" Lihat ada yang tidak setuju kan kalau kamu menjadi pucuk pimpinan perusahaan ?". Ternyata Mas Ridwan mengikuti ku dari belakang.Aku berbalik badan dengan tatapan tenang dan penuh senyum. Menghabiskan tenaga, pikirku jika terus melayani emosi Mas Ridwan." Biarlah. Nanti akan ku buktikan bahwa aku memang pantas menduduki pucuk pimpinan perusahaan ini. Lagipula enam puluh persen saham perusahaan ini adalah punya ayahku kok,"" Lalu bagaimana kalau dalam satu semester kamu tidak dapat menaikan statistika perusahaan. Kamu rela akan melelang jabatan pada pemegang saham. Lalu kamu anggap suamimu ini apa ?"Sebenarya aku benar-benar muak dengan pertanyaan Mas Ridwan. Seolah-olah memang ia hanya mengincar harta semata." Pak Ridwan, ayah saya menyekolahkan saya sampai luar negeri itu dengan harapan saya dapat berkembang dengan baik. Saya sudah membawahi cabang perusahaan di Bali. Hingga dapat membuka cabang-cabang di pulau lain seperti di Maluku dan Makasar. Jadi tolong hormati keputusan s
Mata Ratih membulat sempurna. Para karyawan juga menatap penuh tanya. Untuk apa Ratih saya panggil ?Ratih maju ke depan dengan pias wajah yang kesal. Sementara Mas Ridwan ? Ia seolah-olah melotot kepadaku atas apa yang aku lakukan." Kalian pasti bertanya-tanya mengapa saya memanggil rekan kerja kalian. Si Ratih. Jadi begini kalian disini saya gaji atas kerja kalian. Jadi ibaratkan kalian itu menjual jasa, bukan ?". Para karyawan mengangguk setuju." Jadi tolong perbaiki penampilan kalian. Jangan terlalu terbuka dan terlalu ketat seperti Ratih. Ingat kalian disini menjual jasa kan bukan menjual diri ?" lanjutku dengan sindiran tajam.Ekspresi Ratih bukan main. Tatapanya bengis. Seperti harimau yang siap menerkam mangsanya. Sedikit pun aku tidak takut ataupun gentar dengan apa yang menjadi tujuanku.*" Bu Anisa," panggil Ratih saat aku berjalan di lobby. Aku hanya menoleh dengan malas." Iya ada apa ?". Aku paksakan senyum semanis mungkin walau dalam hati tidak ikhlas rasanya." Ibu
" Anisa, jangan cari aku malam ini. Aku tidak pulang ke rumah,"Begitulah yang dikatakan Mas Ridwan. Sebegitu marahnya dia pada diriku ? Sebenarnya aku lumayan senang dengan ketiadaanya. Dengan tidak menatap wajah pengkhianatan itu.Tetapi tidak untuk saat ini. Dia masih suamiku.Belum sempat aku menjawab apa yang ia sampaikan, ia pergi begitu saja meninggalkanku. Kemana dia akan tidur. Apa dia tidur di kediaman Ratih. Ataukah dia tidur di hotel ?Aku tidak kehabisan ide. Aku blokir akses kartu kredit nya. Entahlah ada berapa uang di atm dia. Aku berharap itu tidak banyak.Saat aku mulai keluar dari ruangan, ku lihat Mas Ridwan sudah tidak ada. Aku pejamkan mata. Apakah memang dia menikah denganku hanya karena harta semata ? Setelah ayah meninggal, dimana bisa ku temukan sosok lelaki baik itu ?Aku mulai menaiki mobil. Tapi ada suara yang mengejutkanku." Bagaimana Bu Anisa tawaran saya tadi ?". Suara serak itu jelas aku hafal suara Pak Albert." Maafkan saya Tuan Albert. Tanpa mengura
