Aku masuk ke kelasku untuk menyimpan tas. Salah satu panitia OSIS menyambutku ramah, ia membimbingku masuk kelas lalu mengarahkan padaku meja yang masih kosong. Meja itu dekat jendela, berkapasitas untuk dua orang. Sebuah tas telah tersimpan di sisi satunya, menandakan sudah ada orang yang menempatinya. Aku mengisi sisi sebelahnya.“Kak, ini balonnya di ke manain, ya?” tanyaku.“Ah, kamu telat! Balonnya udah pada diterbangin tadi pas pembukaan. Ya udah, itu kamu simpen aja. Langsung ke Lapangan aja.” Panitia OSIS itu memberi arahan padaku. Aku mengikatkan balon terbang itu pada salah satu kaki mejaku.Nasib! Nasib! Sudah mahal-mahal beli balon, gak kepake pulak gara-gara terlambat!Selama upacara aku terus memikirkan hal ini. Kejadian ini menarik. Andai tadi aku langsung naik ojek dan tak perlu beli balon, mungkin aku tidak akan terlambat tapi aku tetap tidak bisa menerbangkan balon, karena memang aku tidak membawa balon terbang. Namun karena tadi aku beli balon dulu, aku jadi terlamb
Bukankah dia termasuk salah satu kawan dari Riyan, lelaki yang dua hari lalu mengenalkan namanya padaku lalu langsung kabur?Aku kembali menoleh ke belakang. Benar. Bahkan lelaki itu kini sedang memperhatikanku dengan saksama. Tangannya mencoba menarik seseorang yang tengah asyik berlakon tinju. Ya Tuhan, itu lelaki dengan wajah seteduh Andrew White dan senyum semanis Derby Romero yang memperkenalkan dirinya padaku dua hari lalu. Aku segera menarik pandanganku. Entah kenapa ada rasa berdebar di dalam dadaku.“Assalamu’alaikum...,”Tak lama kemudian terdengar seorang lelaki mengucap salam di sampingku. Aku memalingkan wajah menghadap ke arah suara. Itu anak laki-laki yang tadi tak sengaja beradu tatap denganku. Eh, bukan, yang memberi salam justru.... Ya ampun..., dia lelaki berwajah seteduh Andrew White dengan senyum semanis Derby Romero yang dua hari lalu memperkenalkan dirinya lalu langsung kabur!“Lagi ngapain? Panas, ya?” lelaki itu segera mengambil tempat kosong (yang dipakai unt
Lembut semilir angin membelai wajah yang terus kutundukkan selama upacara bendera. Bunga-bunga berserta daun-daun flamboyan jatuh berguguran di sekitar tempatku berdiri. Mereka jatuh pasrah, tak melawan, apa lagi membenci angin yang memisahkan mereka dari sang pohon induk. Mereka seolah mengejekku, yang masih saja larut dalam kesedihan sejak semalam.Kemarin malam, Riyan berkata bahwa ia telah pindah sekolah, dan itu akan jadi pesan terakhirnya untukku. Aku yang selama ini menjadikannya sebagai duniaku, tiba-tiba merasa hilang arah. Ingin rasanya aku meminta pada Ayah untuk pindah sekolah saja, tapi aku tahu itu tak mungkin. Bahkan aku belum genap satu semester bersekolah di sana.Pagi hari, aku terbangun dengan air mata yang masih terus mengalir. Lama aku menatap langit-langit kamarku. Rasa hampa kembali merajai, aku sungguh tak dapat menyembunyikan kesedihanku. Aku membayangkan lorong-lorong kelas yang begitu sepi tanpa kehadirannya. Sekarang tidak akan ada lagi lelaki dengan senyum
