POV Asih
Aku tak tau kepada siapa akan mengadu. Iparku tak perduli tentang perasaanku. Bagi mereka, selama mas Pur tak mengabaikan nafkah lahirku juga Fatin, itu semua tak jadi masalah. Begitu juga dengan Kakak iparku yang juga teman Ibu.
Awalnya dia berang dengan perlakuan mas Pur. Tapi begitu mas Pur, membagi sebagian harta warisan bagiannya untuk Kakak ipar. Dia langsung bungkam. Mas Pur sebagai anak laki-laki semata wayang, juga paling bungsu mendapat warisan lebih banyak dari kedua kakak iparku yang perempuan.
Tadi siang, aku mencoba menghubungi Nawang, ingin berbagi cerita dengannya. Siapa tau Nawang bisa memberi solusi atas masalahku. Sepertinya rumah tangga Nawang dengan Bayu, baik-baik saja.
Tapi, disaa
POV Nawang"Buat apa kamu uang sebanyak itu?!" tanya Papa dengan ketus ke mas Bayu. Aku melihat mas Bayu hanya terdiam.Aku belum mengerti kenapa Papa marah dengan mas Bayu. Uang … uang apa yang dimaksud Papa? Mama pun hanya diam, memandang mas Bayu dengan iba. Mungkin Mama merasa kasihan dan sedih, anak semata wayangnya dimarahi. Baru kali ini, aku melihat Papa marah dengan mas Bayu."Kalau memang kamu perlu uang, kenapa tak bilang?! Kalau memang jelas kemana uang itu kau gunakan! Papa pasti kasih!" tegas Papa, raut wajahnya terlihat sangat kesal."Bayu, pakai buat investasi Pa," jawab mas Bayu tanpa berani menatap Papa."Investasi? Inve
"Enak saja kau tidur!" kata mas Bayu, dengan gigi gemeletuk, matanya melotot tajam."Apa-apaan kamu Mas! Lepas! Apa salahku?!" Aku berusaha melepaskan tangannya dari rambutku. Dia malah menarik lebih kuat."Salah?! Kau tanya salahmu apa, HAH!" sengitnya."Kau tau! Semua ini salahmu! Kau yang membuatku jadi begini!" Aku sangat tak mengerti maksud perkataannya."Lepas Mas! Sakit." Aku tetap berusaha melepaskan tangannya yang mencengkeram rambutku."Sakit HAH!"PLAAKKDia menamparku.
"Fatin, ayo dong Nak. Nanti terlambat loh sekolahnya." Aku berusaha membujuk Fatin, yang tak mau pergi sekolah. Dia masih sedih karena kejadian semalam."Fatin gak mau sekolah!" Dia berbicara ketus dengan muka yang cemberut."Fatin kok gitu, emang Fatin mau jadi anak bodoh kalau gak sekolah." Aku tetap berusaha membujuknya.Padahal aku berencana akan mencari kerja, saat Fatin di sekolah nanti. Kalau Fatin tak sekolah, apa alasanku keluar rumah? Pasti Ira, akan memberiku banyak tugas rumah.Ira, nama istri pertama mas Pur. Entahlah, aku pun tak mengerti, secara hukum, jelas aku istri pertama mas Pur. Berarti dia maduku. Tapi mas Pur terlebih dahulu menikah secara siri dengannya. Berarti aku lah yang
"Baik budi ya sayang. Jangan keluar dari sekolah, kalau Bunda belum jemput," pesanku ke Fatin, dia mengangguk tanda mengerti."Umi, kalau saya agak terlambat jemput Fatin. Tolong, Fatin jangan boleh keluar dulu ya." Aku pun berpesan ke Umi Endah, gurunya Fatin.Aku sengaja berpesan seperti itu, karena takut agak lama menjemput Fatin kembali. Setelah agak berbasa-basi sebentar dengan umi Endah, aku segera pergi membawa asa. Mudah-mudahan aku bisa mendapat pekerjaan yang bisa dikerjakan paruh waktu.Aku agak bingung, kemana tujuanku. Bismillah aku lajukan motorku, ke perusahaan terdekat dengan sekolah Fatin. Berbekal surat lamaran dan predikat sarjana akuntansi, aku beranikan diri mengajukan lamaran.
