Lembut semilir angin membelai wajah yang terus kutundukkan selama upacara bendera. Bunga-bunga berserta daun-daun flamboyan jatuh berguguran di sekitar tempatku berdiri. Mereka jatuh pasrah, tak melawan, apa lagi membenci angin yang memisahkan mereka dari sang pohon induk. Mereka seolah mengejekku, yang masih saja larut dalam kesedihan sejak semalam.Kemarin malam, Riyan berkata bahwa ia telah pindah sekolah, dan itu akan jadi pesan terakhirnya untukku. Aku yang selama ini menjadikannya sebagai duniaku, tiba-tiba merasa hilang arah. Ingin rasanya aku meminta pada Ayah untuk pindah sekolah saja, tapi aku tahu itu tak mungkin. Bahkan aku belum genap satu semester bersekolah di sana.Pagi hari, aku terbangun dengan air mata yang masih terus mengalir. Lama aku menatap langit-langit kamarku. Rasa hampa kembali merajai, aku sungguh tak dapat menyembunyikan kesedihanku. Aku membayangkan lorong-lorong kelas yang begitu sepi tanpa kehadirannya. Sekarang tidak akan ada lagi lelaki dengan senyum
Sejak aku tahu bahwa Riyan membaca pesanku, entah kenapa aku jadi tidak begitu semangat lagi untuk bersekolah. Aku seperti kehilangan separuh nyawaku, tapi di satu sisi aku merasa lucu dengan diriku sendiri. Semangat belajarku jadi menurun drastis. Aku seperti kehilangan arah. Tidak tahu apa yang harus kuperbuat untuk masa depan, bahkan untuk masa kini.Disebut apakah perasaan ini? Apa benar ini yang namanya mati rasa? Aku tak lagi memiliki energi untuk tertawa dengan lelucon receh yang dilontarkan temanku. Aku juga tak lagi bersedih atas sesuatu yang hilang dariku. Aku tak lagi merasa takut akan kemarahan ibuku. Aku tak lagi peduli dengan pengabaian dari ayahku. Jika selama ini aku selalu pura-pura bersikap dingin menghadapi orang tuaku, maka sekarang, aku merasakan ‘dingin’ yang sesungguhnya tanpa perlu pura-pura.Ini lucu. Di satu sisi aku sudah tidak tertarik pada dunia. Namun di sisi lain aku juga tidak berminat untuk mengakhiri hidupku. Aku merasa seperti seakan jiwaku hidup di
“Ih, kok kayak pernah lihat? Kamu punya kakak ya? Kok rasanya kayak mirip siapa gitu?” tanya Kak Hana, tantenya Nabila.Sepulang sekolah kami langsung menuju rumah Nabila. Di sana kami bertemu dengan Kak Hana, tantenya. Wanita itu memiliki aura yang seketika membuatku merasa nyaman bersamanya. Paras wajahnya terlihat biasa saja, tapi ada keteduhan dalam sorot matanya. Senyumnya memancarkan ketulusan, sentuhannya lembut menenangkan. Kuharap, aku bisa berlama-lama dengannya. Eh, apa tadi dia bilang? Dia merasa mengenalku? Aku punya kakak?“Saya punya dua orang kakak, Dok,” jawabku.Aku bingung harus memanggilnya apa. Ingin memanggil ‘tante’ seperti yang dilakukan Nabila tapi aku bukan keponakannya. Ingin memanggil ‘kakak’ takut dianggap tak menghormati profesinya. Namun di sisi lain aku tak tahu panggilan yang tepat untuk seorang psikolog.Kak Hana tertawa, “panggil kakak aja, jangan sungkan,” jawabnya. Seakan ia bisa membaca keraguan di dalam diriku.“Eh, iya, Kak,” jawabku kikuk.“Jad
“Maksud kamu apa, Nay?” Ibu mengulang pertanyaannya.“Kak Yumna itu merebut pacar orang, Bu. Kak Marwan dulunya sudah mau tunangan sama temennya Kak Yumna. Dan kata temen-temen yang dulu sekampus sama Kak Marwan, Kak Marwan itu bukan orang yang baik,” paparku.“Wah, bener berarti firasatku. Jangan-jangan anakku dimanfaatin lagi sama suaminya.”Ibu menggulung lengan dasternya lalu mengambil ponselnya.“Coba, kau hubungkan ke kakakmu!” Ibu menyerahkan ponselnya padaku.Aku coba menyambungkannya, tapi tidak dapat terhubung seperti dulu.“Gak aktif, Bu.” Aku mengembalikan ponsel Ibu.“Hah? Kok bisa gak aktif lagi? Masa iya HPnya rusak lagi? Wah, pasti ada yang gak beres ini!” Wajah Ibu tampak semakin kusut.“Coba kau sambungkan ke Marwan.” Ibu kembali menyerahkan ponselnya padaku.Aku coba menyambungkannya pada Kak Marwan, dan berhasil. Tak lama kemudian, suara berat seorang lelaki menyambutnya dari seberang sana. Aku menyerahkannya pada Ibu.“Eh, Marwan! Kau apakan anakku si Yumna? Kenap
