Aku memasukkan kembali koper-koper yang tadi sudah ditata rapi oleh Kak Abel. Ibu hanya jadi membawa satu koper beserta satu buah tas besar.“Assalamu’alaikum, Ras?” Terdengar seseorang memanggil Ibu. Aku beranjak ke depan untuk melihat siapa yang datang.“Eh, Naya. Mana ibumu?” tanya Bu Haji yang datang bersama Bu RT.“Ibu baru saja berangkat, Bu.”“Oalah, kita telat.” Bu RT dan Bu Haji saling berpandangan.“Haduh kita baru pulang ini abis tur ziarah ke Makam Wali terus dapet kabar kalau Yumna meninggal, bener Bel?” tanya Bu RT.Kak Abel yang baru keluar dari kamar mandi jadi sasaran pertanyaan para ibu paruh baya ini.“Iya betul, Bu. Barusan baru berangkat. Saya permisi mau ganti baju dulu.”Kenapa mereka sih mereka lebih memilih bertanya pada Kak Abel timbang padaku? Apa karena aku anak bungsu jadi aku selalu dianggap anak kecil yang tak tahu apa-apa?Aku menghela napas kasar.“Kamu sama Abel gak ikut, Nay?” tanya Bu RT.“Nggak, Bu. Ibu buru-buru tadi.”Kedua wanita itu mangut-mang
Aku begitu kaget melihat Kak Abel duduk bersandar mesra ke bahu pacarnya. Hal seperti itu masih tabu bagiku. Apalagi Ibu begitu tegas soal laki-laki padaku. Baca novel atau menonton film yang berbau percintaan saja aku dilarang keras oleh Ibu, tapi kenapa Kak Abel dibiarkan?“Apa, Nay?” raut wajah kakakku sedikit kesal.“Ini ada telepon dari Ayah.” Aku memberikan ponsel kepada sang pemiliknya.“Ini HP kamu, dari Ayah, kenapa gak kamu aja yang angkat?”Aku mencibir dan mengangkat bahu sebagai jawaban. Kakakku berdesah, tapi kemudian diangkatnya telepon itu.Cukup lama Kak Abel bertelepon, hingga akhirnya ponsel itu ia kembalikan padaku.“Udah sana kamu tidur aja, besok kamu tetep sekolah kata Ibu.”Aku menurut, kembali ke kamarku. Aku meletakkan tubuhku di kasur. Kulihat banyak pesan yang masuk ke ponselku, aku memeriksanya satu persatu.Aku gelagapan saat ponselku tiba-tiba bergetar. Rupanya barusan aku ketiduran sebentar. Aku mengernyit melihat layar ponselku, nomor baru tanpa nama k
Cepat-cepat aku mengambil wudu lalu melaksanakan ibadah subuhku. Setelah itu segera aku masukkan buku-buku yang berserakan ke dalam tas sekolahku. Termasuk buku diari Kak Yumna. Masukin sajalah! Biar bisa kubaca di kelas nanti.Pergi ke dapur, segera kujerang air. Mengiris bakso dan sosis lalu kumasukkan ke dalam air yang sedang kurebus beserta mie dan irisan sayuran. Lalu kutinggalkan mandi. Tadinya aku berniat membuat nasi goreng bakso beserta mie gulung sosis, tapi ternyata aku bangun terlambat, jadi aku tidak terlalu punya banyak waktu. Kubuat mie goreng sajalah biar cepat.Saat akan mengguyur air ke badanku, aku baru ingat jika ternyata mie yang kugunakan adalah mie kuah. Haduh! Bodo amat dah! Tinggal cari saus sama kecap ntar!Sekembali dari kamar mandi, mieku sudah matang. Aku meniriskannya lalu menuangnya ke dalam piring. Kumasukkan tiga perempat bumbu mie dari kemasannya, karena jika kumasukkan semua pasti terlalu asin, lalu kutambahkan sedikit saus cabai dan tomat beserta ke
Catatan kedua, ditulis tanggal 20 Desember 2008. Di sini kakakku menulis tentang rasa senangnya setelah akhirnya diterima sebagai pegawai tetap di perusahaan tempatnya bekerja. Ia mulai berpikir untuk mencari pekerjaan sampingan untuk menambah penghasilan agar bisa segera berkuliah seperti teman-temannya.Catatan ketiga, ditulis tanggal 01 Januari 2009 di rumah kami. Di sini Kak Yumna bercerita bahwa ia menyesal pulang ke rumah. “Why should I saw my father walked with that bitch?! He gave me hush money and forbade me from telling it to my mother. What could I expect from a father like him?!” tulisnya.Sepertinya kakakku tak sengaja melihat ayah jalan bersama seorang wanita selain ibuku di malam tahun baru. Lalu ayah memberinya uang agar kakakku tutup mulut dan tidak melaporkannya pada ibu. Kak Yumna terus menuliskan kekecewaannya pada ayah di halaman itu.Jika diingat-ingat, ayahku memang seperti sosok Don Juan. Ia dikagumi banyak perempuan karena ketampanannya. Tidak salah, memang. K
