Aku begitu kaget melihat Kak Abel duduk bersandar mesra ke bahu pacarnya. Hal seperti itu masih tabu bagiku. Apalagi Ibu begitu tegas soal laki-laki padaku. Baca novel atau menonton film yang berbau percintaan saja aku dilarang keras oleh Ibu, tapi kenapa Kak Abel dibiarkan?“Apa, Nay?” raut wajah kakakku sedikit kesal.“Ini ada telepon dari Ayah.” Aku memberikan ponsel kepada sang pemiliknya.“Ini HP kamu, dari Ayah, kenapa gak kamu aja yang angkat?”Aku mencibir dan mengangkat bahu sebagai jawaban. Kakakku berdesah, tapi kemudian diangkatnya telepon itu.Cukup lama Kak Abel bertelepon, hingga akhirnya ponsel itu ia kembalikan padaku.“Udah sana kamu tidur aja, besok kamu tetep sekolah kata Ibu.”Aku menurut, kembali ke kamarku. Aku meletakkan tubuhku di kasur. Kulihat banyak pesan yang masuk ke ponselku, aku memeriksanya satu persatu.Aku gelagapan saat ponselku tiba-tiba bergetar. Rupanya barusan aku ketiduran sebentar. Aku mengernyit melihat layar ponselku, nomor baru tanpa nama k
Cepat-cepat aku mengambil wudu lalu melaksanakan ibadah subuhku. Setelah itu segera aku masukkan buku-buku yang berserakan ke dalam tas sekolahku. Termasuk buku diari Kak Yumna. Masukin sajalah! Biar bisa kubaca di kelas nanti.Pergi ke dapur, segera kujerang air. Mengiris bakso dan sosis lalu kumasukkan ke dalam air yang sedang kurebus beserta mie dan irisan sayuran. Lalu kutinggalkan mandi. Tadinya aku berniat membuat nasi goreng bakso beserta mie gulung sosis, tapi ternyata aku bangun terlambat, jadi aku tidak terlalu punya banyak waktu. Kubuat mie goreng sajalah biar cepat.Saat akan mengguyur air ke badanku, aku baru ingat jika ternyata mie yang kugunakan adalah mie kuah. Haduh! Bodo amat dah! Tinggal cari saus sama kecap ntar!Sekembali dari kamar mandi, mieku sudah matang. Aku meniriskannya lalu menuangnya ke dalam piring. Kumasukkan tiga perempat bumbu mie dari kemasannya, karena jika kumasukkan semua pasti terlalu asin, lalu kutambahkan sedikit saus cabai dan tomat beserta ke
Catatan kedua, ditulis tanggal 20 Desember 2008. Di sini kakakku menulis tentang rasa senangnya setelah akhirnya diterima sebagai pegawai tetap di perusahaan tempatnya bekerja. Ia mulai berpikir untuk mencari pekerjaan sampingan untuk menambah penghasilan agar bisa segera berkuliah seperti teman-temannya.Catatan ketiga, ditulis tanggal 01 Januari 2009 di rumah kami. Di sini Kak Yumna bercerita bahwa ia menyesal pulang ke rumah. “Why should I saw my father walked with that bitch?! He gave me hush money and forbade me from telling it to my mother. What could I expect from a father like him?!” tulisnya.Sepertinya kakakku tak sengaja melihat ayah jalan bersama seorang wanita selain ibuku di malam tahun baru. Lalu ayah memberinya uang agar kakakku tutup mulut dan tidak melaporkannya pada ibu. Kak Yumna terus menuliskan kekecewaannya pada ayah di halaman itu.Jika diingat-ingat, ayahku memang seperti sosok Don Juan. Ia dikagumi banyak perempuan karena ketampanannya. Tidak salah, memang. K
Aku termegap-megap dalam gelap. Rasanya sulit untuk bernafas. Tidak, aku tidak sedang bermimpi. Aku masih dapat melihat bentuk jendela kamarku yang lebih cocok kusebut ‘berbeda warna’ dibanding ‘memancarkan cahaya’.Aku meraba-raba, bergerak menuju jendela. Aduh! Kakiku tersandung sesuatu. Kusibak tirai penutupnya. Gelap. Semua rumah di sekitar rumahku tampak dalam keadaan gelap. Mati lampu.Kuraba-raba sekitar meja belajarku. Ketemu! Aku menyalakan lampu senter yang menyatu dengan raket nyamukku. Seketika aku dapat melihat kondisi kamarku walau tak begitu jelas. Aku bergerak mencari ponselku.Aku selalu tidur dengan lampu menyala. Bukan lampu tidur, tapi memang lampu kamar. Aku tahu tentang penelitian yang menyebutkan bahwa tidur dalam kondisi gelap itu baik bagi tubuh. Aku juga tahu bahwa tidur dalam gelap adalah sunah Nabi. Tapi aku tak bisa. Sungguh tubuhku tak bisa dibawa tidur dalam kegelapan. Selain karena ruangan gelap mengundang nyamuk, aku juga selalu merasa pengap ketika be
