Aku tarik nafas dalam-dalam. Aku hembuskan pelan
Menyaksikan dengan langsung perselingkuhan suami memang begitu menyayat hati. Tetapi aku tidak boleh gegabah. Aku jatuhkan tas ku hingga menimbulkan bunyi. Aku membungkuk agar mereka mengira aku belum sampai menyaksikan perselingkuhan mereka. Ekor mataku menangkap suamiku yang salah tingkah, lalu ia berpura pura menandatangani berkas-berkas. Sekertaris hanya bingung melihat perubahan sikapnya hingga menyadari ada aku disitu.Aku melangkah penuh senyum ke dalam ruangan suamiku walau hati ini penuh sesak. Aku kira pelakor hanya ada di cerita-cerita fiksi atau sinetron yang pernah aku lihat. Tetapi nyatanya memang ada. Dan kini aku menghadapinya."Asalamuakaikum mas.""Wa'alaikumsalam Nis,". Aku mencium tanganya. Kebiasaan yang selalu kami lakukan. Sementara wanita itu masih berdiri disitu tanpa sungkannya."Kenapa ruangan direktur utama sekarang di desain seperti ini mas? Kok tidak izin sama aku? Belum tentu aku mengizinkan lho."Wanita itu menautkan alis. Menatap Mas Ridwan dan aku bergantian. Dasar ular. Kamu pikir perusahaan ini milik lelaki ini?"Ehm Ratih. Bisakah kamu meninggalkan ruangan ini. Saya ingin bicara dengan istri saya," pinta Mas Ridwan halus kepada wanita itu yang sekarang ku ketahui bernama Ratih."Istri?" tanyanya dengan melongo lalu menahan tawa seperti apa yang dilakukan Clara. Bukanya aku malu justru aku cekat tanganya."Berapa nomor id dan siapa nama kamu?"Aku merogoh saku mencari kertas yang aku gunakan untuk mencatat id dan nama Clara tadi.
Ratih hanya melirik Mas Ridwan dengan tatapan marah. Seolah bertanya bagaimana ini? Tetapi justru Mas Ridwan lemah di depan nya. Karena memang dia tidak berwenang disini. Ratih meninggalkan ruangan dengan menunduk dan dengan bahasa wajah yang sulit aku artikan."Nis, kamu kesini kok tidak bilang-bilang sih?""Biar sama sepertimu mas. Merombak perusahaan ini juga tidak bilang-bilang,""Bukan begitu Nis. Aku tata ulang biar tidak bosan," jawabnya lirih'bosan denganku atau dengan ruangan ini,' batinku."Ah sudahlah mas. Aku kesini ingin memeriksa catatan keuangan. Kemarin Mas Roy telefon," . Roy adalah kakak ku yang tinggal di Belanda. Karena jauh, almarhum ayahku memasrahkan perusahaan ke tangan Mas Ridwan. Awal mula aku percaya saja. Tetapi setelah menyaksikan perlakuan suamiku dan sekertarisnya membuat rasa percayaku mulai memudar. Iya aku takut harta ayahku mengalir ke kantong wanita itu.Reaksi Mas Ridwan justru mengagetkan. Ia tampak kelabakan mendengar aku ingin memeriksa laporan keuangan.Dengan ragu ia menyerahkan sebuah map kepadaku. Aku menautkan alis, ganjil sekali laporan ini."Mas, ini kok ada dana mengalir ke rekening kamu?""Ehm itu sayang. Ibu kemarin sakit, jadi aku harus transfer dana yang lumayan. Aku sungkan harus bilang kamu,"Mertua ku adalah seorang janda, dan Mas Ridwan mempunyai adik yang masih kuliah. Sebenarnya adiknya enggan melanjutkan sekolah. Tapi karena doronganku dan biaya dari ku, ia mau melanjutkan sekolah. Anggun namanya."Keluargamu