Aku termegap-megap dalam gelap. Rasanya sulit untuk bernafas. Tidak, aku tidak sedang bermimpi. Aku masih dapat melihat bentuk jendela kamarku yang lebih cocok kusebut ‘berbeda warna’ dibanding ‘memancarkan cahaya’.Aku meraba-raba, bergerak menuju jendela. Aduh! Kakiku tersandung sesuatu. Kusibak tirai penutupnya. Gelap. Semua rumah di sekitar rumahku tampak dalam keadaan gelap. Mati lampu.Kuraba-raba sekitar meja belajarku. Ketemu! Aku menyalakan lampu senter yang menyatu dengan raket nyamukku. Seketika aku dapat melihat kondisi kamarku walau tak begitu jelas. Aku bergerak mencari ponselku.Aku selalu tidur dengan lampu menyala. Bukan lampu tidur, tapi memang lampu kamar. Aku tahu tentang penelitian yang menyebutkan bahwa tidur dalam kondisi gelap itu baik bagi tubuh. Aku juga tahu bahwa tidur dalam gelap adalah sunah Nabi. Tapi aku tak bisa. Sungguh tubuhku tak bisa dibawa tidur dalam kegelapan. Selain karena ruangan gelap mengundang nyamuk, aku juga selalu merasa pengap ketika be
Pov DanielPukul 5 dini hari aku sudah menyabotase dapur Mama. Membuat ricuh satu rumah karena menjadikan mereka terlambat untuk sarapan. Hari ini aku memutuskan memasak masakan terbaikku untuk mengisi kotak bekal makanan milik gadis itu.Sejak kemarin aku sudah memikirkan menu-menu sarapan terbaik untuk kubuat hari ini. Mungkin salad sayuran dengan potongan ikan salmon. Kulihat kakakku, Eurielle—biasa kupanggil Yuril, sering membawa bekal seperti itu ke kampusnya. Mungkin gadis itu juga akan menyukainya, karena mereka ada kemiripan.Aku membuka kulkas dan mengambil dua potong ikan salmon fillet—yang ternyata stok terakhir Mama. Kurendam sebentar dengan berbagai rempah serta saus marinasi yang kupelajari dari internet. Sayang, hasil pangganganku rupanya tidak terlalu baik. Lapisan terluarnya begitu lengket di wajan yang kugunakan. Ketika aku membaliknya, ia malah hancur tidak karuan. Sontak Mama dan Kak Eugenie yang menyaksikanku tertawa.“Udah, gapapa. Biar buat si Uril aja dari pada
Pov DanielNAYARA HANIFA, adalah nama yang tercetak pada name-tag baju seragam putih biru gadis itu.Iya, aku mengenal—atau lebih tepatnya: menyadari keberadaannya, sejak ia datang ke sekolah ini untuk melakukan pendaftaran ulang. Seorang lelaki mengantarnya dengan mengendarai sepeda motor sport idaman kami semua, para anak remaja.“Cih, baru aja tamat SMP udah jadi piaraan om-om,” komentar Yudi, rekan OSIS-ku yang juga ikut menyaksikan kedatangannya.“Hush! Jangan gitu! Bapaknya itu! Mana ada om-om nganterin sugar baby-nya daftar sekolah?! Paling ponakannya kalau iya!” jawabku kesal.Si Yudi ini, semua dia komentarin. Anak-anak yang datang sendiri, dia bilang orang tuanya gak peduli. Ada anak yang datang dengan diantar mobil mewah, dia bilang orang tuanya terlalu memanjakan. Ada anak yang diantar dengan berjalan kaki, dia bilang orang tuanya terlalu tega membiarkan anaknya harus menaiki ratusan anak tangga. Ah, memang berkumpul dengan orang semacam dia semua jadi terasa serba salah.