Sejak aku tahu bahwa Riyan membaca pesanku, entah kenapa aku jadi tidak begitu semangat lagi untuk bersekolah. Aku seperti kehilangan separuh nyawaku, tapi di satu sisi aku merasa lucu dengan diriku sendiri. Semangat belajarku jadi menurun drastis. Aku seperti kehilangan arah. Tidak tahu apa yang harus kuperbuat untuk masa depan, bahkan untuk masa kini.Disebut apakah perasaan ini? Apa benar ini yang namanya mati rasa? Aku tak lagi memiliki energi untuk tertawa dengan lelucon receh yang dilontarkan temanku. Aku juga tak lagi bersedih atas sesuatu yang hilang dariku. Aku tak lagi merasa takut akan kemarahan ibuku. Aku tak lagi peduli dengan pengabaian dari ayahku. Jika selama ini aku selalu pura-pura bersikap dingin menghadapi orang tuaku, maka sekarang, aku merasakan ‘dingin’ yang sesungguhnya tanpa perlu pura-pura.Ini lucu. Di satu sisi aku sudah tidak tertarik pada dunia. Namun di sisi lain aku juga tidak berminat untuk mengakhiri hidupku. Aku merasa seperti seakan jiwaku hidup di
“Ih, kok kayak pernah lihat? Kamu punya kakak ya? Kok rasanya kayak mirip siapa gitu?” tanya Kak Hana, tantenya Nabila.Sepulang sekolah kami langsung menuju rumah Nabila. Di sana kami bertemu dengan Kak Hana, tantenya. Wanita itu memiliki aura yang seketika membuatku merasa nyaman bersamanya. Paras wajahnya terlihat biasa saja, tapi ada keteduhan dalam sorot matanya. Senyumnya memancarkan ketulusan, sentuhannya lembut menenangkan. Kuharap, aku bisa berlama-lama dengannya. Eh, apa tadi dia bilang? Dia merasa mengenalku? Aku punya kakak?“Saya punya dua orang kakak, Dok,” jawabku.Aku bingung harus memanggilnya apa. Ingin memanggil ‘tante’ seperti yang dilakukan Nabila tapi aku bukan keponakannya. Ingin memanggil ‘kakak’ takut dianggap tak menghormati profesinya. Namun di sisi lain aku tak tahu panggilan yang tepat untuk seorang psikolog.Kak Hana tertawa, “panggil kakak aja, jangan sungkan,” jawabnya. Seakan ia bisa membaca keraguan di dalam diriku.“Eh, iya, Kak,” jawabku kikuk.“Jad
“Maksud kamu apa, Nay?” Ibu mengulang pertanyaannya.“Kak Yumna itu merebut pacar orang, Bu. Kak Marwan dulunya sudah mau tunangan sama temennya Kak Yumna. Dan kata temen-temen yang dulu sekampus sama Kak Marwan, Kak Marwan itu bukan orang yang baik,” paparku.“Wah, bener berarti firasatku. Jangan-jangan anakku dimanfaatin lagi sama suaminya.”Ibu menggulung lengan dasternya lalu mengambil ponselnya.“Coba, kau hubungkan ke kakakmu!” Ibu menyerahkan ponselnya padaku.Aku coba menyambungkannya, tapi tidak dapat terhubung seperti dulu.“Gak aktif, Bu.” Aku mengembalikan ponsel Ibu.“Hah? Kok bisa gak aktif lagi? Masa iya HPnya rusak lagi? Wah, pasti ada yang gak beres ini!” Wajah Ibu tampak semakin kusut.“Coba kau sambungkan ke Marwan.” Ibu kembali menyerahkan ponselnya padaku.Aku coba menyambungkannya pada Kak Marwan, dan berhasil. Tak lama kemudian, suara berat seorang lelaki menyambutnya dari seberang sana. Aku menyerahkannya pada Ibu.“Eh, Marwan! Kau apakan anakku si Yumna? Kenap
“Nay, kalau besok kita ketemu, kamu bisa gak?”Sebuah pesan singkat kuterima dari Kak Hana tiga minggu setelah pembicaraan terakhir kami.“Besok jangan dulu pulang, tunggu aku di sekolah. Besok paling aku sampe sana sekitar jam satuan.”Belum sempat aku membalas pesan sebelumnya, Kak Hana sudah mengirim pesan berikutnya. Terpaksa aku menjawab dengan mengiyakan permintaannya. Lagi pula besok jadwalku bebas, tidak ada perkumpulan organisasi.Enam puluh menit sudah kuhabiskan waktu untuk menunggu Kak Hana, tapi wanita berhidung bangir itu tak tampak jua. Bosan digodain terus oleh para tukang ojek, akhirnya aku memilih kembali masuk ke dalam gedung sekolah. Masih banyak murid yang belum pulang. Di antara mereka ada yang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler, OSIS, latihan persiapan untuk olimpiade sains, atau pun sekedar bimbingan belajar tambahan dari kakak kelas. Ada juga sebagian siswa yang hanya sekedar memanfaatkan fasilitas WiFi gratis dari sekolah.Aku bergabung bersama deretan siswa
