Share

7

Author: Anik Safitri
last update Last Updated: 2024-01-17 21:44:55

"Kamu kenapa sih Nis? Dari kemarin uring-uringan gara-gara ibu terus?" tanya Mas Ridwan tiba-tiba.

Aku tidak boleh menceritakan perihal pertemuanku tadi dengan ibu. Takut memang ini sebagian rencana dari Mas Ridwan.

"Enggak mas. Nisa cuma ingat ibu saja. Kan baru kali ini lagi Nisa merasakan sosok seorang ibu."

"Yang penting keluarga ibu itu setiap bulan diberi nafkah ya udah. Selebihnya jangan kamu pikirkan."

Aku hanya mengangguk pelan walau dalam hati tidak terima atas semua kalimat yang dilontarkan Mas Ridwan. Aku harus mengatur jadwal kapan aku bisa ke rumah ibu.

Tapi mungkin jika dalam waktu dekat, aku takut ibu masih dalam sikapnya seperti tadi. Biarlah aku jeda beberapa hari dulu.

Handphone Mas Ridwan berdering menandakan ada pesan masuk dari aplikasi hijau tersebut. Mumpung Mas Ridwan masih di toilet, aku reflek membuka nya walau hanya di layar kunci, pesan itu terlihat.

[ Mas, besok lunch yuk. Sudah lama nggak hang out bareng ]

Pesan dari kontak bernama R. Sudah ku pastikan itu Ratih. Ingin aku buang saja sampah yang bersamaku ini ke tong sampah, tempat seharusnya dia ada.

Aku masih cemberut kala Mas ridwan sudah balik. Tak ku sampaikan jika tadi ada pesan dari wanita ular itu.

"Nis, ke dokter yuk program hamil lagi," ajaknya tiba-tiba.

Sudah mati rasa aku. Sudah enggan berharap mendapat momongan dengan dia. Tetapi kenapa Mas Ridwan terlihat ingin sekali mendapat momongan. Apa dia pikir anak adalah yang akan mengunci pernikahan?

Sebelum aku hamil, aku pastikan sudah menendang dia dan para ularnya keluar dari perusahaan almarhum ayah.

"Nisa sudah capek mas. Udah lah pasrah aja. Kalau waktunya hamil pasti hamil kok."

"Kok kamu sekarang pasrah gitu sih Nis? Dulu usahamu kencang sekali. Kamu tidak sayang dengan apa yang sudah kamu perjuangkan?"

"Untuk apa terus berjuang? Kalau hanya satu sisi?"

"Maksudmu Nis? Kok ngomong gitu?"

Aku salah tingkah. Baper. Semakin ngelantur ucapanku.

"Ehm nggak mas lupakan saja. Aku capek mau tidur dulu."

Aku beranjak tidur tanpa memperdulikan Mas Ridwan.Mungkin memang sebaiknya tidak usah aku mendapat anak dari nya.

Inginku segera melihat mentari terbit, agar bisa memastikan sang wanita ular tidak dapat makan siang dengan suamiku. Jika selama ini mereka berhubungan tanpa hambatan layaknya jalan tol, sekarang aku lah yang akan menjadi kerikil tajam tersebut.

*

Mendekati jam makan siang, aku bersiap untuk segera menyusul Mas Ridwan ke kantor, menggagalkan acara makan siang nya dengan Ratih. Tentu penampilanku tidak seperti kemarin. Karena memang pakaian lusuh yang kupakai kemarin punya nya Dewi. Hari ini aku lebih modis dan segar tentunya.

Saat melewati meja resepsionis. Clara hanya mengangguk terhadapku. Aku melengos, enggan menatapnya lama. Aku tidak dendam. Tapi aku ingat apa yang dilakukanya.

Aku juga ingin tau bagaimana pintu untuk memasuki ruang empat. Apakah ada pintu khusus tadi. Sebelum aku mulai memasuki ruangan semakin ke dalam, aku kembali ke belakang meja Clara. Bersembunyi agar tidak diketahui.

Dan benar dugaanku. Ia menghubungi seseorang untuk membuka pintu lantai empat. Benar- benar muak dengan sikap mereka. Dibayar berapa hanya untuk sekedar mengadu jika aku datang. Silahkan menikmati sandiwara kalian sebelum kalian angkat kaki dari sini.