itu keluargaku juga mas. Jadi lain kali bilang ya."Aku mencoba bersikap manis pada suamiku. Sebelum aku mulai gencatan senjata itu. Ah rasanya bahkan tidak ada sensasinya jika harus membuangnya begitu saja. Mana ada gregetnya."Sayang, makan siang yuk diluar. Mumpung kamu disini," ajaknya. Aku hanya melirik sisa piring yang masih ada dimeja."Ngapain sih mas. Itu makananya masih," ku lirik bekas makanan itu dan sekertarisnya."Ah makanan tidak enak," jawabnya lalu menggandengku keluar ruangan.Sekertaris itu hanya menunduk lalu menatapku dengan penuh benci saat aku berjalan bersama Mas Ridwan. Ku gandeng tanganya dengan mesra, agar semakin panas."Maaf bu atas sikap saya tadi. Bukan maksut saya menghina. Setau saya seorang istri bos itu bisa mengurus diri dan suami nya dengan baik," kata Ratih tiba-tiba.Kata-kata perminta maafan yang halus tapi sengaja menyakiti. Baik. Kalau dia ingin bermain-main denganku, aku turuti."Oh iya. Ngomong-ngomong kamu sudah punya suami?"Ratih hanya menggeleng."Tetapi kamu sudah paham tugas seorang istri?"Kemudian ia mengangguk."Kalau kamu paham tugas seorang istri. Kamu paham cara mengurus suami, saya minta tolong jangan mengurus suami orang. Cari suami sendiri ya...Wajah Ratih seketika berubah menjadi merah padam bak kepiting rebus. Aku memberikan senyum sinis penuh kemenangan."Nis, kamu kok bicara seperti itu kepada Ratih? Seolah-olah aku dan Ratih seperti ada hubungan saja," tanya Mas Ridwan beralibi."Lalu kamu mau nya bagaimana mas? Aku menghormati wanita kegenitan seperti dia. Lagipula kenapa tidak ditegur sih mas. Disini dia kerja bukan mau clubing. Pakai baju yang agak longgar apa nggak bisa.""Bukan begitu Nis. Memang dia bawahanku. Tapi kamu selalu bilang bahwa semua manusia itu sama. Kamu paham kan?""Banyak orang lain ingin dihargai tapi lupa caranya menghargai orang lain. Saya tidak peduli jabatanya maupun pekerjaanya. Yang aku lihat dari caranya memperlakukan orang lain. B*jing*n sekalipun akan saya hormati jika dia dapat menghargai saya."Mas Ridwan diam seribu bahasa. Mungkin menyadari sikap Ratih saat melihatku.Aku tidak bermaksud menguasai Mas Ridwan. Bukan juga merasa unggul atau suamiku. Walau dari segi pendidikan, ekonomi d
Mas Ridwan kembali memasuki mobil lagi. Dia sempat melihatku memegang handphonenya. Aku salah tingkah. Kenapa Nis? Curiga aku berbalas pesan dengan Ratih?" tanyanya terlihat santai.Bahkan aku lupakan sekejap pelakor itu. Aku penasaran dengan keadaan ibu mertua."Mas, ini tadi Anggun mengirim pesan,"Ku tunjukan handphone nya padanya." Oh.""Mas kok tenang saja. Mas tidak khawatir?""Iya nanti aku kirim uang.""Mas aku rasa mereka tidak hanya butuh uang. Tetapi juga butuh kehadiran mu ditengah mereka. Nanti kita jenguk ibu ya mas. Lagipula Nisa juga sudah lama tidak bertemu beliau.""Ngapain sih Nis? Rumah mereka jauh. Mas capek pulang kerja. Di kirim uang juga sudah selesai,""Kalau mas capek, biar aku yang nyetir nanti.""Anisa, aku ini suami kamu. Tolong turuti suami. Mas juga tidak mengizinkan kamu kesana tanpa mas."Aku hanya melipat tangan. Menggerutu. Aneh sekali Mas Ridwan terlihat santai mendengar kabar ibunya sedang sakit. Memang Mas Ridwan tidak pernah mengalami kehilanga
