Hatiku terasa sakit teriris ketika mengetahui bahwa Ibu dengan mudahnya menyetujui pinangan yang diajukan oleh Pak Romo, saudagar terkaya di kampung ini. Aku terkejut saat sebuah surat perjanjian sudah disetujui oleh kedua belah pihak keluarga tanpa menanyakan persetujuanku lebih dulu. Hati ini bagai ditusuk pisau bertubi-tubi ketika Ibu menyodorkan surat itu saat aku baru pulang kuliah.
Semenjak Mama meninggal dan Papa menikah lagi dengan wanita yang kupanggil Ibu, semua kehangatan di rumah ini berubah. Di rumah ini hanya Ibu yang punya kendali, semuanya atas persetujuan dari Ibu. Papa tidak dapat menentang ataupun berpendapat. Semenjak Papa sakit-sakitan dan tidak bekerja lagi karena penyakit yang sudah lama dideritanya, kini yang menjadi tulang punggung keluarga adalah Ibu. Wanita itu bahkan mengatur urusan pribadiku dan adikku, Reina dan Rian. Kami bersekolah di mana, pergi ke mana dan ada urusan apa, semuanya harus diketahui oleh Ibu.
Hari itu bagai tersambar petir saat mengetahui bahwa Ibu sudah merencanakan semua ini. Aku berusaha bersabar dan diam selama ini karena masih menghormati dan berterima kasih kepada Ibu sebab masih bertahan dengan Papa yang kodisinya makin hari kian melemah. Diriku cukup sadar diri karena tidak mungkin hanya berpangku tangan saja. Untuk membantu perekonomian keluarga, aku berdagang dan terkadang mengirim tulisan ke media massa. Untuk biaya kuliah sendiri aku tidak memberatkan Ibu, karena mendapat beasiswa dan hasil dari usaha bisa ditabung untuk biaya sekolah Reina dan Riyan.
Sejak awal, sewaktu memutuskan untuk kuliah, Ibu tidak hentinya memperingatkan, bahwa tidak akan membiayai kuliah sepeser pun. Dirinya bersikeras menyuruhku untuk segera menikah kepada anak dari saudagar kaya di kampung ini. Aku pun menolak, sejak saat itu perseteruan di antara kami sering terjadi.
Semenjak SMA selalu menuruti kehendaknya, untuk mengambil pelajaran tambahan saja aku harus mengemis dan memohon agar Ibu memberikan izin agar bisa mengikuti program paket belajar untuk masuk perguruan tinggi negeri. Sampai menangis darah pun Ibu tidak mengizinkannya. Sampai aku harus berusaha sendiri dan memperbanyak doa serta meminta bantuan teman-teman agar mau memberikan bekas soal-soal mereka. Hingga akhirnya aku membuktikan bahwa bisa masuk perguruan tinggi negeri dan mendapatkan beasiswa.
Saat itu Ibu mulai memasang tanda perselisihan. Dirinya mulai tidak suka melihatku yang terlalu bebas dan tidak menuruti kemauannya. Aku pergi dan pulang sesuka hati, bukan karena kelayapan di jalanan, tapi karena harus bekerja setelah kuliah untuk membuktikan bahwa aku bisa mengejar impian tanpa uang darinya. Saat ini Reina dan Rianlah yang harus menanggung beban dari tekanan yang Ibu berikan. Aku selalu mengatakan kepada keduanya untuk terus bersabar sampai waktunya tiba maka mereka pun akan lepas dari kekangan Ibu.
***
Kepala ini terasa berat, entah mengapa semuanya penuh kejutan. Sidang tugas akhir yang seharusnya dijadual minggu depan tiba-tiba saja dimajukan tiga hari mendatang. Padahal persiapanku belum begitu sempurna, belum lagi memperbanyak tugas akhir untuk para dosen pembimbing, mengirim undangan perubahan jadual serta katering yang harus dipesan sebelum hari-H. Keuangan juga belum cukup jika harus menyiapkan semuanya sekaligus. Honor dari pengiriman naskah baru akan cair minggu depan. Padahal aku sudah memperhitungkannya secara matang jika jadual ini tidak berubah, maka persiapan ini sudah sangat sempurna.