" Terimakasih ya mbak," kata Anggun menghampiriku." Untuk apa ?"" Sudahlah mbak. Jangan berpura-pura, aku tau mbak yang diam-diam membiayai kuliahku hingga selesai. Dan mbak yang mengirim paket sembako tiap minggu ke rumah,"" Jadi kamu percaya bahwa aku yang melakukanya ?"Anggun duduk di kursi panjang di area parkir. Mengundangku untuk duduk disampingnya juga." Siapa sih mbak orang baik pada keluarga ku selain Mbak Anisa,"" Bukankah wanita yang dibawa Mas Ridwan ke rumahmu juga baik, Nggun ?"" Ah aku tau mana perempuan yang benar-benar baik dan mana yang sok baik, mbak,"" Tetapi bahkan ibu marah kepadaku, Nggun. Begitu juga dengan Mbak Mira. Jujur uang jatah bulanan untuk keluargamu semua telah aku serahkan pada Mas Ridwan. Bahkan aku tidak tau kalau uang itu tidak sampai pada keluargamu,"" Aku mengerti mbak. Aku juga tidak percaya kalau Mbak Anisa akan melarang Mas Ridwan mengirim uang untuk kami. Rasanya itu tidak mungkin. Yang jadi pertanyaanku sekarang, kenapa Mbak Anisa
" Nisa, kamu apa-apan sih menggaji suami hanya segini ? Ini tidak ada seperempat gajiku dulu Nis,"Aku dengan tenang menanggapinya." Memangnya mau berapa sih mas ?" tanyaku sembari merapikan buku di meja kerja." Hargai aku dong Nis. Aku ini suamimu,"" Iya, kalau di rumah. Kalau dikantor seperti ini kita tetap atasan dan bawahan bukan ? Lagipula kebijakan perusahaaan juga sebesar itu kan. Kamu saja yang dulu mengubah itu. Kamu paham atau tidak sih mas tentang strategi bisnis ?"" Jadi kamu anggap aku ini bodoh begitu ?"Aku hanya tertawa kecil. " Sama sekali tidak. Aku hanya mengingatkan."Mas Ridwan pergi dari ruanganku dengan raut kesal. Aku tidak perduli itu. Sekarang jadwal ku meneliti semua laporan keuangan yang masuk.Dan aku merasa aneh, laporan keuangan ini sangat rajin dan rapi. Tetapi saat aku melihat riwayat mutasi rekening, kenapa yang masuk dengan yang dilaporkan itu berbeda Bertanya pada Mas Ridwan ? Ahh rasanya percuma. Pasti dia berkilah sedemikian hebatnya.Aku pe
" Apakah benar ini rumah dari Bu Anisa Rahmadianti ?" tanya seseorang bertubuh besar berperawakan tinggi berkulit hitam serta memakai jaket kulit dan kacamata hitam." Iya. Saya suaminya. Ada apa ?"" Ini surat perintah penyitaan mobil dari kantor kami ?" Ridwan dengan kasar meraih kertas itu. Lalu diremasnya. Hatinya semakin dongkol tak karuan.*" Anisa, Anisa," teriak Ridwan dari lantai bawah." Ada apa sih mas teriak-teriak seperti aku tidak punya telinga saja," jawabku bersungut marah." Itu mobil kamu disita pihak bank,"Aku masih melanjutkan mewarnai kuku dengan santai. Tanpa terkejut atau apapun itu." Iya, aku tau. Aku tidak punya uang untuk membayar cicilanya. Kamu sebagai suami, harusnya bayarin dong mas. Istrinya terlilit hutang begini,"" Ahh," Ridwan tapak semakin gusar dengan perkataan Anisa." Kamu jangan selalu menyudutkanku. Uang terus yang dibahas .Memangnya topik pembicaraan hanya seputar uang begitu ?"Aku mendongak mendengar perkataanya. Agak geser mungkin otak
" Pak Wira ?" ucapnya bersamaan dengan wajah kaget yang tidak bisa disembunyikan keduanya." Selamat pagi Pak Ridwan, Bu Ratih," sapa Pak Wira dengan sopan.Mereka membalas sapaan Pak Wira dengan kikuk." Selamat datang kembali Pak Wira di kantor ini," ucapku." Ta-tapi bu ada Andini yang memegang kendali manager keuangan," Ratih mencoba melawan." Andini sudah saya pindahkan ke bagian staf admin," jawabku tegas." Tidak bisa begitu Nis. Andini itu lebih kompeten dan berkali-kali ikut pelatihan," Mas Ridwan membela. " Pelatihan apa ? Nanti biar Pak Wira juga ikut," jawabku dingin." Pak Wira kan sudah berumur,"Aku tersenyum menyilangkan tangan di dada." Memangnya kenapa kalau berumur ? Memangnya yang tua tidak bisa dan tidak boleh berkembang ? Justru Pak Wira lebih lama berpengalaman dibidang ini,"" Ta-tapi Bun Andini lulusan S2. Saya kira lebih cocok dia yang menjadi manager bu. Pak Wira kan hanya S1,"" Mau dia S3 sekalipun kalau saya tidak mau ya tidak mau. Kenapa ? Karena An