Saat ku buka pintu lantai empat. Seperti suasana kerja pada umumnya. Sang sekertaris duduk di meja nya. Aku tau dia memendam kepura-puraan.

Aku lewati dia tanpa menoleh sedikit pun.

"Selamat siang bu," sapanya.

Aku hanya menatap dengan tatapan sinis dan ku tunjukan ketidaksukaanku.

"Seperti bodyguardnya Pak Ridwan saja bu. Waktu makan siang sudah sampai disini," candanya.

"Iya soalnya di luar pengganggunya banyak mbak. Coba deh kalau mbak udah nikah, pasti juga was-was punya suami yang kerjanya diluar. Zaman sekarang itu keras mbak. Apapun itu mencoba dihalalkan," jawabku sekaligus menyindirnya halus lalu berlalu pergi.

"Sayang, kamu kesini lagi ?" tanya Mas Ridwan sedikit kaget.

"Memangnya nggak boleh gitu mas? Aku kan istri sah kamu. Daripada perempuan lain yang kesini ya kan?"

"Kamu ngomong apa sih, Nis. Dipesenin makan siang saja ya. Tugasku masih banyak nih Nis."

'Ya iyalah banyak. Secara cuma asyik berdua dengan sekretarisnya. Kucing kalau sudah lapar, dikasih ikan asin pun juga mau,' batinku.

Aku pesan makanan lewat online saja. Biar lah dianter kesini. Aku tunjukan kemesraanku dengan Mas Ridwan, agar Ratih semakin panas.

"Mas, panggilin sekretaris dong. Aku sudah pesan makanan lewat online. Suruh dia ambil ke bawah. Aku juga memesankan dia lho."

Tanpa banyak kata, Mas Ridwan menelepon Ratih. Dan dia mulai menghadap.

"Ehm Ratih, bisa saya minta tolong. Saya pesan makanan lewat online untuk seluruh karyawan disini. Kamu bisa menunggu dibawah? Dan membagikannya?"

"Iya bu," jawabnya setengah terpaksa.

"Ini uangnya. Kebetulan saya bawa cash,".

Aku mengeluarkan sejumlah uang dari dompet.

"Bu, istri Dirut kok dompetnya biasa saja?" celetuknya.

Aku menoleh tajam ke arahnya.

"Yang penting kan isinya. Bukan dompetnya...

Related chapters

  • MELAWAN PELAKOR   8

    "Yang penting kan isinya. Bukan dompet nya," jawabku sinis.Ratih hanya tersenyum kecut dan melenggang pergi. Ku tarik nafas, ku keluarkan pelan pelan. Panas. Iya hati ku panas. Melihat raut wajah Ratih. Melihat lirikannya pada suamiku. Oh Tuhan jika memang Engkau menganggap ku kuat menerima ujian ini, maka kuatkan aku. Sabarkanlah hatiku.Ya aku memang rapuh. Tapi aku tidak mau terlihat lemah di depan mereka. Di depan orang-orang yang memang harusnya aku singkirkan dalam hidup. Bukan hanya karena cinta dan merasa di khianati. Tapi hatiku lebih sakit ketika kepercayaan almarhum ayahku disia-siakan. Lelaki yang dianggap baik, yang dititipi amanah, yang di percaya bisa melindungi ku, kini menggores luka hati dengan sengaja. Aku butuh ketenangan. Ya setelah aku mengikuti saran Mas Ridwan untuk program hamil dan lebih banyak beristirahat, aku meninggalkan kebiasaan ku dulu."Mas, nanti sore aku mau ikut pengajian lagi di masjid Al Furqon setelah itu ikut berpartisipasi mengajar anak-ana