Aku kejar ibu. Kenapa beliau menghindar dariku? Lalu lalang orang di trotoar membuat ku kehilangan sosok ibu. Kemungkinan ibu telah naik angkot yang lewat tadi.Aku kembali terpaku di kursi kemudi. Sebenarnya apa yang terjadi? Bukankah kemarin Anggun mengirim pesan kepada Mas Ridwan bahwa ibu sakit? Kenapa sekarang justru ibu berjualan?Mungkin memang pada Mas Ridwan lah aku menemukan kunci jawabannya. Semoga aku bisa mengorek apa yang sebenarnya terjadi.*Malam harinya..."Mas tadi aku ketemu ibu.""Dimana?"Degg. Apa aku bilang di sekitar kantor? Saat aku kesana tadi Mas Ridwan kan tidak tau."Ehm di sekitar kantor mas. Tadi aku lewat. Aku berhenti lalu ingin mengejar ibu, tetapi beliau menghindar mas. Bukan kah ibu sedang sakit mas?""Lah itu kamu tau sendiri. Kamu salah lihat paling Nis.""Enggak mas. Aku yakin itu ibu.""Mana mungkin Nisa. Rumah ibu itu jauh. Tidak mungkin ibu berjualan sampai sini. Lagipula ngapain ibu berjualan. Uang yang aku kirim lebih dari kata cukup kok.
"Anisa," panggil pria itu.Aku menoleh ke arahnya. Aku memicingkan mata. Memori otak ku bekerja. Ah aku gagal mengingat dia itu siapa. Clara memandang ku penuh tatapan tak suka. Apalagi pasangannya memanggilku."Aku Hisyam," ucapnya.Ku lihat Clara sepertinya protes, dia memanggilku. Mungkin juga dia melarang untuk menyapaku."Oh Hisyam. Apa kabarnya? Kamu masih ingat aku?""Bagaimana aku lupa Nis ? Karena kebaikan ayahmu lah yang membuatku hidup sampai sekarang. Ayahmu yang memungutku di jalanan, merawat ku dan menjamin pendidikanku."Ayah dulu memang senang merawat anak jalanan lalu menjamin pendidikan nya. Ayah membangunkan sebuah pondok bagi mereka. Dan dulu aku sering diajak kesana. Agar aku selalu bersyukur bisa dekat dengan orang tua. Karena ada yang nasibnya dibawah ku.Setelah berbasa-basi, aku melanjutkan mengikuti Mas Ridwan lagi. Ku pepet pundak Clara."Lihat ini yang kamu sangka orang gila tempo hari, pasanganmu justru menyapaku tuh. Malu atuh neng," bisik ku melangkah pe
"Kamu kenapa sih Nis? Dari kemarin uring-uringan gara-gara ibu terus?" tanya Mas Ridwan tiba-tiba.Aku tidak boleh menceritakan perihal pertemuanku tadi dengan ibu. Takut memang ini sebagian rencana dari Mas Ridwan."Enggak mas. Nisa cuma ingat ibu saja. Kan baru kali ini lagi Nisa merasakan sosok seorang ibu.""Yang penting keluarga ibu itu setiap bulan diberi nafkah ya udah. Selebihnya jangan kamu pikirkan."Aku hanya mengangguk pelan walau dalam hati tidak terima atas semua kalimat yang dilontarkan Mas Ridwan. Aku harus mengatur jadwal kapan aku bisa ke rumah ibu.Tapi mungkin jika dalam waktu dekat, aku takut ibu masih dalam sikapnya seperti tadi. Biarlah aku jeda beberapa hari dulu.Handphone Mas Ridwan berdering menandakan ada pesan masuk dari aplikasi hijau tersebut. Mumpung Mas Ridwan masih di toilet, aku reflek membuka nya walau hanya di layar kunci, pesan itu terlihat.[ Mas, besok lunch yuk. Sudah lama nggak hang out bareng ]Pesan dari kontak bernama R. Sudah ku pastikan i
