Catatan kedua, ditulis tanggal 20 Desember 2008. Di sini kakakku menulis tentang rasa senangnya setelah akhirnya diterima sebagai pegawai tetap di perusahaan tempatnya bekerja. Ia mulai berpikir untuk mencari pekerjaan sampingan untuk menambah penghasilan agar bisa segera berkuliah seperti teman-temannya.Catatan ketiga, ditulis tanggal 01 Januari 2009 di rumah kami. Di sini Kak Yumna bercerita bahwa ia menyesal pulang ke rumah. “Why should I saw my father walked with that bitch?! He gave me hush money and forbade me from telling it to my mother. What could I expect from a father like him?!” tulisnya.Sepertinya kakakku tak sengaja melihat ayah jalan bersama seorang wanita selain ibuku di malam tahun baru. Lalu ayah memberinya uang agar kakakku tutup mulut dan tidak melaporkannya pada ibu. Kak Yumna terus menuliskan kekecewaannya pada ayah di halaman itu.Jika diingat-ingat, ayahku memang seperti sosok Don Juan. Ia dikagumi banyak perempuan karena ketampanannya. Tidak salah, memang. K
Aku termegap-megap dalam gelap. Rasanya sulit untuk bernafas. Tidak, aku tidak sedang bermimpi. Aku masih dapat melihat bentuk jendela kamarku yang lebih cocok kusebut ‘berbeda warna’ dibanding ‘memancarkan cahaya’.Aku meraba-raba, bergerak menuju jendela. Aduh! Kakiku tersandung sesuatu. Kusibak tirai penutupnya. Gelap. Semua rumah di sekitar rumahku tampak dalam keadaan gelap. Mati lampu.Kuraba-raba sekitar meja belajarku. Ketemu! Aku menyalakan lampu senter yang menyatu dengan raket nyamukku. Seketika aku dapat melihat kondisi kamarku walau tak begitu jelas. Aku bergerak mencari ponselku.Aku selalu tidur dengan lampu menyala. Bukan lampu tidur, tapi memang lampu kamar. Aku tahu tentang penelitian yang menyebutkan bahwa tidur dalam kondisi gelap itu baik bagi tubuh. Aku juga tahu bahwa tidur dalam gelap adalah sunah Nabi. Tapi aku tak bisa. Sungguh tubuhku tak bisa dibawa tidur dalam kegelapan. Selain karena ruangan gelap mengundang nyamuk, aku juga selalu merasa pengap ketika be
Pov DanielPukul 5 dini hari aku sudah menyabotase dapur Mama. Membuat ricuh satu rumah karena menjadikan mereka terlambat untuk sarapan. Hari ini aku memutuskan memasak masakan terbaikku untuk mengisi kotak bekal makanan milik gadis itu.Sejak kemarin aku sudah memikirkan menu-menu sarapan terbaik untuk kubuat hari ini. Mungkin salad sayuran dengan potongan ikan salmon. Kulihat kakakku, Eurielle—biasa kupanggil Yuril, sering membawa bekal seperti itu ke kampusnya. Mungkin gadis itu juga akan menyukainya, karena mereka ada kemiripan.Aku membuka kulkas dan mengambil dua potong ikan salmon fillet—yang ternyata stok terakhir Mama. Kurendam sebentar dengan berbagai rempah serta saus marinasi yang kupelajari dari internet. Sayang, hasil pangganganku rupanya tidak terlalu baik. Lapisan terluarnya begitu lengket di wajan yang kugunakan. Ketika aku membaliknya, ia malah hancur tidak karuan. Sontak Mama dan Kak Eugenie yang menyaksikanku tertawa.“Udah, gapapa. Biar buat si Uril aja dari pada
Pov DanielNAYARA HANIFA, adalah nama yang tercetak pada name-tag baju seragam putih biru gadis itu.Iya, aku mengenal—atau lebih tepatnya: menyadari keberadaannya, sejak ia datang ke sekolah ini untuk melakukan pendaftaran ulang. Seorang lelaki mengantarnya dengan mengendarai sepeda motor sport idaman kami semua, para anak remaja.“Cih, baru aja tamat SMP udah jadi piaraan om-om,” komentar Yudi, rekan OSIS-ku yang juga ikut menyaksikan kedatangannya.“Hush! Jangan gitu! Bapaknya itu! Mana ada om-om nganterin sugar baby-nya daftar sekolah?! Paling ponakannya kalau iya!” jawabku kesal.Si Yudi ini, semua dia komentarin. Anak-anak yang datang sendiri, dia bilang orang tuanya gak peduli. Ada anak yang datang dengan diantar mobil mewah, dia bilang orang tuanya terlalu memanjakan. Ada anak yang diantar dengan berjalan kaki, dia bilang orang tuanya terlalu tega membiarkan anaknya harus menaiki ratusan anak tangga. Ah, memang berkumpul dengan orang semacam dia semua jadi terasa serba salah.