Aku menghela napas panjang sambil membaringkan tubuh yang begitu lelah hari ini. Kamar adalah tempat ternyaman saat ini untuk menghilangkan rasa penat. Belum lagi harus memikirkan cara bagaimana bisa mengurus kekacauan ini. Tanpa aku sadari seseorang masuk ke kamar dan langsung menepuk bahuku.
“Ahhh!” jeritku kaget. “Ibu, buat kaget aja. Seharusnya ketok dulu, Bu,” ucapku pada wanita yang kini duduk disebelah kiri. Dirinya tersenyum melihat raut wajahku yang penuh kekagetan.
“Pintumu terbuka, jadi Ibu langsung masuk saja. Salah sendiri tidak ditutup rapat,” ujarnya tak mau kalah.
“Tumben Ibu ke kamarku. Ada perlu apa?” tanyaku seramah mungkin. Karena memang dapat dipastikan Ibu sangat jarang mengobrol jika tidak ada sesuatu yang penting.
Ibu menyodorkan sebuah surat, tanpa banyak bertanya aku mengambil surat itu dan langsung membacanya. Bagai ditikam kapak kepala ini semakin nyeri setelah membaca isi surat tersebut. Air mataku menggenang, tidak percaya jika Ibu akan berbuat sekejam ini.
“Apa maksudnya ini,” cetusku lantang. Wanita yang berdiri dihadapanku itu lantas memandang tajam. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis pertanda bahwa dia siap berselisih. “Jawab!”
Wanita yang kupanggil Ibu itu semakin memandang tajam, sorot matanya menandakan bahwa tidak ada yang bisa mengalahkannya.
“Rum, kau tahu sendiri jika kondisi papamu kian melemah. Untuk mengangkat tangannya saja dia sudah tidak mampu, sebaiknya segera kita bawa ke rumah sakit. Dan jalan satu-satunya adalah dengan perjanjian itu....”
“Tapi, kenapa harus aku yang dikorbankan? Kenapa tidak dirimu saja!” sergahku memotong perkataannnya.
Wanita itu diam sejenak sambil menghela napas. Bukan kali ini saja kami berseteru dengan hal yang tidak masuk akal seperti ini.
“Bagaimana bisa Papa sembuh hanya dengan aku melakukan apa yang dikatakan dalam surat ini. Ibu pasti yang merencanakan ini ‘kan?” tanyaku lantang.
Untuk sesaat wanita itu diam saja tanpa merespon apa yang kutuduhkan padanya. Diamnya menurutku adalah jawaban bahwa kalau semua ini memang dia yang merencanakan, lantas siapa lagi kalau bukan ide gila dari dirinya.
Belakang ini pun dirinya tampak sering pulang terlalu malam, tapi yang aku dengar dari adik-adikku, mereka bilang bahwa Ibu bekerja di rumah Pak Romo, salah satu orang kaya dikampungku. Aku tidak banyak bertanya soal pekerjaan baru Ibu. Namun, dirinya memang barusaha keras untuk memenuhi kebutuhan rumah ini.
Sesuai kesepakatan awal, yang aku ajukan kepada Ibu sewaktu diterima di perguruan tinggi negeri, kami tidak akan mengurusi pribadi masing-masing karena aku sudah memilih untuk tidak bergantung pada ibu dan mencari jalan sendiri.
“Rum,” panggilnya pelan.
“Iya.”
“Tidak ada jalan lain selain kau harus setuju dengan isi surat itu, Rum. Banyak hal yang sudah terjadi tanpa sepengetahuan dirimu. Kau terlalu sibuk dengan kuliahmu sehingga lupa bertanya bagaimana kondisi papamu.”
Aku memandang tajam ke arahnya, apa maksud dari perkataannya barusan. “ Apa Ibu baru saja mengatai kalau aku tidak peduli dengan kondisi Papa?”
Ibu mendekatkan tubuhnya ke arahku. Dirinya memasang wajah memelas, baru kali ini aku melihat wanita ini begitu pasrah dengan keadaan. Padahal sebelumnya dirinya sangat keras dan tidak bisa ditentang. Namun, entah mengapa untuk urusan kali ini dirinya mencoba lembut terhadapku.
“Rum, tolong! Pikirkan baik-baik keputusan ini. Karena hanya dengan perjanjian ini papamu bisa segera diobati dari penyakitnya. Lagi pula...?” Tiba-tiba saja wanita itu menggantung ucapannya.