Benar dugaanku. Mobil Mas Ridwan sudah ada di halaman. Kemungkinan dia menunggu di dalam mobil. Aku melangkah membuka pintu utama tanpa menghiraukan keberadaanya. Tetapi dia justru mengekor di belakangku" Lupa bawa istri mas ? Aku kok ditinggal ?" tanyaku." Istri ? Memang kamu menganggap aku ini suami ?" tanyanya balik.Aku diam. Selalu begitu. Dia menghubungkan dengan masalah kantor. " Harus ya mas selalu dihubungkan dengan masalah di kantor ?"" Ini tentang harga diriku Nis. Kamu seolah-olah menginjak harga diriku. Dan sama sekali tidak menghormatiku,"" Lalu, saat kau merombak kantor, apakah kamu juga izin aku ? Apakah itu juga namanya menghargai ?". Aku mulai tersulut emosi. Sama sekali ia tidak sadar ataupun intropeksi diri atas kelakuanya.Dia diam meninggalkanku naik ke lantai dua. Aku ikuti dia." Apakah etis juga seorang bos dan sekertaris berada di satu ruangan dengan pintu terkunci ? Kucing lapar diberi makan ikan asin pun pasti mau mas. "Emosiku mulai meledak-ledak. Ak
Tentu saja Bu Woro kaget mendengar jawaban Clara. Bahkan dari raut wajahnya memang Clara terlihat begitu tegas. Netranya sedikit melotot "Ra," ucap Bu Woro pelan. Ia benar benar tidak menyangka akan begini respon Clara.Clara mengangguk."Iya. Tak ada yang salah dengan jawaban saya. Dengan tegas saya memang menolak.""Tapi Hisyam Ra."Clara hanya mendengus kesal "Kenapa dengan Hisyam Bu? Bukannya usahanya saja yang terbakar? Hisyam juga baik baik saja bukan?" respon Clara dengan santai."Apa kamu lupa dengan niat awal kamu untuk mendapatkan dia?" tanya Bu Woro dengan lirih"Hemm dulu. Kalau sekarang sudah tidak mungkin ya. Hisyam sudah jatuh. Mungkin memang hanya Anisa yang mau. Lagipula siapa yang mau dengan pria yang sudah bangkrut. Laki laki itu kodratnya menafkahi, tidak bergantung dengan wanita," jawab Clara Bu Woro menggeleng. Ia benar benar tak menyangka. Saat mendengar Hisyam jatuh, terungkap sudah sifat asli Clara."Tapi saya bersyukur Ra atas musibah ini." ucap Bu Woro ti
Sontak warga yang lalu lalang segera menghampiri wanita yang tergeletak di pinggir jalan. Luka di kakinya membuat sebagian orang merasa jijik."Panggil Dinsos saja," inisiatif seseorang.Dan akhirnya Ratih dibawa ke rumah sakit. Pemberitaan mengenai Ratih mati ternyata salah. Dia masih hidup. Namun menurut Dokter, Ratih terkena penyakit diabetes akut.Ia menangis sesenggukan di atas ranjang rumah sakit. Sendirian. Teringat bagaimana saat dia di masa berjaya. Dia bisa makan dan minum apa saja yang di mau. Hidupnya bebas. Ingin apapun tinggal beli. Apa itu kesehatan? Ia tak perduli. Baginya asal punya uang, hidup pasti akan berjalan dengan mulus.Tentu orang orang tak ada yang berani mendekat atau mungkin menunggu. Karena takut dimintai pertanggungjawaban.Namun tak lama ada seorang wanita muda yang mendekat. Ia tidak tau siapa wanita itu. Dia tak mengenalnya sama sekali maupun bertemu sebelumnya."Bagaimana ibu? Apakah sudah ada perubahan? Oh iya saya Desi. Saya dari Dinas Sosial." ka