    Last Updated : 2024-01-17
  • MELAWAN PELAKOR   9

    " Aku hanya teman biasa dengan Clara," jawab Hisyam." Hah serius ? Tetapi sewaktu di pesta kemarin, Clara sepertinya marah kamu menyapaku,"" Ah masak iya sih ? Kebetulan kemarin Clara meminta ku menemaninya. Malu sama teman-temanya katanya kalau tidak bawa pasangan. Kalau aku memang ada hubungan dengan Clara, harusnya kemarin aku takut dong menyapamu,"Kami tertawa bersama. Aku terakhir kali bertemu Hisyam sewaktu SMA. Selepas SMA, kami melanjutkan kuliah di kota yang berbeda." Bukanya Clara itu bekerja di kantor suamimu ya Nis ?"" Iya,"" Kenapa dia terus menatapmu sinis. Penuh perasaan tidak suka ?"" Memangnya Clara tidak cerita Syam ?"Hisyam salah tingkah. Ia menggaruk-garuk kepalanya yang mungkin tidak gatal." Iya cerita. Tapi aku tidak serta merta mempercayainya Nis. Kamu wanita yang baik, pintar, insya Allah solehah. Kurang apa lagi dan dengan alasan apa dia menduakanmu ?"" Kurang cinta. Kurang cantik mungkin Syam," jawabku sambil tersenyum." Kalau semua menuruti nafsu,

    Last Updated : 2024-04-25
  • MELAWAN PELAKOR   10

    Pagi ini setelah Mas Ridwan pergi, aku memanasi mobil ku. Kali ini kuajak dia bepergian jauh ke luar kota. Dan memutuskam untuk menyetir sendir agatbtifak ada seorang pun yang tau tentang apa yang akam terjadi nanti. Ya aku ke rumah ibu mertua. Mencari tau apa yang sebenarnya terjadi.Kini aku telah berdiri di depan rumah mertua ku. Rumah yang masih sama, tidak ada perubahan sedikitpun. Tapi rumah itu tampak lengang tak seperti biasanyaAku ketuk pintu, ku ucapkan salam. Tapi lama tidak ada sahutan. Lama akhirnya ada suara dari dalam menyahut." Iya sebentar,"Aku tunggu. Dan seorang perempuan muda mebukakan pintunya. Anggun." Mbak Nisa,"Aku tersenyum. Belum sempat aku mengajakmya bicara terdengar sahutan lagi dari dalam." Siapa Nggun ?" teriaknya. Anggun hanya diam mematung tanpa mampu menjawab. Kenapa dia melihat aku seperti momok yang menakutkan." Ngapain kamu kesini ?" tanya Mbak Mira kakak pertama Mas Ridwan.Aku mengulurkan tangan untuk sekedar berjabat tangan. Tapi dia men

    Last Updated : 2024-04-25
  • MELAWAN PELAKOR   11

    Sungguh hatiku berada di persimpangan dilema. Logika serta nurani ku bertabrakan. Ada rasa kasihan yang mendalam dengan keadaan keluarga Mas Ridwan.Baik kini saatnya aku berdamai dengan hati. Karena jiwa dan hatiku juga berhak bahagia bukan. Tentang keluarga Mas Ridwan, biarlah keyakinanku yang berbicara." Mas, Anggun itu sudah semester berapa ya ?" tanyaku disuatu malam." Entahlah Nis. Aku lupa. Urusanku bukan cuma Anggun saja. Lagi pula kalau waktunya lulus juga lulus kok. Kenapa ? Kamu keberatan dengan biaya kuliahnya ?"" Kamu itu yang kenapa mas ? Setiap aku bahas keluarga mu selalu saja sensitif. Bukanya bersyukur istrinya masih memikirkan keluarga suami. Aneh kamu mas,"" Banyak yang bisa dibahas daripada sekedar membahas keluargaku kan Nis," kata Ridwan tidak mau kalah." Aku tidak mau membahas yang lain. Apalagi membicarakan orang lain. Aku hanya ngin mengurus apa yang memang menjadi urusan kita,"" Ya sudahlah, kalau begitu kamu mau tanya apa lagi ?" tanya Ridwan dengan k