“Lagi pula apa,” selaku cepat.
“Akh, tidak. Tidak ada.” Wanita itu mengibaskan tangannya pertanda tidak terjadi apa-apa. Tapi aku merasa curiga, karena Ibu tidak pernah bersikap plin-plan seperti ini.
“Katakan saja, Bu. Ada apa.”
“Rum. Sebelumnya Ibu minta maaf atas nama papamu. Karena beliau yang meminta ini langsung. Jika kau tidak setuju atas pernikahan ini, maka tanah serta sertifikat rumah ini akan disita untuk membayar semua hutang kepada Pak Romo.”
Bagai tersambar petir aku mendengar kenyataan ini. Membaca surat perjanjian itu saja sudah membuat mata ini berkunang-kunang. Belum lagi mendengar hutang Papa yang menumpuk kepada saudagar kaya itu.
Ingin rasanya menangis, tetapi air mataku seolah tidak ingin keluar. Hati tercabik, tubuh lemas tidak berdaya. Ingin sekali rasanya berlari serta menghilang dari kenyataan ini. Sungguh apa yang baru saja kudengar membuat hati ini hancur. Ini sama saja jika Papa menjualku kepada saudagar itu.
Suara mengaji di Masjid membuatku terbangun, ternyata sudah menjelang magrib, sementara diriku belum mandi. Nyatanya tubuh ini sangat lelah terutama pikiranku sampai ketiduran. Aku mendengus pelan, ingin rasanya menjerit mengeluarkan semua beban yang menumpuk dikepala. Saat seperti ini Mama adalah orang yang paling mengerti, belaian serta kata-kata nasihatnya saat ini pasti sangat menenangkan hati. Tanpa sadar mata ini memerah dan berlinang merindukan pelukan dan sentuhan tangan Mama. Lama merenung, aku sadar waktu terus bergulir dan langsung beranjak dari tempat tidur segera menuju ke kamar mandi. Suara decitan pintu terdengar begitu jelas, seseorang perlahan masuk tanpa mengucapkan salam. Aku masih berdoa, mukenah putih yang mulai lusuh itu masih bertengger di tubuh. Banyak jahitan serta tempelan yang menghiasi mukenah itu, mungkin bisa dikatakan bahwa mukenah inilah pengobat rinduku pada Mama. Karena merupakan pemberian terakhir darinya. Tahun lalu ibu memberikan mukena bekasnya
Aku berdiri tidak jauh dari kamar Papa sambil menunggu Ibu datang. Perasaan ini tidak bisa tergambarkan lagi, emosi, amarah, semua jadi satu. Ingin segera aku melampiaskan semuanya kepada Ibu yang bisa-bisanya tanpa berdiskusi langsung membuat keputusan tanpa persetujuanku. “Apa yang mau kamu katakan, Rum?” Ibu langsung bertanya begitu dia sampai di hadapanku. Dari pertanyaannya saja tidak sedikit pun punya rasa bersalah telah mengambil keputusan sendiri tanpa melibatkan diriku. “Ibu masih bertanya? Ibu sebenarnya tahu atau pura-pura tidak tahu!” cecarku dengan nada tinggi. Aku kesal dan ingin berteriak saja di hadapan wanita ini.Sudah cukup lama menyimpan segala bentuk kekesalan yang ingin kuhempaskan kepada Ibu. Tapi aku masih berpikir, semua ini demi Papa. Walau bagaimanapun, ibu telah bersusah payah mengurus Papaku. “Apa sebenarnya maksudmu, Rum? Ibu tidak paham. Kau langsung saja mau bicara apa?” tukasnya sambil melipat tangan. Raut wajahnya sama sekali tidak menunjukkan pen