Bu Woro tampak melengos dengan pertanyaan Hisyam. Pelan, namun tak meninggalkan kesan tegasnya. Kalau bukan dia yang membela Anisa, lalu siapa lagi?"Bukan maksut ibu untuk tidak memperlakukan Anisa dengan tidak baik. Hanya saja siapa sih orang tua yang tidak ingin agar anaknya segera mendapatkan keturunan?" elak Bu Woro lagi.Hisyam mengambil nafas panjang. Semata agar emosinya tetap stabil."Bu, anak adalah rezeki. Dan rezeki, jodoh maut itu sudah ada yang mengatur. Jadi berhenti untuk bersikap seperti Tuhan," Hampir saja Bu Woro ingin menyela lagi."Saya sedang repot Bu. Sebentar lagi ada meeting yang harus saya ikuti," potong Hisyam dengan cepat. Agar sang ibu diam. Dan akhirnya dengan langkah gontai, Bu Woro terpaksa pergi dari ruangan itu.Berkali kali pihak properti melihat lihat rumah Anggun yang akan dijual. Membuat Ridwan sedikit uring uringan."Nggun sebelum kamu menikah, setidaknya tolonglah Carikan aku hunian dan pekerjaan," keluh Ridwan di suatu hari.Anggun hanya mengh
Ratih hanya menatap pemilik suara itu. Dia tidak sadar jika dia sudah sampai sebuah warung. Dimana banyak bapak bapak yang tengah ngopi."Cari pekerjaan lain atuh neng. Pasrah banget sampai memulung.""Jangan malas Neng. Jangan takut kerja keras. Masih muda loh.","Atau, jadi simpanan kita saja mau atau tidak? Dijamin makan tiga kali sehari."Dan terdengar tawa dari mereka yang ada disitu. Tangan Ratih mengepal. Dulu dia punya kuasa. Dulu tak ada satu orang pun yang berani menghinanya. Sekarang semua berubah."Lalu kenapa memangnya kalau aku memulung? Apakah aku merepotkan kalian? Apakah kalian memberi aku makan? Tidak kan? Jadi berhenti menghinaku? Jangan kira karena aku pemulung jadi aku tidak punya harga diri ya," bentak Ratih dengan berani Namun perlawanannya tersebut justru membuat semua yang ada disitu tertawa."Heh, pemulung itu orang miskin. Orang miskin saja sok bifaravtentang harga diri. Mana pantas? Ngaca!" seru salah seorang pelanggan warung.Hampir saja Ratih mengelak. T
Ratih hanya menatap pemilik suara itu. Dia tidak sadar jika dia sudah sampai sebuah warung. Dimana banyak bapak bapak yang tengah ngopi."Cari pekerjaan lain atuh neng. Pasrah banget sampai memulung.""Jangan malas Neng. Jangan takut kerja keras. Masih muda loh.","Atau, jadi simpanan kita saja mau atau tidak? Dijamin makan tiga kali sehari."Dan terdengar tawa dari mereka yang ada disitu. Tangan Ratih mengepal. Dulu dia punya kuasa. Dulu tak ada satu orang pun yang berani menghinanya. Sekarang semua berubah."Lalu kenapa memangnya kalau aku memulung? Apakah aku merepotkan kalian? Apakah kalian memberi aku makan? Tidak kan? Jadi berhenti menghinaku? Jangan kira karena aku pemulung jadi aku tidak punya harga diri ya," bentak Ratih dengan berani Namun perlawanannya tersebut justru membuat semua yang ada disitu tertawa."Heh, pemulung itu orang miskin. Orang miskin saja sok bifaravtentang harga diri. Mana pantas? Ngaca!" seru salah seorang pelanggan warung.Hampir saja Ratih mengelak. T
Mulanya Ratih hanya menatap penuh tanda tanya. Matanya melotot."Ya kalau kamu tidak mau tidak apa apa. Aku tidak memaksa. Aku juga tidak bisa memberikanmu apa apa. Karena aku sendiri juga kesusahan. Hasil sedikit tidak apa apa. Yang penting cukup untuk makan." kata Ridwan lagiRatih masih terdiam di tempatnya. Tak pernah terbayangkan dalam hidupnya, jika dia harus menjadi pemulung. Bahkan usianya saat ini masih tergolong muda.Perlahan Ridwan mulai melangkah meninggalkannya. Dia berpikir, Ratih tidak punya keputusan. Jadi untuk apa dia membuang buang waktu.Saat langkah Ridwan sudah agak jauh baru Ratih menoleh."Tunggu. Aku ikut," teriaknya.Ya dia membulatkan tekad. Jika saat ini ia masih ada yang memberi bantuan. Tapi bagaimana keesokan harinya. Belum tentu ia bisa makanMulanya Ratih merasa kikuk. Canggung. Tapi semua ia lawan demi isi perut.Karena belum terlalu mengerti tentang seluk beluk disini, Ratih hanya mengekor di belakang Ridwan. Sembari menungvi komando untuk apa yang