    Last Updated : 2024-04-25
  • MELAWAN PELAKOR   12

    " Kenapa kamu disini Nis ?" tanya Mas Ridwan. Yang bisa aku tangkap adalah wajahnya menyimpat gurat kemarahan mendalam.Tapi justru aku tersenyum manis untuknya. " Perbaiki dulu pertanyaanmu Mas,"Mas Ridwan salah tingkah. Ia menunduk penuh gusar." Sudahlah Nis maksud kamu itu sebenarnya apa ?"" Aku ingun mengelola kembali perusahaan ayahku. Ada yang salah ?"" Tapi kan Nis. Ayahmu sudah memasrahkan ini ke aku. Dan kamu tetap fokus pada program hamil."Aku nenyilangkan tangan ke dada. Menatap Mas Ridwan seperti kucing yang tengah menatap tikus yang lemah." Memasrahkan bukan berarti memberi kan ? Lagipula aku sudah pasrah untuk hamil. Kalau Allah menakdirkan aku hamil, pasti juga hamil kok,"Dia menjambak rambutnya sendiri. Dan Brakkkk....Mas Ridwan memukul meja." Lalu kamu anggap suamimu ini apa ?"" Tenang mas. Kamu tetap disini membantuku. Kamu berada di posisi wakil dirut. Sudah lama semenjak ayah tiada, posisi itu kosong karena kamu telah meniadakanya,"" Kenapa harus begini

    Last Updated : 2024-04-25
  • MELAWAN PELAKOR   13

    " Lihat ada yang tidak setuju kan kalau kamu menjadi pucuk pimpinan perusahaan ?". Ternyata Mas Ridwan mengikuti ku dari belakang.Aku berbalik badan dengan tatapan tenang dan penuh senyum. Menghabiskan tenaga, pikirku jika terus melayani emosi Mas Ridwan." Biarlah. Nanti akan ku buktikan bahwa aku memang pantas menduduki pucuk pimpinan perusahaan ini. Lagipula enam puluh persen saham perusahaan ini adalah punya ayahku kok,"" Lalu bagaimana kalau dalam satu semester kamu tidak dapat menaikan statistika perusahaan. Kamu rela akan melelang jabatan pada pemegang saham. Lalu kamu anggap suamimu ini apa ?"Sebenarya aku benar-benar muak dengan pertanyaan Mas Ridwan. Seolah-olah memang ia hanya mengincar harta semata." Pak Ridwan, ayah saya menyekolahkan saya sampai luar negeri itu dengan harapan saya dapat berkembang dengan baik. Saya sudah membawahi cabang perusahaan di Bali. Hingga dapat membuka cabang-cabang di pulau lain seperti di Maluku dan Makasar. Jadi tolong hormati keputusan s

    Last Updated : 2024-04-25
  • MELAWAN PELAKOR   14

    Mata Ratih membulat sempurna. Para karyawan juga menatap penuh tanya. Untuk apa Ratih saya panggil ?Ratih maju ke depan dengan pias wajah yang kesal. Sementara Mas Ridwan ? Ia seolah-olah melotot kepadaku atas apa yang aku lakukan." Kalian pasti bertanya-tanya mengapa saya memanggil rekan kerja kalian. Si Ratih. Jadi begini kalian disini saya gaji atas kerja kalian. Jadi ibaratkan kalian itu menjual jasa, bukan ?". Para karyawan mengangguk setuju." Jadi tolong perbaiki penampilan kalian. Jangan terlalu terbuka dan terlalu ketat seperti Ratih. Ingat kalian disini menjual jasa kan bukan menjual diri ?" lanjutku dengan sindiran tajam.Ekspresi Ratih bukan main. Tatapanya bengis. Seperti harimau yang siap menerkam mangsanya. Sedikit pun aku tidak takut ataupun gentar dengan apa yang menjadi tujuanku.*" Bu Anisa," panggil Ratih saat aku berjalan di lobby. Aku hanya menoleh dengan malas." Iya ada apa ?". Aku paksakan senyum semanis mungkin walau dalam hati tidak ikhlas rasanya." Ibu