"Yang penting kan isinya. Bukan dompet nya," jawabku sinis.Ratih hanya tersenyum kecut dan melenggang pergi. Ku tarik nafas, ku keluarkan pelan pelan. Panas. Iya hati ku panas. Melihat raut wajah Ratih. Melihat lirikannya pada suamiku. Oh Tuhan jika memang Engkau menganggap ku kuat menerima ujian ini, maka kuatkan aku. Sabarkanlah hatiku.Ya aku memang rapuh. Tapi aku tidak mau terlihat lemah di depan mereka. Di depan orang-orang yang memang harusnya aku singkirkan dalam hidup. Bukan hanya karena cinta dan merasa di khianati. Tapi hatiku lebih sakit ketika kepercayaan almarhum ayahku disia-siakan. Lelaki yang dianggap baik, yang dititipi amanah, yang di percaya bisa melindungi ku, kini menggores luka hati dengan sengaja. Aku butuh ketenangan. Ya setelah aku mengikuti saran Mas Ridwan untuk program hamil dan lebih banyak beristirahat, aku meninggalkan kebiasaan ku dulu."Mas, nanti sore aku mau ikut pengajian lagi di masjid Al Furqon setelah itu ikut berpartisipasi mengajar anak-ana
" Aku hanya teman biasa dengan Clara," jawab Hisyam." Hah serius ? Tetapi sewaktu di pesta kemarin, Clara sepertinya marah kamu menyapaku,"" Ah masak iya sih ? Kebetulan kemarin Clara meminta ku menemaninya. Malu sama teman-temanya katanya kalau tidak bawa pasangan. Kalau aku memang ada hubungan dengan Clara, harusnya kemarin aku takut dong menyapamu,"Kami tertawa bersama. Aku terakhir kali bertemu Hisyam sewaktu SMA. Selepas SMA, kami melanjutkan kuliah di kota yang berbeda." Bukanya Clara itu bekerja di kantor suamimu ya Nis ?"" Iya,"" Kenapa dia terus menatapmu sinis. Penuh perasaan tidak suka ?"" Memangnya Clara tidak cerita Syam ?"Hisyam salah tingkah. Ia menggaruk-garuk kepalanya yang mungkin tidak gatal." Iya cerita. Tapi aku tidak serta merta mempercayainya Nis. Kamu wanita yang baik, pintar, insya Allah solehah. Kurang apa lagi dan dengan alasan apa dia menduakanmu ?"" Kurang cinta. Kurang cantik mungkin Syam," jawabku sambil tersenyum." Kalau semua menuruti nafsu,
Pagi ini setelah Mas Ridwan pergi, aku memanasi mobil ku. Kali ini kuajak dia bepergian jauh ke luar kota. Dan memutuskam untuk menyetir sendir agatbtifak ada seorang pun yang tau tentang apa yang akam terjadi nanti. Ya aku ke rumah ibu mertua. Mencari tau apa yang sebenarnya terjadi.Kini aku telah berdiri di depan rumah mertua ku. Rumah yang masih sama, tidak ada perubahan sedikitpun. Tapi rumah itu tampak lengang tak seperti biasanyaAku ketuk pintu, ku ucapkan salam. Tapi lama tidak ada sahutan. Lama akhirnya ada suara dari dalam menyahut." Iya sebentar,"Aku tunggu. Dan seorang perempuan muda mebukakan pintunya. Anggun." Mbak Nisa,"Aku tersenyum. Belum sempat aku mengajakmya bicara terdengar sahutan lagi dari dalam." Siapa Nggun ?" teriaknya. Anggun hanya diam mematung tanpa mampu menjawab. Kenapa dia melihat aku seperti momok yang menakutkan." Ngapain kamu kesini ?" tanya Mbak Mira kakak pertama Mas Ridwan.Aku mengulurkan tangan untuk sekedar berjabat tangan. Tapi dia men