Kak Hana menepikan mobilnya di tepi sebuah danau. Aku terdiam seketika. Ini kan danau tempat Riyan biasa latihan. Kenapa pula Kak Hana harus membawaku ke sini.“Yuk turun! Kita duduk di sana aja!” Ajak Kak Hana. Wanita itu menunjuk sebuah kursi panjang dekat pedagang rujak. Sebenarnya ingin kutolak, tapi aku tak enak.“Mang, rujaknya dua. Jangan pedes-pedes.”Kak Hana meletakkan barang bawaannya di kursi, lalu mulai duduk seraya merenggangkan badannya menikmati suasana danau. Aku mengambil posisi di sebelahnya. Menatap dua perahu yang sedang digunakan latihan oleh para atlet dayung.Terkadang aku membayangkan bagaimana rasanya naik perahu berdua di tengah danau dengan Riyan sebagai pendayungnya, ah romantis.“Ni, Nay... kita nyemil rujak aja gapapa ya!” Kak Hana menyerahkan seporsi rujak yang sudah pasti kuterima dengan senang hati.“Makasih, kak.”Tak apalah. Rujak ini buah dengan saus kacang ini sedikit menghibur kesedihanku. Selain dijadikan tempat latihan dayung, danau ini juga di
Hari bebas. Libur kenaikan kelas telah tiba. Aku naik ke kelas sebelas. Kak Daniel berhasil masuk ke salah satu perguruan tinggi yang cukup bergengsi di negeri ini. Namun, hal yang paling menyenangkan adalah, aku sudah bebas dari bayang-bayang Ibu. Aku sudah tinggal di tempat kos sekarang. Bersama Elina yang kini menjadi sahabatku. Aku sama sekali tidak membayar biaya sewa untuk kos ini. Semua ditanggung Kak Daniel.Namun di balik itu semua, tentu saja hal paling menyenangkan adalah ketika aku bisa belajar mengendarai sepeda motor setiap hari, bersama Elina. Kadang bersama Kak Eugiene jika salah satu kakak kembar Kak Daniel itu ada waktu luang. Aku begitu di terima dengan hangat di lingkungan keluarga Kak Daniel. Semua orang menyayangiku. Ini luar biasa. Sungguh sesuatu yang di luar dugaanku. Di keluargaku sendiri aku ditolak, diabaikan, bahkan sering dituduh yang aneh-aneh dan dicaci-maki tanpa alasan yang jelas. Namun, lihatlah di keluarga orang lain justru aku begitu diterima dan d
Minggu pagi aku sudah siap-siap. Aku menjadi lebih rajin setelah mengenal dunia luar lewat Elina dan Kak Daniel. Entahlah, selama ini aku merasa seperti di penjara. Hidup dengan begitu banyak aturan yang diberikan oleh orang tuaku. Namun, di sisi lain, mereka juga tidak mampu memenuhi kebutuhanku. Aku merasa, aku sudah cukup banyak mengalah untuk orang tuaku selama ini.Sejak dini hari aku sudah merapikan kamarku. Lalu membersihkan seisi rumah tanpa harus menunggu perintah Ibu. Wanita yang telah melahirkanku itu enam belas tahun lalu itu tengah memasak untuk sarapan kami. Kak Abel telah resmi menikah satu bulan lalu. Sekarang kakakku satu-satunya itu tinggal bersama suaminya dan mungkin akan jarang pulang lagi ke sini. Aku tak tahu, aku tidak terlalu dekat dengannya. Mungkin waktu aku kecil aku merasa begitu dekat hanya karena sering diizinkan tidur menginap di kamarnya. Namun, baru aku sadari sekarang bahwa kakakku itu sebenarnya tidak terlalu peduli juga padaku. Hal ini terlihat set
