dari dapur bisa kuperhatikan apa yang sedang ketiganya lakukan. Kak Zaki masih tetap dengan posisinya fokus menatap layar televisi, Bang Kemal lebih memilih membaca buku yang ada di atas nakas sebelah sofa. Yah, memang di sebelah sofa itu selalu kusiapkan beberapa buku yang sering kubaca, sengaja di letakkan di sana agar tidak berulang mengambil ke kamar. Sementara Riyan sama dengan Kak Zaki, fokus menonton acara kesukaan keduanya, apalagi kalau bukan berita tentang sepak bola. Sesekali kudengar keduanya mengobrol. Membincangkan berita yang disampaikan presenter televisi tentang acara bola tersebut. Sedikit merasa lega, karena akhirnya Kak Zaki tidak diam saja, bisa mengobrol dengan Riyan membincangkan hal yang dia sukai. Supaya suasana mencair tidak mencekam seper

  • MENANTU PILIHAN IBU   60. SURAM

    SURAM“Sebentar ya, Bang, Rumi buatkan minum dulu,” ucapku tersenyum lalu meninggalkan keduanya di ruang tamu. Sepeninggalanku keduanya tidak banyak bicara, sesekali curi-curi pandangan ke arah mereka, tetapi keduanya masih diam membisu, tidak seperti biasanya. Aku hanya berharap semoga apa yang kutakutkan tidak terjadi, masalah pertengkaran aku dan Kak Zaki semoga saja tidak menjadi masalah bagi hubungan perteman mereka. Semoga Kak Zaki bisa bersikap biasa saja kepada Bang Kemal. “Ini Bang, silakan di minum,” ucapku mempersilakan Bang Kemal. Kubuatkan dua teh hangat untuk dirinya dan juga Riyan, sekaligus ada camilan roti kaleng yang sudah kutaruh dipiring agar mempermudah keduanya untuk mengambilnya. “Terima kasih, Rum,” balasnya sambil tersenyum. Aku ambil duduk di single sofa yang letaknya tidak jauh dari Kak Zaki dan Bang Kemal. Namun, belum juga duduk lenganku tertahan. “Kamu mau ke mana, Sayang?” tanya Kak Zaki tiba-tiba. Aku terhent

  • MENANTU PILIHAN IBU   58. CONTEMPLATION

    COMTEMPLATION“Dirinya terlalu samar untuk diriku yang butuh kejelasan.”Masih dengan posisi yang sama, meringkuk memeluk lutut sambil merenungi kesalahanku hari ini. Tangis belum juga reda dan dada masih terasa sesak. Kuliirik jam yang berdentang menunjukkan pukul 9 tepat, tanpa sadar berada di posisi ini sudah dua jam lebih. Ponselku berdenting, sebuah pesan masuk dari Bang Kemal.[Rum, sudah di mana?]Begitulah bunyi pesan itu yang tampil di layar bar tanpa membuka aplikasi pesan itu langsung terbaca. Karena terlalu hanyut dengan perasaan ini membuatku lupa mengabari Bang Kemal. [Maaf ya, Bang. Rumi nggak bisa hadir. Kasihan Kak Zaki nggak ada yang temani.]Seperti itulah alasanku, setelah itu kumatikan ponsel tidak ingin diganggu oleh siapapun. Aku masih ingin meresapi perasaan ini, memikirkan bagaimana caranya untuk meminta maaf kepada Kak Zaki. Keras dan angkuhnya itu belum bisa terpatahkan. Kak Zaki terlalu samar untuk kutelus

DMCA.com Protection Status