Tentu saja Bu Woro kaget mendengar jawaban Clara. Bahkan dari raut wajahnya memang Clara terlihat begitu tegas. Netranya sedikit melotot "Ra," ucap Bu Woro pelan. Ia benar benar tidak menyangka akan begini respon Clara.Clara mengangguk."Iya. Tak ada yang salah dengan jawaban saya. Dengan tegas saya memang menolak.""Tapi Hisyam Ra."Clara hanya mendengus kesal "Kenapa dengan Hisyam Bu? Bukannya usahanya saja yang terbakar? Hisyam juga baik baik saja bukan?" respon Clara dengan santai."Apa kamu lupa dengan niat awal kamu untuk mendapatkan dia?" tanya Bu Woro dengan lirih"Hemm dulu. Kalau sekarang sudah tidak mungkin ya. Hisyam sudah jatuh. Mungkin memang hanya Anisa yang mau. Lagipula siapa yang mau dengan pria yang sudah bangkrut. Laki laki itu kodratnya menafkahi, tidak bergantung dengan wanita," jawab Clara Bu Woro menggeleng. Ia benar benar tak menyangka. Saat mendengar Hisyam jatuh, terungkap sudah sifat asli Clara."Tapi saya bersyukur Ra atas musibah ini." ucap Bu Woro ti
Sontak warga yang lalu lalang segera menghampiri wanita yang tergeletak di pinggir jalan. Luka di kakinya membuat sebagian orang merasa jijik."Panggil Dinsos saja," inisiatif seseorang.Dan akhirnya Ratih dibawa ke rumah sakit. Pemberitaan mengenai Ratih mati ternyata salah. Dia masih hidup. Namun menurut Dokter, Ratih terkena penyakit diabetes akut.Ia menangis sesenggukan di atas ranjang rumah sakit. Sendirian. Teringat bagaimana saat dia di masa berjaya. Dia bisa makan dan minum apa saja yang di mau. Hidupnya bebas. Ingin apapun tinggal beli. Apa itu kesehatan? Ia tak perduli. Baginya asal punya uang, hidup pasti akan berjalan dengan mulus.Tentu orang orang tak ada yang berani mendekat atau mungkin menunggu. Karena takut dimintai pertanggungjawaban.Namun tak lama ada seorang wanita muda yang mendekat. Ia tidak tau siapa wanita itu. Dia tak mengenalnya sama sekali maupun bertemu sebelumnya."Bagaimana ibu? Apakah sudah ada perubahan? Oh iya saya Desi. Saya dari Dinas Sosial." ka
Bu Woro tampak melengos dengan pertanyaan Hisyam. Pelan, namun tak meninggalkan kesan tegasnya. Kalau bukan dia yang membela Anisa, lalu siapa lagi?"Bukan maksut ibu untuk tidak memperlakukan Anisa dengan tidak baik. Hanya saja siapa sih orang tua yang tidak ingin agar anaknya segera mendapatkan keturunan?" elak Bu Woro lagi.Hisyam mengambil nafas panjang. Semata agar emosinya tetap stabil."Bu, anak adalah rezeki. Dan rezeki, jodoh maut itu sudah ada yang mengatur. Jadi berhenti untuk bersikap seperti Tuhan," Hampir saja Bu Woro ingin menyela lagi."Saya sedang repot Bu. Sebentar lagi ada meeting yang harus saya ikuti," potong Hisyam dengan cepat. Agar sang ibu diam. Dan akhirnya dengan langkah gontai, Bu Woro terpaksa pergi dari ruangan itu.Berkali kali pihak properti melihat lihat rumah Anggun yang akan dijual. Membuat Ridwan sedikit uring uringan."Nggun sebelum kamu menikah, setidaknya tolonglah Carikan aku hunian dan pekerjaan," keluh Ridwan di suatu hari.Anggun hanya mengh