Semenjak bekerja bersama Elina, sedikit demi sedikit kesadaranku mulai terbuka. Kemurunganku perlahan hilang dan aku bisa tersenyum kembali. Bulan ketiga aku bekerja di sana, aku mulai mengenal keluarga inti Kak Daniel. Tak hanya ibunya, tapi juga ayahnya, kedua kakak kembarnya, serta kedua kakak laki-lakinya. Aku selalu merasa lebih baik saat bersama mereka dibanding saat bersama keluargaku sendiri. Mereka seperti rumah yang selama ini kucari, dan aku belajar banyak hal dari mereka.Kak Daniel telah diterima di sebuah kampus ternama di negeri ini melalui jalur undangan. Aku ikut senang mendengarnya. Juga ikut termotivasi untuk bisa sepertinya. Dia sudah seperti kakakku sendiri. Aku takjub dengan keluarga ini. Kami berbeda agama tapi mereka sangat menghormatiku. Mereka selalu memperhatikan apa yang kumakan, mereka senantiasa mengingatkanku untuk salat lima waktu ketika azan berkumandang. Mereka juga menghormatiku ketika aku berpuasa. Semua orang di sini tulus dan ramah, jauh berbeda d
Setelah beberapa hari membujuk, bahkan sampai membawa Elina datang ke rumahku. Dengan berat hati, akhirnya Ibu pun mengizinkan aku bekerja di resto milik ibunya Kak Daniel bersama Elina. Aku memberitahukan segala tentang resto itu pada Ibu untuk meyakinkannya. Aku akan baik-baik saja, Elina juga anak baik-baik bukan seperti yang selama ini selalu Ibu tuduhkan padaku.“Jangan menghakimi orang tuamu, Nay.” Suatu hari gadis itu memberi nasihat ketika kami selesai bekerja seharian.Jam kerjaku adalah sejak pulang sekolah hingga pukul tujuh malam. Ibu memintaku untuk pulang pergi ke rumah dan tidak boleh menginap di mana pun. Meski jarak rumahku ke sini adalah sekitar tiga puluh lima menit perjalanan. Ibu masih paranoid, takut jika aku melakukan hal-hal yang melanggar norma. Andai saja Ibu tahu tentang perbuatan Kak Abel, apa Ibu akan marah pada Kak Abel? Mengingat selama ini wanita yang menjadi ratu di rumahku itu selalu memperlakukan Kak Abel dengan baik, berbeda denganku. “Tapi mereka
Aku sampai di rumah lebih dulu dari Ibu. Sepertinya orang tuaku masih mampir dulu entah ke mana. Karena nyatanya mereka baru sampai dua jam kemudian setelahku.“Kenapa juga si Abel kepengen buru-buru nikah? Tahu orang tuanya lagi repot banyak hutang.” Ayah mengeluh sambil melepas sepatunya.Aku menyerahkan segelas air putih untuk Ayah pada Ibu. Sudah seperti peraturan tak tertulis di keluarga kami bahwa jika Ayah pulang, kami harus membawakannya segelas air minum. Entah itu oleh Ibu, atau pun kakak-kakakku. Setelah memberikan air putih, segera aku kembali menepi menuju kamarku. Menutup pintu, kemudian hanya mendengarkan dari dalam sini. Sejak peristiwa ayah memukuliku bertahun-tahun lalu, jujur aku malas berdekatan dengan Ayah. Energi Ayah membuatku tak nyaman, seperti ada aura gelap di sana. Atau mungkin, aku hanya trauma? Aku tak tahu pasti. Namun, aku enggan berdekatan dengan Ayah.“Ya, mau gimana lagi. Toh si Abel juga sudah cukup usianya untuk menikah. Nikahin aja, dari pada na
Kak Daniel hanya tersenyum melihat tingkah aneh kami berdua. Elina yang begitu ekspresif dipadukan denganku yang amat pendiam. Beberapa karyawan resto yang ada di sana seketika melirik ke arah kami. Kurasakan pipiku mulai memanas, ingin rasanya berlari sembunyi, tapi tak mungkin. Ingin menggenggam tangan Kak Daniel lalu menyembunyikan kepalaku di bahunya, ah itu jauh lebih tak mungkin! Jadi, di sinilah aku. Hanya bisa diam mematung menyaksikan tatapan orang-orang yang memperhatikanku. Apa ini panic attack? Oh, tidak! Apa waktu kata Kak Hana?“Udah! Jangan tegang! Ngobrol sana sama Elina! Aku mau ke Mama dulu!” Kak Daniel berpesan seraya menepuk bahuku. Kemudian lelaki itu berlalu memasuki sebuah pintu yang tertutup.Apa? Mama? Apa restoran ini milik ibunya? Atau ibunya bekerja di sini?“Cari tempat, yuk!” Belum selesai aku melakukan konfigurasi terhadap kebingunganku, Elina sudah menarik tanganku. Terpaksa aku mengikutinya.Wanita berambut panjang hitam lurus itu mengajakku ke halaman
