MENANTU AMBURADUL 128Beberapa Bulan setelah kepergian MiaSemakin hari, Aku dan Mbak Rini semakin terlatih bekerja di butik Tante Anita. Segala hal yang berbau fashion, kami sudah menguasainya. Penjualanpun perlahan melonjak. Selain relasi dan sahabat kami yang lumayan banyak, kami juga pandai promosi ke sosial media. Ditambah lagi teman-teman Mas Yusuf dan Mas Rama juga para pegawai kantoran. Mereka pasti menganggap bahwa trend fashion itu penting. Sehingga memudahkan kami untuk mendapatkan pelanggan.Alhamdulilah, karir kami berjalan mulus, meski satu dua kendala pernah juga menghantam, Ki berdua bersyukur dengan jiwa solid kami berdua, bisa mengatasi dan melewati semua itu.Tante Anita semakin hari semakin menyayangi kami, beliau sudah menganggap kami berdua seperti anak sendiri. Ki juga sering berkunjung ke rumah untuk menemui Fajarina, Adam dan Evano.Atas kesepakatan bersama antara Ibu dan orang tua Ilyas, anak-anak Ilyas dibesarkan di tempat yang sama. Supaya tidak ada rasa sa
MENANTU AMBURADUL 129Ketika manusia telah berada pada titik terendahnya, mereka hanya akan melihat dirinya sekecil debu yang usang. Tidak ada kebanggaan yang bisa ia tampakkan. Tidak ada kesombongan yang patut ia pamerkan. Segala kemewahan yang bersarang hilang. Segala congkak yang memenuhi hati nurani, musnah. Hanya ada dia dan penderitaannya atas nasib yang sedang Allah titipkan.______________Tadi pagi Ibu menelfonku dan Mas Yusuf, beliau ingin main ke rumah Mbak Rini dan Mas Rama. Katanya Ibu selama ini jarang mengunjungi rumah mereka. Weekend kali ini sepertinya akan kami habiskan di rumah Mbak Rini bersama Ibu.Aku dan Mas Yusuf menjemput Ibu dan Mimi pukul 08.30 Wib, nunggu pekerjaan rumahku selesai dulu baru kami cabut keluar dari rumah. Segala kerempongan masalah cucian dan beberes rumah memang harus diselesaikan, supaya pas berada di luar rumah, pikiran sang emak enggak mengarah tentang beberes lagi."Ibu sudah siap, Mi?"Tanyaku pada Mimi yang sudah menunggu kami di depan
MENANTU AMBURADUL 130Esok hari, Raihan datang ke rumah Ilyas untuk menemui Fajarina. Tentunya setelah Raihan menghubungi Ilyas terlebih dahulu. Sayangnya, Fajarina katanya sedang tidak di rumah, tetapi ikut berkunjung Tante Anita ke butik baru.Raihan tiba-tiba menelfonku untuk menanyakan alamat butik. Kuberikan padanya alamat tempat di mana Aku bekerja ini."Sama Kantor Pos? Masih jauh nggak, Mbak?" tanya Raihan lewat sambungan telfon."100 meteran Han, nanti ada tulisan di depan, Butik Fashion. Nah, disitu tempatnya." jelasku pada Raihan."Oooh, iya, di depan sudah kelihatan tih Mbak, butiknya."Akhirnya setelah menempuh perjalanan dari rumah ke rumah Ilyas, terus cabut lagu ke butik, Raihan bisa menemukan tempat di mana kami berada. Aku menunggunya sampai. Kupanggil dan kulambaikan tangan untuk Raihan setelah dia selesai memarkir motor bututnya di depan."Gimana, Han? Jauh ya?" tanyaku."Lumayanlah, Mbak.""Duduk Han, biar kubuatkan minum. Mau dingin atau kopi?""Seadanya saja Mba
MENANTU AMBURADUL 131Sudah benar pernah kuyakini, bahwa watak tidak akan pernah bisa berubah dari sang empunya, tapi keyakinan itu tiba-tiba terhempas karena sebuah perubahan yang ternyata artinya masih remang-remang. Perubahan yang entah hanya bersifat sementara atau selamanya.Kukira sikap beliau memang benar-benar manis, ternyata ada unsur pemanis buatan di dalamnya._________Malam ini Aku ngobrol lumayan lama dengan Bu Rohmah. Membahas apa saja yang ingin kuketahui tentang Ibu, setelah Mia telah tiada. Bu Rohmah menjelaskan kepadaku tentang semua hal yang kutanyakan.Kutengok berulang kali, ternyata Ilyas belum juga keluar dari rumah Ibu. Entah apa yang Ilyas bahas di dalam sana dengan Ibu? Sebenarnya ingin sekali bersikap tidak mau tahu, tapi mau gimana lagi, Aku sudah terlanjur terlibat tentang masalah ini.Kudoakan untuk kesuksesanmu Raihan, supaya hak dan kewajibanmu terhadap Rina bisa kamu penuhi. Tidak masalah meski harus hidup sederhana bersamanya kelak, karena dia anakmu