Ratih kaget dengan reaksi Clara tersebut. Ia menatap Clara dengan tatapan kosong."Ra, tapi kenapa?" tanya Ratih lirih."Ratih, kamu itu sadar atau tidak sih? Kamu itu dekil, kusam. Pasti membawa banyak kuman. Ih." jawab Clara dengan ekspresi jijiknya.Mendengar itu, Ratih sedih bukan main. Matanya juga berkaca kaca."Tapi aku ini sahabat kamu loh Ra. Kamu tidak lupa kan?" tanya Ratih lagi. Berharap Clara gak melupakan hal itu. Dan segala bantuan yang diberikan kepada Clara saat mereka masih berteman. Bagaimana pun juga jika menengok masa lalu, Ratih lebih kaya dibandingkan dengan Clara."Sahabat? Iya dulu. Sekarang bukan lagi. Mana mau aku punya sahabat dekil seperti kamu. Melihat saja aku jijik" olok Clara lagiRatih tertunduk."Kalau kamu jijik denganku, tolonglah bantu aku untuk berubah Ra. Kamu kan juga tau dulu aku bagaimana? Apa aku seperti ini? Tidak bukan?"Clara menghela nafas dengan kasar."Maka dari itu. Kamu berubah seperti dulu lagi. Agar bisa menjadi sahabatku lagi. Bar
"Antisipasi tak ada salahnya Nis. Lagipula kenapa sih pakai banyak acara kesini memberi aku makanan. Aku tidak kekurangan. Masih banyak diluar sana yang membutuhkan," gerutu Hisyam dengan kesal.Rupanya gerutuannya tersebut terdengar oleh Pak Fikri. Hati laki laki tua itu semakin bergetar. Ia takut jika rumah tangga anak semata wayangnya itu kenapa Napa."Syam, kamu marah?" tanya Pak Fikri dengan pelan yang tiba tiba muncul di belakang Nisa dan Hisyam yang ada di ruang makan.Mereka terpekik kaget. Hisyam salah tingkah. Ia tau jika sang bapak gampang kepikiran sesuatu."Eh tidak Pak. Tidak apa apa." jawab Hisyam"Apa kamu marah dengan ibu?" tanya Pak Fikri tiba tiba.Hisyam bukan tipe orang yang suka berbohong. Jika berbohong raut wajahnya akan memerah.Ia hanya menghela nafas pelan sebagai jawabannya. Dan Pak Fikri mengerti maksudnya."Maafkan ibumu ya Syam. Jangan goyah hanya karena ibu," pesan Pak Fikri. Wajah tuanya terlihat tak enak hati"Iya Pak. Bapak tenang saja. Mas Hisyam d
Bu Woro segera menggandeng tangan Clara untu pergi. Meskipun hati Clara masih gamang dengan keberadaan Ratih. Apakah benar apa kata Anisa?"Clara kamu kerja apa kok punya jam kerja sesantai ini?" tanya Bu Woro saat dalam perjalanan pulang. Dia pulang diantar dengan Clara."Ehm aku punya usaha butik kecil-kecilan Bu.""Wah cocok ya dengan Hisyam. Meskipun punya istri kaya raya tapi Hisyam masih punya harga diri. Punya usaha. Punya penghasilan. Tidak hanya numpang makan," kata Bu Woro dengan bangga. Tanpa dia tau bagaimana dulu Hisyam berproses jika tanpa ada campur tangan keluarga Anisa.Namun Clara hanya mengangguk kecil. Pikirannya tidak konsentrasi. Ia masih terngiang-ngiang omongan Anisa tadi."Clara tidak mampir dulu? Ngeteh dulu yuk," ajak Bu Woro."Tidak usah Bu. Saya buru buru," jawab Clara. Bahkan netranya tidak menatap Bu Woro. Dan setelah itu ia menarik gas mobil dengan cukup kencang. Bu Woro sebenarnya kaget. Namun dengan Clara ia mencoba bersikap biasa saja."Siapa sih Bu