Hari ini aku harus tau, aku masih memikirkan kemungkinan, status mas Dimas ada kaitan dengan perubahan mas Bayu.Tapi bagaimana caraku menyelidikinya?Lamat-lamat terdengar azan Subuh berkumandang, aku segera menunaikan kewajibanku. Selepas sholat, aku tak mampu lagi menahan kantuk. Tidur sebentar, berharap bisa mendapat energi baru untuk menghadapi hari ini.★★★KARTIKA DEKA★★★Aku terbangun di kala mendengar celotehan Tama. Mataku masih terasa berat, semalaman tak tidur. Mas Bayu sudah tak ada di sebelahku. Aku bangkit, kulihat Tama bermain di dalam boxnya.Box tidur Tama lumayan tinggi, jadi cukup aman saat dia sedang sendirian. Dia belum mampu memanjatnya. Tama tersenyum di kala melihatku. Syukurlah, k
"Bik Inah, tolong jaga Tama ya." Papa menyuruh bik Inah."Bik, tolong kasih makan Tama ya." Biasanya aku yang menyulang Tama. Tapi nampaknya pembicaraan ini akan lama. Makanya aku minta tolong bik Inah."Ceritakan awal mula, Bayu main tangan sama kamu." Papa memintaku bercerita.Untuk sesaat aku diam saja. Mulai dari dari mana aku akan bercerita. Akhirnya aku menceritakan semuanya. Mulai dari pertama kali mas Bayu memukulku di malam pertama kami. Sampai akhirnya kuajak konsultasi, juga tentang kecemburuannya yang tak beralasan. Hingga terakhir tadi malam. Dia berang dengan alasan yang dibuat-buat menurutku.Mama tampak sangat sedih dan menyesal mendengar ceritaku. Air matanya tak berhenti men
Sudah jam sepuluh malam, Mas Bayu belum pulang juga. Aku harap-harap cemas menunggunya, begitu juga Papa dan Mama. Kami menunggu di ruangan keluarga, mencoba membuang kebosanan dengan menonton tivi. Tapi tak ada acara yang menarik, pikiran terus tertuju ke Mas Bayu."Nawang, tidur saja sana. Kasihan Tama," suruh Mama yang melihat aku terus menguap dengan mata berair. Tama sudah tidur dari habis Isya tadi. Kutinggal di dalam box nya."Iya Ma, Nawang duluan ya Pa Ma." Aku bangkit menuju kamarku, aku memang sangat mengantuk.Beberapa malam ini, kualitas tidur malamku sangatlah buruk. Siang pun aku tak bisa tidur nyenyak, karena Tama tak pernah lama tidur siangnya.Tok tok tok
"APA KAU BILANG! HALUSINASI?! KAU SANGKA AKU GILA!"Tiba-tiba mas Bayu menyerangku membabi buta, aku tak mampu mengelak. Darah mengalir dari hidungku. Papa reflek memukul mas Bayi hingga terjengkang. Mama menangis histeris memelukku."KURANG AJAR KAU BAYU! TERNYATA SEPERTI INI KELAKUANMU TERHADAP NAWANG!" Dada Papa naik turun, amarahnya tak dapat ditahan lagi."Kau tau, Nawang tak ada cerita apapun! Sebelum Papa yang membujuknya! Malu Papa melihatmu seperti ini! Seperti orang yang tak ada moral!" Papa benar-benar sangat marah.Mas Bayu terdiam, dia memandangku, sepertinya mulai menyesal. Tapi hatiku terlalu sakit. Kupalingkan wajahku, air mataku terus saja mengalir.