Aroma khas minyak kayu putih begitu menusuk indra penciumanku. Tampak wajah Elina yang begitu khawatir, tengah memandangiku ketika aku membuka mata.“Lin? Ini di mana?” tanyaku. Aku sedikit bingung. Ada sesuatu yang penting yang baru saja kutahu, tapi aku tak ingat apa.“Kamu di UKS, Nay...,” jawab Elina.“Kamu pingsan tadi abis dari perpus.”Elina mengulum senyum dengan raut menggodaku. “Untung ada Kak Daniel. Ciee....”Tak kuhiraukan Elina yang menjawil pipiku. Aku harus mengingat sesuatu....“Bukuku mana, Lin?” Aku mencari diari Kak Yumna, tapi tak tampak di ruangan itu.“Buku apa, Nay?”“Buku catatan warna item. Kamu lihat gak? Tadi aku abis baca buku di perpus,” terangku.“Gak tau aku, Nay. Bentar, aku tanya Kak Daniel ya.”“Ini, kamu minum dulu yuk tehnya. Kamu pucet banget gitu.”Teman sebangkuku itu memberikan segelas teh hangat padaku sembari mengeluarkan ponselnya. Ah, ia begitu perhatian, bahkan sampai rela melewatkan jam pelajaran demi menungguiku di sini. Aku berterima ka
Hari bebas. Libur kenaikan kelas telah tiba. Aku naik ke kelas sebelas. Kak Daniel berhasil masuk ke salah satu perguruan tinggi yang cukup bergengsi di negeri ini. Namun, hal yang paling menyenangkan adalah, aku sudah bebas dari bayang-bayang Ibu. Aku sudah tinggal di tempat kos sekarang. Bersama Elina yang kini menjadi sahabatku. Aku sama sekali tidak membayar biaya sewa untuk kos ini. Semua ditanggung Kak Daniel.Namun di balik itu semua, tentu saja hal paling menyenangkan adalah ketika aku bisa belajar mengendarai sepeda motor setiap hari, bersama Elina. Kadang bersama Kak Eugiene jika salah satu kakak kembar Kak Daniel itu ada waktu luang. Aku begitu di terima dengan hangat di lingkungan keluarga Kak Daniel. Semua orang menyayangiku. Ini luar biasa. Sungguh sesuatu yang di luar dugaanku. Di keluargaku sendiri aku ditolak, diabaikan, bahkan sering dituduh yang aneh-aneh dan dicaci-maki tanpa alasan yang jelas. Namun, lihatlah di keluarga orang lain justru aku begitu diterima dan d
Minggu pagi aku sudah siap-siap. Aku menjadi lebih rajin setelah mengenal dunia luar lewat Elina dan Kak Daniel. Entahlah, selama ini aku merasa seperti di penjara. Hidup dengan begitu banyak aturan yang diberikan oleh orang tuaku. Namun, di sisi lain, mereka juga tidak mampu memenuhi kebutuhanku. Aku merasa, aku sudah cukup banyak mengalah untuk orang tuaku selama ini.Sejak dini hari aku sudah merapikan kamarku. Lalu membersihkan seisi rumah tanpa harus menunggu perintah Ibu. Wanita yang telah melahirkanku itu enam belas tahun lalu itu tengah memasak untuk sarapan kami. Kak Abel telah resmi menikah satu bulan lalu. Sekarang kakakku satu-satunya itu tinggal bersama suaminya dan mungkin akan jarang pulang lagi ke sini. Aku tak tahu, aku tidak terlalu dekat dengannya. Mungkin waktu aku kecil aku merasa begitu dekat hanya karena sering diizinkan tidur menginap di kamarnya. Namun, baru aku sadari sekarang bahwa kakakku itu sebenarnya tidak terlalu peduli juga padaku. Hal ini terlihat set