Ratih hanya menatap pemilik suara itu. Dia tidak sadar jika dia sudah sampai sebuah warung. Dimana banyak bapak bapak yang tengah ngopi."Cari pekerjaan lain atuh neng. Pasrah banget sampai memulung.""Jangan malas Neng. Jangan takut kerja keras. Masih muda loh.","Atau, jadi simpanan kita saja mau atau tidak? Dijamin makan tiga kali sehari."Dan terdengar tawa dari mereka yang ada disitu. Tangan Ratih mengepal. Dulu dia punya kuasa. Dulu tak ada satu orang pun yang berani menghinanya. Sekarang semua berubah."Lalu kenapa memangnya kalau aku memulung? Apakah aku merepotkan kalian? Apakah kalian memberi aku makan? Tidak kan? Jadi berhenti menghinaku? Jangan kira karena aku pemulung jadi aku tidak punya harga diri ya," bentak Ratih dengan berani Namun perlawanannya tersebut justru membuat semua yang ada disitu tertawa."Heh, pemulung itu orang miskin. Orang miskin saja sok bifaravtentang harga diri. Mana pantas? Ngaca!" seru salah seorang pelanggan warung.Hampir saja Ratih mengelak. T
Ratih hanya menatap pemilik suara itu. Dia tidak sadar jika dia sudah sampai sebuah warung. Dimana banyak bapak bapak yang tengah ngopi."Cari pekerjaan lain atuh neng. Pasrah banget sampai memulung.""Jangan malas Neng. Jangan takut kerja keras. Masih muda loh.","Atau, jadi simpanan kita saja mau atau tidak? Dijamin makan tiga kali sehari."Dan terdengar tawa dari mereka yang ada disitu. Tangan Ratih mengepal. Dulu dia punya kuasa. Dulu tak ada satu orang pun yang berani menghinanya. Sekarang semua berubah."Lalu kenapa memangnya kalau aku memulung? Apakah aku merepotkan kalian? Apakah kalian memberi aku makan? Tidak kan? Jadi berhenti menghinaku? Jangan kira karena aku pemulung jadi aku tidak punya harga diri ya," bentak Ratih dengan berani Namun perlawanannya tersebut justru membuat semua yang ada disitu tertawa."Heh, pemulung itu orang miskin. Orang miskin saja sok bifaravtentang harga diri. Mana pantas? Ngaca!" seru salah seorang pelanggan warung.Hampir saja Ratih mengelak. T
Mulanya Ratih hanya menatap penuh tanda tanya. Matanya melotot."Ya kalau kamu tidak mau tidak apa apa. Aku tidak memaksa. Aku juga tidak bisa memberikanmu apa apa. Karena aku sendiri juga kesusahan. Hasil sedikit tidak apa apa. Yang penting cukup untuk makan." kata Ridwan lagiRatih masih terdiam di tempatnya. Tak pernah terbayangkan dalam hidupnya, jika dia harus menjadi pemulung. Bahkan usianya saat ini masih tergolong muda.Perlahan Ridwan mulai melangkah meninggalkannya. Dia berpikir, Ratih tidak punya keputusan. Jadi untuk apa dia membuang buang waktu.Saat langkah Ridwan sudah agak jauh baru Ratih menoleh."Tunggu. Aku ikut," teriaknya.Ya dia membulatkan tekad. Jika saat ini ia masih ada yang memberi bantuan. Tapi bagaimana keesokan harinya. Belum tentu ia bisa makanMulanya Ratih merasa kikuk. Canggung. Tapi semua ia lawan demi isi perut.Karena belum terlalu mengerti tentang seluk beluk disini, Ratih hanya mengekor di belakang Ridwan. Sembari menungvi komando untuk apa yang