    Last Updated : 2024-04-25
  • MELAWAN PELAKOR   15

    " Anisa, jangan cari aku malam ini. Aku tidak pulang ke rumah,"Begitulah yang dikatakan Mas Ridwan. Sebegitu marahnya dia pada diriku ? Sebenarnya aku lumayan senang dengan ketiadaanya. Dengan tidak menatap wajah pengkhianatan itu.Tetapi tidak untuk saat ini. Dia masih suamiku.Belum sempat aku menjawab apa yang ia sampaikan, ia pergi begitu saja meninggalkanku. Kemana dia akan tidur. Apa dia tidur di kediaman Ratih. Ataukah dia tidur di hotel ?Aku tidak kehabisan ide. Aku blokir akses kartu kredit nya. Entahlah ada berapa uang di atm dia. Aku berharap itu tidak banyak.Saat aku mulai keluar dari ruangan, ku lihat Mas Ridwan sudah tidak ada. Aku pejamkan mata. Apakah memang dia menikah denganku hanya karena harta semata ? Setelah ayah meninggal, dimana bisa ku temukan sosok lelaki baik itu ?Aku mulai menaiki mobil. Tapi ada suara yang mengejutkanku." Bagaimana Bu Anisa tawaran saya tadi ?". Suara serak itu jelas aku hafal suara Pak Albert." Maafkan saya Tuan Albert. Tanpa mengura

    Last Updated : 2024-04-25

Latest chapter

  • MELAWAN PELAKOR   39

    Tentu saja Bu Woro kaget mendengar jawaban Clara. Bahkan dari raut wajahnya memang Clara terlihat begitu tegas. Netranya sedikit melotot "Ra," ucap Bu Woro pelan. Ia benar benar tidak menyangka akan begini respon Clara.Clara mengangguk."Iya. Tak ada yang salah dengan jawaban saya. Dengan tegas saya memang menolak.""Tapi Hisyam Ra."Clara hanya mendengus kesal "Kenapa dengan Hisyam Bu? Bukannya usahanya saja yang terbakar? Hisyam juga baik baik saja bukan?" respon Clara dengan santai."Apa kamu lupa dengan niat awal kamu untuk mendapatkan dia?" tanya Bu Woro dengan lirih"Hemm dulu. Kalau sekarang sudah tidak mungkin ya. Hisyam sudah jatuh. Mungkin memang hanya Anisa yang mau. Lagipula siapa yang mau dengan pria yang sudah bangkrut. Laki laki itu kodratnya menafkahi, tidak bergantung dengan wanita," jawab Clara Bu Woro menggeleng. Ia benar benar tak menyangka. Saat mendengar Hisyam jatuh, terungkap sudah sifat asli Clara."Tapi saya bersyukur Ra atas musibah ini." ucap Bu Woro ti

  • MELAWAN PELAKOR   38

    Sontak warga yang lalu lalang segera menghampiri wanita yang tergeletak di pinggir jalan. Luka di kakinya membuat sebagian orang merasa jijik."Panggil Dinsos saja," inisiatif seseorang.Dan akhirnya Ratih dibawa ke rumah sakit. Pemberitaan mengenai Ratih mati ternyata salah. Dia masih hidup. Namun menurut Dokter, Ratih terkena penyakit diabetes akut.Ia menangis sesenggukan di atas ranjang rumah sakit. Sendirian. Teringat bagaimana saat dia di masa berjaya. Dia bisa makan dan minum apa saja yang di mau. Hidupnya bebas. Ingin apapun tinggal beli. Apa itu kesehatan? Ia tak perduli. Baginya asal punya uang, hidup pasti akan berjalan dengan mulus.Tentu orang orang tak ada yang berani mendekat atau mungkin menunggu. Karena takut dimintai pertanggungjawaban.Namun tak lama ada seorang wanita muda yang mendekat. Ia tidak tau siapa wanita itu. Dia tak mengenalnya sama sekali maupun bertemu sebelumnya."Bagaimana ibu? Apakah sudah ada perubahan? Oh iya saya Desi. Saya dari Dinas Sosial." ka

  • MELAWAN PELAKOR   37

    Bu Woro tampak melengos dengan pertanyaan Hisyam. Pelan, namun tak meninggalkan kesan tegasnya. Kalau bukan dia yang membela Anisa, lalu siapa lagi?"Bukan maksut ibu untuk tidak memperlakukan Anisa dengan tidak baik. Hanya saja siapa sih orang tua yang tidak ingin agar anaknya segera mendapatkan keturunan?" elak Bu Woro lagi.Hisyam mengambil nafas panjang. Semata agar emosinya tetap stabil."Bu, anak adalah rezeki. Dan rezeki, jodoh maut itu sudah ada yang mengatur. Jadi berhenti untuk bersikap seperti Tuhan," Hampir saja Bu Woro ingin menyela lagi."Saya sedang repot Bu. Sebentar lagi ada meeting yang harus saya ikuti," potong Hisyam dengan cepat. Agar sang ibu diam. Dan akhirnya dengan langkah gontai, Bu Woro terpaksa pergi dari ruangan itu.Berkali kali pihak properti melihat lihat rumah Anggun yang akan dijual. Membuat Ridwan sedikit uring uringan."Nggun sebelum kamu menikah, setidaknya tolonglah Carikan aku hunian dan pekerjaan," keluh Ridwan di suatu hari.Anggun hanya mengh