Aroma khas minyak kayu putih begitu menusuk indra penciumanku. Tampak wajah Elina yang begitu khawatir, tengah memandangiku ketika aku membuka mata.“Lin? Ini di mana?” tanyaku. Aku sedikit bingung. Ada sesuatu yang penting yang baru saja kutahu, tapi aku tak ingat apa.“Kamu di UKS, Nay...,” jawab Elina.“Kamu pingsan tadi abis dari perpus.”Elina mengulum senyum dengan raut menggodaku. “Untung ada Kak Daniel. Ciee....”Tak kuhiraukan Elina yang menjawil pipiku. Aku harus mengingat sesuatu....“Bukuku mana, Lin?” Aku mencari diari Kak Yumna, tapi tak tampak di ruangan itu.“Buku apa, Nay?”“Buku catatan warna item. Kamu lihat gak? Tadi aku abis baca buku di perpus,” terangku.“Gak tau aku, Nay. Bentar, aku tanya Kak Daniel ya.”“Ini, kamu minum dulu yuk tehnya. Kamu pucet banget gitu.”Teman sebangkuku itu memberikan segelas teh hangat padaku sembari mengeluarkan ponselnya. Ah, ia begitu perhatian, bahkan sampai rela melewatkan jam pelajaran demi menungguiku di sini. Aku berterima ka
“Kenapa tadi datang pagi banget?”Kak Daniel mengajukan pertanyaan sembari tangannya bergerak menarik tuas persneling.Aku memilih menggelengkan kepala. Enggan menjelaskan. Namun terlalu lelah untuk mengarang sebuah alasan.“Gak papa, kak.”Kak Daniel seperti memahami maksudku. Lelaki berkulit putih bersih itu kemudian hanya diam, fokus pada kemudinya.Perasaanku mendadak tak enak ketika kendaraan kami berpapasan dengan sebuah mobil jenazah dari arah berlawanan. Dengan sirene dimatikan, artinya kendaraan pengangkut jenazah itu sudah menurunkan muatannya.Badanku bergerak mengikuti pandanganku yang mencoba membaca tulisan pada mobil jenazah itu. Benar. Itu mobil jenazah dari Ibu Kota. Aku menelan saliva. Apa ibu sudah sampai?“Kenapa?” tanya lelaki di sebelahku.Aku kembali menggeleng.“Ra ....”“Kamu bisa cerita ke aku kalau ada masalah. Jangan apa-apa serba dipendem sendiri. Gak baik buat kesehatan sama mental kamu. ” Kak Daniel menasihatiku. Sesekali kepalanya menoleh kepadaku, kemu
Bu Haji adalah orang pertama yang menyambutku. Perempuan baik hati itu mempersilakanku dan Kak Daniel untuk masuk.“Ayo, sebentar lagi mau disalatin,” ujarnya.Aku masuk ke rumah, orang-orang di dalam sama, semuanya menatapku dengan tatapan malas, lalu beralih seolah tak melihatku sama sekali. Rasa dingin tiba-tiba menjalar dari ujung kakiku hingga ke ujung kepala. Aku menutup mata sejenak. Situasi seperti ini, rasanya aku ingin kabur saja, tapi ini rumahku, dan itu kakakku tengah dibaringkan.Ibu tampak lelah, Kak Abel memijati pundaknya. Oh, apa kakakku tahu bahwa aku mengetahui perbuatannya? Aku merasa benar, tapi kenapa aku harus takut? Maksudku, aku tidak berbuat kesalahan seperti yang dilakukan Kak Abel, tapi kenapa di sini aku seolah merasa dihakimi oleh tatapan benci mereka?“Orang tuamu yang mana, Ra?” tanya Kak Daniel berbisik.Aku menunjuk dengan kedua bola mataku pada ibuku yang sedang dipijati oleh Kak Abel. Seketika Kak Daniel melangkah maju, aku pun mengikutinya.“Sore
Pov DanielBel berbunyi. Jam istirahat yang sedari tadi kutunggu-tunggu pun akhirnya tiba. Segera aku turun menuju tempat di mana aku memarkir sepeda motor pertama yang kubeli menggunakan uang hasil kerja kerasku sendiri. Meski orang tuaku berkecukupan, aku sudah bekerja mencari uang sendiri sejak kelas empat SD. Ayahku mengelola sebuah toko elektronik yang cukup besar di kotaku, yang merupakan warisan orang tuanya. Penghasilan ayahku sebenarnya cukup untuk kami sekeluarga, tapi ayah mendidik kami agar kami tidak terlalu bergantung pada orang lain, termasuk orang tua. Ayah juga mengizinkan Ibu untuk mengelola restoran milik keluarganya, ketika kakek–nenekku dari ibu memutuskan pensiun. Ayah sama sekali tidak merasa tersaingi ketika melihat Ibu bekerja, sebaliknya ayah justru bangga dan percaya, karena kelak jika ia sudah tak ada di dunia maka ibulah yang akan bertanggung jawab untuk mengambil alih semua pekerjaan ayah.Ibuku mengelola sebuah restoran warisan keluarganya. Kadang aku