4. SOSOK YANG DIHARAP

Riyan datang sambil berlari, napasnya ngos-ngosan. Di belakangnya ada Dokter Kardi, seorang dokter yang ditugaskan di puskesmas pembantu untuk desa ini datang menyusul.

 “Yan, kau dari mana,” cecarku.

 “Aku memanggil Dokter Kardi, Kak Rum. Aku khawatir Papa....” Suaranya tercekat, Riyan tampak mengambil napas dalam, anak laki-laki yang baru menginjak usia remaja itu sudah bertindak cepat begitu melihat keadaan Papa yang tidak stabil.

 Dokter Kardi langsung melakukan pemeriksaan pada Papa, sebelumnya tubuh Papa mereka angkat terlebih dahulu ke atas tempat tidur. Tampak dokter Kardi sedang mendeteksi denyut nadi dan jantung Papa.

 “Denyut nadinya lemah sekali. Sebaiknya kita segera bawa ke rumah sakit yang berada di kota. Agar dilakukan pemeriksaan lebih lanjut,” ujar Dokter Kardi.

 “Dilakukan secepatnya saja, Dok. Agar Papa bisa segera pulih,”ujarku cepat. Semetara Ibu menatapku dengan tatapan ragu.

 “Tapi, saya mohon maaf. Mobil puskesmas saat ini tidak dapat digunakan karena sudah dua hari ini ban-nya belum diganti. Saya sudah pesan ban dari kota, hanya saja belum sampai hingga saat ini,” jelas Dokter Kardi dengan wajah penuh penyesalan.

 Aku menghela napas panjang. Jarak dari kampung ke kota berkisar satu jam setengah. Belum lagi jika hujan, maka jalannya pun akan tergenang dan tidak bisa dilewati. Di kampung ini satu-satunya orang yang memiliki mobil adalah Pak Romo, seorang duda beranak satu. Usia Pak Romo tidak jauh beda dengan usia Papaku, hanya berbeda 3 atau 4 tahun saja. Beliau memiliki seorang anak lelaki yang lumpuh, yang usianya juga tidak berbeda jauh denganku. Dulu aku dan anak lelaki Pak Romo pernah satu SMA hanya saja beda tingkatan, anaknya adalah seniorku di SMA dulu.

 Aku berpikir keras siapa yang bisa dimintai tolong untuk datang ke kampung ini dengan membawa mobil. Aku tidak ingin menambah hutang budi lagi kepada Pak Romo. Dirinya akan semakin mejadi jika semakin dibutuhkan oleh orang lain.

 Aku mengambil ponsel yang sejak tadi berada di saku celana, berinisiatif mengirim pesan kepada Bang Kemal yang merupakan seniorku di kampus. Menjelaskan secara rinci apa yang sedang terjadi di sini. Bang Kemal langsung membalas cepat, dirinya segera meluncur datang ke rumahku membawa mobilnya. Aku tersenyum lega, setidaknya kami harus menunggu tiga puluh menit sampai Bang Kemal datang. Karena rumah Bang Kemal yang berada di simpang masuk ke perkampunganku hanya memakan waktu dua puluh menit.

 “Jadi bagaimana, Bu,” tanya Dokter Kardi kepada Ibu.

 Ibu yang sedari tadi menangis tidak dapat berpikir dengan jernih. Satu-satunya ucapan yang keluar dari mulutnya adalah dengan meminta pertolongan dari Pak Romo. Aku mendengus kesal.

 “Kenapa sih, harus minta tolong padanya. Aku sudah menghubungi temanku. Sebentar lagi dia akan sampai di sini,” ujarku sedikit berteriak pada Ibu.

 Ibu menyeka air matanya, dirinya merenggangkan pelukannya pada Papa.

 “Rum, kita nggak punya waktu lama....”

 “Tunggulah sebentar,” potongku tidak sabar.

 Ibu sepertinya lelah menanggapiku. Dia memilih diam dan kembali memeluk Papa.

 Dokter Kardi melakukan tahap pertolongan pertama, dirinya memasang selang infus agar kondisi Papa mampu bertahan walaupun untuk sebentar saja, sembari menunggu mobil datang.

  Riyan dan Reina tampak saling tatap karena selisih paham antara aku dan Ibu. Bagi mereka berdua sudah biasa melihat aku dan Ibu sering bertengkar, secara mereka masih menurut saja apa yang dikatakan Ibu, walaupun terkadang secara diam-diam mereka sering mengadu padaku.

 Aku hanya katakan pada Reina dan Riyan untuk menurut saja pada Ibu, sebab Ibu sudah mau mengurus Papa dan mengurus kami di sini. Asalkan Ibu tidak main tangan kepada kedua adikku ini. Sampai saat ini pun ibu tidak pernah main tangan kepada Reina dan Riyan.