Ratih kaget dengan reaksi Clara tersebut. Ia menatap Clara dengan tatapan kosong."Ra, tapi kenapa?" tanya Ratih lirih."Ratih, kamu itu sadar atau tidak sih? Kamu itu dekil, kusam. Pasti membawa banyak kuman. Ih." jawab Clara dengan ekspresi jijiknya.Mendengar itu, Ratih sedih bukan main. Matanya juga berkaca kaca."Tapi aku ini sahabat kamu loh Ra. Kamu tidak lupa kan?" tanya Ratih lagi. Berharap Clara gak melupakan hal itu. Dan segala bantuan yang diberikan kepada Clara saat mereka masih berteman. Bagaimana pun juga jika menengok masa lalu, Ratih lebih kaya dibandingkan dengan Clara."Sahabat? Iya dulu. Sekarang bukan lagi. Mana mau aku punya sahabat dekil seperti kamu. Melihat saja aku jijik" olok Clara lagiRatih tertunduk."Kalau kamu jijik denganku, tolonglah bantu aku untuk berubah Ra. Kamu kan juga tau dulu aku bagaimana? Apa aku seperti ini? Tidak bukan?"Clara menghela nafas dengan kasar."Maka dari itu. Kamu berubah seperti dulu lagi. Agar bisa menjadi sahabatku lagi. Bar
"Antisipasi tak ada salahnya Nis. Lagipula kenapa sih pakai banyak acara kesini memberi aku makanan. Aku tidak kekurangan. Masih banyak diluar sana yang membutuhkan," gerutu Hisyam dengan kesal.Rupanya gerutuannya tersebut terdengar oleh Pak Fikri. Hati laki laki tua itu semakin bergetar. Ia takut jika rumah tangga anak semata wayangnya itu kenapa Napa."Syam, kamu marah?" tanya Pak Fikri dengan pelan yang tiba tiba muncul di belakang Nisa dan Hisyam yang ada di ruang makan.Mereka terpekik kaget. Hisyam salah tingkah. Ia tau jika sang bapak gampang kepikiran sesuatu."Eh tidak Pak. Tidak apa apa." jawab Hisyam"Apa kamu marah dengan ibu?" tanya Pak Fikri tiba tiba.Hisyam bukan tipe orang yang suka berbohong. Jika berbohong raut wajahnya akan memerah.Ia hanya menghela nafas pelan sebagai jawabannya. Dan Pak Fikri mengerti maksudnya."Maafkan ibumu ya Syam. Jangan goyah hanya karena ibu," pesan Pak Fikri. Wajah tuanya terlihat tak enak hati"Iya Pak. Bapak tenang saja. Mas Hisyam d
Bu Woro segera menggandeng tangan Clara untu pergi. Meskipun hati Clara masih gamang dengan keberadaan Ratih. Apakah benar apa kata Anisa?"Clara kamu kerja apa kok punya jam kerja sesantai ini?" tanya Bu Woro saat dalam perjalanan pulang. Dia pulang diantar dengan Clara."Ehm aku punya usaha butik kecil-kecilan Bu.""Wah cocok ya dengan Hisyam. Meskipun punya istri kaya raya tapi Hisyam masih punya harga diri. Punya usaha. Punya penghasilan. Tidak hanya numpang makan," kata Bu Woro dengan bangga. Tanpa dia tau bagaimana dulu Hisyam berproses jika tanpa ada campur tangan keluarga Anisa.Namun Clara hanya mengangguk kecil. Pikirannya tidak konsentrasi. Ia masih terngiang-ngiang omongan Anisa tadi."Clara tidak mampir dulu? Ngeteh dulu yuk," ajak Bu Woro."Tidak usah Bu. Saya buru buru," jawab Clara. Bahkan netranya tidak menatap Bu Woro. Dan setelah itu ia menarik gas mobil dengan cukup kencang. Bu Woro sebenarnya kaget. Namun dengan Clara ia mencoba bersikap biasa saja."Siapa sih Bu