  • MELAWAN PELAKOR   36

    Ratih hanya menatap pemilik suara itu. Dia tidak sadar jika dia sudah sampai sebuah warung. Dimana banyak bapak bapak yang tengah ngopi."Cari pekerjaan lain atuh neng. Pasrah banget sampai memulung.""Jangan malas Neng. Jangan takut kerja keras. Masih muda loh.","Atau, jadi simpanan kita saja mau atau tidak? Dijamin makan tiga kali sehari."Dan terdengar tawa dari mereka yang ada disitu. Tangan Ratih mengepal. Dulu dia punya kuasa. Dulu tak ada satu orang pun yang berani menghinanya. Sekarang semua berubah."Lalu kenapa memangnya kalau aku memulung? Apakah aku merepotkan kalian? Apakah kalian memberi aku makan? Tidak kan? Jadi berhenti menghinaku? Jangan kira karena aku pemulung jadi aku tidak punya harga diri ya," bentak Ratih dengan berani Namun perlawanannya tersebut justru membuat semua yang ada disitu tertawa."Heh, pemulung itu orang miskin. Orang miskin saja sok bifaravtentang harga diri. Mana pantas? Ngaca!" seru salah seorang pelanggan warung.Hampir saja Ratih mengelak. T

  • MELAWAN PELAKOR   35

    Ratih hanya menatap pemilik suara itu. Dia tidak sadar jika dia sudah sampai sebuah warung. Dimana banyak bapak bapak yang tengah ngopi."Cari pekerjaan lain atuh neng. Pasrah banget sampai memulung.""Jangan malas Neng. Jangan takut kerja keras. Masih muda loh.","Atau, jadi simpanan kita saja mau atau tidak? Dijamin makan tiga kali sehari."Dan terdengar tawa dari mereka yang ada disitu. Tangan Ratih mengepal. Dulu dia punya kuasa. Dulu tak ada satu orang pun yang berani menghinanya. Sekarang semua berubah."Lalu kenapa memangnya kalau aku memulung? Apakah aku merepotkan kalian? Apakah kalian memberi aku makan? Tidak kan? Jadi berhenti menghinaku? Jangan kira karena aku pemulung jadi aku tidak punya harga diri ya," bentak Ratih dengan berani Namun perlawanannya tersebut justru membuat semua yang ada disitu tertawa."Heh, pemulung itu orang miskin. Orang miskin saja sok bifaravtentang harga diri. Mana pantas? Ngaca!" seru salah seorang pelanggan warung.Hampir saja Ratih mengelak. T

  • MELAWAN PELAKOR   34

    Mulanya Ratih hanya menatap penuh tanda tanya. Matanya melotot."Ya kalau kamu tidak mau tidak apa apa. Aku tidak memaksa. Aku juga tidak bisa memberikanmu apa apa. Karena aku sendiri juga kesusahan. Hasil sedikit tidak apa apa. Yang penting cukup untuk makan." kata Ridwan lagiRatih masih terdiam di tempatnya. Tak pernah terbayangkan dalam hidupnya, jika dia harus menjadi pemulung. Bahkan usianya saat ini masih tergolong muda.Perlahan Ridwan mulai melangkah meninggalkannya. Dia berpikir, Ratih tidak punya keputusan. Jadi untuk apa dia membuang buang waktu.Saat langkah Ridwan sudah agak jauh baru Ratih menoleh."Tunggu. Aku ikut," teriaknya.Ya dia membulatkan tekad. Jika saat ini ia masih ada yang memberi bantuan. Tapi bagaimana keesokan harinya. Belum tentu ia bisa makanMulanya Ratih merasa kikuk. Canggung. Tapi semua ia lawan demi isi perut.Karena belum terlalu mengerti tentang seluk beluk disini, Ratih hanya mengekor di belakang Ridwan. Sembari menungvi komando untuk apa yang