 ***

 Dokter Kardi sesekali memeriksa kembali denyut nadi Papa dan melihat jam dinding yang sudah menunjukkan 30 menit sudah berlalu.

 “Rum, mobilnya sudah di mana? Ini sudah lebih dari 20 puluh menit. Saya nggak bisa menunggu jika lebih dari satu jam. Karena jarak dari sini ke rumah sakit kota juga memakan banyak waktu. Beruntung saat ini Papamu masih bertahan,” jelas Dokter Kardi.

 Ibu melirik tajam, aku menggigit bibir bawah dan mengecek kembali Bang Kemal sudah sampai mana. Namun, nomor ponselnya pun tidak bisa dihubungi, selain itu pesanku pun belum dibacanya. Di mana sebenarnya Bang Kemal.

 “Rum,” panggil Dokter Kardi sekali lagi sambil memandang wajahku.

 “Maaf, Dok. Dia tidak mengangkat teleponku,” jawabku pelan dengan raut wajah cemas.

 Dokter Kardi tampak mendesah pelan, Ibu melirik sinis ke arahku. Tidak lama ponsel berdering, aku tersenyum senang mendapatkan panggilan dari nomor tersebut.

 “Sudah di mana, Bang?” cecarku.

 “Hmm, Maaf, Rum. Sepertinya aku tidak bisa datang. Ban mobilnya bocor tepat di persimpangan menuju rumahmu. Aku sendiri bingung harus minta tolong pada siapa. Karena di sini benar-benar gelap.”

 Batin ini terkejut, kulirik dokter Kardi, Ibu serta Riyan dan Reyna yang sedang menunggu jawaban.

 “Yasudah, Bang. Nanti aku akan suruh orang dari desa ini untuk menolongmu.” Aku mematikan panggilan tersebut sambil menundukkan kepala, merasa malu untuk mengangkat wajah dan melihat Dokter Kardi. Terutama untuk melihat Ibu, dirinya pasti akan semakin jengkel terhadapku.

 “Ma..., maaf, Dokter. Teman saya tidak bisa datang. Ban mobilnya bocor,” terangku perlahan, bisa kulihat bagaimana ekspresi Ibu, dirinya menyunggingkan sedikit senyum ke arahku.

 “Apa Ibu bilang, kalau sedari tadi kita bergerak pasti sudah sampai ke rumah sakit. Dasar kamu, Rum! Tidak pernah mau mendengarkan apa yang Ibu katakan. Teruslah keras kepala, sampai kamu menyesal.” Akhirnya ibu meluapkan kekesalannya kepadaku. Dokter Kardi yang mendengarkan hal itu hanya bisa menghela napas, karena hal seperti ini tidak hanya terjadi saat ini, tetapi saat beliau datang mengecek Papa, aku dan Ibu sering berselisih paham.

 Dokter Kardi tampak menelepon seseorang, dan selanjutnya melakukan pengecekan dan sedikit membenahi alat-alat pemeriksaannya yang masih berserak di atas meja. Dokter Kardi melirik ke arahku dan Ibu secara bergantian.

 “Mohon maaf, nanti saja kalian lanjutkan bertengkarnya. Sebentar lagi mobilnya akan datang,” sela Dokter Kardi perlahan.

 Aku dan Ibu terdiam begitu mendengar perkataan Dokter Kardi, Ibu pun turun dari tempat tidur untuk membereskan beberapa keperluan Papa di rumah sakit.

 Tidak berselang lama, bunyi klakson mobil terdengar nyaring dari halaman rumah. Riyan, aku, Ibu, dan Dokter Kardi menoleh ke arah sumber suara. Aku melihat dari jendela kamar, betapa terkejutnya setelah mendapati bahwa yang turun adalah seorang lelaki tua berbaju hitam motif bunga-bunga. Selain itu kalung putih bertengger dilehernya dengan kancing baju yang terbuka sedikit.

 Aku tercekat begitu melihat dari dekat saat lelaki itu secara perlahan masuk ke rumah dan melihat kondisi Papa. Dalam diamnya lelaki itu berjabat tangan dengan Ibu serta menyentuh bahunya sambil menenangkan. Diri ini tidak menyangka jika Dokter Kardi akan menelepon orang tersebut. Orang yang sengaja kuhindari sekaligus kubenci karena surat perjanjian itu.

 Mau tidak mau aku pun harus menurut. Ibu menyambut kedatangan orang itu dengan perasaan lega. Akhirnya Papa bisa dibawa segera ke rumah sakit dengan segera.