MENANTU AMBURADUL 132Menurut cerita dari Mbak Rini, katanya Ibu tidak mau mengakui apapun kepada Mas Rama. Apalagi Ilyas, dia malah seperti tidak tahu apa-apa. Mimi juga masih bungkam, tidak mau dimintai penjelasan sama sekali. Mbak Rini dan Mas Rama akhirnya ikut pamit pulang, tidak lama setelah Aku dan Mas Yusuf cabut dari rumah Ibu.Masalah mobil baru atau apapun itu, biar menjadi urusan Ibu dan yang sudah berkompromi dengan beliau.Meski menurut Ibu, kehidupan orang tua dari cucu-cucu lainnya masih susah dan masih berjuang, setidaknya tidak perlu untuk mengkotak-kotakkan kasih sayang kepada para cucu dengan sebuah status kekayaan.Tidak ada yang tahu bukan, cucu mana yang kelak akan bersikap baik kepada neneknya? Cucu mana nanti yang mau merawat, kala Neneknya jatuh sakit? Dan cucu mana nanti yang akan peduli.Jika Ibu memang sudah sejak mereka kecil membeda-bedakan seperti itu, maka jangan salahkan mereka jika kepedulian mereka kelak akan berbeda saat mereka sudah dewasa.Mungkin
MENANTU AMBURADUL 133Ibu sangat kecewa melihat cucu kesayangan sama sekali tidak mengambil makanan yang spesial dimasakkan oleh beliau. Malahan mereka lebih memilih memakan bekal mereka yang dibawakan dari rumah."Cicipi dulu masakan Nenek ini Rina, kamu suka telur goreng, kan?""Enggak. Rina nggak doyan telur digoreng begitu. Rina sukanya setengah matang, Nek." bantah Rina.Ibu tampak sedih dengan jawaban Rina. Lalu berganti menawarkan sesuatu pada Vano."Vano, bukannya kamu seneng sama ayam goreng tepung?""Iya, tapi ayam goreng bikinan si mbak di rumah enggak begitu, Nek."Kini Ibu semakin kesal. Mungkin nafsu makannya juga hilang bersama dengan hancurnya mood Ibu."Maafkan anak-anak ya, Nek." kata suster, sepertinya dia merasa tidak enak dengan Ibu."Memangnya mereka diajarin supaya nggak mau makan di rumah orang lain ya, Sus?""Enggak kok, Nek." sanggah Suster."Oma bilang, kalau kita harus makan makanan yang higienis. Jadi kami tidak boleh makan sembarangan Nek." jawab Rina."M
MENANTU AMBURADUL 134Entah ekspresi apa yang Ibu telah tunjukkan kepada Ilyas dan kami semua di ruangan ini. Seperti ingin marah tapi tertahan, ingin biasa saja tapi canggung, ingin berteriak bahkan menghantam sesuatu ke tubuh Ilyas tapi tidak mungkin.Ibu kini hanya diam saja, sesekali memegang tangan beliau yang sedang sakit. Kami tahu sesedih apa perasaan Ibu saat ini. Sepatah apa hati Ibu kali ini. Ini lebih dari patah hatinya seorang wanita yang ketolak cintanya, seperti Aku yang pernah di tolak Daffian jaman dulu. Atau ini lebih dari rasa kecewanya orang yang mau bersin tapi nggak jadi. Atau bahkan ini sakit yang lebih serius dari sakit gigi.Kurasa pasti bertubi-tubi rasa perih yang Ibu rasakan. Apalagi berlian kesayangan beliau telah diambil mertua lain sekarang, yaitu orang tua dari Aisyah."Selamat ya Mbak Aisyah, atas pernikahannya. Cepet diresmiin negara Yas, biar lega." tuturku.Aisyah mengangguk dan bibirnya tampak bergerak tersenyum atas ucapanku barusan."Iya Mbak Nis
MENANTU AMBURADUL 135Hari ini kami masih kedatangan tamu agung, tamu spesial. Yaitu pasangan pengantin baru, Ilyas dan Aisyah. Ibu masih terbaring lemah di kamarnya, kali ini beliau tidak meminta ditemani siapapun karena bilangnya ingin beristirahat tidur.Mimi sedang menyiapkan makan malam untuk kami semua, ditemani oleh Mbak Rini. Aku dan Aisyah kebagian menjaga anak-anak yang sedang asik bermain.Kudengarkan percakapan antara Mas Yusuf, Mas Rama dan juga Ilyas. Mereka membahas sikap Rina dan Evano ketika mereka di rumah Neneknya tanpa orang tuanya."Kayaknya Rina sama Vano beda sikap ya Yas. Saat mereka datang bersama suster dan datang bersamamu sekarang." Mas Yusuf memulai obrolan."Oh ya? Bedanya di mana Mas? Tentang apa ya?""Tentang sikap mereka. Sepertinya kalau dengan suster mereka enggak ada takut-takutnya gitu, bahkan cenderung manja." sahut Mas Rama."Oh, Masalah itu memang Iya. Kadang Bunda saja sampai kewalahan. Anak-anak kalau dijagain suster memang seenaknya sendiri.