Share

6

"Anisa," panggil pria itu.

Aku menoleh ke arahnya. Aku memicingkan mata. Memori otak ku bekerja. Ah aku gagal mengingat dia itu siapa. Clara memandang ku penuh tatapan tak suka. Apalagi pasangannya memanggilku.

"Aku Hisyam," ucapnya.

Ku lihat Clara sepertinya protes, dia memanggilku. Mungkin juga dia melarang untuk menyapaku.

"Oh Hisyam. Apa kabarnya? Kamu masih ingat aku?"

"Bagaimana aku lupa Nis ? Karena kebaikan ayahmu lah yang membuatku hidup sampai sekarang. Ayahmu yang memungutku di jalanan, merawat ku dan menjamin pendidikanku."

Ayah dulu memang senang merawat anak jalanan lalu menjamin pendidikan nya. Ayah membangunkan sebuah pondok bagi mereka. Dan dulu aku sering diajak kesana. Agar aku selalu bersyukur bisa dekat dengan orang tua. Karena ada yang nasibnya dibawah ku.

Setelah berbasa-basi, aku melanjutkan mengikuti Mas Ridwan lagi. Ku pepet pundak Clara.

"Lihat ini yang kamu sangka orang gila tempo hari, pasanganmu justru menyapaku tuh. Malu atuh neng," bisik ku melangkah pergi. Menolehnya dengan senyum yang anggun. Sementara Clara hanya gusar menahan marah.

Mayoritas memang yang diundang di acara ini adalah karyawan perusahaan ku. Tapi sayang aku bahkan tidak mengenalnya karena Mas Ridwan merombaknya hampir seratus persen.

Aku lihat Ratih, Clara dan beberapa wanita lainya tengah berkumpul. Mereka berbincang-bincang setengah berbisik-bisik menatap ku lalu tertawa. Saat aku ditinggal Mas Ridwan di toilet, aku hanya sendiri. Kalian pasti bisa membayangkan di situasi seperti ini. Risih, tidak nyaman merasa terhina. Ditatap seperti orang rendahan. Seakan-akan menghina ku karena aku tidak bergaul dengan siapapun. Tapi labrak melabrak bukan sifatku. Kau lebih senang bermain cantik

Tetapi tiba-tiba seorang wanita dengan gaun bak putri di negeri dongeng dan beberapa wanita dengan baju mewah seperti artis menghampiriku.

"Anisa sayang,".

Mereka memanggilku lalu memeluk ku. Kami berpelukan bak Teletubbies.

Dia adalah Melia, putri tunggal Pak Teja. Dan yang lain adalah Indira, Zaskia, dan Fanesa. Mereka semua teman masa kecilku. Karena ayah kami sama-sama seorang bisnis man. Wajarlah bila saling mengenal.

Tentu kami mengobrol panjang lebar. Lebih heboh dari golongan Ratih cs. Kami memang tidak suka berbisik-bisik. Rasanya tidak sopan.

Melia sebagai tuan rumah, mengajak ku untuk mencicipi jamuan nya. Tentu penampilan mereka lebih berkelas.

"Yang berkualitas tentu berkumpul dengan yang sepadan. Tidak perlu berkumpul dengan yang tidak bermutu,"

Kembali aku berbisik di telinga Ratih dan kawan-kawan. Ini baru permulaan sayang. Lihat tanggal mainnya nanti.

*

Hari ini jadwalku berbelanja bulanan. Tentu saja aku sendiri. Tanpa Mas Ridwan di sisi, aku pun masih bisa mandiri.

Saat aku hampir sampai ke mini market, kembali aku bertemu seseorang yang menyerupai sosok ibu mertua. Atau mungkin memang benar ibu mertua. Tak ingin kehilangan jejak lagi, aku buru-buru menghampirinya mumpung beliau belum mengetahui kehadiranku.

Saat sudah dekat, ku pastikan itu memang ibu. Beliau tengah melayani pembeli. Jadi kemungkinan besar, beliau tidak akan mencoba lari dariku.

"Ibu," panggilku.

Beliau hanya menoleh sekilas. Ku ulurkan tangan untuk menyalaminya.

"Tidak usah hormat begitu. Aku orang miskin. Kamu orang kaya. Ada kesenjangan sosial didalamnya," kata beliau dengan ketus.

Hatiku bergetar. Tidak seperti biasanya ibu seperti ini. Beliau yang ku kenal dulu adalah seorang yang lembut dan welas asih.

"Ibu kenapa?" tanyaku lesu.

"Jangan berbasa-basi. Cepat pergi dari sini. Aku muak melihat wajahmu."

Ya Tuhan tidak biasanya ibu berkata kasar seperti ini. Bahkan sekalipun beliau tidak pernah melontarkan kalimat kasar kepadaku.

"Ibu, Anisa memangnya salah apa? Kalau ada salah, tolong jelaskan sekaligus Anisa minta maaf. Tapi tolong jangan seperti ini," ucapku memohon.

"Tidak. Orang kaya kan tidak ada salah apa-apa."

"Bu... "

"Pergi dari sini, atau aku akan teriak maling?"

Aku tidak ada pilihan selain menuruti beliau dan meninggalkan nya dengan dagangannya. Tapi langkahku memaksaku untuk kembali.

"Bu, kalau ada apa-apa, ibu bilang ya sama Nisa."

Ibu tidak menanggapi omonganku. Dan aku pergi dengan seribu tanya dalam hati.

Apa mungkin aku menceritakan ini kepada Mas Ridwan?

Tidak. Aku tidak boleh menceritakan masalah ini. Rencanaku kapan-kapan aku akan ke rumah ibu mencari tau apa yang sebenarnya terjadi.

*

"Mas, kemarin kamu sudah transfer uang untuk ibu?" tanyaku suatu malam.

"Sudah. Kamu tenang saja."

Lalu mengapa ibu bersikap seperti itu. Rasa nya aku selalu berhati-hati dalam bersikap maupun berkata terhadap beliau.

Sebenarnya apa yang salah?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status