Pov DanielPukul 5 dini hari aku sudah menyabotase dapur Mama. Membuat ricuh satu rumah karena menjadikan mereka terlambat untuk sarapan. Hari ini aku memutuskan memasak masakan terbaikku untuk mengisi kotak bekal makanan milik gadis itu.Sejak kemarin aku sudah memikirkan menu-menu sarapan terbaik untuk kubuat hari ini. Mungkin salad sayuran dengan potongan ikan salmon. Kulihat kakakku, Eurielle—biasa kupanggil Yuril, sering membawa bekal seperti itu ke kampusnya. Mungkin gadis itu juga akan menyukainya, karena mereka ada kemiripan.Aku membuka kulkas dan mengambil dua potong ikan salmon fillet—yang ternyata stok terakhir Mama. Kurendam sebentar dengan berbagai rempah serta saus marinasi yang kupelajari dari internet. Sayang, hasil pangganganku rupanya tidak terlalu baik. Lapisan terluarnya begitu lengket di wajan yang kugunakan. Ketika aku membaliknya, ia malah hancur tidak karuan. Sontak Mama dan Kak Eugenie yang menyaksikanku tertawa.“Udah, gapapa. Biar buat si Uril aja dari pada
Pov DanielNAYARA HANIFA, adalah nama yang tercetak pada name-tag baju seragam putih biru gadis itu.Iya, aku mengenal—atau lebih tepatnya: menyadari keberadaannya, sejak ia datang ke sekolah ini untuk melakukan pendaftaran ulang. Seorang lelaki mengantarnya dengan mengendarai sepeda motor sport idaman kami semua, para anak remaja.“Cih, baru aja tamat SMP udah jadi piaraan om-om,” komentar Yudi, rekan OSIS-ku yang juga ikut menyaksikan kedatangannya.“Hush! Jangan gitu! Bapaknya itu! Mana ada om-om nganterin sugar baby-nya daftar sekolah?! Paling ponakannya kalau iya!” jawabku kesal.Si Yudi ini, semua dia komentarin. Anak-anak yang datang sendiri, dia bilang orang tuanya gak peduli. Ada anak yang datang dengan diantar mobil mewah, dia bilang orang tuanya terlalu memanjakan. Ada anak yang diantar dengan berjalan kaki, dia bilang orang tuanya terlalu tega membiarkan anaknya harus menaiki ratusan anak tangga. Ah, memang berkumpul dengan orang semacam dia semua jadi terasa serba salah.
Aroma khas minyak kayu putih begitu menusuk indra penciumanku. Tampak wajah Elina yang begitu khawatir, tengah memandangiku ketika aku membuka mata.“Lin? Ini di mana?” tanyaku. Aku sedikit bingung. Ada sesuatu yang penting yang baru saja kutahu, tapi aku tak ingat apa.“Kamu di UKS, Nay...,” jawab Elina.“Kamu pingsan tadi abis dari perpus.”Elina mengulum senyum dengan raut menggodaku. “Untung ada Kak Daniel. Ciee....”Tak kuhiraukan Elina yang menjawil pipiku. Aku harus mengingat sesuatu....“Bukuku mana, Lin?” Aku mencari diari Kak Yumna, tapi tak tampak di ruangan itu.“Buku apa, Nay?”“Buku catatan warna item. Kamu lihat gak? Tadi aku abis baca buku di perpus,” terangku.“Gak tau aku, Nay. Bentar, aku tanya Kak Daniel ya.”“Ini, kamu minum dulu yuk tehnya. Kamu pucet banget gitu.”Teman sebangkuku itu memberikan segelas teh hangat padaku sembari mengeluarkan ponselnya. Ah, ia begitu perhatian, bahkan sampai rela melewatkan jam pelajaran demi menungguiku di sini. Aku berterima ka
“Kenapa tadi datang pagi banget?”Kak Daniel mengajukan pertanyaan sembari tangannya bergerak menarik tuas persneling.Aku memilih menggelengkan kepala. Enggan menjelaskan. Namun terlalu lelah untuk mengarang sebuah alasan.“Gak papa, kak.”Kak Daniel seperti memahami maksudku. Lelaki berkulit putih bersih itu kemudian hanya diam, fokus pada kemudinya.Perasaanku mendadak tak enak ketika kendaraan kami berpapasan dengan sebuah mobil jenazah dari arah berlawanan. Dengan sirene dimatikan, artinya kendaraan pengangkut jenazah itu sudah menurunkan muatannya.Badanku bergerak mengikuti pandanganku yang mencoba membaca tulisan pada mobil jenazah itu. Benar. Itu mobil jenazah dari Ibu Kota. Aku menelan saliva. Apa ibu sudah sampai?“Kenapa?” tanya lelaki di sebelahku.Aku kembali menggeleng.“Ra ....”“Kamu bisa cerita ke aku kalau ada masalah. Jangan apa-apa serba dipendem sendiri. Gak baik buat kesehatan sama mental kamu. ” Kak Daniel menasihatiku. Sesekali kepalanya menoleh kepadaku, kemu