Riyan datang sambil berlari, napasnya ngos-ngosan. Di belakangnya ada Dokter Kardi, seorang dokter yang ditugaskan di puskesmas pembantu untuk desa ini datang menyusul. “Yan, kau dari mana,” cecarku. “Aku memanggil Dokter Kardi, Kak Rum. Aku khawatir Papa....” Suaranya tercekat, Riyan tampak mengambil napas dalam, anak laki-laki yang baru menginjak usia remaja itu sudah bertindak cepat begitu melihat keadaan Papa yang tidak stabil. Dokter Kardi langsung melakukan pemeriksaan pada Papa, sebelumnya tubuh Papa mereka angkat terlebih dahulu ke atas tempat tidur. Tampak dokter Kardi sedang mendeteksi denyut nadi dan jantung Papa. “Denyut nadinya lemah sekali. Sebaiknya kita segera bawa ke rumah sakit yang berada di kota. Agar dilakukan pemeriksaan lebih lanjut,” ujar Dokter Kardi. “Dilakukan secepatnya saja, Dok. Agar Papa bisa segera pulih,”ujarku cepat. Semetara Ibu menatapku dengan tatapan ragu. “Tapi, saya mohon maaf. Mobil puskesmas saat ini tidak dapat digunakan karena sudah du
Aku, Riyan dan Reyna duduk di kursi paling belakang, sementara Ibu di kursi tengah dengan Papa di baringkan di tempat duduk. Dokter Kardi duduk di depan sesekali menoleh ke belakang untuk mengetahui kondisi Papa. Suasana hatiku sedang tidak bagus diakibatkan perdebatan yang terjadi dengan Ibu.Aku merogoh saku celana untuk mengambil ponsel dan ingin menghubungi Bang Kemal yang sedang berada dalam masalah dengan mobilnya. Karena merasa tidak enak sebab dirinya sedang dalam kesulitan karena diriku, tetapi aku malah pergi tanpa memberitahukan kepadanya.“Halo, Bang Kemal, bagaimana dengan mobilmu?”“Sudah, Rum. Aku telepon Husin untuk mengantarkan ban serap yang ada dirumah. Jika harus menunggu untuk ke bengkel akan makan waktu lama,” ucapnya dengan terputus-putus, sesekali Bang Kemal mendesah mengambil napas panjang, mungkin Bang Kemal sedang menyelesaikan pergantian ban mobilnya.“Alhamdlillah syukurlah kalau begitu, Bang. Rumi sangat khawatir.” Terdengar suara tawa pelan dari seberang
“Kini aku tersadar, bahwa kematian seseorang begitu menyesakkan dada. Apalagi jika diri ini tidak sempat meminta maaf untuk yang terakhir kalinya” Aku kembali dengan perasaan gundah. Karena sampai detik ini belum memutuskan apapun. Mengingat bahwa Ibu sudah mengatakan tentang perjodohan itu kepada semua orang. Kuberjalan menuju ruangan Papa dengan perasaan berkecamuk, apa lagi pria bernama Romo itu sedari tadi tidak pergi meninggalkan ruangan Papa. Rasanya kaki ini sudah tidak sanggup berjalan, dari kejauhan terlihat ruang tunggu di depan kamar Papa hanya tinggal Riyan. Ibu, Dokter Kardi, dan Pak Romo tidak ada di tempat. Aku mempercepat langkah, hati ini tidak tenang, firasatku mengatakan jika terjadi sesuatu dengan Papa. "Riyan, ke mana Ibu?" tanyaku dengan napas terengah-engah begitu sampai di tempat Riyan duduk. Riyan menatapku tajam. Matanya merah berlinang, tidak pernah dirinya menatapku dengan tatapan seserius itu. Riyan bangkit dari duduknya lalu memegang kedua tang
BAB 7 PERMINTAAN SEORANG IBU “Aku hanya sedikit berusaha keras, agar yang terbaik bisa menjadi pilihan untuk memulai sesuatu yang baru” Aku berjalan mengantarkan nampan berisi teh dan juga sepiring gorengan yang dibawa oleh Pak Romo. Kuhidangkan dua cangkir teh dengan aroma melati serta sepiring gorengan, dan menawarkan kepada tamu tersebut untuk segera meminum minumannya sebelum dingin. “Silakan diminum, Pak,” ucapku seramah mungkin tanpa melihat ke arah Pak Romo. Saat aku beranjak dan akan pergi, Ibu menahanku. “Rum, duduklah sebentar. Temani Ibu mengobrol dengan Pak Romo,” ujar Ibu tiba-tiba. Aku terperangah, bibir ini tiba-tiba terkunci tidak bisa menolak. Sebenarnya diri ini ingin mengelak, tapi tatapan Ibu seperti menyuruhku untuk diam dan mengikuti arahannya. “Rum, bukan apa-apa. Tidak baik meninggalkan Ibu sendirian mengobrol dengan seorang pria. Temanilah Rum, sebentar saja,” pinta Ibu sekali lagi.