“Nay, kalau besok kita ketemu, kamu bisa gak?”Sebuah pesan singkat kuterima dari Kak Hana tiga minggu setelah pembicaraan terakhir kami.“Besok jangan dulu pulang, tunggu aku di sekolah. Besok paling aku sampe sana sekitar jam satuan.”Belum sempat aku membalas pesan sebelumnya, Kak Hana sudah mengirim pesan berikutnya. Terpaksa aku menjawab dengan mengiyakan permintaannya. Lagi pula besok jadwalku bebas, tidak ada perkumpulan organisasi.Enam puluh menit sudah kuhabiskan waktu untuk menunggu Kak Hana, tapi wanita berhidung bangir itu tak tampak jua. Bosan digodain terus oleh para tukang ojek, akhirnya aku memilih kembali masuk ke dalam gedung sekolah. Masih banyak murid yang belum pulang. Di antara mereka ada yang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler, OSIS, latihan persiapan untuk olimpiade sains, atau pun sekedar bimbingan belajar tambahan dari kakak kelas. Ada juga sebagian siswa yang hanya sekedar memanfaatkan fasilitas WiFi gratis dari sekolah.Aku bergabung bersama deretan siswa
Kak Hana menepikan mobilnya di tepi sebuah danau. Aku terdiam seketika. Ini kan danau tempat Riyan biasa latihan. Kenapa pula Kak Hana harus membawaku ke sini.“Yuk turun! Kita duduk di sana aja!” Ajak Kak Hana. Wanita itu menunjuk sebuah kursi panjang dekat pedagang rujak. Sebenarnya ingin kutolak, tapi aku tak enak.“Mang, rujaknya dua. Jangan pedes-pedes.”Kak Hana meletakkan barang bawaannya di kursi, lalu mulai duduk seraya merenggangkan badannya menikmati suasana danau. Aku mengambil posisi di sebelahnya. Menatap dua perahu yang sedang digunakan latihan oleh para atlet dayung.Terkadang aku membayangkan bagaimana rasanya naik perahu berdua di tengah danau dengan Riyan sebagai pendayungnya, ah romantis.“Ni, Nay... kita nyemil rujak aja gapapa ya!” Kak Hana menyerahkan seporsi rujak yang sudah pasti kuterima dengan senang hati.“Makasih, kak.”Tak apalah. Rujak ini buah dengan saus kacang ini sedikit menghibur kesedihanku. Selain dijadikan tempat latihan dayung, danau ini juga di
Aku memasukkan kembali koper-koper yang tadi sudah ditata rapi oleh Kak Abel. Ibu hanya jadi membawa satu koper beserta satu buah tas besar.“Assalamu’alaikum, Ras?” Terdengar seseorang memanggil Ibu. Aku beranjak ke depan untuk melihat siapa yang datang.“Eh, Naya. Mana ibumu?” tanya Bu Haji yang datang bersama Bu RT.“Ibu baru saja berangkat, Bu.”“Oalah, kita telat.” Bu RT dan Bu Haji saling berpandangan.“Haduh kita baru pulang ini abis tur ziarah ke Makam Wali terus dapet kabar kalau Yumna meninggal, bener Bel?” tanya Bu RT.Kak Abel yang baru keluar dari kamar mandi jadi sasaran pertanyaan para ibu paruh baya ini.“Iya betul, Bu. Barusan baru berangkat. Saya permisi mau ganti baju dulu.”Kenapa mereka sih mereka lebih memilih bertanya pada Kak Abel timbang padaku? Apa karena aku anak bungsu jadi aku selalu dianggap anak kecil yang tak tahu apa-apa?Aku menghela napas kasar.“Kamu sama Abel gak ikut, Nay?” tanya Bu RT.“Nggak, Bu. Ibu buru-buru tadi.”Kedua wanita itu mangut-mang
Aku begitu kaget melihat Kak Abel duduk bersandar mesra ke bahu pacarnya. Hal seperti itu masih tabu bagiku. Apalagi Ibu begitu tegas soal laki-laki padaku. Baca novel atau menonton film yang berbau percintaan saja aku dilarang keras oleh Ibu, tapi kenapa Kak Abel dibiarkan?“Apa, Nay?” raut wajah kakakku sedikit kesal.“Ini ada telepon dari Ayah.” Aku memberikan ponsel kepada sang pemiliknya.“Ini HP kamu, dari Ayah, kenapa gak kamu aja yang angkat?”Aku mencibir dan mengangkat bahu sebagai jawaban. Kakakku berdesah, tapi kemudian diangkatnya telepon itu.Cukup lama Kak Abel bertelepon, hingga akhirnya ponsel itu ia kembalikan padaku.“Udah sana kamu tidur aja, besok kamu tetep sekolah kata Ibu.”Aku menurut, kembali ke kamarku. Aku meletakkan tubuhku di kasur. Kulihat banyak pesan yang masuk ke ponselku, aku memeriksanya satu persatu.Aku gelagapan saat ponselku tiba-tiba bergetar. Rupanya barusan aku ketiduran sebentar. Aku mengernyit melihat layar ponselku, nomor baru tanpa nama k