  • MELAWAN PELAKOR   33

    Ratih kaget dengan reaksi Clara tersebut. Ia menatap Clara dengan tatapan kosong."Ra, tapi kenapa?" tanya Ratih lirih."Ratih, kamu itu sadar atau tidak sih? Kamu itu dekil, kusam. Pasti membawa banyak kuman. Ih." jawab Clara dengan ekspresi jijiknya.Mendengar itu, Ratih sedih bukan main. Matanya juga berkaca kaca."Tapi aku ini sahabat kamu loh Ra. Kamu tidak lupa kan?" tanya Ratih lagi. Berharap Clara gak melupakan hal itu. Dan segala bantuan yang diberikan kepada Clara saat mereka masih berteman. Bagaimana pun juga jika menengok masa lalu, Ratih lebih kaya dibandingkan dengan Clara."Sahabat? Iya dulu. Sekarang bukan lagi. Mana mau aku punya sahabat dekil seperti kamu. Melihat saja aku jijik" olok Clara lagiRatih tertunduk."Kalau kamu jijik denganku, tolonglah bantu aku untuk berubah Ra. Kamu kan juga tau dulu aku bagaimana? Apa aku seperti ini? Tidak bukan?"Clara menghela nafas dengan kasar."Maka dari itu. Kamu berubah seperti dulu lagi. Agar bisa menjadi sahabatku lagi. Bar

  • MELAWAN PELAKOR   32

    "Antisipasi tak ada salahnya Nis. Lagipula kenapa sih pakai banyak acara kesini memberi aku makanan. Aku tidak kekurangan. Masih banyak diluar sana yang membutuhkan," gerutu Hisyam dengan kesal.Rupanya gerutuannya tersebut terdengar oleh Pak Fikri. Hati laki laki tua itu semakin bergetar. Ia takut jika rumah tangga anak semata wayangnya itu kenapa Napa."Syam, kamu marah?" tanya Pak Fikri dengan pelan yang tiba tiba muncul di belakang Nisa dan Hisyam yang ada di ruang makan.Mereka terpekik kaget. Hisyam salah tingkah. Ia tau jika sang bapak gampang kepikiran sesuatu."Eh tidak Pak. Tidak apa apa." jawab Hisyam"Apa kamu marah dengan ibu?" tanya Pak Fikri tiba tiba.Hisyam bukan tipe orang yang suka berbohong. Jika berbohong raut wajahnya akan memerah.Ia hanya menghela nafas pelan sebagai jawabannya. Dan Pak Fikri mengerti maksudnya."Maafkan ibumu ya Syam. Jangan goyah hanya karena ibu," pesan Pak Fikri. Wajah tuanya terlihat tak enak hati"Iya Pak. Bapak tenang saja. Mas Hisyam d

  • MELAWAN PELAKOR   31

    Bu Woro segera menggandeng tangan Clara untu pergi. Meskipun hati Clara masih gamang dengan keberadaan Ratih. Apakah benar apa kata Anisa?"Clara kamu kerja apa kok punya jam kerja sesantai ini?" tanya Bu Woro saat dalam perjalanan pulang. Dia pulang diantar dengan Clara."Ehm aku punya usaha butik kecil-kecilan Bu.""Wah cocok ya dengan Hisyam. Meskipun punya istri kaya raya tapi Hisyam masih punya harga diri. Punya usaha. Punya penghasilan. Tidak hanya numpang makan," kata Bu Woro dengan bangga. Tanpa dia tau bagaimana dulu Hisyam berproses jika tanpa ada campur tangan keluarga Anisa.Namun Clara hanya mengangguk kecil. Pikirannya tidak konsentrasi. Ia masih terngiang-ngiang omongan Anisa tadi."Clara tidak mampir dulu? Ngeteh dulu yuk," ajak Bu Woro."Tidak usah Bu. Saya buru buru," jawab Clara. Bahkan netranya tidak menatap Bu Woro. Dan setelah itu ia menarik gas mobil dengan cukup kencang. Bu Woro sebenarnya kaget. Namun dengan Clara ia mencoba bersikap biasa saja."Siapa sih Bu

DMCA.com Protection Status