BAB 8 RUMAH PAK ROMO Arah takdir selalu tidak bisa diprediksi. Sekuat apapun aku berharap pada sesuatu yang kuinginkan, tetapi justru hal itu bukanlah yang terbaik bagi diriku. Allah selalu punya rencana terbaik bagi hambanya. Ponsel berdering, ternyata alarm jam lima pagi telah berdentang membangunkanku dari malam panjang ini. Kubergegas ke kamar mandi dan melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim untuk melakukan salat subuh. Tidak lupa setelah itu aku mengaji serta mengirimkan doa untuk almarhum Papa. Seperti biasa rutinitas di pagi hari menyempatkan diri membaca buku, setelah itu melihat jadwal hari ini tidak begitu sibuk, hanya menemui Bang Kemal di perpustakaan dekat kampus untuk bimbingan sebentar mengenai skripsi. Aku belum pernah menceritakan tentang Bang Kemal kepada siapapun dan jujur juga tidak tahu harus bercerita kepada siapa, sebab aku tidak memiliki sahabat dekat. Keseharian kuhab
”Bagaimana kita menyikapi soal kehidupan. Padahal banyak cara untuk menyelesaikannya. Walaupun harus jatuh di lubang yang sama, tetapi roda kehidupan terus berputar, yang bersabarlah segera bangkit dan terus berjuang dan memetik hasil dari kerja keras tersebut” Jarum jam terus berdentang menunjukkan bahwa aku sudah lebih dari lima belas menit duduk terpaku dan terdiam di hadapan Pak Romo. Tanpa memaksa untuk berbicara, pria itu lebih kepada mencoba memberi ruang untuk menata perasaanku sendiri sebelum mengungkapkan apa yang ingin kusampaikan padanya. Sesekali mengembuskan napas, terlihat sekali jika diri ini sangat gugup. Padahal Pak Romo begitu santai menghadapiku saat ini. Aku berdehem mencoba untuk mencairkan suasana, tetapi justru tubuhku panas membara, seperti kobaran api yang siap membakar setiap masalah yang kuhadapi saat ini. “Begini, Pak. Maksud dan tujuan saya datang kesini ingin memohon kepada anda untuk membatalkan isi dari
WISUDA POV ZAKI. Sejak keluar dari rumah hingga sampai di pelataran auditorium kampus, aku tidak melepas genggaman ini dari tangan Rumi. Dirinya sampai mengomel karena aku tidak melepas pegangan tanganku padanya. “Sebentar aja, Kak, Rumi mau ke toilet,” ucapnya padaku yang berusaha melepas pegangan tangannya. “Yaudah, aku ikut. Aku tunggu di luar.” Dia melotot menatapku, kuabaikan saja berpaling menatap ke arah lain. “Astaga, Kak Zaki. Rumi cuma ke situ, toiletnya dekat.” “Emang salah kalau aku ikut? Ya aku mau jagaian kamu,” balasku tak mau kalah, seulas senyum kuberikan untuknya sebagai peredam amarahnya, tetapi tampaknya tidak berhasil. Kuabaikan lirikan Rumi yang seolah ingin memakanku hidup-hidup. Rumi melangkahkan kakinya dan kuikuti berdampingan dengannya. Tangannya kugenggam erat agar dia tidak menjauh dariku.
