FAJAR
Mamah terduduk lemas di lantai. Tanpa pikir panjang segera berlari ke arahnya. Saat hendak menyentuhnya, beliau menyingkirkan tanganku.
Aku terpaku menatap wajah wanita yang sangat kucintai bersimbah airmata. Bibirnya bergetar. Tatapan mata yang layu laksana tanpa asa. Kesedihan yang mendalam pasti tengah mendesak dadanya. Yang aku khawatirkan jantung mamah kambuh lagi. Tak ingin terjadi apa-apa dengan wanita yang melahirkanku.
Haruskah aku berterus terang. Rasanya tidak mungkin. Miranti pasti akan menderita. Dia juga sudah penuh harap untuk menikah denganku.
Mengungkap kebenaran bukan jalan yang terbaik untuk saat ini. Namun membiarkan kebohongan juga tidak bagus untuk kesehatan mamah. Benar-benar dilema. Ya tuhan, tolonglah hambaMU ini. Apa yang harus kulakukan.
Bagai makan buah simalakama. Dua pilihan yang sangat sulit. Seandainya bisa, aku ingin menanggung sendiri beban kedu
68 MENUNGGU RESTU ANAK-ANAK MIRANTISelesai makan ayah miranti mengumpulkan anak, istri dan cucu-cucunya. Kami berkumpul di ruang keluarga. Aku menurut saja saat ayah miranti menawarkan bantuan.Awalnya aku menolak. Namun calon mertua meyakinkan bahwa beliau lebih mengenal sifat cucu-cucunya daripada aku. Betul juga. Sang kakek pasti lebih bisa memahami karakter para cucunya. Aku akan mencoba belajar menjadi calon menantu yang baik dan menuruti keinginannya.“Cucuku, kakek mengumpulkan kalian di sini, karena ada sesuatu yang mau kakek sampaikan kepada kalian.” ayah miranti membuka pembicaraan membuatku semakin tegang.“Kok tumben ngumpulin kita semua. Emang penting kek?” tanya Umar.“Sangat penting. Kakek tidak akan berbasa-basi. Kalian tahu’kan mamah sudah resmi bercerai dengan papah kalian?” tanya kakek.Ketiga putra miranti menundukkan kepala, kecuali umar. Wajah mereka terlihat sangat sedih. Namu
KEPANIKAN FAJARFAJAR“Fajar, jawab pertanyaanku!” miranti mengguncang pundakku dengan keras. “Apa kau hanya berpura-pura mencintaiku? jawab pertanyaanku, fajar. Jawab!”“Aku mencintaimu lebih dari diriku sendiri. Percayalah.” Jawabku tanpa berani menatapnya.“Kau bohong. Kenapa kau bilang seperti itu tadi?”“Aku tidak boleh egois. Anak-anakmu tak menyetujui hubungan ini. Kita juga harus memikirkan mereka. Kalau pernikahan terjadi tanpa restu dari mereka, kita tidak akan bahagia. Begitu juga dengan anak-anakmu. Aku tak ingin itu terjadi.” Melayangkan pandangan ke arah miranti.“Aku sudah berhasil meyakinkan Malik dan juga Yusuf. Mereka mau menerimamu.”‘Tapi tidak dengan Amir. Dia tidak menginginkanku.”Miranti terkejut mendengar pernyataanku. “Amir?” dia bergumam. Seolah tak percaya dengan apa yang baru
7O. RAHASIA TERKUAKMemasuki ruang praktik dokter kandungan yang cantik dan super ramah. Dengan di antar seorang suster menuju tempat duduk pasien. Dokter cantik tersenyum ramah dan mempersilakan duduk.Dr. Nayla maharani Sp.OG. Nama yang tertera pada papan nama yang berada di meja. Nama yang cantik, secantik orangnya. Aku sudah lama menjadi pasien dokter nayla. Orangnya yang super ramah dan sangat teliti membuatku cocok berkonsultasi dengan beliau.“Ada keluhan apa, ibu?” pertanyaan dr, nayla mengagetkanku.“Oh iya dok.” Jawabku gugup. “Begini, semenjak saya melahirkan melalui operasi caesar, saya tidak mengalami masa nifas atau menstruasi hingga saat ini. Itu kenapa ya dok?” tanyaku.“Oh, ibu baru melahirkan. Sebentar, saya cek riwayat kesehatan ibu dahulu.” Jawab dokter nayla sembari membuka buku catatan riwayat kesehatanku.“Apa tidak ada darah sama sekali yang keluar?” tanya do
KEMARAHAN MIRANTI“Fajar,” Sapaku dengan menyentuh lembut kepalanya. Calon suamiku tersentak. Lalu menatapku dengan tidak percaya.“Kau sudah sadar? Maafkan, aku.” Pria yang kusayangi memelukku erat. Walau lirih isak tangisnya terdengar di telingaku.“Fajar. Aku sudah tak punya rahim. Aku tidak sempurna lagi sebagai wanita.” memeluk erat tubuh lelakiku. Menumpahkan segala kesedihan. Aku sangat takut kehilangan dia. Pasti fajar akan meninggalkanku setelah ini. Tak mau melepasnya. Dia tak boleh pergi dariku.“Tenanglah. Semua akan baik-baik saja.” Jawaban fajar diluar dugaanku. Dia tidak marah ataupun terkejut. Seharusnya sebagai lelaki yang akan menikahiku, dia pasti sedih atau bahkan langsung pergi meninggalkanku.Namun sikapnya sangat tenang seperti tak terjadi apapun pada calon istrinya. Padahal hal ini sangat penting dalam penentuan langkah yang akan di lakukan. Bukank