Semenjak bekerja bersama Elina, sedikit demi sedikit kesadaranku mulai terbuka. Kemurunganku perlahan hilang dan aku bisa tersenyum kembali. Bulan ketiga aku bekerja di sana, aku mulai mengenal keluarga inti Kak Daniel. Tak hanya ibunya, tapi juga ayahnya, kedua kakak kembarnya, serta kedua kakak laki-lakinya. Aku selalu merasa lebih baik saat bersama mereka dibanding saat bersama keluargaku sendiri. Mereka seperti rumah yang selama ini kucari, dan aku belajar banyak hal dari mereka.Kak Daniel telah diterima di sebuah kampus ternama di negeri ini melalui jalur undangan. Aku ikut senang mendengarnya. Juga ikut termotivasi untuk bisa sepertinya. Dia sudah seperti kakakku sendiri. Aku takjub dengan keluarga ini. Kami berbeda agama tapi mereka sangat menghormatiku. Mereka selalu memperhatikan apa yang kumakan, mereka senantiasa mengingatkanku untuk salat lima waktu ketika azan berkumandang. Mereka juga menghormatiku ketika aku berpuasa. Semua orang di sini tulus dan ramah, jauh berbeda d
Setelah beberapa hari membujuk, bahkan sampai membawa Elina datang ke rumahku. Dengan berat hati, akhirnya Ibu pun mengizinkan aku bekerja di resto milik ibunya Kak Daniel bersama Elina. Aku memberitahukan segala tentang resto itu pada Ibu untuk meyakinkannya. Aku akan baik-baik saja, Elina juga anak baik-baik bukan seperti yang selama ini selalu Ibu tuduhkan padaku.“Jangan menghakimi orang tuamu, Nay.” Suatu hari gadis itu memberi nasihat ketika kami selesai bekerja seharian.Jam kerjaku adalah sejak pulang sekolah hingga pukul tujuh malam. Ibu memintaku untuk pulang pergi ke rumah dan tidak boleh menginap di mana pun. Meski jarak rumahku ke sini adalah sekitar tiga puluh lima menit perjalanan. Ibu masih paranoid, takut jika aku melakukan hal-hal yang melanggar norma. Andai saja Ibu tahu tentang perbuatan Kak Abel, apa Ibu akan marah pada Kak Abel? Mengingat selama ini wanita yang menjadi ratu di rumahku itu selalu memperlakukan Kak Abel dengan baik, berbeda denganku. “Tapi mereka
Aku sampai di rumah lebih dulu dari Ibu. Sepertinya orang tuaku masih mampir dulu entah ke mana. Karena nyatanya mereka baru sampai dua jam kemudian setelahku.“Kenapa juga si Abel kepengen buru-buru nikah? Tahu orang tuanya lagi repot banyak hutang.” Ayah mengeluh sambil melepas sepatunya.Aku menyerahkan segelas air putih untuk Ayah pada Ibu. Sudah seperti peraturan tak tertulis di keluarga kami bahwa jika Ayah pulang, kami harus membawakannya segelas air minum. Entah itu oleh Ibu, atau pun kakak-kakakku. Setelah memberikan air putih, segera aku kembali menepi menuju kamarku. Menutup pintu, kemudian hanya mendengarkan dari dalam sini. Sejak peristiwa ayah memukuliku bertahun-tahun lalu, jujur aku malas berdekatan dengan Ayah. Energi Ayah membuatku tak nyaman, seperti ada aura gelap di sana. Atau mungkin, aku hanya trauma? Aku tak tahu pasti. Namun, aku enggan berdekatan dengan Ayah.“Ya, mau gimana lagi. Toh si Abel juga sudah cukup usianya untuk menikah. Nikahin aja, dari pada na
Kak Daniel hanya tersenyum melihat tingkah aneh kami berdua. Elina yang begitu ekspresif dipadukan denganku yang amat pendiam. Beberapa karyawan resto yang ada di sana seketika melirik ke arah kami. Kurasakan pipiku mulai memanas, ingin rasanya berlari sembunyi, tapi tak mungkin. Ingin menggenggam tangan Kak Daniel lalu menyembunyikan kepalaku di bahunya, ah itu jauh lebih tak mungkin! Jadi, di sinilah aku. Hanya bisa diam mematung menyaksikan tatapan orang-orang yang memperhatikanku. Apa ini panic attack? Oh, tidak! Apa waktu kata Kak Hana?“Udah! Jangan tegang! Ngobrol sana sama Elina! Aku mau ke Mama dulu!” Kak Daniel berpesan seraya menepuk bahuku. Kemudian lelaki itu berlalu memasuki sebuah pintu yang tertutup.Apa? Mama? Apa restoran ini milik ibunya? Atau ibunya bekerja di sini?“Cari tempat, yuk!” Belum selesai aku melakukan konfigurasi terhadap kebingunganku, Elina sudah menarik tanganku. Terpaksa aku mengikutinya.Wanita berambut panjang hitam lurus itu mengajakku ke halaman