PRIA LAIN“Kalian berdua sama pentingnya di hati ini. Nggak mungkin aku harus memilih” Pagi ini aku bangun lebih awal, sebab jam 8 nanti ada undangan dari Bang Kemal untuk menghadiri acara wisudanya. Masalah kemarin sudah selesai, nggak diperpanjang dan berlarut. Kami sama-sama minta maaf. Kak Zaki sudah menjelaskan padaku tentang Tiara. Perasaan itu berubah sejak lama, saat Tiara mengabaikannya, tidak ingin tahu tentang dirinya. Kalaupun Tiara merasa kehilangan Kak Zaki, harusnya Tiara mencari bukan malah menghilang tanpa kabar. Dia katakan kalau Tiara banyak berubah, bukan seperti wanita yang dikenalnya dulu. memang sejak dulu Tiara ambisius, tetapi sekarang jadi lebih terobsesi ingin kembali pada Kak Zaki, padahal Kak Zaki sudah menolaknya. “Kakak, pakai baju ini?” tanyaku saat melihat Kak Zaki mengeluarkan kemeja batik berwarna hijau botol dengan celana hitam berbahan kain. Dia menatapku sekilas
PROBLEM“Terima kasih karena sudah peduli dan khawatir” Aku menghela napas pelan berjalan lunglai melewati tiang-tiang koridor perpustakaan. Napas ini sesak, bukan karena Kak Zaki, tetapi lebih kepada diri sendiri. Mulai dari pergi menuju kampus kesialan sudah mengikutiku. Ban taksi online yang bocor di tempat sepi, membuat sopir taksi tersebut kewalahan melakukan pergantian ban sendiri dengan peralatan seadaanya. Begitu tiba di kampus dosen pembimbing sudah tidak ada lagi, beliau pergi karena menunggu terlalu lama. Entah bagaimana nanti aku menemuinya karena sudah membuatnya menunggu. Aku mengutuki diri, mungkin ini adalah salah satu pelajaran karena mengingkari dan mengabaikan ucapan Kak Zaki. Dia melarangku pergi, tetapi aku paksa untuk pergi, alhasil begini hasilnya. Allah langsung menegurku dengan berbagai rentetan kejadian di luar kuasa diri. Getaran dari dalam tas membuat langkahku terhenti, menepi se
SALAH PAHAM “Siapa, Kak,” tanyaku dari dalam sambil berjalan ke arah pintu. Langkah kaki ini terhenti begitu pintu kubuka lebar. “Kak,” lirihku pelan menatap Tiara berpelukan dengan Kak Zaki, dirinya tesenyum ke arahku sambil mengedipkan sebelah matanya. “I miss you,” bisiknya sengaja di depanku sambil melirik. Kak Zaki menoleh, dia segera melepaskan pelukan wanita itu dan berjalan pelan ke arahku perlahan. “Rum,” desisnya sembari meraih tangan ini. Namun, tanpa diduga tangan yang berusaha meraih tangan ini kutepis begitu saja, refleks karena merasa kecewa dengan apa yang sudah kulihat. Kutatap kedua netra Kak Zaki yang terlihat seperti memohon. “Rum, dengar sebentar, Sayang,” ucapnya lembut sambil memegang tanganku lagi. Mata ini sudah memupuk air yang siap
UNGKAPAN Aku masuk terlebih dahulu membiarkan Kak Zaki yang masih diteras memandang ke arah jalan, seolah tengah menunggu seseorang. Mulai dari membereskan ruang tamu juga sisa piring yang masih ada di wastafel belum aku bersihkan. Oh ya, aku lupa mengecek ponsel yang belum sempat kuperiksa tadinya. Kubuka ponsel dan melihat beberapa banyak pesan masuk dan panggilan tidak terjawab dari Bang Kemal juga Riyan. [Rum, kamu baik-baik aja, kan?] [Apa Zaki melarangmu datang?] Jariku berhenti tepat di pesan tersebut begitu membacanya, seolah Bang Kemal tahu apa yang terjadi. Pantas saja tatapan pria itu tidak sedikitpun terusik dengan apa yang Kak Zaki lakukan, dia masih terlihat santai di saat Kak Zaki melakukan aksi konyolnya tadi. [kamu nggak bisa di hubungi, nggak terjadi apa-apa, kan?] [Nanti aku sama Riyan mau datang ke rumah menjenguk kamu.] Ak