KECEROBOHAN MIRANTI YANG TAK KUSUKAIMiranti tiba lebih dulu di kediamanku. Dia terlihat ragu untuk memencet bel. Berkali-kali tangannya terulur lalu di tariknya kembali.Sementara aku hanya bisa pasrah dengan keadaan. Selama ini kurasa sudah cukup berusaha melakukan yang terbaik. Namun seandainya takdir kembali tak berpihak kepadaku, aku ikhlas. Manusia hanya bisa berencana. Namun Tuhanlah sang penentu.Segera turun dari mobil dan menyusulnya.Kekasihku diam terpaku. Matanya tak berkedip menatap daun pintu yang tertutup rapat.Miranti pasti sedang berkecamuk dengan pikirannya. Bimbang dan ragu untuk melangkah atau tidak. Aku sangat memahaminya.Miranti tak menyadari kehadiranku. Dia masih terus memandang ke arah pintu.“Biar aku bantu memencet bel.”Saat mendengar suaraku, Miranti terperanjat. Dia sangat terkejut saat melihatku berada di balik punggungnya.“Fajar. Kau mengagetkanku.&rdq
RESTU MAMAHMembuka pintu kamar mamah yang tidak terkunci. Aku memberi kode kepada Miranti untuk tetap di sini. Dia mengerti dan menganggukkan kepala. Kuelus bahunya dengan lembut dan memberi untaian senyum manis. Setelah itu aku menutup pintu tapi tidak rapat. Sengaja melakukan supaya Miranti bisa mendengar percakapan kami.Sangat tidak baik kalau aku mengajak Miranti menemui sekarang. Keadaan yang kurang kondusif memaksaku untuk membiarkan Miranti di luar sendirian. Namun aku sudah meyakinkan dia kalau yang kulakukan ini demi kebaikan bersama.Menatap wajah sendu yang sedang duduk di tepi ranjang dengan kepala tertunduk. Aku merasa menyesal telah melukai hatinya yang suci. Bukan kebahagiaan yang kuberikan, tapi masalah yang tak kunjung usai. Wanita yang melahirkanku itu berhak untuk bahagia. Namun apa yang telah kulakukan untuknya. Hanya kesedihan dan luka yang selalu kutorehkan.Segera menghampiri mamah dan bersujud di kakinya.
ARYA KEMBALITak ada sepatah katapun yang terucap dari bibirku. Kecemasan akan keselamatan Miranti dan anak-anaknya benar-benar membuyarkan konsentrasi. Beberapa kali hampir saja mobil yang kukendarai menabrak pengendara yang ada di depan. Bahkan tetap melaju saat lampu merah menyala.Miranti tak berani bertanya apapun. Dia sangat mengerti kalau aku sedang ada masalah paling tidak suka di ganggu kalau bukan aku sendiri yang mengajaknya bicara.Menghela nafas panjang lalu membuangnya kasar.Bebasnya Arya menjadi ancaman yang paling menakutkan bagiku. Dia pasti bisa membalas dendam kepada Miranti melalui anaknya yang masih kecil. Mereka sangat menyayangi papahnya. Bahkan tetap saja mamahnya yang di salahkan saat mengetahui papahnya di penjara. Aku memakluminya, karena mereka masih anak-anak dan polos.Mobil yang kukendarai memasuki kediaman Miranti. Baru dua minggu calon istriku memutuskan untuk kembali ke rumah yang pernah di
IJAB KABUL“Fajar! Jelaskan padaku kenapa Arya bisa bebas?! Apa anak buahmu tidak becus mengurus kasusnya?!” cecar calon mertua kepadaku saat tiba di rumah Miranti. Amarah tergambar jelas pada wajahnya. Beliau terlihat sangat gusar.“Sabar, Om. Tenang dulu.”“Bagaimana aku bisa tenang kalau lelaki itu bebas! Keselamatan anak dan cucuku terancam! Ngerti gak sih kamu?!” pria paruh baya ini mengguncang bahuku dengan kuat membuatku merasakan sakit.“Lebih baik, kita bicara di depan saja.” Pintaku kepadanya. Tak ingin anak-anak Miranti yang baru saja tiba bersama kakek dan neneknya mendengar percakapan kami. Kulihat Miranti sudah menghapus airmata dan berusaha tersenyum di depan yusuf dan malik. Berusaha tegar di depan mereka.“Baiklah. Mir, bawa anak-anakmu masuk. Ingat, jangan biarkan mereka keluar rumah sendiri! Kau mengerti?!”“Iya. Ayah.” Jawab Mi