Aku memasukkan seluruh alat tulisku ke dalam tas. Hari ini sekolah berakhir lebih cepat dari biasanya. Ada rapat para guru. Anak kelas dua belas sebentar lagi akan menghadapi ujian nasional. Pantas, sudah beberapa waktu berlalu Kak Daniel tidak lagi mencariku. Aku masih sering masih sering melihatnya wara-wiri di sekitar sekolah, tapi tampaknya ia cukup sibuk. Sesekali, aku mendapati ada coklat dan makanan lain telah tersedia di kolong meja tempat belajarku ketika aku datang pagi-pagi. Aku tak tahu siapa yang menaruhnya di sana. Namun, firasatku mengatakan itu ulah Kak Daniel. Entah bagaimana caranya tapi aku merasa seolah pikiranku bisa terhubung dengan kakak kelasku itu. Setiap kali aku memikirkan suatu makanan pasti keesokan harinya makanan itu akan tersedia di mejaku. Bukan hanya itu, kemarin malam aku memikirkan tentang masa depanku. Maksudku, setelah aku selesai membaca diari Kak Yumna, aku mulai memikirkan masa depanku. Tentang apa yang harus aku lakukan di masa depan, jika ak
Pov DanielDi sepanjang jalan, Nayara menceritakan tentang keluarganya yang sedang terkena musibah. Di sana aku baru tahu jika kakaknya meninggal beberapa hari yang lalu, dan hari ini jenazahnya akan dimakamkan di kampungnya. Gadis itu gelisah karena seharusnya sekarang dia sudah ada di rumahnya. Namun, ia memilih berangkat sekolah perkara ada suatu sebab yang ia tak mau menjelaskannya. Entah, aku tak ingin memaksanya. Aku menghargai privasinya.Aku merasa gadis ini menanggung beban perasaan yang cukup berat. Aku tidak tahu apa yang terjadi di masa lalunya, Nayara hanya menceritakan bahwa ia tidak dekat dengan keluarganya, sama sekali. Apalagi dengan ibunya. Maksudku, aku bukan ahli psikologi keluarga, tapi sebagai sesama anak bungsu, nasib kami begitu jauh berbeda.Jika aku begitu dekat dengan keluargaku, dengan ayah, ibu juga kakak-kakakku, maka berbeda halnya dengan gadis itu. Kulihat ia pun bukan seorang yang ekstrover yang senang bergaul, bagaimana jika ia tidak diterima di rumah
Pov DanielBel berbunyi. Jam istirahat yang sedari tadi kutunggu-tunggu pun akhirnya tiba. Segera aku turun menuju tempat di mana aku memarkir sepeda motor pertama yang kubeli menggunakan uang hasil kerja kerasku sendiri. Meski orang tuaku berkecukupan, aku sudah bekerja mencari uang sendiri sejak kelas empat SD. Ayahku mengelola sebuah toko elektronik yang cukup besar di kotaku, yang merupakan warisan orang tuanya. Penghasilan ayahku sebenarnya cukup untuk kami sekeluarga, tapi ayah mendidik kami agar kami tidak terlalu bergantung pada orang lain, termasuk orang tua. Ayah juga mengizinkan Ibu untuk mengelola restoran milik keluarganya, ketika kakek–nenekku dari ibu memutuskan pensiun. Ayah sama sekali tidak merasa tersaingi ketika melihat Ibu bekerja, sebaliknya ayah justru bangga dan percaya, karena kelak jika ia sudah tak ada di dunia maka ibulah yang akan bertanggung jawab untuk mengambil alih semua pekerjaan ayah.Ibuku mengelola sebuah restoran warisan keluarganya. Kadang aku