DEBAT KUSIRPOV KEMALAku menunggu Riyan di meja pantry yang ada di dapur Rumi. Sambil main ponsel melihat dokumentasi kegiatan yang baru dilakukan hari ini bersama pihak yayasan chariety peduli rumah singgah. Aku tersenyum senang melihat wajah-wajah semringah anak-anak rumah singgah yang senang mendapat bantuan dari para relawan. Selain itu juga sebagai pendiri rumah singgah, yayasan tersebut mengucurkan dana berupa bantuan untuk membangun bangunan sekolah semi permanen agar dindingnya tidak beralaskan kardus lagi. Aku banyak mengucap syukur, setidaknya apa yang kulakukan bisa memberikan mafaat bagi orang lain. Melihat foto kegiatan para pengajar terbesit rasa sedih walau hanya sedikit, karena Rumi tidak hadir. Namun, aku mencoba menepisnya. Bukannya Rumi tidak mau datang, pasti ada sebabnya kenapa dia tidak bisa hadir. Aku mengulas smirk, menyadari bahwa Rumi bukanlah wanita yang kukenal dulu. Dia sudah bersuami dan pasti dia harus menuruti perkataan suaminya. Sepanjang kegiatan
TARIK MENARIK Selagi aku sibuk di dapur membuka barang belanjaan yang dibawa Riyan, kubiarkan mereka bertiga di ruang tamu. Sambil membuka layar televisi agar suasana tidak terlalu hening. Dari dapur bisa kuperhatikan apa yang sedang ketiganya lakukan. Kak Zaki masih tetap dengan posisinya fokus menatap layar televisi, Bang Kemal lebih memilih membaca buku yang ada di atas nakas sebelah sofa. Yah, memang di sebelah sofa itu selalu kusiapkan beberapa buku yang sering kubaca, sengaja di letakkan di sana agar tidak berulang mengambil ke kamar. Sementara Riyan sama dengan Kak Zaki, fokus menonton acara kesukaan keduanya, apalagi kalau bukan berita tentang sepak bola. Sesekali kudengar keduanya mengobrol. Membincangkan berita yang disampaikan presenter televisi tentang acara bola tersebut. Sedikit merasa lega, karena akhirnya Kak Zaki tidak diam saja, bisa mengobrol dengan Riyan membincangkan hal yang dia sukai. Supaya suasana mencair tidak mencekam seper
SURAM“Sebentar ya, Bang, Rumi buatkan minum dulu,” ucapku tersenyum lalu meninggalkan keduanya di ruang tamu. Sepeninggalanku keduanya tidak banyak bicara, sesekali curi-curi pandangan ke arah mereka, tetapi keduanya masih diam membisu, tidak seperti biasanya. Aku hanya berharap semoga apa yang kutakutkan tidak terjadi, masalah pertengkaran aku dan Kak Zaki semoga saja tidak menjadi masalah bagi hubungan perteman mereka. Semoga Kak Zaki bisa bersikap biasa saja kepada Bang Kemal. “Ini Bang, silakan di minum,” ucapku mempersilakan Bang Kemal. Kubuatkan dua teh hangat untuk dirinya dan juga Riyan, sekaligus ada camilan roti kaleng yang sudah kutaruh dipiring agar mempermudah keduanya untuk mengambilnya. “Terima kasih, Rum,” balasnya sambil tersenyum. Aku ambil duduk di single sofa yang letaknya tidak jauh dari Kak Zaki dan Bang Kemal. Namun, belum juga duduk lenganku tertahan. “Kamu mau ke mana, Sayang?” tanya Kak Zaki tiba-tiba. Aku terhent
COMTEMPLATION“Dirinya terlalu samar untuk diriku yang butuh kejelasan.”Masih dengan posisi yang sama, meringkuk memeluk lutut sambil merenungi kesalahanku hari ini. Tangis belum juga reda dan dada masih terasa sesak. Kuliirik jam yang berdentang menunjukkan pukul 9 tepat, tanpa sadar berada di posisi ini sudah dua jam lebih. Ponselku berdenting, sebuah pesan masuk dari Bang Kemal.[Rum, sudah di mana?]Begitulah bunyi pesan itu yang tampil di layar bar tanpa membuka aplikasi pesan itu langsung terbaca. Karena terlalu hanyut dengan perasaan ini membuatku lupa mengabari Bang Kemal. [Maaf ya, Bang. Rumi nggak bisa hadir. Kasihan Kak Zaki nggak ada yang temani.]Seperti itulah alasanku, setelah itu kumatikan ponsel tidak ingin diganggu oleh siapapun. Aku masih ingin meresapi perasaan ini, memikirkan bagaimana caranya untuk meminta maaf kepada Kak Zaki. Keras dan angkuhnya itu belum bisa terpatahkan. Kak Zaki terlalu samar untuk kutelus