Aku memasukkan seluruh alat tulisku ke dalam tas. Hari ini sekolah berakhir lebih cepat dari biasanya. Ada rapat para guru. Anak kelas dua belas sebentar lagi akan menghadapi ujian nasional. Pantas, sudah beberapa waktu berlalu Kak Daniel tidak lagi mencariku. Aku masih sering masih sering melihatnya wara-wiri di sekitar sekolah, tapi tampaknya ia cukup sibuk. Sesekali, aku mendapati ada coklat dan makanan lain telah tersedia di kolong meja tempat belajarku ketika aku datang pagi-pagi. Aku tak tahu siapa yang menaruhnya di sana. Namun, firasatku mengatakan itu ulah Kak Daniel. Entah bagaimana caranya tapi aku merasa seolah pikiranku bisa terhubung dengan kakak kelasku itu. Setiap kali aku memikirkan suatu makanan pasti keesokan harinya makanan itu akan tersedia di mejaku. Bukan hanya itu, kemarin malam aku memikirkan tentang masa depanku. Maksudku, setelah aku selesai membaca diari Kak Yumna, aku mulai memikirkan masa depanku. Tentang apa yang harus aku lakukan di masa depan, jika ak
Pov DanielDi sepanjang jalan, Nayara menceritakan tentang keluarganya yang sedang terkena musibah. Di sana aku baru tahu jika kakaknya meninggal beberapa hari yang lalu, dan hari ini jenazahnya akan dimakamkan di kampungnya. Gadis itu gelisah karena seharusnya sekarang dia sudah ada di rumahnya. Namun, ia memilih berangkat sekolah perkara ada suatu sebab yang ia tak mau menjelaskannya. Entah, aku tak ingin memaksanya. Aku menghargai privasinya.Aku merasa gadis ini menanggung beban perasaan yang cukup berat. Aku tidak tahu apa yang terjadi di masa lalunya, Nayara hanya menceritakan bahwa ia tidak dekat dengan keluarganya, sama sekali. Apalagi dengan ibunya. Maksudku, aku bukan ahli psikologi keluarga, tapi sebagai sesama anak bungsu, nasib kami begitu jauh berbeda.Jika aku begitu dekat dengan keluargaku, dengan ayah, ibu juga kakak-kakakku, maka berbeda halnya dengan gadis itu. Kulihat ia pun bukan seorang yang ekstrover yang senang bergaul, bagaimana jika ia tidak diterima di rumah
Pov DanielBel berbunyi. Jam istirahat yang sedari tadi kutunggu-tunggu pun akhirnya tiba. Segera aku turun menuju tempat di mana aku memarkir sepeda motor pertama yang kubeli menggunakan uang hasil kerja kerasku sendiri. Meski orang tuaku berkecukupan, aku sudah bekerja mencari uang sendiri sejak kelas empat SD. Ayahku mengelola sebuah toko elektronik yang cukup besar di kotaku, yang merupakan warisan orang tuanya. Penghasilan ayahku sebenarnya cukup untuk kami sekeluarga, tapi ayah mendidik kami agar kami tidak terlalu bergantung pada orang lain, termasuk orang tua. Ayah juga mengizinkan Ibu untuk mengelola restoran milik keluarganya, ketika kakek–nenekku dari ibu memutuskan pensiun. Ayah sama sekali tidak merasa tersaingi ketika melihat Ibu bekerja, sebaliknya ayah justru bangga dan percaya, karena kelak jika ia sudah tak ada di dunia maka ibulah yang akan bertanggung jawab untuk mengambil alih semua pekerjaan ayah.Ibuku mengelola sebuah restoran warisan keluarganya. Kadang aku